Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawarata perwakilan

325 sistem filsafat. 206 Penulis juga melihat demikian; bahwa Pancasila memang merupakan filsafat kenegaraan yang dijadikan dasar bagi negara Republik Indonesia, karena Pancasila hasil dari hikmah wisdom , kebijaksanaan, kearifan, dan ini sebagai ciri umum filasafat. Bahkan K.H. Saefuddin Zuhri mantan Menteri Agama di era Orde Lama menegaskan; Pancasila itu disebut sebagai filsafat nasional modern 207 . Dari sisi lain tinjauan Pancasila sebagai filsafat kenegaraan secara metodologis akan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran kritis yang dapat membuka perspektif bangsa Indonesia berpandangan rasional, luas dan terbuka. Dengan aktivitas-aktivitas filsafat, ideologi Pancasila dapat terhindar dari pembekuan dan sikap otoriter atau pemikiran irrasional. Jadi, sifat filsafati yang melekat pada Pancasila menjadikannya ideologi yang dinamis dan fleksibel sesuai dengan tuntutan hidup manusia Indonesia yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Namun demikian, hal ini tergantung pula pada kesediaan manusia-manusia Indonesia untuk senantiasa tanggap dan cermat terhadap berbagai situasi dan kondisi yang selalu berubah. Apakah bangsa dan rakyat Indonesia senantiasa siap menghadapi perubahan-perubahan dengan tetap berpijak pada ideologi Pancasila ?. Jawabannya tentu saja; Pancasila harus menjadi world view dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada bangsa ini, agar tidak kehilang arah dan identidas kebangsaannya, dan tidak terombang ambing oleh berbagai arus gelombang yang datang menerpa pada saat apa saja dan kapan saja.

13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa

Filsafat kenegaraan sebuah negara memiliki peranan yang sangat vital dalam mengkonstruksi dasar aturan atau undang-undang dasar konstitusi . Namun dasar aturan atau undang-undang dasar tersebut secara politis harus sejalan dengan kebutuhan dan aspirasi rakyatnya sesuai dengan tuntutan situasi yang selalu berubah dari waktu ke waktu 208 , karena filsafat kenegaraan tersebut bukan untuk kepentingan 206 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, h. 454 207 Saefuddin Zuhri, Kaleidoskop Politik Indonesia Jakarta: PT. Gunung Agung, 1981 , h. 51 208 Faisal Baasir, Etika Politik Pandangan Seorang Politisi Muslim Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003 , h. 36