324 Bangsa Indonesia terbentuk dari persatuan suku-suku
etnik-etnik bangsa yang menduduki wilayah Indonesia. c . Pengakuan terhadap filsahat hidup; Bhinneka Tunggal Ika
berbeda-beda tetapi satu jiwa , baik dalam etnik, kebudayaan atau keagamaan. Perbedaan-perbedaan ini tidak menjadi
penghalang untuk bersatu di bawah satu dasar negara, yaitu Pancasila. d . Nilai-nilai ketiga ini menjiwai mendasari sila
keempat dan sila kelima.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarata perwakilan
, mengandung nilai-nlai kerakyatan, antara lain; a. Kedaulatan negara adalah di
tangan rakyat. b. Pemimpin kerakyatan adalah hasil hikmah kebijaksanaan yang didasarkan akal sehat. c . Manusia
Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan tanggung jawab
yang sama di depan hukum. d . Musyawarah untuk mufakat diperoleh dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat di
Parlemen. e . Nilai-nilai sila keempat ini menjiwai mendasari sila kelima.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mengandung
nilai-nilai keadilan sosial, antara lain; a . Merealisasikan keadilan dalam kehidupan sosial atau
masyarakat harus meliputi seluruh rakyat Indonesia secara merata. b. Keadilan harus diwujudkan terutama meliputi
aspek-aspek keberagmaan, pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional, dan
sebagainaya. c . Cita-cita masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual harus segera diwujudkan secara merata
bagi seluruh rakyat Indonesia. d . Keseimbangan atara hak dan kewajiban, dan menghormati hak orang lain. e . Komitmen
pada kemajuan dan pembangunan bangsa. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa Pancasila adalah filsafat kehidupan rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, meskipun ada kalangan yang tidak setuju
dengan alasan bahwa Pancasila itu hanyalah sekumpulan pernyataan-pernyataan yang baik tetapi tidak mencukupi untuk
dinyatakan sebagai kesatuan filsafat. Pandangan ini dibantah oleh Muh. Yamin, bahwa Pancasila itu tersusun secara harmoni dalam suatu
325 sistem filsafat.
206
Penulis juga melihat demikian; bahwa Pancasila memang merupakan filsafat kenegaraan yang dijadikan dasar bagi
negara Republik Indonesia, karena Pancasila hasil dari hikmah wisdom , kebijaksanaan, kearifan, dan ini sebagai ciri umum filasafat.
Bahkan K.H. Saefuddin Zuhri mantan Menteri Agama di era Orde Lama menegaskan; Pancasila itu disebut sebagai filsafat nasional
modern
207
. Dari sisi lain tinjauan Pancasila sebagai filsafat kenegaraan secara metodologis akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran
kritis yang dapat membuka perspektif bangsa Indonesia berpandangan rasional, luas dan terbuka. Dengan aktivitas-aktivitas filsafat, ideologi
Pancasila dapat terhindar dari pembekuan dan sikap otoriter atau pemikiran irrasional. Jadi, sifat filsafati yang melekat pada Pancasila
menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan hidup manusia Indonesia yang selalu berubah-ubah dari waktu
ke waktu. Namun demikian, hal ini tergantung pula pada kesediaan manusia-manusia Indonesia untuk senantiasa tanggap dan cermat
terhadap berbagai situasi dan kondisi yang selalu berubah. Apakah bangsa dan rakyat Indonesia senantiasa siap menghadapi
perubahan-perubahan dengan tetap berpijak pada ideologi Pancasila ?. Jawabannya tentu saja; Pancasila harus menjadi world view dalam
menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada bangsa ini, agar tidak kehilang arah dan identidas kebangsaannya, dan tidak terombang
ambing oleh berbagai arus gelombang yang datang menerpa pada saat apa saja dan kapan saja.
13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa
Filsafat kenegaraan sebuah negara memiliki peranan yang sangat vital dalam mengkonstruksi dasar aturan atau undang-undang dasar
konstitusi . Namun dasar aturan atau undang-undang dasar tersebut secara politis harus sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi rakyatnya
sesuai dengan tuntutan situasi yang selalu berubah dari waktu ke waktu
208
, karena filsafat kenegaraan tersebut bukan untuk kepentingan
206
Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 454
207
Saefuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981 , h. 51
208
Faisal Baasir, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003 , h. 36