Keadilan Sosial Dalam Hukum

401 Pancasila, dan termaktub juga di dalam Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, masalah-masalah hukum dalam rangka ketata-negaraan Indonesia mengacu pada koridor Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini sebagaimana disampaikan seorang pakar hukum; Hazairin yang dikutip Anwar Harjono, menegaskan bahwa ada dua pandangan mengenai hukum yang menjadi perdebatan klasik ketika orang merumuskan pendapat mengenai apa itu hukum. Dua pandangan itu ialah, Pertama; Melihat hukum sebagai masalah manusia antar manusia. Unsur-unsur lain seperti hubungan dengan alam sekitar atau bahkan dengan Tuhan Allah yang menciptakan manusia tidak menjadi perhatian. Secara sosiologis pandangan seperti ini disebut pandangan berdasarkan faham kemasyarakatan. Kedua; Melihat hukum tidak saja sebagai sestuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya yang sangat erat dengan Tuhan. Bahkan Tuhan Allah dilihat sebagai sumber hukum yang utama. Secara teologis pandangan kedua ini berdasarkan faham ke-Tuhanan 344 . Menelaah dua pendekatan terhadap sumber hukum yang berbeda sebagaimana disebutkan di atas, maka pembinaan sistem hukum di Indonesia adalah berdasarkan faham Ketuhanan. Yaitu; hukum tidak hanya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya dengan Tuhan Allah . Setidaknya rumusan hukum yang dibuat dalam bingkai Ketuhanan.

5. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama

Upaya-upaya untuk merealisasikan keadilan sosial dalam hukum harus menjadi dasar bagi tatanan kehidupan demi terciptanya ketenteraman dan kedamaian hidup. Berikut ini disampaikan beberapa langkah, antaranya sebagai berikut; 1. Hukum dikembangkan berdasarkan acuan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tanpa mengabaikan kemasukan 344 Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, Jakarta: Gema Insani, 1995 , h. 126 - 127 402 nilai-nilai lain, baik dari agama ataupun budaya asalkan dapat memperkuat kedudukan hukum itu sendiri. Ini berarti bahwa yang akan dibina itu bersifat dinamik sesuai dengan keperluan pada setiap saat. 2. Hukum dapat melahirkan afektifitasnya, jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya. Ini berarati bahwa hukum bukanlah alat justifikasi untuk memperkokoh kekuasaan atau posisi semata, bukan pula sebagai alat legitimasi dalam melakukan eksploitasi yang justeru melahirkan keadaan tidak adil. Dengan demikian, hukum diwujudkan secara objektif untuk tujuan memelihara kepentingan rakyat banyak. 3. Hukum mempunyai fungsi untuk memelihara dinamika kehidupan bangsa. Dengan demikian, hukum berfungsi untuk memelihara ketertiban masyarakat, dan bukan untuk mempertahankan status quo, melainkan untuk membuka kemungkinan terjadinya kemajuan yang tercermin dalam proses perubahan. Sehingga hukum tidak dijadikan mainan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan pribadi atau golongan dengan meminggirkan aspek keadilan dan kepentingan orang banyak. 4. Hukum ditegakkan untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan masyarakat, bangsa dan negara, sehingga masyarakat memiliki harga diri, dan percaya diri. 5. Hukum ditegakkan untuk melindungi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak bersalah, sehingga orang yang bersangkutan merasa terlindungi hak-hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara. 6. Hukum berfungsi untuk melindungi orang-orang kecil dan orang-orang teraniaya, sehingga meraka merasa aman dan damai dalam pergaulan hidup antar sesama warga, tidak merasa takut untuk menyuarakan kebenaran di depan publik. Selain dari itu, perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan di masyarakat terdapat hubungan segi tiga keadilan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Notonagoro, yaitu; 1. Keadilan membagi-bagikan segala sesuatu kepada sesama warga yang telah menjadi haknya. 2. Menerima dengan sepenuh hati atas segala keadilan. Ini disebabkan tanpa ada komitmen dengan keadilan, tidak ada rakyat, bangsa dan negara yang dapat hidup tenteram dan damai, maka komitmen