Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila

351 g. Mengharuskan manusia menikmati keindahan, dan dengan sendirinya akan melenyapkan segala keburukan 252 . Dengan begitu, menurut Moh. Hatta; sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar yang dapat mengarahkan cita-cita kenegaraan untuk menyelenggarakan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia 253 , seperti yang digagas oleh Plato dan Aristoteles; en dam onia atau the good life, orang Indonesia bilang; gemah ripah loh jinawi 254 , maka atas dasar pemikiran ini Moh. Hatta menegaskan; politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Oleh karena itu dalam tataran praktis sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sebatas wujudnya hormat menghormati antara sesama pemeluk agama, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan panduan yang memberikan arah ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan demikian, menurut Moh. Hatta lagi mendapatkan fondasinya yang kuat 255 . Hal ini sesuai dengan pandangan D. Chairat yang menyatakan bahwa negara kita mempunyai dasar-dasar pertahanan yang kuat dengan komitmen dan berlandaskan Ketuhanan 256 . Tetapi itu semua bergantung pada political will elite negara dan perilaku para politisinya. Jika tidak, semuanya hanya sebatas gagasan-gagasan yang tidak bermakna. D. Chairat selanjutnya menyatakan; mempercayai Tuhan; Tuhan yang menjadikan langit da bumi, Tuhan yang menguasai alam semesta, maka seluruh gerak negara tetap berlindung di bawah rahmat Tuhan 257 . Fakta menunjukan bahwa sejak perjuangan rakyat Indonesia 17 Agustus 1945 dalam menghadapi berbagai seragan dahsyat, selamanya kata D. Chairat, kita minta perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam konteks ini D. Chairat menyatakan bahwa kita belum dapat melupakan rangkaian sejarah pada hari Pahlawan 10 November 1945 di mana tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk 252 Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila Pidato Peringatan Lahirnya Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta: Inti Idayu Press, 1978 , h. 29 253 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h, 28 254 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008 , edisi revisi, h. 13 255 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h. 28 256 Lihat. D. Chairat, Filsafat Pancasila Jakarta: wijaya, 1955 , h. 8 257 Ibid. 352 menyerah. Di saat itulah perjuangan bangsa Indonesia dikomandokan dengan kalimat “ Allahu Akbar “; Tuhan Maha Besar 258 . Berdasarkan kenyataan di atas dapat difahami bahwa betapa tingginya hal yang menyangkut Ketuhanan sebagai landasan moral, karena itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa diletakan pada posisi pertama 259 dalam susunan Pancasila. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muh. Yamin; Jika diartikan lebih tegas, maka ajaran Pancasila tentang sila Ketuhanan adalah semata-mata urusan negara. Para founding fathers negara Republik Indonesia sejak awal telah menyadari bahwa bangsa Indonesia sejak dahulu adalah bangsa yang religius, pemeluk agama. Sejarah membuktikan bahwa agama-agama yang masuk ke wilayah Nusantara berproses dan penuh damai, sehingga antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda dapat hidup harmonis dan penuh toleransi 260 . Oleh karenanya kehidupan keagamaan yang harmonis ini harus dipelihara dari waktu ke waktu, meskipun sesekali terjadi gesekan-gesekan atau benturan-benturan antara sesama pemeluk agama yang berbeda. Hal ini bisa saja terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan ideologi, ritual ibadah, adat istiadat dan sebagainya. Namun demikian, yang penting bagaimana mengatasi persoalan-persoalan tersebut secara efektif sehingga tetap tercipta kesatuan dan persatuan Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Indonesia tidak disebut negara teokrasi 261 . Hal ini seperti ditegaskan Soeharto Presiden RI ke 2 ; Negara kita bukanlah negara agama, bukan negara yang mendasarkan pada agama tertentu 262 . Karena sistem pemerintahannya didasarkan 258 Ibid. 259 Soekrno dan Muh. Yamin ketika menyampaikan gagasannya tentang dasar negara pada sidang pertama BPUPKI, Kedua-dua tokoh ini tidak meletakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada kedudukan yang pertama, tetapi hasil rumusan Panitia Sembilan meletakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada urutan pertama sampai tingkat pengesahan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945. 260 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 261 Teokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan agama tertentu secara mutlak, di mana para tokoh agamawan mengendalikan pemerintahan sekaligus. Berdasarkan kajian sejarah, menurut A. Zaki Badawi sistem Pemerintahan Teokrasi selalunya terjadi konflik karena perbedaan kecendrungan, baik dalam aspek filsafat, demokrasi atau dalam kebijakan dan sebaganya. Lihat. A. Zaki Badawiy, A Dictionary of The Social Sciences Beirut: Librairie Du Liban, 1978 , h. 424 262 Lihat Soeharto, Pandangan Presiden soeharto Tentang Pancasila, h. 27 353 pada kedaulatan rakyat, yaitu; sistem pemerintahan berparlemen. Seperti juga ditegaskan Muh. Yamin; Dalam konstitusi ditegaskan bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat 263 . Meskipun Indonesia bukan negara teokrasi, tetapi Indonesia tetap memberi jamina kebebasan beragama dan beribadah kepada seluruh rakyat sesuai dengan agama yang dianut. Hal ini sebagaimana ditandaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29, Ayat 2 berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Umat Islam, termasuk umat agama-agama lain, dengan menjalankan ajaran-ajaran agamanya pada dasarnya telah merealisasikan nilai-nilai Pancasila pada tataran praktis. 2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke-Tuhanan Dalam konteks ini Muh. Yamin menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah ber-Tuhan, yaitu; Tuhan Yang Tunggal 264 . Berdasarkan pernyataan ini dapat dimengerti bahwa negara Indonesia didasarkan pada kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan Yang Esa; Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu Allah Yang Ahad menurut faham Islam . Oleh karena itu D. Chairat 265 menegaskan; hanya negara Indonesia yang tegas-tegas menyebutkan di dalam Undang-Undang Dasarnya bahwa negara di dasarkan kepada Ketuhanan 266 . Haji Agoes Salim, seperti juga Muh. Yamin adalah para pelaku sejarah yang turut aktif membidani kemerdekaan Indonesia dan turut pula memproses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945, sungguh mereka telah memahami bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Allah Yang Tunggal. Dalam hubungan ini Agoes Salim menegaskan; …… saya ingat betul bahwa di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu, bahwa dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan akidah, kepercayaan agama dengan kekuatan keyakinan, bahwa kemerdekaan bangsa dan 263 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 264 Muh. Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, h. 110 265 Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila, h. 8 266 D. Chairat barangkali tidak mengikuti perkembangan negara lain, Malaysia antaranya yang berdasarkan lima rukun negara. Rukun pertama adalah Ketuhanan. 354 tanah air suatu hak yang diperoleh dari rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ketentuan-Nya yang dilaksanakan-Nya pada ketika masanya menurut kehendak- Nya ….. maka pastilah bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pokok yang terutama mengepalai menjadi permulaan Pancasila kita sebagai pernyataan akidah 267 . Apa yang tersirat dalam pemikiran Haji Agoes Salim terkait dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan sebagaimana yang difahami di dalam Akidah Tauhid, yaitu Allah Ta`ala. Sejalan dengan pandangan ini Hazairin menegaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai terjemahan dari pengertian “ Allahu Al-Wahidu al-Ahad “ yang disalurkan Al-Qur`an, 2:173 dan dizikirkan dalam do`a Kanzu al-Arasy baris 17. Oleh itu, Hazairin dengan penuh yakin bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan dari pihak Nasrani atau dari Hindu atau pun dari pihak Timur Asing yang aktif mengikuti sidang-sidang yang bertugas menyusun UUD 1945. Tetapi Ketuhanan Yang Maha Esa hanya mampu dilahirkan oleh otak dan kebijakan orang Indonesia Islam 268 . Lebih jauh Departemen Agama sekarang Kementrian Agama RI menegaskan bahwa jelas ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran Tauhid dalam teologi Islam, dan jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang kedudukannya sebagai prima causa atau sebab pertama itu sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, yaitu; ajaran tentang Tauhid al-Sifat dan Tauhid al-Af`al. Dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam Zat-Nya, Sifat-Nya dan Af`al-Nya 269 . Dalam istilah lain yang selalu dikemukakan Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya ialah tauhid Uluhiyah, tauhid Rububiyah dan tauhid al-Asma wa al-Sifat 270 . Pengertian Esa dalam konteks ini ialah tunggal, tidak ada duanya. 267 Lihat, Haji Agoes Salim, Ketuhanan Yang Maha Esa Jakarta: Bulan Bintang, 1977 , h. 13-14 268 Hazairin, Piagam Jakarta, Demokrasi Pancasila Jakarta: Tintamas, 1970 , h. 58 269 Lihat, Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia, The History and The Role of The Department of Religious Affairs of The Republic of Indonesia Jakarta: Burean of Public Relation, Department of Religious Affairs, 1975 , h. 11 270 Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu` Fatawa Ibnu Taimiyah Qahirah: Idarah al-Masahah al-`Ashriyyah, 1404 H. . Jld. 1, h. 22 355 Ke-Esaan Allah, artinya bahwa segala sesuatu yang dinisbatkan kepada-Nya adalah tunggal. Berdasarkan uraian di atas dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Yang Maha Esa. Oleh karena itu setiap warga Indonesia dan terutamanya umat Islam yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara harus benar-benar ber-Tuhan dengan dibuktikan ketaatan atas segala perintah-Nya, yang secara otomatik akan diikuti dengan ketaatan kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad saw. . Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dengan dibuktikan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya disebut takwa. Deskripsi tentang faham Ketuhanan di atas jelas itu berdasarkan ajaran Islam. Tetapi, ini tidak berarti bahwa faham Ketuhanan dalam Pancasila adalah satu-satunya faham yang identik dengan doktrin Islam sebagaimana difahami dalam akidah tauhid. Faham Ketuhanan yang dalam redaksinya dibuat secara umum diterima oleh umat-umat agama lain selain umat Islam 271 . Pemeluk agama-agama di Indonesia sama-sama mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi yang berbeda adalah dari aspek pendekatan atau cara memahami Ketuhanan itu sendiri, maka subtansi pengertian Ketuhanan akan difahami berbeda sesuai dengan keyakinan dan doktrin masing-masing agama. Faham Ketuhanan dalam Kristen faham Trinitas 272 . Yaitu faham bahwa Tuhan itu Esa tapi memiliki tiga oknum; Tuhan Bapak Father , Tuhan Anak Lord dan Roh Kudus The Holy Spirit . Ketiga-tiganya adalah satu 273 . Begitu juga faham Ketuhanan dalam Hinduisme – Budhisme yang didasarkan pada paham Trimurti. Yaitu; faham yang mempercayai Tuhan Esa tapi beroknum tiga seperti faham Ketuhanan dalam Kristen 271 Agama-agama di Indonesia dan diakui eksistensinya oleh negara berdasarkan Surat Keputusan bersama Mendagri No. 477 740 SS4 tanggal 18 November 1979, Surat Menteri Agama No. B-VI 112 15 1978 tanggal 18 Oktober 1978 dan Surat Menteri Agama No. MA 650 1979 tanggal 28 Desember 1979, adalah Agama Islam, Kristen Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. 272 Paham Ketuhanan Trinitas dalam Kristen terdapat banyak kesamaan dengan paham Ketuhanan Trinitas dalam Hinduisme – Budhisme, termasuk cerita-cerita tentang Jesus yang hampir sama dengan Krisna lahir 3000 th. SM. yang dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Lihat, O. Hashem, Pembahasan Ilmiah Tentang Ke-Esaan Tuhan, h. 17 dan 24 273 Ibid. h. 17 356 , yaitu; Brahma, Wisnu dan Syiwa 274 . Dengan demikian, faham Ketuhanan versi agama Kristen dan Hindu-Budha adalah suatu faham yang meyakini bahwa Tuhan itu Esa, tetapi beroknum tiga. Di sinilah titik perbedaan faham dengan Islam. Walaupun itu berbeda dalam pendekatan atau cara dalam memahami tentang Ketuhanan, tetapi toleran dalam kehidupan keberagaman. Di sinilah kunci keberhasilan dalam membangun kehidupan umat beragama yang plural. Berdasarkan analisis tentang faham Ketuhanan dari beberapa agama di atas, dapat ditegaskan bahwa bangsa Indonesia dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa harus beragama, karena bangsa yang be-Tuhan pada dasarnya adalah bangsa yang religius, maka bangsa Indonesia yang beragama adalah bangsa yang taat agama. Dalam arti bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk melaksanakan ajaran agama, baik perintahnya atau larangannya. Dengan demikian, bangsa Indonesia disebut bangsa yang ber-Tuhan. Jika hal ini telah terealisasi dalam tataran kehidupan praktis, berarti bangsa Indonesia sudah merealisasikan nilai-nilai ajaran Pancasila itu sendiri. Realitas bahwa bangsa Indonesia ber-Tuhan dalam pengertian beragama , konsekuensinya bahwa negara tidak mengakui warga yang tidak beragama. Oleh karena itu sebagian rakyat Indonesia yang menganut ideologi Komunis dan merealisasikannya dalam tataran kehidupan praktis, secara konstitusional telah melakukan tindakan yang bertentangan, dan dengan sendirinya tereliminasi dari bumi Indonesia karena pada dasarnya mereka tidak ber-Tuhan, Tuhan menurut mereka telah lama mati dan agama dianggap candu bagi rakyat. 3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik Konsep ketakwaan dalam pembahasan ini sebagai konsekuensi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sebenarnya takwa itu sebagai perwujudan dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu. Iman merupakan aktivitas hati dan pemikiran, bersifat abstrak. Sementara takwa merupakan aktivitas anggota badan dapat dilihat oleh mata, oleh karenanya bersifat zahiriyah lahir . Takwa dalam arti melaksanakan segala perintah Tuhan Allah dan meninggalkan semua yang dilarang 275 , maka takwa berhubung kait 274 Ibid. h. 17 275 Lihat Ibnu Kathir, Tafsir Al-Qur`an Al-`Azim T.Tmpt: T.Pnbt, 1993 1414 H. , Juz 1, h. 42-43 357 dengan tindakan-tindakan lahiriah, sedangkan iman berhubung kait dengan keyakinan di dalam hati. Oleh karena itu, takwa sebagi manifestasi dari iman yang tertanam di dalam jiwa setiap individu. Dengan demikian takwa dapat dilihat, dan apa yang terlihat mengindikasikan apa yang ada di dalam jiwa. Atas dasar ini iman dan takwa tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan umat beragama. Kekuatan iman kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa akan melahirkan kekuatan internal yang dapat menghalang keinginan hawa nafsu yang membawa kehancuran dan kebinasaan 276 . Ini berarti bahwa seseorang yang memiliki keimanan yang kuat akan muncul di dalam dirinya proteksi interternal internal protection , maka dari sini akan muncul sikap ikhlas dan tanggung jawab yang sebenarnya, sehingga dalam melaksanakan kerja di mana saja dan kapan saja akan didasarkan pada kesedaran dan tanggung jawab. Jika hal di lakukan secara kolektif, akan melahirkan kebersamaan. Kesatuan di kalangan umat atau bangsa akan melahirkan kesamaan pandangan, kesepakatan kata dan kebersamaan gerak. Oleh itu, keimanan dan ketakwaan dapat dilihat pada perilaku positif pada seseorang yang bersangkutan. Dengan berpegang teguh pada keimanan dan mengaplikasikan ketakwaan sebenar-benarnya akan melahirkan sikap dan perilaku saleh pada diri setiap individu dan masyarakat yang bersangkutan, maka akan lahir hal-hal yang positif, antarany; a. Setiap ucapan yang keluar dari mulut orang yang bersangkutan tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menyakiti orang lain, tidak gemar berbohong, pendek kata tidak meucapkan ucapan-ucapan negatif. b. Sikap dan perilakunya senantiasa memperlihatkan kesederhanaan, bertimbang rasa, rela berkorban, mencerminkan keteladanan dan tindakan-tindakan lain yang baik. Ucapan dan perilaku positif sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya berhubung kait dengan interaksi dalam pergaulan hidup yang melahirkan karakter bangsa yang baik, mencerminkan seseorang yang baik. Karakter yang baik ini hanya dimungkinkan lahir dari seseorang yang berakhlak mulia, tanpa akhlak dan moral yang baik tidak mungkin akan lahir ucapan dan perilaku yang baik. Oleh karenanya, agar interaksi antara sesama masyarakat baik, maka interaksi tersebut harus 276 Muhammad Abdullah Darraz, al-Din Buhuts Mumahhidah Li Dirasat Tarikh al-Adyan Beirut: Dar al-Kutub, 1970 , h. 100 358 berlandaskan akhlah atau moral yang baik, sebagaimana diatur di dalam ajaran agama, sebab pelaksanaan ajaran agama terkait dengan akhlak yang mengatur bagaimana interaksi pergaulan hidup baik, bukan saja bertujuan agar masyarakat menjadi baik secara individual, tetapi bahkan berimplikasi pada kebaikan sosial yang berujung pada terciptanya kondisi negara yang baik. Berdasarkan penjelasan di atas terkait ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat ditegaskan bahwa inti dari pengakuan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah agar dapat mencerminkan sifat bangsa Indonesia yang meyakini bahwa ada kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan di dunia sekarang ini, yaitu kehidupan di akhirat. Kehidupan di akhirat bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa adalah lebih baik dari pada kehidupan di dunia sekarang ini. 277 Hal inilah sebenarnya yang menjadi motivasi untuk mengejar nilai-nilai luhur dengan meningkatkan aktivitas-aktivitas yang baik berdasarkan ajaran agama, maka seseorang yang bayak beramal saleh tidak saja akan mendapatkan kebahagiaan di dunia, tetapi juga dia akan mendapat kebahagiaan di akhirat nanti.

4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia

Realisasi ketakwaan kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk; Pertama: Bentuk amalan yang berhubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan Allah sebagai yang disembah. Kedua: Bentuk amalan atau perilaku yang melibatkan interaksi antara sesama masyarakat. Ketiga: Bentuk amalan atau perilaku yang berhubungan antara manusia dengan lingkungan atau alam sekitar. Berikut ini penjelasan ketiga-tiga bentuk amalan tersebut;

4.1. Bentuk Amalan Yang Menghubungkan Manusia Dengan Tuhan

Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk ini adalah setiap amalan yang dilakukan oleh manusia ditujukan sebagai bukti penghambaan diri ibadah kepada Allah sebagai Zat yang disembah Al-Ma`bud . Manifestasi ketakwaan pada komunitas-komunitas umat Islam di Indonesia yang paling utama dalam konteks ini adalah Shalat lima waktu, Puasa, Ibadah Haji. Shalat lima waktu dikerjakan secara berjemaah atau 277 Lihat Al-Qur`an: 17, 87 359 sendiri-sendiri. Pada masyarakat Islam yang komitmen kuat terhadap ajaran agamanya, seperti di Aceh, Melayu Riau, Jambi dan sekitarnya , Minangkabau dan Jawa, Madura, Banjar dan masyarakat Bugis, kegiatan shalat lima waktu dikerjakan secara berjamaah, tetapi bagi penganut Islam yang pengaruh tradisinya masih dominan, kecendrungan shalat berjamaah hanya sebatas pada waktu tertentu saja, seperti waktu Maghrib, sementara waktu-waktu lain shalat berjamaah dilakukan kadang-kadang. Selain melakukan shalat fardhu lima waktu masyarakat Islam juga melaksanakan shalat sunnah, menghadiri ceramah-ceramah pengajian, baik yang diselenggarakan di Majlis Ta`lim, Masjid atau di tempat-tempat yang ditentukan, mengaji Al-Qur`an dan melaksankan zikir atau membaca bislimillah, al-hamdulillah ketika memulai dan setelah selesai kerja dan mengucapkan salam ketika berjumpa dengan sesama muslim. Kegiatan seperti ini merupakan perwujudan umat bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Puasa, Zakat da Haji adalah wujud ketakwaan yang penting 278 , dan sebagai perwujudan amal saleh, karena amalan-amalan ini tidak saja berimplikasi positif pada dirinya sendiri secara individual terhindar dari tindakan-tindakan buruk dan mungkar , tetapi berimplikasi pada kesalehan hidup dalam masyarakat, baik berkaitan dengan aspek pemerataan ekonomi Zakat, Haji , atau aspek ketaatan dan kesadaran untuk berbuat baik terhadap sesama umat manusia shalat dan Puasa .

4.2. Manifestasi Amalan Antara Sesama Masyarakat

Manifestasi ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk yang kedua ini, adalah wujudnya interaksi positif dalam kehidupan keluarga, kekerabatan dan kehidupan sosial yang lebih luas, seperti bantu membantu membuat rumah, tolong menolong dalam kebaikan, mendidik anak, menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda, bersilaturrahmi kepada saudara dan kerabat dan sebaginya. 279 Semua itu 278 Team Perangkum Badan Litbang Agama, Ketaqwaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dalam Berbagai Sistem Sosial Budaya Masyarakat Di Indonesia Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Proyek Penelitian Keagamaan, 19891990 , h. 13 279 Ibid. h. 14