Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila
351 g. Mengharuskan manusia menikmati keindahan, dan dengan
sendirinya akan melenyapkan segala keburukan
252
. Dengan begitu, menurut Moh. Hatta; sila Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi dasar yang dapat mengarahkan cita-cita kenegaraan untuk menyelenggarakan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan rakyat dan
bangsa Indonesia
253
, seperti yang digagas oleh Plato dan Aristoteles; en dam onia atau the good life, orang Indonesia bilang; gemah ripah
loh jinawi
254
, maka atas dasar pemikiran ini Moh. Hatta menegaskan; politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Oleh karena itu
dalam tataran praktis sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sebatas wujudnya hormat menghormati antara sesama pemeluk agama,
melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan panduan yang memberikan arah ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan
persaudaraan. Negara dengan demikian, menurut Moh. Hatta lagi mendapatkan fondasinya yang kuat
255
. Hal ini sesuai dengan pandangan D. Chairat yang menyatakan bahwa negara kita mempunyai
dasar-dasar pertahanan yang kuat dengan komitmen dan berlandaskan Ketuhanan
256
. Tetapi itu semua bergantung pada political will elite negara dan perilaku para politisinya. Jika tidak, semuanya hanya sebatas
gagasan-gagasan yang tidak bermakna. D. Chairat selanjutnya menyatakan; mempercayai Tuhan; Tuhan
yang menjadikan langit da bumi, Tuhan yang menguasai alam semesta, maka seluruh gerak negara tetap berlindung di bawah rahmat Tuhan
257
. Fakta menunjukan bahwa sejak perjuangan rakyat Indonesia 17 Agustus
1945 dalam menghadapi berbagai seragan dahsyat, selamanya kata D. Chairat, kita minta perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
konteks ini D. Chairat menyatakan bahwa kita belum dapat melupakan rangkaian sejarah pada hari Pahlawan 10 November 1945 di mana
tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk
252
Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila Pidato Peringatan Lahirnya Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta: Inti Idayu
Press, 1978 , h. 29
253
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h, 28
254
Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008 ,
edisi revisi, h. 13
255
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h. 28
256
Lihat. D. Chairat, Filsafat Pancasila Jakarta: wijaya, 1955 , h. 8
257
Ibid.
352 menyerah. Di saat itulah perjuangan bangsa Indonesia dikomandokan
dengan kalimat “ Allahu Akbar “; Tuhan Maha Besar
258
. Berdasarkan kenyataan di atas dapat difahami bahwa betapa
tingginya hal yang menyangkut Ketuhanan sebagai landasan moral, karena itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa diletakan pada posisi pertama
259
dalam susunan Pancasila. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muh. Yamin; Jika diartikan lebih tegas, maka ajaran Pancasila tentang
sila Ketuhanan adalah semata-mata urusan negara. Para founding fathers negara Republik Indonesia sejak awal telah menyadari bahwa bangsa
Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang religius, pemeluk agama. Sejarah membuktikan bahwa agama-agama yang masuk ke wilayah
Nusantara
berproses dan
penuh damai,
sehingga antara
pemeluk-pemeluk agama yang berbeda dapat hidup harmonis dan penuh toleransi
260
. Oleh karenanya kehidupan keagamaan yang harmonis ini harus dipelihara dari waktu ke waktu, meskipun sesekali terjadi
gesekan-gesekan atau benturan-benturan antara sesama pemeluk agama yang berbeda. Hal ini bisa saja terjadi karena adanya
perbedaan-perbedaan ideologi, ritual ibadah, adat istiadat dan sebagainya. Namun demikian, yang penting bagaimana mengatasi
persoalan-persoalan tersebut secara efektif sehingga tetap tercipta kesatuan dan persatuan Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Indonesia tidak disebut negara
teokrasi
261
. Hal ini seperti ditegaskan Soeharto Presiden RI ke 2 ; Negara kita bukanlah negara agama, bukan negara yang mendasarkan
pada agama tertentu
262
. Karena sistem pemerintahannya didasarkan
258
Ibid.
259
Soekrno dan Muh. Yamin ketika menyampaikan gagasannya tentang dasar negara pada sidang pertama BPUPKI, Kedua-dua tokoh ini tidak meletakan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa pada kedudukan yang pertama, tetapi hasil rumusan Panitia Sembilan meletakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama sampai
tingkat pengesahan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945.
260
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110
261
Teokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan agama tertentu secara mutlak, di mana para tokoh agamawan mengendalikan pemerintahan sekaligus.
Berdasarkan kajian sejarah, menurut A. Zaki Badawi sistem Pemerintahan Teokrasi selalunya terjadi konflik karena perbedaan kecendrungan, baik dalam aspek filsafat,
demokrasi atau dalam kebijakan dan sebaganya. Lihat. A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Sciences Beirut: Librairie Du Liban, 1978 , h. 424
262
Lihat Soeharto, Pandangan Presiden soeharto Tentang Pancasila, h. 27
353 pada kedaulatan rakyat, yaitu; sistem pemerintahan berparlemen.
Seperti juga ditegaskan Muh. Yamin; Dalam konstitusi ditegaskan bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat
263
. Meskipun Indonesia bukan negara teokrasi, tetapi Indonesia tetap memberi jamina kebebasan
beragama dan beribadah kepada seluruh rakyat sesuai dengan agama yang dianut. Hal ini sebagaimana ditandaskan di dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 29, Ayat 2 berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk
untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu. Umat Islam, termasuk umat agama-agama lain, dengan menjalankan ajaran-ajaran agamanya pada dasarnya telah
merealisasikan nilai-nilai Pancasila pada tataran praktis. 2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke-Tuhanan
Dalam konteks ini Muh. Yamin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah ber-Tuhan, yaitu;
Tuhan Yang Tunggal
264
. Berdasarkan pernyataan ini dapat dimengerti bahwa negara Indonesia didasarkan pada kepercayaan atau keimanan
kepada Tuhan Yang Esa; Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu Allah Yang Ahad menurut faham Islam . Oleh karena itu D. Chairat
265
menegaskan; hanya negara Indonesia yang tegas-tegas menyebutkan di dalam Undang-Undang Dasarnya bahwa negara di dasarkan kepada
Ketuhanan
266
. Haji Agoes Salim, seperti juga Muh. Yamin adalah para pelaku sejarah yang turut aktif membidani kemerdekaan Indonesia dan
turut pula memproses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, sungguh mereka telah memahami bahwa yang dimaksud dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Allah Yang Tunggal. Dalam hubungan ini Agoes Salim menegaskan;
…… saya ingat betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa itu kita maksudkan akidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan
263
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110
264
Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110
265
Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 8
266
D. Chairat barangkali tidak mengikuti perkembangan negara lain, Malaysia antaranya yang berdasarkan lima rukun negara. Rukun pertama adalah
Ketuhanan.
354 tanah air suatu hak yang diperoleh dari rahmat Tuhan Yang
Maha Esa dengan ketentuan-Nya yang dilaksanakan-Nya pada ketika masanya menurut kehendak-
Nya ….. maka pastilah bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pokok yang
terutama mengepalai menjadi permulaan Pancasila kita sebagai pernyataan akidah
267
. Apa yang tersirat dalam pemikiran Haji Agoes Salim terkait
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan sebagaimana yang difahami di dalam Akidah Tauhid, yaitu Allah Ta`ala. Sejalan dengan
pandangan ini Hazairin menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai terjemahan dari pengertian “ Allahu Al-Wahidu al-Ahad “
yang disalurkan Al-Qur`an, 2:173 dan dizikirkan dalam do`a Kanzu al-Arasy baris 17. Oleh itu, Hazairin dengan penuh yakin bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa bukan dari pihak Nasrani atau dari Hindu atau pun dari pihak Timur Asing yang aktif mengikuti sidang-sidang
yang bertugas menyusun UUD 1945. Tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa hanya mampu dilahirkan oleh otak dan kebijakan orang Indonesia
Islam
268
. Lebih jauh Departemen Agama sekarang Kementrian Agama
RI menegaskan bahwa jelas ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran Tauhid dalam teologi Islam,
dan jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang kedudukannya sebagai prima causa atau sebab pertama itu sejalan dengan beberapa
ajaran tauhid Islam, yaitu; ajaran tentang Tauhid al-Sifat dan Tauhid al-Af`al. Dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam Zat-Nya,
Sifat-Nya dan Af`al-Nya
269
. Dalam istilah lain yang selalu dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya ialah tauhid
Uluhiyah, tauhid Rububiyah dan tauhid al-Asma wa al-Sifat
270
. Pengertian Esa dalam konteks ini ialah tunggal, tidak ada duanya.
267
Lihat, Haji Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa Jakarta: Bulan Bintang, 1977 , h. 13-14
268
Hazairin, Piagam Jakarta, Demokrasi Pancasila Jakarta: Tintamas, 1970 , h. 58
269
Lihat, Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The History and The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of
Indonesia Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975 , h. 11
270
Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa Ibnu Taimiyah Qahirah: Idarah al-Masahah al-`Ashriyyah, 1404 H. . Jld. 1, h. 22
355 Ke-Esaan Allah, artinya bahwa segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada-Nya adalah tunggal. Berdasarkan uraian di atas dapat difahami bahwa yang dimaksud
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Yang Maha Esa. Oleh karena itu setiap warga Indonesia dan terutamanya umat Islam yang
menjadikan Pancasila sebagai dasar negara harus benar-benar ber-Tuhan dengan dibuktikan ketaatan atas segala perintah-Nya, yang secara
otomatik akan diikuti dengan ketaatan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad saw. . Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan
dibuktikan
melaksanakan semua
perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya disebut takwa.
Deskripsi tentang faham Ketuhanan di atas jelas itu berdasarkan ajaran Islam. Tetapi, ini tidak berarti bahwa faham Ketuhanan dalam
Pancasila adalah satu-satunya faham yang identik dengan doktrin Islam sebagaimana difahami dalam akidah tauhid. Faham Ketuhanan yang
dalam redaksinya dibuat secara umum diterima oleh umat-umat agama lain selain umat Islam
271
. Pemeluk agama-agama di Indonesia sama-sama mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi yang berbeda
adalah dari aspek pendekatan atau cara memahami Ketuhanan itu sendiri, maka subtansi pengertian Ketuhanan akan difahami berbeda
sesuai dengan keyakinan dan doktrin masing-masing agama. Faham Ketuhanan dalam Kristen faham Trinitas
272
. Yaitu faham bahwa Tuhan itu Esa tapi memiliki tiga oknum; Tuhan Bapak Father , Tuhan Anak
Lord dan Roh Kudus The Holy Spirit . Ketiga-tiganya adalah satu
273
. Begitu juga faham Ketuhanan dalam Hinduisme
– Budhisme yang didasarkan pada paham Trimurti. Yaitu; faham yang mempercayai
Tuhan Esa tapi beroknum tiga seperti faham Ketuhanan dalam Kristen
271
Agama-agama di Indonesia dan diakui eksistensinya oleh negara berdasarkan Surat Keputusan bersama Mendagri No. 477 740 SS4 tanggal 18
November 1979, Surat Menteri Agama No. B-VI 112 15 1978 tanggal 18 Oktober 1978 dan Surat Menteri Agama No. MA 650 1979 tanggal 28 Desember 1979,
adalah Agama Islam, Kristen Katholik, Protestan, Hindu dan Budha.
272
Paham Ketuhanan Trinitas dalam Kristen terdapat banyak kesamaan dengan paham Ketuhanan Trinitas dalam Hinduisme
– Budhisme, termasuk cerita-cerita tentang Jesus yang hampir sama dengan Krisna lahir 3000 th. SM. yang
dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Lihat, O. Hashem, Pembahasan Ilmiah Tentang Ke-Esaan Tuhan, h. 17 dan 24
273
Ibid. h. 17
356 , yaitu; Brahma, Wisnu dan Syiwa
274
. Dengan demikian, faham Ketuhanan versi agama Kristen dan Hindu-Budha adalah suatu faham
yang meyakini bahwa Tuhan itu Esa, tetapi beroknum tiga. Di sinilah titik perbedaan faham dengan Islam. Walaupun itu berbeda dalam
pendekatan atau cara dalam memahami tentang Ketuhanan, tetapi toleran dalam kehidupan keberagaman. Di sinilah kunci keberhasilan
dalam membangun kehidupan umat beragama yang plural.
Berdasarkan analisis tentang faham Ketuhanan dari beberapa agama di atas, dapat ditegaskan bahwa bangsa Indonesia dengan
berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa harus beragama, karena bangsa yang be-Tuhan pada dasarnya adalah bangsa yang religius, maka
bangsa Indonesia yang beragama adalah bangsa yang taat agama. Dalam arti bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk
melaksanakan ajaran agama, baik perintahnya atau larangannya. Dengan demikian, bangsa Indonesia disebut bangsa yang ber-Tuhan. Jika hal ini
telah terealisasi dalam tataran kehidupan praktis, berarti bangsa Indonesia sudah merealisasikan nilai-nilai ajaran Pancasila itu sendiri.
Realitas bahwa bangsa Indonesia ber-Tuhan dalam pengertian beragama , konsekuensinya bahwa negara tidak mengakui warga yang
tidak beragama. Oleh karena itu sebagian rakyat Indonesia yang menganut ideologi Komunis dan merealisasikannya dalam tataran
kehidupan praktis, secara konstitusional telah melakukan tindakan yang bertentangan, dan dengan sendirinya tereliminasi dari bumi
Indonesia karena pada dasarnya mereka tidak ber-Tuhan, Tuhan menurut mereka telah lama mati dan agama dianggap candu bagi rakyat.
3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik
Konsep ketakwaan dalam pembahasan ini sebagai konsekuensi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sebenarnya
takwa itu sebagai perwujudan dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu. Iman merupakan aktivitas hati dan pemikiran, bersifat
abstrak. Sementara takwa merupakan aktivitas anggota badan dapat dilihat oleh mata, oleh karenanya bersifat zahiriyah lahir . Takwa
dalam arti melaksanakan segala perintah Tuhan Allah dan meninggalkan semua yang dilarang
275
, maka takwa berhubung kait
274
Ibid. h. 17
275
Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur`an Al-`Azim T.Tmpt: T.Pnbt, 1993 1414 H. , Juz 1, h. 42-43
357 dengan tindakan-tindakan lahiriah, sedangkan iman berhubung kait
dengan keyakinan di dalam hati. Oleh karena itu, takwa sebagi manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu.
Dengan demikian takwa dapat dilihat, dan apa yang terlihat mengindikasikan apa yang ada di dalam jiwa. Atas dasar ini iman dan
takwa tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan umat beragama.
Kekuatan iman kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa akan melahirkan kekuatan internal yang dapat menghalang keinginan hawa
nafsu yang membawa kehancuran dan kebinasaan
276
. Ini berarti bahwa seseorang yang memiliki keimanan yang kuat akan muncul di
dalam dirinya proteksi interternal internal protection , maka dari sini akan muncul sikap ikhlas dan tanggung jawab yang sebenarnya,
sehingga dalam melaksanakan kerja di mana saja dan kapan saja akan didasarkan pada kesedaran dan tanggung jawab. Jika hal di lakukan
secara kolektif, akan melahirkan kebersamaan. Kesatuan di kalangan umat atau bangsa akan melahirkan kesamaan pandangan, kesepakatan
kata dan kebersamaan gerak. Oleh itu, keimanan dan ketakwaan dapat dilihat pada perilaku positif pada seseorang yang bersangkutan. Dengan
berpegang teguh pada keimanan dan mengaplikasikan ketakwaan sebenar-benarnya akan melahirkan sikap dan perilaku saleh pada diri
setiap individu dan masyarakat yang bersangkutan, maka akan lahir hal-hal yang positif, antarany;
a. Setiap ucapan yang keluar dari mulut orang yang bersangkutan tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menyakiti orang
lain, tidak gemar berbohong, pendek kata tidak meucapkan ucapan-ucapan negatif.
b. Sikap dan
perilakunya senantiasa
memperlihatkan kesederhanaan, bertimbang rasa, rela berkorban, mencerminkan
keteladanan dan tindakan-tindakan lain yang baik. Ucapan dan perilaku positif sebagaimana dijelaskan di atas, pada
dasarnya berhubung kait dengan interaksi dalam pergaulan hidup yang melahirkan karakter bangsa yang baik, mencerminkan seseorang yang
baik. Karakter yang baik ini hanya dimungkinkan lahir dari seseorang yang berakhlak mulia, tanpa akhlak dan moral yang baik tidak mungkin
akan lahir ucapan dan perilaku yang baik. Oleh karenanya, agar interaksi antara sesama masyarakat baik, maka interaksi tersebut harus
276
Muhammad Abdullah Darraz, al-Din Buhuts Mumahhidah Li Dirasat Tarikh al-Adyan Beirut: Dar al-Kutub, 1970 , h. 100
358 berlandaskan akhlah atau moral yang baik, sebagaimana diatur di dalam
ajaran agama, sebab pelaksanaan ajaran agama terkait dengan akhlak yang mengatur bagaimana interaksi pergaulan hidup baik, bukan saja
bertujuan agar masyarakat menjadi baik secara individual, tetapi bahkan berimplikasi pada kebaikan sosial yang berujung pada terciptanya
kondisi negara yang baik.
Berdasarkan penjelasan di atas terkait ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat ditegaskan bahwa inti dari pengakuan kepada
Tuhan Yang Maha Esa adalah agar dapat mencerminkan sifat bangsa Indonesia yang meyakini bahwa ada kehidupan lain di masa nanti
setelah kehidupan di dunia sekarang ini, yaitu kehidupan di akhirat. Kehidupan di akhirat bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa
adalah lebih baik dari pada kehidupan di dunia sekarang ini.
277
Hal inilah sebenarnya yang menjadi motivasi untuk mengejar nilai-nilai
luhur dengan meningkatkan aktivitas-aktivitas yang baik berdasarkan ajaran agama, maka seseorang yang bayak beramal saleh tidak saja akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia, tetapi juga dia akan mendapat kebahagiaan di akhirat nanti.