Verifikasi dan Validasi Sedimentasi Waduk 1. Laju Sedimen

41

2.6.3. Simulasi Model

Menurut Manetch dan Park 1977 simulasi adalah suatu aktifitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem sebenarnya. Sementara Muhammadi et al. 2001 menjelaskan yang dimaksud dengan simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi juga adalah proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponen-komponen dari suatu perlakuan. Simulasi berfungsi sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu, tenaga dan biaya. Dengan menggunakan model simulasi dapat dilakukan eksperimen terhadap suatu sistem tanpa harus menggangu perlakuan terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan yang dialami pada eksperimen tidak terjadi. Menurut Suwarto 2006, terdapat enam tahap yang saling berhubungan dalam proses membangun model simulasi komputer yaitu: 1 identifikasi dan defenisi sistem; 2 konseptualisasi sistem; 3 formulasi model; 4 simulasi model; 5 evaluasi model; dan 6 penggunaan model. 2.7. Penelitian Terdahulu yang Terkait

2.7.1. Penelitian sedimentasi waduk di Waduk Bili-Bili

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan masalah sedimentasi di Waduk Bili-Bili dilakukan dengan berbagai tujuan yang berbeda. Fadiah 2006 telah menguraikan besarnya sedimentasi yang terjadi di waduk Bili-Bili ternyata lebih banyak disebabkan oleh erosi lahan yaitu 42,3 14,09 tonhatahun dari erosi lahan yang terjadi pada lahan tegalan sebesar 33,32 tonhatahun klasifikasi TBE sangat berat. Menurut Lubis dan Syafiuddin 1992 bahwa lahan tegalan diluar kawasan hutan DAS Jeneberang Hulu telah mencapai gejala kritis karena tingkat erosi di wilayah DAS tersebut melebihi tingkat erosi yang diizinkan. Oleh karena itu diperlukan tindakan konservasi lahan baik secara mekanik maupun secara vegetatif pada lahan tegalan secara kontinyu untuk menahan kehilangan tanah yang terjadi. 42 Selain akibat erosi lahan, sedimentasi waduk juga disebabkan oleh longsoran dinding kaldera di hulu DAS Jeneberang. Hardjosuwarno dan Soewarno 2008 mengemukakan bahwa laju sedimentasi waduk akibat aliran debris pada Waduk Bili-Bili sebesar 9,24 juta m 3 tahun adalah aliran debris yang berasal dari produksi aktifitas vulkanik longsoran dan peningkatan kapasitas penampungan dari kapasitas rencana tidak dapat dilakukan sehingga penanganan sedimentasi hanya untuk mempertahankan kapasitas yang ada. Namun demikian, Binga 2006 telah menganalisis bahwa pengendalian sedimen akibat longsoran tersebut dapat dilakukan dengan berbagai variasi jumlah dan ukuran bangunan check-dam. Adapun aspek teknis yang dikendalikan termasuk jumlah sedimen transpor, kecepatan aliran sedimen dan proses degradasi dan agradasi. Dari segi kelembagaan dan potensi pemanfaatan sumberdaya air di DAS Jeneberang, Sylviani dan Elvida 2006 menguraikan bahwa potensi sumberdaya air di Kab. Gowa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dari sumber mata air di dalam kawasan hutan lindung dan dari sungai Jeneberang melalui Waduk Bili- Bili. Pengelolaannya melibatkan berbagai stakeholders antara lain: Dinas PU dan Pengairan Kabupaten, BPDAS, UPTD BPSDA dan PDAM. Terdapat pula kelembagaan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian hutan yang dilakukan oleh kelompok tani sebelum mengajukan perijinan air terutama untuk irigasi. Kemudian, Supratman dan Yudilastiantoro 2001 mengemukakan bahwa adanya kecenderungan yang terjadi pada DAS Jeneberang dan aspek sosial ekonomi masyaarakat wilayah hulu DAS Jeneberang menyebabkan perlunya dibangun sistem kelembagaan perencanaan dan pengelolaan DAS yang terinterkoneksi.

2.7.2. Penelitian sedimentasi waduk di wilayah lain

Beberapa penelitian mengenai sedimentasi waduk dan penanganannya juga telah dilakukan di berbagai wilayah lain. Sudarto 2005 membuktikan bahwa ada pengaruh perubahan tataguna lahan terhadap tingkat erosi daerah tangkapan hujan dan pendangkalan di Waduk Way Rarem. Adapun Anton, et al. 2002 dengan membandingkan peta topografi lama tahun 1774, 1840, 1930 dan 1990 menemukan bahwa adanya perubahan tataguna lahan dan karakateristik biofik lahan disebabkan oleh adanya keputusan peraturan yang digunakan untuk mengkonversi wilayah hutan. Kemudian, Laoh 2002 menyebutkan adanya