Permasalahan Pendidikan; seperti, Kualitas pendidikan

328 masyarakat dari tingkat atas sampai tingkat Rt. dan Rw. Tetapi kemudian tanpa disadari, Pemerintah Orde Baru terjebak ke dalam kondisi diktatorial dan tirani. Hal ini memunculkan stigma bahwa Pemerintah Orde Baru telah menempatkan Pancasila sebagai alat untuk kepentingan politik, sebagai upaya melindungi sikap diktatorialnya, termasuk mematikan lawan politiknya yang tidak sejalan dengan kebijakannya 209 , dengan tuduhan tidak Pancasilais, bahkan yang lebih tragis tuduhan subversif; suatu tuduhan yang tidak mencerminkan sikap demokratis sebenarnya, sehingga terciptra kondisi yang apatis di kalangan masyarkat, Jadinya, daya kreativitas dan daya kritisnya terhambat, akibatnya perasaan takut dan tidak percaya diri menyelimuti lapisan masyarakat banyak, terutama masyarakat kalangan bawah. Ini artinya bahwa rakyat dan bangsa Indonesia di era Orde Baru sangat lambat dalam mengejar perkembangan dan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti; pertumbuhan ekonomi yang merata, kualitas pendidikan yang bisa dibanggakan, kemajuan teknologi dan sebagainya, meskipun tidak dinafikan ada pencapaian signifikan di beberapa bidang, seperti antaranya; ketahanan dan stabilita politik nasional, keberhasilan dalam menekan tingkat laju pertumbuhan penduduk melalui kebijakan sistem KB Keluarga Berencana , suwasembada pangan, dan lain-lain. Tetapi keberhasilan Pemerintah Orde Baru dalam beberapa sektor pembangunan tersebut tidak dapat membawa Indonesia ke tingkat pencapaian yang membanggakan, tetap saja Indonesia tergolong negara yang lamban. Indonesia dalam banyak hal telah banyak ketinggalan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, seperti Singapura dan bahkan Malaysia, yang sama-sama bangsa serumpun, yaitu bangsa Melayu, apalagi dengan negara-negara lain di dunia Eropa, Amerika, Jepang dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan, justeru Pemerintah Orde Baru menunjukan keadaan yang bersebrangan, karena menggunakan pendekatan; Demokrasi Pancasila, yang berarti bahwa pelaksanaan Demokrasi sebagai sistem perpolitikan nasional mengacu pada nilai-nilai yang terkadung di dalam Pancasila. Memang dapat dimengerti bahwa dengan menjadikan idea ini sebagai dasar dan langkah politik rezim Orde Baru, bisa diambil kesimpulan bahwa Demokrasi Pancasila mewakili 209 Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 432, Lihat juga Bachtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998 , h. 47 329 pendekatan yang secara khusus sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks kehidupan keagamaan di Indonesoa, Pancasila pada dasarnya merupakan doktrin yang bertujuan untuk mengakomodasi kehidupan umat beragama yang berbeda-beda. Doktrin ini tidak hanya menawarkan agama sipil yang bersifat non sekular, tetapi juga tidak bersifat sektarian sebagai alternatif dari terbentuknya negara Islam. 210 Selama era Orde Baru, Pancasila diterima oleh umat Islam karena kompromi politik antar berbagai pihak. Ironisnya, di bawah otoritas kekuasaan Soeharto, baik disadari atau tidak, Pancasila Demokrasi Pancasilanya telah dijadikan alat untuk menjastifikasi hegemoni kekuasaannya. Idea yang berkembang dan dianggap bertentangan dengan Pancasila atau sikap yang dianggap menyimpang dari kehendak Pemerintah dengan cepat akan dituduh sebagai anti Pancasila tidak Pancasilais . Kemunculan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, dan oleh Pemerintah Orde Baru Demokrasi Terpimpin dianggap bertentangan dengan Pancasila, maka kemudian dimunculkan gagasan baru bernama “ Demokrasi Pancasila “. Pada awalnya Umat Islam khususnya, sangat antusias dan positif menyambut tampilnya Orde Baru dalam panggung perpolitikan Nasional karena ketegasannya terhadap paham Komunis dan PKI. Sikap tegas yang diperlihatkan Presiden Soeharto ini menjadikan rakyat Indonesia yang tidak sepaham dengan ideologi Komunis, terutama Umat Islam, sangat simpati karena memang sejak awal tidak sedikit dari Umat Islam berpartisipasi bersama Tentara Nasinal Indonesia khususnya dari kalangan Angkatan Darat dalam menumpas gerakan PKI yang dianggap terlah menghianati negara. Tetapi sayang, sambutan positif ini tidak berlangsung lama. Panggung perpolitikan nasional di masa Orde Baru didominasi oleh semanagat sekularisasi yang berimplikasi pada peminggiran Islam Politik marginalisasi Islam Politik dari arena perpolitikan nasional, selain terjadinya monopoli tafsir dan makna Pancasila oleh Pemerintah Orde Baru, yang kemudian digunakan sebagai alat untuk menumpas aspirasi Islam politik. 211 210 Frederik, dkk ed , Pemahaman Sejarah Indonesia, h. 400 211 Band. Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam Jakarta: Gema Insani, 2009 , h. 101 330 Demokrasi Pancasila faktanya hanya pembalut atau kemasan yang membungkus luka atau borok yang kronik. Demokrasi yang berdasarkan Pancasila sebenarnya tidak terrealisasi, yang direalisasikan justeru yang kontra dengan Demokrasi itu sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemberlakukan sistem pemerintahan yang otoriter oleh rezim Orde Baru, selain membudayanya masalah korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Oleh karena itu, ketika menjelang lengsernya rezim Orde Baru tahun 1998 akibat munculnya gelombang ketidak percayaan rakyat terhadap kredibelitas Pemerintah meledak bagaikan lahar yang muntah dari perut gunung tidak dapat dibendung. Hal ini sebagai akibat dari penggunaan Pancasila sebagai instrumen untuk menjastifikasi dan melegalisasi kekuasaan Orde baru. Hal ini terbukti ketika Pancasila sudah dianggap baku, tidak bisa diinterpretasikan oleh siapapun, kecuali oleh Badan tertentu seperti BP-7 , maka Pancasila tidak dapat dikaji ulang, seolah-olah seperti sesuatu yang sakral. Sebagai bentuk ideal, Pancasila harusnya terus dikaji dan direlevansikan dengan semangat zamannya, sehingga eksistensi Pancasila tetap diperlukan oleh anak bangsa pada setiap saat. Sebagai sebuah ideologi dan filsafat negara, Pancasila harus menjadi spirit dan orientasi bangsa, 212 sehingga Pancasila dapat dijadikan referensi dalam menetapkan langkah-langkah strategis dalam membangun bangsa dan negara ke depan. Sebuah realitas yang tidak dapat ditutup-tutupi, bahwa dikalangan siswa atau pelajar ada kecendrungan bahwa di antara mereka banyak yang tidak memahami apa itu Pancasila ?. Bahkan ada yang tidak tahu ururtan-urutan sila-sila Pancasila. Realitas ini setidaknya dapat kita saksikan di tayangan TV dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Dalam Negeri. Gejala ini memang diakui oleh banyak kalangan terjadi setelah era Reformasi, setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Hal ini karena muatan pendidikan berkaitan dengan Pancasila berkurang. Kondisi ini diperparah lagi oleh makin diabaikannya pendidikan pembangunan karakter siswa di sekolah dan bahkan di tingkat Universitas. Dalam hiruk pikuk dan kompleksitas permasalahan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila sebagai filsafat dan dasar negara kini di era Reformai disadari telah berada di ambang batas. 212 Lihat Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam Yogyakarta: Surya Raya, 2004 , h. VII 331 Sejarah panjang tentang perdebatan seputar dasar negara dalam rangka memperjuangkan untuk menggapai cita-cita bangsa Indonesia kini sampai pada kenyataan bahwa Pancasila masih jauh dari harapan, eksistensinya sempat dipertanyakan, dan barangkali digantikan dengan ideologi lain jika para pemimpin bangsa ini tidak peduli lagi dengan Pancasila. 14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia Sebagai sebuah konsensus nasional, Pancasila merupakan pandangan hidup way of life bangsa Indonesia yang terbuka dan bersifat dinamis. Sifat keterbukaan Pancasila dapat dilihat pada muatan Pancasila sebagai paduan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang plural dengan nilai-nilai yang bersifat universal 213 . Universalitas Pancasila dapat dilihat pada semangat sila-sila Pancasila yang tersusun dalam lima prinsip, yaitu; semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, semangat kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat persatuan Indonesia, semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hiknah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 214 . Namun demikian nilai-nilai ideal Pancasila sebagaimana dijelaskan di atas, telah tereduksi dan disalah gunakan oleh penguasa Orde Baru, terbukti Pancasila telah dijadikan alat untuk menekan suara kedaulatan rakyat dengan atas nama pembangunan nasional. Pemerintah Orde Baru juga telah melakukan penyeragaman tafsir atas Pancasila yang dibakukan dan dipelajari secara paksa melalui penataran P-4 dan pendidikan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi 215 . Anehnya pada saat yang sama pemerintah Orde Baru telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri; tindakan represif, korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalah gunaan wewenang di kalangan para pejabat pemerintahan sudah menjadi fenomena umum. Implikasi dari semuanya ini adalah munculnya sikap fobia antipati sebagian besar rakyat Indonesia atas Pancasila. Implikasi ini dapat dirasakan sampai saat kini. 213 Lihat A.Ubaedillah dan Abd. Rozak peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 23 214 Ibid. h. 23 215 Ibid. h. 23 332 Era Reformasi jelas mewarisi dampak negatif itu, akibatnya Pancasila terkesan tidak dipedulikan. Sepolah-olah Pancasila dinilai gagal sebagai dasar dan ideologi negara untuk menjadikan bangsa ini mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup sebagai layaknya manusia beradab. Walaupun faktanya begitu, selagi bangsa ini masih tetap memiliki komitmen tinggi terhadap Pancasila, maka Pancasila akan tetap ditempatkan pada posisinya sebagai dasar dan filsafat negara Indonesia. Sebagai sebuah karya luhur anak bangsa, Pancasila memang harus tetap ditempatkan pada kedudukan terhormat dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisinya sebagai dasar nilai dan pedoman bersama common platform untuk mewujudkan tujuan kesejahteraan bersama 216 . Dalam konteks sebagai dasar berbangsa dan bernegara, Pancasila tidak bisa digantikan oleh pandangan-pandangan sektarian manapun, yang berpotensi mengancam keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara kesatuan. Di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang kini tengah berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan, terkesan ada semacam ketidak beranian di kalangan masyarakat umum untuk mengemukakan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain sebagainya 217 . sepertinya tidak confidence jika berbicara tentang dasar-dasar kehidupan berbangsa tersebut. Ada semacam kekuatan kolektif dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi, maka ada rasa takut dicap tidak reformis. Memang di era Reformasi terkesan ada semacam alergi jika menyebut gagasan-gagasan tersebut di atas, karena semua itu pernah diwujudkan created di era Orde Baru yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter. Seolah-olah jika menyebut kembali dasar-dasar tersebut Pancasila, UUD-1945, dll. identik dengan orang Orde Baru 218 Padahal sebagai bangsa yang beradab tidak seharusnya bersikap seperti 216 Ibid. h. 24 217 Lihat Zaenal A.Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia Jakarta: DCSC Publishing, 2008 , h. 66 218 Pemerintah Orde Baru yang berlangsug selama kurang lebih 32 tahun dianggap telah banyak menyalah gunakan wewenang, KKN dan sebagainya. Sehingga memunculkan imej yang tidak menyenangkan, meskipun dalam beberapa aspek dianggap berhasil. 333 itu. Justeru dasar-dasar tersebut secara objektif harus didukung, bahkan terus dipelihara sampai kapanpun dalam rangka membangun kembali Indonesia di masa depan yang lebih baik. Memang tidak dapat dinafikan bahwa di era Orde Baru telah terjadi kesalahan-kesalahan fatal, tetapi tidak secara otomatik kesalahan-kesalahan itu menyangkut substansi materi dasar-dasar tersebut. Kesalahan-kesalahan tersebut sebenarnya terjadi pada tataran praktis atau pendekatan sebagai akibat dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan sisi positif dan negatif, atau kebijakan yang tidak didasarkan pada dasar pemikiran komprehensif. Hal ini terbukti bahwa Pancasila didoktrinasikan melalui penataran P-4 yang dilakukan secara paksa dan ancaman 219 , sehingga menjadi dogma yang harus diterima tanpa ada kritikan. Pada tataran inilah letak kesalahan, bukan pada substansi materi. Pancasila yang telah mendapatkan konsensus nasional untuk menjadi dasar negara Republik Indonesia adalah tetap menjadi sesuatu yang vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sikap fobia terhadap Pancasila seharusnya tidak ada pada rakyat dan bangsa Indonesia. Pancasila yang kurang mendapatkan perhatian serius di era Reformasi, memang bukannya tanpa alasan, karena ternyata beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional sepanjang era reformasi tidak pernah menempatkan Pancasila sebagai agenda prioritas. Para pemimpin sibuk bertengkar di tengah kecamuk konflik dan upaya mempertahankan kekuasaanya 220 . Sementara Demokrasi yang baru mekar karena mendapatkan momentumnya di era Reformasi dimaknai secara sepihak. Padahal sejatinya Demokrasi merupakan cara atau pola menuju pencapaian nasional interes. Demokrasi sepanjang era Reformasi diakui oleh sebagian kalangan lebih sering menampakan sisi kelamnya dengan berbagai benturan kepentingan jangka pendek di 219 Penulis mengalami sendiri ancaman ini, sewaktu belajar di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia sekitar tahun-tahun 1982 – 1988. Rezim Orde Baru melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jeddah waktu itu KBRI belum pindah ke Riyadh memaksa Mahasiswa-Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pelajar Indonesia PPI Saudi Arabia, harus mengikuti penataran P-4. Jika tidak, maka urusan-urusan berkaitan pasport tidak akan dilayani, bahkan yang labih parah lagi ada introgasi yang menyatakan; Apakah kamu orang Indonesia ? atau orang Islam ? 220 Lihat Zaenal A. Budiyanto, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67 334 kalangan elite politik 221 . Jika memang demikian kondisinya, tidak salah kalau ada kesimpulan bahwa Pancasila kurang mendapat perhatian serius di era Reformasi. Pada tahun 1955 hingga 1959 telah terjadi perdebatan sengit dalam Badan Konstituante tentang ideologi dan bentuk negara yang compatible dengan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Para pemimpin Islam meyakini bahwa dasar Islam adalah sesuai untuk menjadi kekuatan ideal pemersatu sebgai fondasi berbangsa dan bernegara, karena memang diakui bahwa Islam sudah menjadi pandangan hidup yang mewarnai kehidupat umat Islam Indonesia semenjak beberapa abad yang lalu, dan hal ini dibuktikan dengan berdirinya pemerintahan yang dalam bentuk Kesultanan tersebar di berbagai wilayah. Sementara kaum Sosialis bersikeras ingin menjadikan Marxisme – Leninisme sebagai model dasar kehidupan berbangsa dan bernegara 222 . Mereka menghendaki paham Komunis sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi pada akhirnya Pancasila muncul kembali sebagai satu-satunya jalan tengah 223 untuk mengatasi kebuntuan perdebatan tentang dasar negara tersebut. Kemudian sekali lagi Pancasila berhasil menjadi dasar dan ideologi negara. Di bawah Pancasila, para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan dengan rukun dan harmonis. 224 Suatu realitas yang tidak dapat dinafikan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang plural, walau bagaimanapun bangsa Indonesia harus terus berupaya untuk melakukan upaya-upaya strategis dalam rangka memastikan agar Pancasila tetap menjadi dasar atau fondasi yang dapat mengakomodasi semua perbedaan-perbedaan yang ada.

15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisasi

Ideologi Nasional memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dan strategis dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 221 Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 67 222 Pada waktu itu Uni Soviet sekarang Republik Rusia menjadi model kesuksesan para penganut aliran Komunis. Bung Karno sendiri mengkagumi Uni Soviet. 223 Lihat Zaenal A. Budiyono, Demokrasi Bukan Basa Basi, Langkah SBY Mengawal Demokrasi dan Mengembalikan Indonesia ke Orbit Dunia, h. 66 224 Lihat Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa Jakarta: Belantika, 2005 , h. 11 - 12 335 Diskursus ini sangat penting karena pada saat ini, terutama di era Reformasi banyak kalangan tidak mau berbicara tentang hal-hal terkait dengan Pancasila. Hal ini dapat dimengerti karena kesalahan-kesalahan di masa lalu di era Orde Baru, baik disengaja ataupun tidak, para penguasa kerap kali menjadikan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan sesaat, maka tidak heran jika saat ini orang alergi atau meresa tidak confidence percaya diri jika berbicara Pancasila. Pancasila sebagai Dasar Negara dianggap gagal membangun bangsa di masa lalu. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan membahayakan keutuhanan integrasi Nasional. Oleh karenanya harus ada upaya-upaya refreshing dalam rangka merevitalisasi makna dan implementasi, serta memastikan pendekatan-pendekatan baru yang lebih efektif bagi penguatan ideologi Pancasila, agar Pancasila sebagai ideologi Nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tetap eksis dan semakin kuat jika kita ingin melihat Indonesia ke depan tampil sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI tetap wujud selamanya di bumi persada Nusantara. 15.a. Fakta dan Pengembangan Ideologi Pancasila Pancasila yang sudah menjadi konsensus Nasional sejak 18 Agustus 1945 mengandung nilai dan gagasan dasar, dan oleh karenanya dinyatakan sebagai ideologi Nasional. Nilai dan gagasan dasar tersebut pada hakikatnya telah terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebagai sikap, perilaku dan kepribadian yang sudah menjadi turun temurun dari generasi ke generasi. Pancasila sebagai ideologi Nasional bersifat khas berlaku bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu di era Globalisasi seperti saat ini, dengan munculnya berbagai persaingan ideologi dunia yang memasuki Indonesia, seperti Kapitalisme, Sosialisme dan sebagainya, agar Pancasila tetap eksis dan tidak terjadi kebekuan dan kaku, maka perlu ada upaya-upaya terobosan baru. Sebuah ideologi yang baik dan dapat memelihara kerelevansianya dari waktu ke waktu agar tetap sesuai dengan ruang dan waktu yang selalu berubah dan tahan uji terhadap persaingan berbagai ideologi dunia, serta dapat menyerap berbagai aspirasi masyarakatnya yang selalu mengalami dinamisasi dari waktu ke waktu, maka ideologi harus memiliki tiga dimensi dasar, yaitu;