Bentuk dan Tipe Sabo Dam

31 sedimen ke hilir secara perlahan dan bertahap pada saat banjir besar maupun banjir kecil. Sabo dam terbuka dengan bentuk celah sangat efektif untuk mereduksi debit puncak sedimen karena volume control dapat direncanakan dengan menentukan dimensi dan juml ah celah. Sabo dam terbuka dengan bentuk “grid” pada umumnya dibuat dari pipa baja atau rangka baja. Pada debit kecil dan sedang, material sedimen akan lolos ke hilir. Namun pada saat terjadi aliran debris, sabo dam tipe ini sangat efektif untuk menangkap batu besar dan batang kayu yang terangkut oleh banjir, sedangkan material sedimen berbutir kecil lolos ke hilir. Sketsa bangunan sabo dam tipe terbuka dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 4. Bangunan Sabo Dam Tipe Tertutup Gambar 5 Bangunan Sabo Dam Tipe Terbuka. 32 Adapun tipe bangunan sabo untuk daerah non vulkanik sama dengan bangunan untuk daerah vulkanik, dimana bangunan yang dibuat adalah, sabo dam, groundsill, revetment, channel works, dan sebagainya. Bangunan sabo di daerah non vulkanik diklasifikasikan sebagai berikut Suparman et al., 2009: 1. Bangunan untuk menahan debrissedimen di daerah sedimen: dam, hillside works 2. Bangunan untuk menahan debrissedimen di tebing: groundsill, revetment 3. Bangunan untuk menahan debrissedimen di dasar sungai: dam, groundsill, channel works 4. Bangunan untuk menampung debrissedimen di sungai: dam, sand pocket 5. Bangunan untuk mengatur aliran debrissedimen: dam, groundsill 2.5. Upaya Pengendalian Sedimentasi Waduk Permasalahan sedimentasi waduk banyak terjadi di Indonesia yang berdampak pada pengurangan usia operasi waduk. Pemerintah telah memberikan acuan pengelolaan waduk dalam bentuk Pedoman Pengelolaan Sedimentasi Waduk. Dalam pedoman tersebut, kegiatan pengelolaan sedimentasi waduk dikelompokkan dalam 3 tiga kegiatan usaha yaitu Mukhlisin,2007: 1. Meminimalkan beban sedimen yang masuk ke dalam waduk, 2. Meminimalkan jumlah sedimen yang mengendap sedimentasi di dalam waduk, 3. Mengeluarkan endapan sedimen dari waduk. Adapun alternatif penanganan tersebut dapat dilakukan dengan cara: a penangkapan sedimen di bagian hulu waduk, b pengalihan sedimen yang menuju waduk, c pelewatan sedimen yang masuk ke tampungan waduk, d penggelontoran sedimen di waduk, e pemindahan sedimen dari waduk dengan cara mekanis, f penanganan secara vegetatif, dan g penanganan secara sosial. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dampak permasalahan berkaitan dengan sedimentasi pada waduk yang semakin kompleks. Secara umum upaya tersebut dilakukan dengan cara vegetatif dan mekanik. Metode konservasi lahan sebagai salah satu upaya penanganan permasalahan sedimentasi waduk diharapkan mampu mencegah atau mengurangi laju erosi. Erosi tanah di bagian hulu dan bagian pertengahan DAS merupakan sumber utama sedimentasi, 33 sehingga konservasi air dan tanah merupakan langkah mendasar untuk mengurangi jumlah sedimentasi yang masuk ke dalam waduk Jian et al. 2002. Upaya konservasi lahan bukanlah upaya yang mudah, mengingat upaya ini berkaitan langsung dengan masyarakat di daerah tangkapan waduk. Berbagai aspek yang ada dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dari upaya konservasi lahan. Aspek ekonomi, sosial budaya dan berbagai aspek lain akan saling terkait. Disamping itu, usaha ini merupakan usaha jangka panjang yang membutuhkan waktu lama dan keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh keberlanjutan sustainability usaha ini.

2.5.1. Cara Vegetatif Non Struktural

Teknik vegetatif adalah upaya pengendalian sedimentasi waduk dengan menekankan pada kegiatan pencegahan erosi melalui penanaman vegetasi pada daerah hulu waduk. Mempertahankan keberadaan vegetasi penutup tanah adalah cara yang paling efektif dan ekonomis dalam usaha mencegah terjadi dan meluasnya erosi permukaan. Secara umum keberhasilan penanaman vegetasi untuk tujuan konservasi tanah akan ditentukan oleh keadaan sebagai berikut Asdak, 2004: 1. Tanah antara lain kesuburan, kedalaman dan curah hujan harus cukup memadai untuk menjamin kelangsungan tumbuh vegetasi. Curah hujan yang lebih tinggi di daerah dengan tipe tanah lempung clay umumnya lebih menjamin pertumbuhan tanaman daripada tanah dengan tipe pasir. 2. Jenis tanaman yang mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat atau jenis spesies vegetasi lokal harus diprioritaskan penanamannya. 3. Jumlah biji vegetasi yang akan ditanam harus cukup, disiapkan dengan baik dan ditanam dengan kedalaman yang memadai. Biji kecil ditanam lebih dangkal daripada biji yang besar. Penanaman biji juga harus dilakukan pada saat kelembaban tanah cukup tersedia. Kartasapoetra 2000 menjelaskan bahwa cara vegetatif atau cara memanfaatkan peranan tanaman dalam usaha pengendalian erosi dan atau pengawetan tanah dalam pelaksanaannya dapat meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1 Penghutanan kembali reboisasi dan penghijauan, yaitu tanah-tanah yang gundul akibat perusakan hutan dan tanaman keras lainnya, diperbaiki dan 34 dipulihkan kembali kelestariannya; 2 Penanaman tanaman penutup tanah dengan maksud untuk melindungi permukaan tanah dari daya dispersi dan daya penghancuran dari butir-butir hujan; 3 penanaman secara kontur, yaitu penanaman tanaman yang searah atau sejajar dengan garis kontur; 4 penanaman tanaman secara larikan strip cropping, yaitu dengan membuat larikan-larikan yang searah dengan garis kontur sehingga dapat memperlambat lajunya aliran permukaan; 5 penggiliran tanaman crop rotation yaitu sistem bercocok tanam pada sebidang tanah yang terdiri dari beberapa macam tanaman yang ditanam secara berturut-turut pada waktu tertentu, setelah masa panennya kembali lagi pada tanaman semula; dan 6 penggunaan serasah mulching yaitu dengan menutupi permukaan tanah dengan serasah atau sisa-sisa tanaman.

2.5.2. Cara Mekanik Struktural

Upaya struktural dilakukan dengan membuat bangunan-bangunan struktur untuk mencegah terjadi erosi atau untuk mencegah masuknya sedimen ke dalam waduk atau untuk membuang sedimen yang masuk ke dalam waduk. Cara ini dilakukan bila secara vegetatif sudah tidak efektif lagi kemiringan lereng cukup besar, di atas 15 o . Cara ini bertujuan untuk mengurangi kecepatan aliran yang melalui parit-parit akibat erosi. Mukhlisin 2007 menyebutkan berbagai upaya untuk pengendalian sedimentasi waduk secara mekanik antara lain sebagai berikut: 1. Mengurangi input sedimen dengan bangunan pengontrol erosi, check dam, sand trap dan bangunan sejenisnya. 2. Bypass sediment inflow dengan bypass tunnel atau bypass channel. 3. Pelepasan deposit sedimen melalui pembuangan dengan excavator, dredging, flushing. 4. Mensuplai sedimen ke hilir dengan bypass tunnel, bypass channel, flushing dan dredging. Pendekatan dengan metode penggelontoran flushing cocok dilakukan untuk waduk dengan laju sedimentasi tinggi, akan tetapi dampak lingkungan harus dipertimbangkan secara menyeluruh apabila metode ini akan dilakukan Jian Jiu, 2002.