Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisasi

335 Diskursus ini sangat penting karena pada saat ini, terutama di era Reformasi banyak kalangan tidak mau berbicara tentang hal-hal terkait dengan Pancasila. Hal ini dapat dimengerti karena kesalahan-kesalahan di masa lalu di era Orde Baru, baik disengaja ataupun tidak, para penguasa kerap kali menjadikan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan sesaat, maka tidak heran jika saat ini orang alergi atau meresa tidak confidence percaya diri jika berbicara Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara dianggap gagal membangun bangsa di masa lalu. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan membahayakan keutuhanan integrasi Nasional. Oleh karenanya harus ada upaya-upaya refreshing dalam rangka merevitalisasi makna dan implementasi, serta memastikan pendekatan-pendekatan baru yang lebih efektif bagi penguatan ideologi Pancasila, agar Pancasila sebagai ideologi Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetap eksis dan semakin kuat jika kita ingin melihat Indonesia ke depan tampil sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI tetap wujud selamanya di bumi persada Nusantara. 15.a. Fakta dan Pengembangan Ideologi Pancasila Pancasila yang sudah menjadi konsensus Nasional sejak 18 Agustus 1945 mengandung nilai dan gagasan dasar, dan oleh karenanya dinyatakan sebagai ideologi Nasional. Nilai dan gagasan dasar tersebut pada hakikatnya telah terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebagai sikap, perilaku dan kepribadian yang sudah menjadi turun temurun dari generasi ke generasi. Pancasila sebagai ideologi Nasional bersifat khas berlaku bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu di era Globalisasi seperti saat ini, dengan munculnya berbagai persaingan ideologi dunia yang memasuki Indonesia, seperti Kapitalisme, Sosialisme dan sebagainya, agar Pancasila tetap eksis dan tidak terjadi kebekuan dan kaku, maka perlu ada upaya-upaya terobosan baru. Sebuah ideologi yang baik dan dapat memelihara kerelevansianya dari waktu ke waktu agar tetap sesuai dengan ruang dan waktu yang selalu berubah dan tahan uji terhadap persaingan berbagai ideologi dunia, serta dapat menyerap berbagai aspirasi masyarakatnya yang selalu mengalami dinamisasi dari waktu ke waktu, maka ideologi harus memiliki tiga dimensi dasar, yaitu; 336

1. Dimensi realitas ;

Artinya bahwa nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi harus bersumber pada nilai-nilai yang nyata, yang hidup dalam masyarakatnya, terutama ketika ideologi tersebut dirumuskan, sehingga masyarakat sebagai pendukungnya betul-betul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu telah tertanam dan berakar dalam realitas kehidupan masyarakat.

2. Dimensi idealisme ;

Artinya ideologi tersebut mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; politik, ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaa dan sebagainya, sehingga masyarakat yang bersangkutan tahu kearah ana mereka membangun bangsa dan negaraya.

3. Dimensi fleksibilitas dan pengembagan ;

Artinya bahwa ideologi tersebut membuka diri untuk menerima perkembangan pemikiran baru dalam rangka memperkaya khazanah dan wawasan tanpa mencabut nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya 225 . Ketiga-tiga dimensi dasar tersebut hanya bisa dimungkinkan oleh sebuah ideologi yang terbuka atau ideologi yang demokratis. Idelogi terbuka adalah ideologi yang dapat berinteraksi denga perkembangan zaman dan adanya dinamika internal yang memberi peluang kesempatan kepada penganutnya untuk mengembangkan pemikiran yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ideologi tersebut tetap aktual. 226 Karena secara filosofis maupun konseptual ideologi memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam membangun kehidupan berbangsadan bernegara, karenanya harus disadari bahwa tanpa idelogi yang kuat dan berakar pada nilai-nilai budaya sendiri, suatu bangsa akan mengalami kesulitan hambatan dalam mencapai cita-citanya 227 . Pentingnya ideologi bagi sebuah negara dapat dilihat dari kehidupan politik praktis, di mana setiap Partai Politik yang ada memiliki platform yang jelas. Platform inilah sebagai 225 Lihat, M. Syamsudin, Pendidikan Pancasila Menempatkan Pancasila Dalam Konteks Ke-Islaman Dan Ke-Indonesiaan Yogyakarta: Total Media, 2009 , h. 126 226 Ibid. 227 Ibid. h. 98 337 refleksi dan implementasi dari sebuah ideologi 228 . Dalam konteks ini, Pancasila sebagai ideologi nasional dalam berbangsa dan bernegara sudah memenuhi tiga dimensi dasar tersebut. Permasalahannya adalah tergantung pada efektivitas pengembangan dan pendekatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Konsekuensi dari penegasan ini adalah bahwa Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, dan ini sangat diperukan berdasarkan kebutuhan konseptual. Keterbukaan ideologi artinya terbuka untuk terjadinya interaksi nilai yang terkandung di dalamnya dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat lingkungan sekitar, terutama pada tataran nilai penjabaran atau nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran nilai dasarnya. 15.b. Rehabilitasi dan rejuvenasi ideologi nasional di era global Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia, kini telah berada pada ambang batas, di mana masyarakat sudah kurang peduli careless terhadapnya, apakah sebagai dasar Negara, filsafat Negara atau sebagai ideologi Negara. Sejarah panjang perdebatan mengenainya 229 , dan sejarah perjalanannya dari momentum ke momentum dari kelahiran, mencari jati diri, perjuangan, hingga mempertahankan dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia telah sampai pada suatu realitas bahwa Pancasila masih jauh dari harapan. Tahun 1983 Pancasila ditetapkan oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat MPR melalui Tap MPR Nomor IIMPR1983 sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik 230 . Kini sejak era Reformasi, Pancasila mulai dipertanyakan kedudukannya dan mungkin bisa digantikan jika tidak segera diantisipasi oleh segelintir kelompok atau golongan yang menginginkan tegaknya sistem pemerintahan lain. Jika melihat ke belakang ketika Soekarno mendekritkan kembali Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, dan Badan Konstituante dibubarkan. Idea kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara ternyata dalam perkembangannya di kemudian hari terjadi 228 Ibid. h. 98 229 Terkait mengenai perdebatan dasar negara, bisa pembaca telusuri karya Ahmad Syafii Maarif; Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante Jakarta:: LP3ES, 1996 , Cet. Ke 3, hlm. 144 - 157 230 Ketetapan tersebut kemudian mengalami perubahan pada tahun 1998 berdasarkan rencana Tap MPR No . . . . MPR 1998 tentang pencabutan Tap MPR No. IIMPR1983