Revitalisasi Ideologi Nasional dalam Berbangsa dan Bernegara. Fix

(1)

(2)

Dr. Sirojuddin Aly, MA.

REVIT ALISASI

IDEOLOGI NASIONAL

DALAM

BERBANGSADANBERNEGARA

Pengantar

Dr. Hidayat Nur Wahid, MA

Wakil Ketua MPR RI (2014-2019)

Ketua MPR RI (2004-2009)

•... ~

«

Me

>


(3)

Katalog Dalam Terbitan (KDT) Dr. Sirojuddin Aly, MA. Revitalisasi Ideologi Nasional Dalam Berbangsa dan Bemegara xiv, 302 hlm.: 16 x 23 em

1SBN: 978-602-19291-5-5

Revitalisasi Ideologi N asional

Dalam Berbangsa dan Bernegara

Penulis:

Dr. Sirojuddin Aly, MA.

Pengantar:

Dr. Hidayat Nur Wahid, MA Editor:

Nawiruddin Layout:

Tim Mazhab Ciputat Jakarta Diterbitkan oleh:

Mazhab Ciputat Jakarta Dicetak oleh:

CV. Sejahtera Kita

11. HOS Cokroaminoto No. 102 Ciledug - Tangerang

Telp. (021) 73452483


(4)

Kata Pengantar

Dr. Hida

y

at Nur Wahid

,

MA

l

Tidak ada satu pun negara besar di dunia ini kecuali ia memiliki perangkat rujukan ide, gagasan, landasan filosofis, dan dasar pemikiran dalam merumuskan arah masa depannya. Itulah yang dikenal sebagai ideologi, yang lantas dituangkan ke dalam sebuah visi dan misi serta dijabarkan ke dalam pelbagai kebijakan yang bersifat strategis atau pun operasional. Dalam konteks ke- Indonesiaan, melalui konsensus

founding father kita, Pancasila secara eksplisit telah ditetapkan sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl).

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "

Penting dicatat, menengok ke belakang, perumusan Pancasila sebagai dasar negara tidak lah stagnan dan jumud. Para founding father kita terlibat adu gagasan, ide, dan argumentasi dalam perumusan Pancasila. Hal tersebut lumrah saja. Pasalnya, pokok yang dirumuskan adalah ideologi dasar ( Weltanschauung ) sebuah negara yang

mewadahi suku, agama, dan budaya yang sangat beragam. Mereka berupaya mencari titik temu guna menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan, lima sila yang sekarang ini diterima sebagai Pancasila di Indonesia temyata berbeda dengan Pancasila yang dipidatokan Soekamo pada 1 Juni 1945. Pancasila yang dikenal rakyat 1.Waki Ketua MPR RI Periode 2014-2019, Ketua MPR RI Periode 2004-2009

II I


(5)

Indonesia saat ini adalah Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus 1945. Dinamika perja1anan Pancasila tersebut menandakan satu hal penting dalam konteks ke kinian, yaitu Pancasila sejatinya harus inklusif untuk terus didialogkan dan ditafsirkan secara bersama-sama,

kemudian disepakati secara bersama pula.

Maka, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal seperti yang dilakukan rezim Orde Baru bukanlah langkah yang benar. Alasannya; Pertama, langkah tersebut melawan sejarah dan menyalahi pemikiran yang dikembangkan para founding father kita yang secara terbuka melakukan dialog dalam perumusan Pancasila meski kerap kali

diwamai silang pendapat dan ketegangan. Dalam kaitan ini, pada tahun 1952 ada sekelompok anak muda yang mendeklarasikan organisasi yang disebutnya memiliki Azaz Tunggal Pancasila. Namun oleh Bung Kamo deklarasi itu temyata dilarang. Kedua, asas tunggal

bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri yang mengcdepankan konsep musyawarah, bukan pemaksaan kehendak. Musyawarah mengharuskan adanya dialog terbuka tanpa ada tekanan apapun. Selain itu, musyawarah merupakan mekanisme terbaik untuk menggali ide dan gagasan berbagai elemen untuk menemukan titik temu. Sebaliknya, pemaksaan kehendak secara sepihak hanya menimbun api dalam sekam. Puncaknya, amarah rakyat Indonesia membuncah saat krisis multi dimensional menghantam pada tahun 1998 yang lantas disusul tumbangnya rezim Orba.Tentu saja, tidak ada yang salah dengan Pancasila. Yang keliru adalah cara rezim Orba memperlakukan Pancasila atau lebih tepatnya memanfaatkan Pancasila untuk memenuhi ambisi berkuasa.

Ketiga, asas tunggal mematikan kreatifitas dan inovasi berfikir anak bangs a dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan yang kian kompleks dan sangat dinamis, termasuk tantangan-tantangan global yang inter dependent dan inter connected. Dewasa ini sebuah negara tidak dapat memandang sebuah masalah dari local perspective, tapi harus regional dan global perspective. Berfikir global saat ini merupakan tuntutan zaman. Revo1usi tekno1ogi dan informatika memaksa kita untuk semakin kreatif dan inovatif da1am berfikir dan bertindak. Hampir dapat dikatakan saat ini antar negara menjadi borderless. Nilai dan kultur yang hidup dan berkembang di belahan bumi manapun dapat secara cepat menyebar dan mewabah ke belahan bumi lain. Dalam kaitan ini Pancasila sebagai ideologi menghadapi


(6)

tantangan yang tak mudah, terutarna ideologi-ideologi yang secara mendasar bertolak belakang dengan Pancasila seperti komunisme, liberalisme, sekularisme, ateisme dan lainnya. Pancasila semakin rentan tergusur dan termarjinalkan.

Walhasil, indoktrinasi Pancasila di era Orde Baru melalui konsep asas tunggal sangat berbahaya dan mengancam eksistensi Pancasila itu sendiri. Hal itu lantaran Pancasila tak ubahnya 'kitab suci' yang tak boleh disentuh. Akibatnya Pancasila menjadi sekadar teks-teks mati tanpa ruh. Padahal sejatinya sebuah ideologi harus menginspirasi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bemegara. Pancasila sekadar obyek studi tanpa ada upaya untuk

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Repulik Indonesia (MPR Rl) sejak satu dekade terakhir sampai saat ini secara konsisten melakukan sosialisasi Pancasila sebagai dasar negara.

Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat mampu mengintemalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,

terutama di era keterbukaan global saat ini yang ditandai derasnya lalu- lintas pelbagai ideologi yang berpotensi menggerus nilai-nilai luhur Pancasila. Ateisme, hedonisme, anarkisme, individualisme,

premanisme, dan faham- faham lainnya yang tak sejalan dengan Pancasila semakin mewarnai keseharian bangsa ini. Di sisi lain,

pengetahuan dan pemahaman generasi muda atas Pancasila semakin meluntur. Bahkan saat ini tak jarang ditemukan generasi bangsa melafalkan sila-sila Pancasila di luar kepala dengan susah payah dan tergopoh-gopoh. Situasi ini tentu saja sangat mencemaskan. Untuk mengatasi ini, MPR mengemas sosialisasi Pancasila dengan beragam program seperti cerdas cermat, out bound, diskusi dan lainnya. MPR juga menggagas agar pemerintah secara aktif ikut serta dalam sosialisasi Pancasila. Namun dalam sosialisasi itu tidak menerapkan sistem lama seperti BP7 ( Badan Pembinaan Pendidikan , dan

Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) yang doktrinatif. Terbukti cara dokrinatif sekadar menjadi alat pembenaran segelintir orang untuk melanggengkan kekuasaan. Pancasila tidak boleh lagi ditafsirkan secara eksklusif Saat Pancasila eksklusif dan

doktrinatif, maka Pancasila dikhawatirkan menjadi momok yang menakutkan dari pada ideologi dasar sebuah negara. Parahnya lagi, atas nama Pancasila, dikhawatirkan juga penguasa melakukan tindakan


(7)

refresif atas kelompok-kelompok yang memiliki itikad baik untuk

melakukan perbaikan. Sebagai antithesis tindakan refresif tersebut,

kelompok-kelompok radikal dan ekstrim tumbuh subur. Maka tak mengherankan jika kemudian ada kelompok yang secara absolute meno lak Pancasila. Padahal, Pancasila merupakan rangkuman nilai-

nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Bahkan, sila-sila yang ada

dalam Pancasila merupakan rangkaian nilai-nilai luhur yang diakui masyarakat dunia. Artinya, substansi yang dikandung Pancasila merupakan nilai-nilai luhur universaL Dalam konteks inilah kemudian kita sangat mafhum dan respek ketika tokoh-tokoh nasional Islam dulu

yang akhirnya secara lapang dada menerima Pancasila sebagai dasar

negara.

Akhirnya, saya menyambut baik sahabat saya saudara Dr.

Sirojuddin Aly, MA. yang telah memberikan kontribusi sangat positif

dan konstruktif dalam meneguhkan Pancasila sebagai ideologi dan

dasar NKRl. Buku yang ditulis sahabat saya ini berjudul 'Revitalisasi

Ideologi Nasional dalam Berbangsa dan Bernegara', yang berupaya

mengurai dan menjabarkan sila-sila Pancasila serta revitalisasinya dalam konteks kekinian. Buku ini dinilai sebagai bagian dari upaya mendialogkan kembali dan menafsirkan Pancasila secara terbuka, agar Pancasila secara dinamis dapat terus berkembang dan menginspirasi denyut kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila yang tak hanya tertulis

di buku-buku pelajaran, tapi juga dirasakan dalam perikehidupan

bangsa Indonesia.

Jakarta, 5 Januari 2015

Dr. Hidayat N ur Wahid, MA ( Wakil Ketua MPR Rl2014 - 2019)


(8)

KATA PENGANTAR PENULIS

Berdasarkan dinamika kehidupan dari waktu ke waktu, rakyat Indonesia harus mampu menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih ( good and clean governance), karena dengan pemerintahan yang baik dan bersih, keadilan dengan sendirinya akan wujud, kesejahteraan dan keamanan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan dan Undang-undang Dasar 1945 akan menjadi kenyataan. Tetapi itu baru sebatas teoritis, realitas di lapangan berbicara lain karena berbagai persoalan dan setumpuk permaslahan bisa saja menghambat upaya-upaya yang dilakukan jika terjadi salah langkah dalam pengelolaan, Untuk menciptakan keadilan,

kesejahteraan dan keamanan temyata tidak mudah, tidak semudah membalikan telapak tangan. Faktanya bertahun-tahun lamanya rakyat banyak memimpikan hidup makmur, sejahtera, aman dan damai, sampai saat ini impian tersebut belum juga menjadi kenyataan,

bagaikan panggang jauh dari api. Rakyat banyak masih harus bermimpi lagi dan bermimpi, sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda

kebangkitan kekuatan ekonomi nasional secara signifikan, baik dalam sekala negara-negara Asean ataupun Intemasional, inflasi dan kenaikan harga bahan-bahan pokok terus melambung tinggi dari waktu ke waktu. Untuk menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih tentu saja harus didukung oleh struktur dan sumber daya manusia ( SDM ) yang

memiliki kapabelitas dan integritas tinggi, serta komitmen pada prinsip-prinsip profesionalitas dalam bekerja, komitmen pada undang- undang dan peraturan dan tidak mempermainkannya, komitmen pada keujujuran atau amanah, saling mempercayai ( ada tras ) dan tidak berperilaku pembohong, komitmen pada keterbukaan ( transparansi ) dan tidak ada yang ditutup-tutupi, Jika prinsip-prinsip ini dapat direalisasikan dengan benar-benar dalam kehidupan berbangsa dan bemegara, maka pada gilirannya cita-cita rakyat Indonesia untuk meraih kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan hidup akan menjadi kenyataan,

Sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi dari waktu ke waktu, perpolitikan nasional pun turut mengalami dinamikanya, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era Reformasi tidak lagi


(9)

menjadi sesuatu yang menakutkan bagi organisasi masyarakat (ormas ) dan partai politik. Dinamika politik ini selain berdampak positif terhadap kebebasan berekspresi sebagai salah satu prinsip negara yang menganut sistem demokrasi, pada sisi lain menyebabkan rakyat bersikap apatis terhadap ideologi nasionalnya. Berbeda dengan era sebelumnya ( era Orde Baru ), di mana Pemerintah waktu itu secara ketat mengontrol ormas dan orpol dengan menggunakan Undang-

undang No.8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan yang harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi. Proses hegemoni ideologi Pancasila di era Ordc Baru temyata bukan saja ditempuh melalui pola-pola lcgalistik, tetapi juga melalui penataran P-4 ( Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ). Penataran P-4 merupakan program yang disponsori negara untuk mendidik rakyat Indonesia bagaimana memahami ideologi Pancasila berdasarkan interpretasi resmi oleh Negara, hal ini dalam rangka menjamin keseragaman pemahaman. Pelaksanaan penataran P-4 temyata penuh dengan paksaan sehingga tidak efektif, maka hasilnya pun tidak mencapai sasaran maksimal sekalipun didukung dengan dana yang cukup besar. Persoalannya kenapa begitu? J awabannya karena pola-pola penataran P-4 tidak berdasar pada kesadaran yang tumbuh dari hati nurani yang murni dari setiap rakyat Indonesia, dan itu artinya tidak demokratis. Kedepan pola-pola pendekatan yang tidak demokratis tidak boleh terulang karena sia-sia, hanya membuang-buang waktu, pemikiran, tenaga dan sejumlah dana besar.

Dalam situasi yang sarat dengan persaingan global antar berbagai ideologi dunia; Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme dan sebagainya, maka sebenamya Pancasila dalam statusnya sebagai ideologi nasional yang telah diposisikan secara cerdas sebagai jalan tengah dan sebagai dasar bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia adalah merupakan altematif yang memiliki prospek masa depan yang menjanjikan bagi kehidupan berbangsa dan bemegara. Oleh karena itu tinjauan ini harusnya menjadi pegangan bagi rakyat Indonesia untuk tetap setia dengan ideologi nasionalnya, dan tidak menyikapinya dengan sikap apatis. Tinjauan ini harus menjadi dasar pandangan yang teguh, jika rakyat Indonesia masih tetap komitmen melihat Indonesia bersatu sebagai sebuah negara NKRI.

Hal ini karena Pancasila mengandung kebenaran nilai-nilai

universal yang sesuai dengan keperibadian dan budaya rakyat


(10)

Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut kemudian menjadi prinsip bagi negara Republik Indonesia. Nilai-nilai universal tersebut ialah; Ber- Tuhan, artinya rakyat Indonesia harus ber- Tuhan, dalam arti percaya,

beriman kepada Tuhan, yaitu Zat Pencipta dan Penguasa alam semesta,

yaitu Allah Swt. yang harus disembah dalam berbagai bentuk aktivitas

ibadah. Perikemanusiaan, artinya adanya saling menghargai dan

menghormati, saling mempercayai antara sesama rakyat Indonesia

intinya bagaimana bisa memanusiakan manusia (ngewongke). Oleh

karenanya rakyat Indonesia harus berperilaku jujur dan amanah, tidak saling mengkhiyanati, tidak saling membohongi, tidak saling ngakalin antara sesama. Persatuan, artinya bersatu padu untuk mencapai satu tujuan, dan tidak terpecah-pecah tetapi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Keadilan, artinya rakyat Indonesia harus menegakkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek sosial

politik, hukum, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Musyawarah,

artinya dalam mengambil keputusan yang menyangkut persoalan

orang banyak harus diselesaikan melalui proses musyawarah.

Kemudian terkait dengan sikap dan pandangan rakyat Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara,

sebenarnya terdapat perbedaan sikap dan pandangan, setidaknya ada

empat sikap yang berbeda, yaitu; 1. Sebagian rakyat Indonesia melihat bahwa Pancasila adalah merupakan kumpulan prinsip-prinsip

kenegaraan yang tidak bertentangan dengan dasar -dasar agama

manapun, oleh karenanya mereka menerimanya sebagai ideologi dan

dasar dalam berbangsa dan bernegara. 2. Sebagian rakyat Indonesia yang sudah komitmen bepegang teguh dengan ideologi lain selain Pancasila, mereka menolak Pancasila secara ekstrim. 3. Sebagian rakyat Indonesia melihat bahwa Pancasila itu merupakan seperangkat nilai-nilai yang tersusun rapi hasil gagasan manusia Indonesia

(founding fathers) yang bersifat subjektif, maka nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila-pun bersifat subjektifatau relatif Dalam arti nilai-nilai Pancasila mungkin benar dan mungkin juga tidak, mungkin hari ini benar dan dalam beberapa dekade masa mendatang mungkin juga tidak benar atau tidak relevan lagi, oleh karenanya mereka tergolong orang-orang yang tidak jelas antara menerima Pancasila sebagai dasar negara ataupun tidak. 4. Sebagian rakyat Indonesia lagi dalam melihat Pancasila berikap acuh tak acuh, bersikap masa bodoh.


(11)

Terlepas dari perbedaan sikap dan pandangan terhadap Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, yang jelas secara politis bahwa Pancasila sudah menjadi kesepakatan bersama ( konsensus nasional ) di antara para founding fathers menjadi ideologi dan dasar dalam berbangsa dan bemegara.

Ciputat, 25 Maret 2015 Penulis,

Dr. Sirojuddin Aly, MA


(12)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar DR. H. Hidayat Nur Wahid _iii

Kata Pengantar Penulis_vii

BABI

PANCASILA PLATFORM BERBANGSA DAN BERNEGARA

1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila_l

2. Perbedaan Pemikiran Tentang Rancangan Dasar Negara_4

3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara_8

4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila _23

5. Pancasila Dalam Rumusan Piagam Jakarta 31

6. Penerimaan Piagam Jakarta Oleh BPUPKI_37

7. Kearifan Keputusan Penerimaan Piagam Jakarta _41

8. Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta _45

9. Latar Belakang Perubahan Pancasila _48

10. Pancasila Yang Diberlakukan _55

11. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara _59

12. Pancasila Filsafat Kenegaraan Republik Indonesia _62

13. Pancasila dan Permasalahan Bangsa _75

14. Fobia Pancasila Melemahkan Tingkat Nasionalisme Indonesia _80

15. Pancasila Ideologi Nasional di Era Globalisas _84

16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu 95

17. Kesimpulan _98

BABII

AGAMA DAN NEGARA PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA

I. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila _100

2. Perbedaan Dalam Memahami Arti Ke- Tuhanan 103

3. Komitmen Beragama Berdampak Terciptanya Stabilitas Politik

106

4. Kesalehan Perilaku Masyarakat Indonesia _108

5. Ideologi Pancasila dan Eksistensi Kehidupan Sosial Keagamaan

112


(13)

6. Kerukunan Umat Beragama Berdampak Posistif Terhadap Stabilitas Politik 117

7. Kesimpulan _121

BAB III

MEMBANGUN MANUSIA BERADAB DAN BERMARTABAT

1. Manusia dan Cita-cita Hidup _123

2. Bangsa Beradab dan Bermartabat_126

3. Keadilan dan Realitas Permasalahan 131

4. Keadilan Dan Komitmen Pada Tanggung Jawab _137

5. Kesimpulan_141

BABIV

NASIONALISME DAN INTEGRASI NASIONAL

1. Nasionalisme Dalam Konteks Negara Republik Indonesia_143

2. Perjuangan Nasionalisme Indonesia Sepanjang Sejarah _146

3. Pengembangan Nasionalisme Indonesia_154

4. Nasionalisme Berbahaya _157

5. Integrasi Nasional dan Permasalahan _159

6. Terusiknya Integrasi Nasional di Akhir Era Orde Baru_163

7. Realisasi Persatuan dan Integrasi Nasional_166

8.Integrasi Nasional Melalui Kerukunan Antar Umat

Beragama_170

9. Langkah-langkah Strategis Membangun Kerukunan Umat

Beragama_178

10. Kesimpulan _184

BABV

KONSOLIDASI PENGUATAN DEMOKRATISASI

1. Kerakyatan dan Demokrasi _186

2. Demokrasi dan Dinamika Sistem 191

3. Makna Demokrasi dan Penerapannya_197

4. Demokrasi dan Penyaluran Aspirasi Rakyat_200

5. Demokrasi dan Penyalahgunaan Praktek_209

6. Eksperimen Demokrasi Sebagai Sistem Politik Indonesia_228

7.Belajar Dari Kesalahan Masa Lalu Dalam Penerapan

Demokrasi 240

8. Kesimpulan _249


(14)

BABV}

KEADILAN SOSIAL ANTARA TEORI DAN REALITAS

1. Keadilan Sosial Dalam Tataran Teori 251

2. Keadilan Sosial Dalam Realitas Kehidupan _252 3.Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan _254 4.. Keadilan So sial Dalam Hukum 256

4. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama 257 5. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan

Ekonorni 260

7. Keadilan Sosial Menuntut Pcmerataan Kesejahteraan _266 8. Membangun Masyarakat Sejahtera_268

9. Ketimpangan Ekonomi Memperlambat Pembangunan_273 10. Keberhasilan Membangun Indonesia Ke Depan _277 11. Kesimpulan _279

DAFTAR PUS TAKA 280

INDEX 295


(15)

Xl ll

BAB I

PANCASILA PLATFORM BERBANGSA DAN BERNEGARA

1. Sekilas Kemunculan Gagasan Pancasila

Kemunculan Pancasila sebagai filsafat negara Republik Indonesia dilatar belakangi oleh fakta sejarah perjuangan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia. Langkah utama ke arah ini adalah pembentukan Badan yang berwenang untuk menyelidiki hal-hal asas bagi konstruksi bangunan Indonesia merdeka. Badan ini dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai dan dalam bahasa Indonesia disebut

Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia disingkat BPUPKI1.

1

Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila ; Pidato Peringatan Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978 ), h. 9.


(16)

Pembentukan Badan ini pada dasarnya sebagai realisasi janji Kerajaan Jepang2. Yaitu janji mewujudkan hasrat untuk memerdekakan Hindia Belanda ( Indonesia ) dikemudian hari3. Dalam melihat hasrat Kerajaan Jepang, paling tidak ada dua alasan kenapa pemerintah Jepang mengambil kebijakan ini, Pertama; Dalam rangka mempertahankan pengaruh Jepang di depan penduduk dan rakyat negeri yang didudukinya ( Indonesia ). Dengan langkah mengeluarkan pernyataan janji kemerdekaan untuk Indonesia ada harapan untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat Indonesia. Kedua; Pada waktu itu situasi semakin memburuk yang dihadapi tentara Jepang di beberapa wilayah di Asia yang didudukinya, terutama di Indonesia, karena akan berhadapan dengan kekuatan tentara Sekutu yang jauh lebih besar. Dengan janji tersebut Jepang yakin bahwa tentara Sekutu ketika hadir kembali ke Indonesia akan disambut oleh rakyat Indonesia tidak sebagai pembela, melainkan sebagai penyerang ke negara merdeka4.

Kemerdekaan yang akan diberikan Kerajaan Jepang kepada rakyat Indonesia itu menurut rencananya akan dilakukan pada bulan September 1945 5. Oleh karena itu kemudian pemerintah pendudukan Jepang di Jawa dibawah pimpinan Leftenan Jendral Kumakici Harada mengumumkan pembentukan BPUPKI pada 1 Maret 19456. Badan ini didirikan bertujuan untuk menyelidiki hal-hal asas dan mendasar bagi

2

Kerajan Jepang dengan kekuatan tentaranya telah menguasai seluruh wilayah Jajahan Hindia Belanda. Setelah peyerahan tanpa syarat yang dilakukan oleh Leftenan Jendral H. Ter Poorten sebagai Panglima Angkatan Perang Sekutu di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang dibawah pimpinan Leftenan Jendral Hitoshi Imamura pada 8 Maret 1942 . Lihat Marwati Djoened & Nugroho, Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia VI, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1992 ), h.5 dan janji Jepang diumumkan pada 7, September, 1944.

3

Pada 9 September 1944 di dalam sidang istimewa ke 85 Teikoku Ginkai ( Parlemen Jepang ) di Tokyo, Pendana Menteri Jepang; Jendral Kuniaki Koiso mengumumkan pendirian Pemerintah Kerajaan Jepang; bahwa daerah Hindia Timur ( Indonesia ) kelak dikemudian hari diperkenankan merdeka. Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 66.

4

Lihat. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h.66.

5

Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, ( Jakarta: Inti Idayu Press, 1984 ), h. 14.

6

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 67. Lihat juga, Lembaga Soekarno- Hatta, Sejarah Lahirna Undang-Undang Dasar 1945. h. 22.


(17)

konstrusi bangunan Republik Indonesia7. Setelah pembentukan ini, kemudian BPUPKI bersiap-siap melakukan kajian terhadap masalah-masalah mendasar; rancangan Undang-undang Dasar Negara dan sebagainya melalui tahapan-tahapan dalam siding-sidang BPUPKI.

Pada pagi hari Senin 28 Mei 1945 telah terjadi peristiwa penting dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, yaitu dikibarkannya bendera merah putih di sebelah bendera Jepang di depan gedung Cuo Sangi In terletak di jalan Pejambon Jakarta. Pada sorenya para anggota BPUPKI mengangkat sumpah sebagai pelantikan resmi oleh pemerintah tentara pendudukan Jepang8. Semua anggota Badan ini dipilih dari para tokoh masyarakat yang boleh dianggap mewakili semua golongan. Ketua dan para anggota Badan ini meskipun dilantik oleh pemerintah Jepang, namun mereka tetap bebas untuk menentukan arah tujuan dan cita-cita masa depannya9, dan oleh karena itu mereka dapat membuat rancangan undang-undang dasar berdasarkan pandangan mereka10. Beberapa wakil dari pemerintah Jepang di Indonesia memberikan sambutannya pada acara pelantikan ini, antaranya; Jenderal Itagaki Seisiro, Jenderal Gunseireikan Saiko dan ketua pemerintah tentara Jepang; Gunseikan11. Peristiwa pengkibaran bendera merah putih ini ternyata memicu lahirnya semangat di hati rakyat Indonesia ( terutama para anggota BPUPKI ) dalam upaya mempercepat persiapan kemerdekaan.

Jumlah anggota Badan ini sebanyak enam puluh dua ( 62 ) orang, termasuk empat ( 4 ) orang keturunan Arab, keturunan Belanda dan

7

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ), h. 121, Lihat juga, Lembaga Soekarno-Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 15.

8

Lihat Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h. 119

9

Pada tahap awal memang tidak ada pengaruh atau tekanan apa-apa dari orang-prang Jepang, tetapi pada tingkat akhir justeru orang-orang Jepang telah melalkukan tekanan dan bahkan melakukan intimidasi. Hal ini terbukti ketika orang Jepang mempengaruhi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) sehingga terjadi perubahan terhadap hal-hal penting dan mendasar; Pancasila, Pendahuluan dan Udang-Undang Dasar 1945.

10

Lihat, Solihin Salam, Haji Agus Salim Pahlawan Nasional ( Jakarta: Jaya Murni, T. Th. ), h. 55.

11

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h.119.


(18)

keturunan Tionghoa12. Selain enam puluh dua orang anggota BPUPKI tersebut, juga terdapat tujuh ( 7 ) orang Jepang yang statusnya sebagai pemerhati yang tidak memiliki hak suara13. Badan Penyelidik ini dipimpin oleh K.R.T. Rajiman Wediodiningrat dan wakilnya R. Panji Soeroso dan dibantu oleh A. Gaffar Pringgodigdo yang bertugas sebagai sekretaris14. Seluruh anggota Badan Penyelidik ini bertempat tinggal di Jawa dan Madura, meskipun berasal dari berbagai daerah kepulauan Indonesia, tetapi tugasnya meliputi seluruh Indonesia15.

K.R.T. Rajiman, sebelum Indonesia merdeka pernah memimpin Putra ( Pusat Tenaga Rakyat ); sebuah organisasi pergerakan nasional didirikan pada 1 Maret 1942. Organisasi ini berorientasi membangun kesadaran rakyat untuk berbangsa dan bertanah air satu16. Dalam struktur kepemimpinan Badan Penyelidik ini Soekarno tidak ditunjuk sebagai ketua atau sekretaris. Keadaan ini justru memberi peluang kepada Soekarno untuk lebih berperan dalam melahirkan idea-idea dan gagasannya tentang hal-hal asas dan mendasar bagi bangunan Indonesia merdeka. Ternyata kemudian begitu besar sumbangan Soekarno dalam hal ini.

2. Perbedaan Pemikiran Tentang RancanganDasar Negara

Jika dikaji lebih lanjut tentang pertumbuhan pemikiran dan idea-idea yang berkembang sepanjang berlangsungnya persidangan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI ). Paling tidak ditemukan dua aliran pemikiran yang dominan selama persidangan tersebut17. Pertama; aliran pemikiran golongan

12 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945. h. 25.

13

Lihat, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional indonesia VI, h. 67.

14

Lihat, Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila, ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), h. 31

15

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. h.121

16

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. h. 18 -21

17

Lihat, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 – 1959 ( Jakarta: CV Rajawali, 1981 ), h.9 – 10. Edisi bahasa Inggris “ The Jakarta Charte 1945 : The Stuggle for Islamic


(19)

Nasionalisme Sekular 18 , dan orang-orang yang mengikuti garis pemikiran ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; Soekarno, Muh. Yamin, Ki Hajar Dewantara, Moh. Hatta, Soesanto Tirtoprodjo, Sartono, Samsi dan sebagainya. Mereka-mereka inilah sebagai representasi garis pemikiran nasionalisme radikal, dan pada saat yang sama terdapat garis pemikiran nasionalisme sederhana, antaranya K.R.T. Rajiman Wediodiningrat dan lain-lainnya19. Mereka-mereka inilah yang memperjuangkan agar Indonesia merdeka nanti didasarkan pada kebangsaan atau nasionalisme20. Kedua; adalah aliran pemikiran golongan nasionalisme Islam. Yaitu orang-orang nasionalis yang komitmen dengan prinsip-prinsip ajaran agama ( agama Islam ) dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek politik, ekonomi, hukum, pendidikan, kemasyarakatan, dan sebagainya, dan dibuktikan dengan amalan yang kongrit, bukan saja dalam ucapan tetapi juga dibuktikan dengan amalan dan tindakan yang nyata, oleh karena itu kehidupan masyarakat dan negara tidak dapat dipisahkan dari kehidupan agama. Dalam arti bahwa Islam tidak saja mengatur hubungan antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan ( Allah ) dalam berbagai bentuk ritual ibadah ( hambum min Allah ), melainkan Islam juga mengatur hubung kehidupan antara sesama umat manusia ( hablum minanannas )21. Orang-orang yang mewakili garis pemikiran golongan nasionalis Islam kedua ini menurut Endang Saefuddin Ansari, antaranya; K. Bagoes Constitution In Indonesia. Diterbitkan di Kuala Lumpur oleh Muslim Youth Movement of Malaysia ( ABIM ) 1979

18

Sekular / Sekularisme adalah suatu faham atau doktrin yang nengajarkan pemisahan agama dari urusan-urusan negara atau politik, bahwa urusan-urusan agama tidak ada sangkut pautnya dengan urusan negara, karena agama menurut faham ini adalah urusan-urusan individu atau pribadi, sementara negara adalah urusan publik. Oleh karena itu sangat sulit untuk mempersatukan agama dengan negara. Implikasi dari doktrin ini adalah bahwa aturan-aturan agama atau hukum-hukum yang ditetapkan agama tidak bisa dilembagakan atau diformalkan dalam aturan negara. Liha. A. Zaki Badawi, A Dictionary of The Social Sciences, ( Beirut: Librairie Du Liban, 1978 ), h.370 –371 dan lihat juga, Jum`at al-Khuli, Al-Ittijahat al-Fikriyah al-Mu`asirah wa Mauqif al-Islam Minha, ( Madinah al-Munawwarah: Islamic University of Medina, 1407 H. / 1986 M. ), h.91

19

Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 25. Lihat juga, Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional. h.9 - 10

20

Endang Saefuddin Ansari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional. h. 3

21


(20)

Hadikoesoemo, A.K. Muzakkir, K.H. Masjkoer, K.H. Mas Mansoer, K.H. Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, M. Natsir dan sebagainya. Mereka-mereka inilah yang memperjuangkan agar negara Indonesia merdeka nanti didasarkan pada asas Islam22. Keinginan para tokoh ini pada waktu itu secara de fakto dalam konteks ke-Indonesiaan yang mayoritas rakyatnya muslim sebenarnya dalam batas-batas wajar dan realistis, karena berdasarkan sejarah masa lalu pada abad-abad ke-13 dan sesudahnya di bumi Nusantara ini telah berdiri sederet pemerintahan Islam dalam bentuk Kesultanan atau Kerajaan. Hal ini ditandai dengan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-13 dengan raja pertamanya Sultan Malik al-Saleh ( w. 1297 M ), disusul dengan berdirinya Kesultanan Aceh, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Banten, Makasar, Ternate, Tidore, dan beberapa Kesultanan di Kalimantan dan sebagainya, maka wajar jika para tokoh Islam di era kemerdekaan Indonesia mengusulkan agar Islam menjadi dasar negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini beberapa literatur sejarah peradaban Islam Nusantara menyebutkan bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan saja berpengaruh dalam membentuk tatacara ritual ibadah tertentu saja, tetapi juga Islam berpengaruh pada tatanan sosial budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya23.

Kedua-dua aliran pemikiran di atas masing-masing memiliki dasar pemikiran yang telah berakar dalam sejarah pergerakan nasional. Hal ini disaksikan dengan berdirinya beberapa organisasi yang berorientasi nasional pada satu sisi, dan sisi lain berdirinya organisasi-organisasi yang berasaskan Islam. Sebagai justifikasi terhadap realitas ini dapat ditunjukkan beberapa fakta sebagai berikut; Pertama. Organisasi-organisasi Nasional Sekular; antaranya, Boedi Oetomo ( Budi Utomo ) didirikan pada 20 Mei 1908, organisasi ini dianggap sebagai organisasi pertama yang dibangun secara modern dan merupakan organisasi terpenting dalam sejarah pergerakan nasional24. Dari Boedi Oetomo ini lahir beberapa organisasi pergerakan nasional sekular yang lain, antaranya; Partai Nasional Indonesia ( PNI ) didirikan pada 4 Juli 1927, Partai Indonesia ( Parindo ) didirikan pada bulan April

22

Ibid. h. 16

23

Lihat, Ahmad Fadloli et al, Sejarah Peradaban Islam ( Jakarta: Pustaka Asatruss, 2004 ), h. 191

24

Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia ( Jakarta: Dian Rakyat, 1967 ), h. 1


(21)

1931, Pendidikan Nasional Indonesia ( PNI-baru ) didirikan pada bulan Desember 1933, Partai Indonesia Raya ( Parindra ) didirikan pada 26 Desember 1935, Gerakan Rakyat Indonesia ( Gerindo ) didirikan pada 24 Mei 193725. Organisasi-organisasi ini lahir sebagai reaksi terhadap dampak negatif penjajahan asing, dan mempunyai cita-cita agar kelak Indonesia merdeka didasarkan pada faham kebangsaan atau nasionalisme.

Kedua; Organisasi-organisasi Nasionalis Islam, yaitu

organisasi-organisasi yang komitmen dengan ajaran-ajaran Islam secara konsisten dan penuh kesadaran. Hal ini ditandai dengan berdirinya Syarekat Islam ( SI ) pada 16 Oktober 1905 sebagai hasil pengembangan dari Syarekat Dagang Islam ( SDI ). Dari organisasi ini kemudian lahirnya organisasi-organisasi pergerakan nasional Islam lainnya26. Syarekat Islam sejak berdirinya diarahkan untuk menghimpun seluruh rakyat Indonesia.27 Pada tahun 1923 Syarekat Islam berubah menjadi Partai Syarikat Islam ( PSI ). Setelah itu berubah lagi menjadi Partai Syarekat Islam Hindia Timur ( PSIHT ) pada tahun 1927, dan akhirnya menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII ) pada tahun 193028. Kedua-dua golongan yang mewakili dua aliran pemikiran yang berbeda pada tahun 1920-an sering dikatakan sebagai dua kelompok yang saling bertentangan. Meskipun demikian, hubungan keduanya dalam perspektif sejarah cukup kuat. Jika terjadi polemik antara tokoh yang beraliran Nasionalis Islam dan tokoh yang beraliran Nasionalis Sekular dalam berbagai hal terkait masalah kenegaraan, menurut Ridwan Saidi, masih dalam batas-batas wajar bila dikaitkan dengan upaya bangsa Indonesia merumuskan landasan kehidupan bernegara29. Dalam konteks ini, Ridwan Saidi dalam bukunya; Islam dan Nasionalisme Indonesia, telah membuktikan bahwa keberadaan Jong Islamieten Bond ( JIB ) yang didirikan pada 1 Januari 1925 sebagai organisasi Islam yang

25 Ibid. h. 55 – 62 dan 105 - 144 26

Lihat, Harun Nasution, The Islamic State in Indonesia: The rise of The Ideology, The Movement for It`s creation and The Theory of The Masyumi ( MA Thesis, I.I.S McGill University, Montreal Kanada, 1965 ), h. 117

27

Lihat, A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 124

28 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. h. 35 – 40. lihat

juga, Endang Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus Nasional. h. 10

29

Lihat, Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia ( Yogyakarta: Basis, 1995 ), h. 1


(22)

berorientasi nasional dan bagaimana JIB berperan aktif dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan30. Beberapa fakta sebagaimana disebutkan Ridwan Saidi, membuktikan bahwa, Pertama; Pada tahun 1927 Pengurus besar JIB mendirikan National Indonesia Padvinderij ( Kepanduan Nasional Indonesia ) . Fakta ini membuktikan bahwa komitmen JIB pada cita-cita Nasionalisme Indonesia sangat kuat. Kedua; Keterlibatan beberapa tokoh nasional JIB, antaranya Wilopo ( tokoh Partai Nasional Indonesia ) pada waktu mudanya pernah aktif dalam Kepanduan Nasional Indonesia, Chalid Rasyidi yang dikenal sebagai tokoh pejuang angkatan 1945 pernah memimpin JIB cabang Betawi ( Jakarta ), bahkan Soekarno sendiri sangat populer di kalangan JIB cabang Bandung, dan beberapa tokoh lain yang tidak dapat disebut di sini. Fakta ini menunjukkan bahwa betapa dekatnya hubungan antara pemuda-pemuda Islam dengan kalangan Nasionalis. Ketiga; Fakta lain adalah keterlibatan JIB dalam proses penyusunan Panitia Kongres Pemuda II pada bulan Agustus 1928. Panitia ini kemudian menyelenggarakan Kongres Pemuda ke II di Jakarta yang melahirkan

Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 192831. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa ketegangan-ketegangan yang akan terjadi tidak dapat dihindari antara kedua belah pihak sepanjang persidangan BPUPKI. Tetapi dengan rahmat Allah, akhirnya kedua-dua golongan besar ini bersatu dalam satu kesepakatan perjanjian bersama atau konsensus nasional tentang dasar Negara.

3. Brainstoming Tentang Rancangan Dasar Negara

Kajian tentang aspek apapun terkait dengan dasar negara Indonesia harus bertitik tolak dari apa yang disampaikan oleh tiga tokoh pemikir, yaitu; Muh. Yamin yang menyampaikan pemikirannya pada 29 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945 dan Soekarno yang menympaikan pandangannya pada 1 Juni 1945. Tanpa memperhatikan pandangan ketiga-tiga tokoh tersebut ( termasuk beberapa tokoh lain ) yang memberikan pandangannya tentang dasar negara, maka kajian terkait dengan dasar negara ( Pancasila ) tidak akan sampai pada

30

Ridwan Saidi, Islam dan Nasionalisme Indonesia. h. 3 - 5

31

Sumpah Pemuda terdiri dari tiga sumpah setia sebagai komitmen pemuda-pemuda Indonesia terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Tiga Sumpah Pemuda tersebut sebagai berikut; Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia.


(23)

pemahaman yang konfrehensif. Setelah pelantikan selesai, Badan Penyelidik ( BPUPKI ) kemudian terus melakukan persidangannya meskipun dalam suasana peperangan di Asia semakin berkobar. Badan Penyelidik, sebagaimana ditegaskan Muh. Yamin, telah menyelesaikan dua kali persidangan, yaitu; Persidangan pertama dari 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dan Persidangan kedua dari 10 sampai 17 Juli 194532.

Persidangan pertama merupakan penyampaian pandangan-pandangan umum terkait dasar negara dari beberapa tokoh terkemuka, kemudian semua pandangan tersebut ditampung sebagai bahan yang akan dibahas oleh Panitia Khusus ( Pansus ). Persidangan kedua sebagai kelanjutan dari persidangan pertama, yaitu persidangan yang memberikan fokus pembahasan secara menyeluruh dan mendalam terkait bahan yang telah disampaikan pada persidangan pertama.

Pada persidangan pertama, para anggota Badan Penyelidik telah mengadakan sidangnya untuk membahas masalah-masalah yang terkait dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Masalah yang menjadi fokus perhatian dalam persidangan kali ini ialah mengenai dasar negara. Pembahasan mengenai dasar negara ini dimulai dari sebuah pernyataan yang disampaikan oleh ketua Badan Penyelidik; K.R.T. Rajiman Wediodiningrat kepada para anggota sidang tentang dasar negara33. Pernyataan Ketua sidang BPUPKI tersebut sebagai kelanjutan dari pernyataan Gunseikan ( ketua pemerintah Sipil Jepang di Jawa ) pada upacara pelantikan Badan Penyelidik 28 Mei 1945. Gunseikan, antara lain menegaskan sebagai berikut;

Pembentukan Badan ini dimaksudkan untuk menyelenggarakan pemeriksaan tentang hal-hal penting, rancagan-rancangan dan penyelidikan yang berhubungan dengan usaha mendirikan negara Indonesia merdeka yang baru . . Jika suatu bangsa hendak meneguhkan dasar kemerdekaannya, maka ia harus mempunyai keyakinan diri untuk sanggup membela negara sendiri dan juga mempunyai kekuatan yang nyata sebagai bangsa . . . .

32

Lihat, Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undangan Dasar Republik Indonesia ( Jakarta: Yayasan Prapanca, 1960 ) h. 121. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 ( Jakarta: Siguntang, 1971 ), Jild 1, h.59 - 197

33

Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS – Centre For Strategic and International Studies -, 1985 ), hlm. 26. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1970 ), h. 12


(24)

Berhubung dengan syarat-syarat untuk negara merdeka yang baru, maka tuan-tuan sekalian memajukan diri dalam penyelidikan dan pemeriksaan tentang soal-soal tadi dan demikian juga tentang soal-soal agama34.

Pernyataan Gunseikan ini mengindikasikan adanya keharusan BPUPKI melakukan penyelidikan terhadap dasar-dasar yang akan menjadi landasan negara Indonesia. Untuk memberikan tanggapan terhadap pernyataan ketua sidang BPUPKI tentang dasar negara, Muh. Yamin dalam karyanya; Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 menginformasikan bahwa sekurang-kuranya tiga orang anggota Badan Persiapan yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan ketua sidang ( K.R.T. Rajiman Wediodiningrat ) tersebut. Ketiga-tiga anggota sidang itu ialah; Muh. Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Berbeda dengan pendapat Muh. Yamin, Kohar Hari Soemarno dan Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan bahwa orang-orang yang meyampaikan gagasannya melalui pidato pada sidang pertama BPUPKI bukan tiga orang, melainkan empat orang., yaitu; Muh. Yamin pada 29 Mei 1945, Moh. Hatta pada 30 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945, dan Soekarno pada 1 Juni 1945.35 Kohar memberikan alasan yang cukup kuat bahwa data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Bung Hatta, Mr. Sunario, Subarjo, A.G. Pringgodigdo dan Pratignyo36. Hanya saja para peneliti umumnya tidak menyebut Moh. Hatta sebagai salah seorang yang juga memberikan gagasannya melalui pidato terkait dasar negara. Jika data yang diperoleh Kohar itu lebih kuat karena bersumber dari hasil wawancara dengan para pelaku yang aktif dalam sidang-sidang BPUPKI, maka dapat dipastikan bahwa Moh. Hatta memang menyampaikan pidatonya pada sidang pertama BPUPKI, tetapi kemungkinan besar Moh. Hatta tidak menyertakan teks pidatonya secara tertulis. Hal ini sebagaimana dikatakan Kohar Hari Soemarno bahwa dia tidak mendapatkan catatan apapun mengenai isi pidato Moh. Hatta. Seandainya ada teks pidato Hatta tentu saja dapat diketahui pemikiran Hatta tentang dasar negara dengan jelas37. Demikian juga Lembaga

34 Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang

Dasar 1945. h. 22 - 23

35

Lihat, Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 M. ), hlm. 36. Lihat Juga, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 33 – 37 dan 94

36

Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila. h. 35

37


(25)

Soekarno – Hatta memperoleh datanya secara langsung dari orang-orang yang aktif menghadiri sidang-sidang BPUPKI, yaitu; Moh. Hatta. Dalam konteks ini Lembaga Soekarno – Hatta menyampaikan sebagai berikut;

naskah ini ( Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila ) ditulis sekitar tahun 1979 ketika Bung Hatta masih hidup dan termasuk salah seorang yang berpidato pada sidang Badan Penyelidik. Namun Bung Hatta sendiri tidak memiliki teks pidatonya yang disampaikan pada sidang Badan Penyelidik. Tapi beliau menyatakan bahwa ia berbicara tentang sistem ekonomi sosialis atau sistem ekonomi yang berkeadilan sosial38. Berdasarkan data di atas, terbukti bahwa Moh. Hatta termasuk yang menyampaikan pemikiranya pada sidang pertama BPUPKI 30 Mei 1945, tetapi dikarenakan Moh. Hatta tidak memiliki teks pidatonya, dan di samping pidatonya berbicara tentang ekonomi, sementara kondisi saat itu menuntut pembahasan tentang dasar negara, maka wajar jika para peneliti pada umumnya tidak memasukkan Moh. Hatta ke dalam tokoh-tokoh yang menyampaikan gagasannya tentang dasar negara. Namun demikian, yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa tidak berarti yang berbicara pada sidang pertama BPUPKI itu hanya tiga atau empat orang saja, melainkan lebih dari itu, karena berdasarkan laporan Zimokyoku ( Panitia Persidangan dan Tata Usaha ) BPUPKI yang dikutip Lembaga Soekarno – Hatta menyatakan ada empat puluh enam orang yang berbicara39 selama empat hari sepanjang proses perjalanan sidang pertama BPUPKI40.

Untuk mengetahui isi pidato Muh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno, berikut ini disampaikan isi pidato ketiga tokoh nasional tersebut berdasarkan sumber buku “ Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945“ yang ditulis Muh. Yamin, di samping sumber-sumber lain yang dianggap penting. Kutipan-kutipan yang akan diambil dari para penyampai gagasan hanya yang penting-pentingnya saja sesuai dengan

38

Lihat, Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 33

39

Para pembicara di sini dimaksudkan adalah para anggota sidang BPUPKI yang menyampaikan pandangannya selain dari Muh. Yamin, Moh. Hatta, Soepomo dan Soekarno.

40

Lembaga Soekarno – Hatta, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. h. 32 - 37


(26)

fokus pembahasan, yaitu; yang mengandungi pemikiran tentang dasar-dasar negara.

Isi Pidato Muh. Yamin

Muh. Yamin adalah orang pertama yang menyampaikan pandangannya tentang dasar negara, baik melalui lisan ataupun tulisan, kemudian diakhiri ( menurut versi Nugroho Notosusanto ) dengan melampirkan teks rancangan Undang-Undang Dasar bersama dengan Pendahuluan . Di antara pandangan-pandangannya41 sebagai berikut;

Negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu negara

kebangsaan Indonesia atau suatu nasional staat atau etat nasional yang sewajar dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga di atas dasar kebangsaan dan

ke-Tuhanan . . . . . rakyat Indonesia mesti mendapat dasar negara

yang berasal daripada peradaban kebangsaan Indonesia. Orang Timur pulang kepada kebudayaan Timur42.

Selanjutnya Muh. Yamin menyatakan;

Dalam keadaan yang seperti itu, perjalanan pikiran untuk kebaikan negara Indonesia yang kita selidiki itu dengan sendirinya . . . ditujukan kepada peninjauan diri sendiri sebagai bangsa yang beradab. Dengan penuh keyakinan, bahwa negara itu berhubungan rapi ( rapat ) hidupnya dengan tanah air, bangsa, kebudayaan dan kemakmuran Indonesia, seperti setangkai bunga berhubung rapi dengan dahan dan daun, cabang dan urat berasa-sama dengan alam dan bumi; seperti tulang, darah dan daging dalam badan tubuh yang berjiwa dan bernyawa sehat, maka kewajiban kita yang pertama kali ( ialah ) menyusuli dasar hidup kita ke dalam pangkuan, haribaan kita sendiri43. Berdasarkan penjelasan Muh. Yamin tersebut dapat difahami bahwa negara yang akan dibangun, menurut Yamin, adalah negara yang berdasarkan kebangsaan ( nasional ). Yaitu suatu pembangunan bangsa

41

Dalam konteks ini, penulis tidak akan membicarakan persamaan atau perbedaan yang tidak prinsip dari pidato Muh. Yamin, antara yang disampaikan melalui lisan dengan naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang disampaikannya kepada BPUPKI secara tertulis. Untuk melihat perbedaan antara keduanya, penulis persilahkan pembaca merujuk buku “ Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara “ karya Nugroho Notosusanto. h. 24 - 25

42

Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar1945. Jild. 1, h. 90 - 91

43


(27)

yang mengacu pada peradaban ( sivilazation ) yang lahir dari bumi Indonesia sendiri. Ini jelas terlihat pada ucapan Muh. Yamin; orang Timur pulang kepada kebudayaan timur. Yaitu sebuah bangsa yang berusaha menciptakan kesadaran senasib dengan mendekatkan seluruh rakyatnya ke suatu bentuk ideologi yang mencintai tanah air, sehingga dapat dimungkinkan lahirnya integrasi seluruh rakyat dalam rangka mencapai tujuan dan tanggung jawab bersama.

Pandangan Muh. Yamin orang Timur pulang kepada kebudayaan timur. Secara sosiologis sebenarnya tidak ada peradaban suatu bangsa di manapun berada yang tidak terpengaruh dengan peradaban bangsa lain, apalagi pada kondisi saat ini di era kecanggihan teknologi informasi ( Information Technology ) di mana dunia digambarkan seperti sabuah perkampungan yang tidak berbatas teritorial, apapun yang terjadi di benua Amerika di sana atau di belahan dunia lain, dalam beberapa detik saja sudah bisa diakses di Indonesia, maka suatu bangsa tidak bisa mencerminkan kemurnian peradabannya sendiri. Pada saat Muh. Yamin menyampaikan pandangannya juga sama saling mempengaruhi antar budaya sudah berjalan. Ini memberi perngertian bahwa setidaknya terbentuknya sebuah peradaban adalah hasil sintesis dengan peradaban bangsa lain. Masyarakat purba atau orang-orang asli yang lahir dan hidup di tengah hutan belantara saja, barangkali yang dapat dikatakan memiliki budaya atau peradaban murni atau asli, tetapi masyarakat seperti ini belum bisa dikatakan masyarakat yang berbudaya atau berperadaban. Yang jelas, pencapaian (

achievement ) bangsa Indonesia dalam peradabannya adalah hasil dari adobsi atau sintesis dengan peradaban-peradaban bangsa lain, dan ini tidak dapat terelakkan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya.

Pemikiran Muh. Yamin yang menyentuh dasar negara terdapat di akhir pidatonya, di mana Muh. Yamin melampirkan naskah rancangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang dirumuskannya sendiri. Dalam hubungan ini Muh. Yamin menyampaikan pemkirannya sebagai berikut:

Habislah pembicaraan tentang azas kemanusiaan, kebangsaan, kesejahteraan dan dasar yang tiga, yang diberkati kerahmatan Tuhan, yang semuanya akan menjadi tiang negara keselamatan yang akan dibentuk. Dengan ini saya mempersembahkan kepada


(28)

sidang sebagai lampiran suatu rancangan sementara perumusan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia44.

Dalam mukaddimah naskah rancangan Undang-Undang Dasar yang disampaikan Muh. Yamin tersebut, terdapat dengan jelas rumusan dasar negara yang lima, yaitu;

1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kebangsaan persatuan Indonesia

3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan

5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Berdasarkan pandangan Muh. Yamin tentang dasar negara dapatlah difahami bahwa negara Indonesia yang akan dibangun harus didasarkan pada lima asas sebagaimana disebutkan di atas45. Menurut Muh. Yamin kelima dasar tersebut dapat dijadikan tiang negara. Kelima dasar tersebut, tegas Yamin, dapat membawa keselamatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Isi Pidato Soepomo

Soepomo dalam pidatonya seperti juga Muh. Yamin, mengkonsentrasikan pandangannya pada dasar negara yang akan menjadi landasan negara Indonesia merdeka. Dalam konteks ini, Soepomo menyatakan demikian; Pertanyaan mengenai dasar negara pada hakekatnya adalah pertanyaan tentang cita-cita negara. Negara menurut dasar pengertian apa yang akan dianut oleh negara merdeka nanti. Pandangan Soepomo selanjutnya terfokus pada teori integralistik, di samping teori individualistik ( perseorangan ), dan teori sosialistik.46 Dalam hubungan ini Soepomo menyatakan sebagai berikut;

Maka teranglah Tuan-Tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan

44

Lihat Mh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 106

45

Menurut Nugroho Notosusanto terdapat rumusan lain dari Muh. Yamin tentang dasar negara, yaitu; 1. Peri-Kemanusiaan, 2. Peri–Kebangsaan, 3. Peri-Kesejahteraa. 4. Peri–Kerakyatan, 5. Peri–Ketuhanan.. Lihat, Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik Dan Rumusan Pancasila Yang Otentik ( Jakarta: t. tpt., 1976 ), h. 16

46

Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 110 - 111


(29)

keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan aliran pikiran ( staatside ) negara yang

integralistik; negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun47.

Dalam kutipan di atas, Soepomo menawarkan teori negara

integralistik. Teori ini rupanya menjadi tema penting yang mewarnai keseluruhan pemikiran Soepomo. Menurutnya bahwa negara

integralistik ialah sebuah negara yang bersatu padu dengan seluruh rakyatnya dan menempatkan dirinya pada posisi yang berada di atas semua golongan. Oleh karenanya di negara integralistik tidak ada keistimewaan bagi golongan besar ( mayoritas ) ataupun golongan kecil ( minoritas ), semuanya sama, maka anggapan bahwa golongan mayoritas berkuasa atas golongan minoritas tidak sejalan dengan teori ini. Lebih lanjut Soepomo menyatakan sebagai demikian;

Menurut aliran pemikiran tentang negara yang saya anggap sesuai dengan semangat Indoneia asli, negara tidak mempersatukan dirinya dengan golongan terbesar dalam masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat, akan tetapi negara mengatasi segala golongan dan segala seseorang ( individu ), negara mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya48.

Berdasarkan pandangan Soepomo di atas, dapat dimengerti bahwa negara Indonesia yang akan dibangun agar berdiri di atas semua golongan, tidak memberikan keistimewaan kepada golongan manapun, baik atas dasar kekuatan keagamaan, keturunan ( etnic ), ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu, Umat Islam secara keseluruhannya yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia diperlakukan sama dengan umat-umat agama lain. Ini artinya bahwa asas Islam dalam teori negara integralistik tidak dapat dijadikan dasar negara, sekalipun mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Demikian juga dengan agama-agama lain yang pada umumnya dianut oleh minoritas penduduk. Jadi, dengan demkian Indonesia yang akan dibangun dalam konsepsi Soepomo tidak bisa didasarkan pada dasar agama, baik agama

47

Ibid. h. 113

48

Lihat, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 114


(30)

yang dianut oleh mayoritas rakyat ataupun agama yang dianut oleh minoritas. Dalam konteks ini Soepomo menegaskan sebagai berikut;

Akan tetapi tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan terbesar, yaitu golongan Islam49.

Pandangan ini jelas menyatakan bahwa Islam tidak bisa dijadikan dasar negara, karena menurut Soepomo jika Indonesia didasarkan pada asas Islam berarti negara hanya mempersatukan diri dengan rakyat yang mayoritas dan berarti pula bahwa rakyat Indonesia yang minoritas tidak mendapatkan tempat. Oleh karena itu, Soepomo menawarkan bentuk negara nasional, negara bangsa, yaitu negara yang menaungi semua aliran dan golongan. Hal ini sebagaimana ditegaskan Soepomo sebagai berikut;

Oleh karena itu saya nenganjurkan dan saya mufakat dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang bersatu, dalam arti totaliter seperti yang diuraikan tadi, yaitu negara yang tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, akan tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan, baik golongan besar, maupun golongan yang kecil50.

Pernyataan Soepomo ini jelas menunjukkan bahwa negara Indonesia yang akan dibangun adalah negara nasional yang menghargai kehidupan plural, baik dari segi agama, etnic, budaya dan sebagainya. Mayoritas atau minoritas tidak mejadi persoalan, semuanya akan mendapatkan pelayanan dan perlindungan negara. Seluruh pemikiran Soepomo terkait dengan dasar negara ternyata bermuara pada teori integralistik, menurut Marsilan Simanjuntak, terpengaruh ajaran Hegel ( 1770 – 1831 ), Baruch Spinoza ( 1632 – 1677 M. ) dan Adam Muller, tidak tahan uji dengan teori kedaulatan rakyat, karena gagasan negara integralistik lebih mengutamakan keseluruhan, ketimbang teori individualistik, juga lebih mengutamakan persatuan organik dalam negara ketimbang kepentingan individu dan golongan.

49

Ibidh. 117

50

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 117


(31)

Gagasan negara integralistik menurut Marsilan lagi, bersemangat

antiliberalisme dan antiindividualisme. Pandangan yang hampir serupa dikemukakan oleh Adnan Buyung Nasution yang mengkritik konsep negara integralistik Soepomo51. Walau bagaimanapun teori negara integralistik adalah sebuah gagasan yang muncul ketika terjadi pembahasan tentang dasar negara, terserah kepada rakyat Indonesia untuk menerima atau menolaknya, tetapi realitasnya rakyat Indonesia menerima teori kedaulatan rakyat sebagai salah satu prinsip demokrasi. Hal ini dapat dimengerti bahwa rakyat Indonesia menolak gagasan negara integralistik.

Selain berbicara tentang dasar negara, Soepomo juga berbicara tentang hubungan agama dan negara. Di akhir pidatonya, Soepomo berbicara tentang kedudukan agama dalam teori negara integralistik, bahwa negara sekalipun menganut teori integralistik tidak anti agama, hanya saja negara tidak ikut mencampuri urusan-urusan agama. Dalam konteks ini Soepomo menegaskan demikian;

Dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara sedemikian, seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya, baik golongan agama yang terbesar, maupun golongan agama yang terkecil, tentu akan merasa bersatu dengan negara52.

Berdasarkan penjelasan Soepomo di atas, dapat difahami bahwa negara yang berdasarkan teori integralistik, ialah negara nasional sekular, yaitu negara yang memisahkan agama dari urusan-urusan negara ( politik ), sekalipun negara tidak anti agama. Dalam konteks ini, ada analisa yang cukup baik tentang gagasan negara integralistik Soepomo disampaikan A.M.W. Pranarka bahwa Soepomo telah membedakan antara negara Islam dengan negara yang berdasarkan cita-cita luhur Islam. Yaitu negara yang berdasarkan cita-cita luhur Islam ( kebaikan-kebaikan yang bersumberkan ajaran Islam ) sekalipun secara legal formal negara tidak berdasarkan asas Islam. Dalam pengertian

51

Lihat, Gatra ( Majalah berita mingguan ), 10 Juni 1995,l No. 30, tahun 1, Jakarta, h. 28

52

Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jld. 1, h. 117


(32)

bahwa negara memberikan kebebasan kepada rakyatnya yang beragama Islam untuk melaksanakan ajaran-ajaran agamanya, meskipun negara tidak didasarkan pada asas Islam, demikian juga rakyat yang beragama lain53.

Berikut beberapa pokok pikiran Soepomo berkenaan dengan rancangan dasar negara sebagai berikut; bahwa Indonesia harus didasarkan pada budaya asli, jati diri, yaitu budaya Indonesia, negara bersifat integralistik atau nasional totaliter, negara harus mengatasi semua golongan, baik yang mayoritas atau yang minoritas, negara tidak ikut campur dengan urusan-urusan agama. Selain itu ada beberapa para penulis, antaranya Muh. Yamin, Nugroho Notosusanto, Kohar Hari Soemarno mencatat pokok-pokok pemikiran Soepomo tentang dasar negara sebagai berikut; 1. Persatuan, 2. Kekeluargaan, 3. Keseimbangan lahir batin, 4. Musyawarah, 5. Keadilan rakyat54.

Isi Pidato Soekarno

Tokoh ketiga yang menyampaikan pemikiranya tentang dasar negara adalah Soekarno. Soekarno telah menyampaikan pandanganya secara jelas dan menyentuh persoalan secara langsung dan mendasar, meskipun secara keseluruhan inti dari pandangan Soekarno menurut Nugroho Notosusanto dan lain-lainnya, dikatakannya hampir ada kesamaan dengan yang disampaikan oleh kedua tokoh sebelumnya, yaitu; Muh. Yamin dan Soepomo, lebih khusus lagi Muh. Yamin yang hampir benar-benar sama. Namun demikian, Lembaga Soekarno–Hatta tidak menyetujui pandangan Nugroho tersebut. Berikut ini disampaikan petikan-petikan pandangan Soekarno terkait dengan rancangan dasar negara.

Sebelum menyampaikan inti permasalahan yang sangat fundamental berkenaan dengan pembentukan negara Indonesia, Soekarno lebih dahulu memberikan ulasan atau komentar kepada para tokoh sebelumnya yang telah menyampaikan pandangannya. Menurut Soekarno, para pemidato terdahulu belum memenuhi permintaan ketua

53

Lihat, A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila ( Jakarta: CSIS, 1985 ), h. 30

54

Lihat Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 121. Lihat Juga, Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila Yang Otentik ( Jakarta: T. pt., 1976 ), h. 17. Lihat juga, Kohar Hari Soemarno, Manusia Indonesia Manusia Pancasila ( Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. / 1984 ), h. 39


(33)

sidang K.R.T. Rajiman tentang dasar negara Indonesia. Menurut Soekarno lagi bahwa dirinyalah yang sudah mengerti tentang apa yang diminta ketua sidang, yaitu soal dasar, philosofhische gronsdlag ( bahasa Belanda ) weltanchouung ( bahasa Jerman ) yang akan menjadi landasan negara Indonesia merdeka. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan ; Maaf, beribu maaf, banyak anggota telah berpidato dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan paduka tuan ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh paduka tuan ketua yang mulia ialah dalam bahasa Belanda “

philosofisch grondslag “ dari Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi55.

Secara rinci Soekarno menyebut satu persatu secara sistematik terkait rangcangan dasar negara, yang pada intinya mengandung lima prinsip. Berikut ini disampaikan pokok-pokok pemikiran Soekarno tentang rancangan dasar negara tersebut. Soekarno menegaskan bahwa dasar pertama yang baik bagi negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan. Kita mendirikan suatu negara kebangsaan Indonesia56. Soekarno selanjutnya menyampaikan dasar kedua, yaitu dasar internasionalisme atau peri-kemanusiaan, sebagai berikut;

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Inilah

filosofische prinsip ( bahasa Belanda ) yang nomer dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan yang boleh saya namakan

internasionalisme57.

Dasar ketiga ialah permusyawaratan / perwakilan. Berikut ini Soekarno menegaskan sebagai berikut ;

Kemudian apakah dasar yang ketiga ?. Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara

55

Lihat, Soekarno, Lahirnya Pancasila -Pidato pertama tentang Pancasila 1 Juni 1945- ( T.tp : Tpt, T. th. ) h. 5

56

Ibid. h. 15. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 69

57 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 21 – 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah


(34)

untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan 58.

SelanjutnyaSoekarno menyampaikan dasar keempat, yaitu dasar kesejahteraan rakyat. Sehubungan ini Soekarno menyatakan sebagai berikut;

Prinsip nomer empat saya usulkan, saya di dalam tiga hari ini belum mendapat prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam rakyat Indonesia . . . .Maka oleh itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita terima hal

sociale rechtvaardigheid ( bahasa Belanda ) ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya59.

Akhirnya Soekarno sampai ke prinsip yang kelima, yaitu prinsip Ketuhanan. Sehubungan ini Soekarno menegaskan sebagi berikut ;

Saudara-saudara apakah prinsip ke lima ? saya telah mengemukakan empat prinsip; Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, dan Kesejahteraan sosial. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih. Yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw.. Orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan

58

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 22. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 74

59 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 24 – 26. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah


(35)

cara yang leluasa, . . . . . . . Dan hendaknya negara Indonesia suatu negara yang Ber-Tuhan60.

Demikianlah pada 1 Juni 1945 Soekarno telah menyampaikan prinsip-prinsip tentang dasar negara. Dan jika disusun prinsip-prinsip tersebut secara sistematik, maka menjadi sebagai berikut;

1. Kebangsaan Indonesia,

2. Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan, 3. Mufakat, Perwakilan dan Permusyawaratan, 4. Kesejahteraan sosial, dan

5. Ketuhanan.

Kelima-lima prinsip ini, Soekarno memberinya nama Pancasila, menurut pengakuannya nama tersebut diperoleh dari salah seorang teman ahli bahasa. Dalam hubungan ini Soekarno menyatakan sebagai berikut;

Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan, lima bilangannya. Inikah Panca Dharma ?. Bukan. . . Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma artinya kewajiban. Sedangkan kita ( sedang ) membicarakan dasar . . . . Namanya bukan Panca Dharma. Tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa,61 namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas ( asas ) atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia kekal dan abadi62.

Untuk memperkuat gagasan tentang rancangn dasar negara yang berjumlah lima prinsip itu, Soekarno kemudian membuat padanan ( perumpaan ) simbolik yang berjumlah lima pula. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan;

Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukum Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apalagi yang lima bilangannya ? Seorang yang hadir ( dalam sidang BPUPKI waktu itu ) berkata, pandawa lima. . . . Pandawapun lima orangnya. Sekarang banyaknya

60 Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 26 – 27. Lihat juga, Muh. Yamin, Naskah

Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 77

61

Terdapat sumber menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seorang ahli bahasa itu adalah Muh. Yamin.

62


(36)

prinsip; Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat, Kesejahteraan dan Ketuhanan, lima pula bilangannya63.

Soekarno setelah menyampaikan rancangan dasar negara yang berjumlah lima prinsip dan diperkuat dengan padanan lima simbol. Soekarno selanjutnya menyampaikan teori perasan ( peres ). Hal ini sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari.64 Teori perasan itu demikian; Lima Sila itu diperas menjadi tiga sila, disebut Trisila, dan

Trisila ini kemudian diperas lagi menjadi satu sila, yaitu, Ekasila. Jelasnya teori perasan itu sebagaimana disampaikan Soekarno65 , sebagai berikut;

1. Sosio-Nasionalisme, meliputi;  Kebangsaan Indonesia,  Peri-Kemanusiaan, 2. Sosio-Demokrasi, meliputi;

 Demokrasi,

 Kesejahteraan sosial, 3. Ketuhanan.

Trisila atau tiga sila kemudian diperas lagi menjadi satu sila, yaitu; Ekasila atau Gotong royong. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan sebagai berikut;

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen ( asli ), yaitu perkataan Gotong royong. Negara yang akan kita dirikan haruslan negara gotong royong. Alangkah hebatnya negara gotong royong.66 Pada kesempatan yang sama setelah mengajukan lima prinsip, Soekarno kemudian menawarkan kepada para anggota sidang bahwa ketiga-tiga bentuk gagasan itu sebagai altenatif, yang mana satu yang dikehendaki. Berikut ini Soekarno menyatakan sebagai berikut;

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana tuan-tuan yang akan pilih,

Trisila, Ekasila ataukah Pancasila. Isinya telah saya katakan

63

Ibid. h. 28. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi ( Jakarta: Bulan Bintang, 1977 ), h. 12 - 13

64

Lihat E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar negara Republik Indonesia ( Jakarta: SV. Rajawali, 1981 ), h. 17

65

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 28

66


(37)

kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu67.

Demikianlah pidato Soekarno yang disampaikannya pada 1 Juni 1945 di depan sidang pertama BPUPKI. Satu persatu dari lima prinsip rancangan dasar negara tersebut dijelaskannya secara sistematik, dan Soekarno kemudian menawarkan agar lima prinsip itu diberi nama Pancasila. Para anggota sidang kemudian menyambutnya dengan tepuk tangan yang riuh rendah setelah pidato selesai. Realitas ini mengindikasikan bahwa usulan Soekarno terkait dengan Pancasila diterima68.

Ketika hasil pidato Soekarno diterbitkan menjadi buku pada pertama kalinya di tahun 1947. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat ( ketua BPUPKI ) memberinya judul pada buku ini; Lahirnya Pancasila69. Ini berarti bahwa ketiga-tiga alternatif yang ditawarkan Soekarno;

Pancasila, Trisila dan Ekasila, hanya nama Pancasilayang diterima oleh anggota sidang, sementara Trisila dan Ekasila tidak. Demikianlah beberapa pokok pemikiran yang muncul dan berkembang pada sidang pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei–1 Juni 1945. Pokok-pokok pemikiran tersebut selanjutnya menjadi agenda pembahasan oleh Panitia Khusus ( Pansus ) yang beranggotakan sembilan orang.

4. Sumber Gagasan Dasar Negara Pancasila

Jika diperhatikan lebih dalam dari mana inspirasi lima dasar atau lima sila tersebut, baik yang disampaikan Moh. Yamin, Soepomo atau Soekarno. Menurut E. Saefuddin Anshari yang jelas semua gagasan yang muncul dan berkembang dari ketiga-tiga tokoh nasional tersebut bukanlah gagasan baru. Karena gagasan lima dasar negara telah tertanam

67

Ibid. h. 29 - 30

68

Lihat Kirdi Dipoyudo, Pancasila, Arti dan Pelaksanaannya ( Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1979 ), h. 20

69

Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila –Pidato Peringatan Lahirnya Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional- ( Jakarta: PT. Inti Idayu Press, 1978 ), h. 9. Lihat juga, Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Dasar Negara Dan Sebuah Proyeksi, h. 12


(38)

di jiwa Soekarno semenjak puluhan tahun ke belakang70. Hal ini diakui oleh Soekarno sendiri dalam pernyataanya sebagai berikut;

. . . saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk weltanchaung itu, untuk membentuk nasionalisme Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam

peri-kemausiaan , untuk mufakat, untuk sociale rechtvaardigheid, untuk Ketuhanan. Pancasila inilah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun71. Pada kesempatan yang sama Soekarno menegaskan; maka yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang BPUPKI ini, akan tetapi sejak tahun 1918, dua puluh lima tahun lebih ke belakang,72 Selain dari itu, jika diperhatikan dari aspek kronologi waktu akan terungkap bahwa pada bulan Juli 1933 ketika di dalam Konferensi Partai Indonesia ( Partindo ) di Mataram, Soekarno pernah menyatakan; Bagi kaum Marhaen73, asas itu ialah Kebangsaan atau Kemarhaenan ( Marhaenisme ). Di dalam keputusan Konferensi tersebut, Soekarno menegaskan; bahwa

Marhaenisme itu ialah Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme mengandung dua konsep dasar, iaitu;

Internasionalisme dan Nasionalisme, dan Sosio-demokrasi mengandung dua konsep dasar juga, iaitu; Demokrasi dan keadilan sosial.74 Dengan demikian, dasar pemikiran Soekarno tidak tiba-tiba wujud pada sidang BPUPKI, tetapi sudah tertanam dalam jiwanya semenjak tahun 1918 lagi.

Demikian juga dengan Muh. Yamin ketika dipecat dari keanggotaan Gerindo ( Gerakan Indonesia ) pada tahun 1939,

70

E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalisme Islam dan nasionalisme Sekular Tentang Dasar negara Republik Indonesia 1945 – 1959, h. 19

71

Soekarno, Lahirnya Pancasila, h. 30

72

Ibid. h. 15

73

Marhaen ialah terminologi yang dimaksudkan suatu masyarakat yang sebagian besar terdiri dari golongan bawah dengan sifat-sifat atau karakter orang bawah, baik sebagai petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelajar kecil, pegawai kecil dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa disebut; Wong cilik. Soekarno juga menyebut istilah Marhaen ketika menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI. Lihat Soekarno, Indonesia Menggugat–pidato pembelaan Bung Karno di depan Hakim Kolonial–( Jakarta: S.K. Seno, 1951 ), hlm. 130. Lihat juga, Soekarno, Lahirnya Pancasila. h. 10

74


(39)

kemudian Muh. Yamin bersama-sama dengan kawan-kawannya mendirikan Partai Persatuan Indonesia ( Parpindo ) yang didasarkan pada faham Sosial-nasionalisme dan Sosial-demokrasi75. Jadi dasar pemikiran Muh. Yamin pun tidak mendadak lahir pada saat sidang BPUPKI, tetapi sudah berakar dalam jiwanya semenjak tahun 40-an ke belakang.

Selain dari itu, jika diperhatikan penjelasan-penjelasan Soekarno yang disampaikannya pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 di mana Soekarno sendiri banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran A. Baars dan Sun Yatsen. Dalam hubungan ini Soekarno menjelaskan sebagai berikut;

Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun duduk dibangku sekolah HBS ( sekolah menengah ) di Surabaya, Saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars yang memberi pelajaran kepada saya, katanya; jangan berfahaman

kebangsaan, tetapi berfahamanlah rasa kemanusiaan sedunia . . . . . . . itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918 alhamdulillah, ada orang lain yang mengingatkan saya, yaitu Sun Yatsen di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People`s Principle`s, saya mendapat pelajaran yang membogkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People`s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa ( China ) menganggap Sun Yatsen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormatnya merasa berterima kasih kepada Sun Yatsen sampai masuk ke lubang kubur76.

Ketika Soekarno berbicara mengenai prinsip kesejahteraan sosial dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, Soekarno mengulangi lagi pengaruh San Min Chu I, antara lain Soekarno menjelaskan sebagai berikut;

Saya di dalam tiga hari ini belum mendengar prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan; prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi; prinsip San Min

75

Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakkyat Indonesia ( Jakarta: Dian Rakyat, 1967 ), h. 110 - 112

76


(1)

M

Muh. Yamin 4, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 20, 21, 22, 23, 26, 27, 28, 29, 31, 33, 35, 36, 37, 38, 49, 52, 54, 56, 57, 58, 61, 63, 90, 129, 130, 133, 134, 135, 168, 230, 241

Moh. Hatta 4, 8, 9, 24, 25, 26, 29, 38, 39, 42, 44, 45, 47, 48, 87, 88, 128, 129, 151, 180, 205, 240 241

M. Natsir 4

Mr. Sunario 8

Marsilan Simkanjuntak 14

Mufakat 16

Marhaen 20

Marxisme 26, 71

Megawati 81

Mukti Ali 100

Musthafa al-Rafi`ie 116, 121

Muhammad Jalal 124

MK ( Mahkamah Konstitusi ) 183, 184, 186, 218

Miriam Budiardjo 193, 194, 196, 215

M. Rusli Karim 194

MAII ( Majelis A`la Islam Indonesia ) 149, 160, 163

Masyumi 149, 162, 213, 223

Martin Sardy 157, 158, 162

MUI 164

Majapahit 22, 23, 131, 133, 134, 135, 148

Mohandas Karamchad Gandi 133

Muhammadiyah 136, 149, 162 195

N

Nasional Indonesia Padvinderij 6

Nasionalisme 20, 22, 29, 129, 130 137, 148


(2)

Notonagoro 44, 58, 227, 228

NKRI 69, 72, 80, 100, 159, 173, 212

NU ( Nahdlatul Ulama ) 136, 149, 162, 164, 165, 195, 223

O

Opsir Kaigun Jepang 42, 43, +44, 45

Otto Bauer 127

P

PNI ( Partai Nasional Indonesia ) 5, 223

Parindo ( Partai Indonesia ) 5

PNI- baru ( Pendidikan Nasional Indonesia ) 5

Parindra ( Partai Indonesia Raya ) 5, 213

PSI ( Partai Syarekat Islam ) 6, 213

PSIHT ( Partai Syarekat Islam Hindia Timur ) 6

PSII ( Partai Syarekat Islam Indonesia ) 6, 25

Panitia Kongres Pemuda II 6

Pratignyo 8

Perwakilan 16

Philosofhische Gronslag 15, 16

Piagam Jakarta 28, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 42, 46,

Pancasila 17, 18, 19, 23, 25, 26, 28, 30, 31, 38, 39, 44, 50, 53, 54, 56, 57, 60, 63, 66, 68, 69, 72, 75

Panca dharma 17

Parpindo ( Partai Persatuan Indonesia ) 20

Prawoto 31, 44, 45, 46, 50

PPKI 37, 42, 43, 44, 47, 49, 50, 53

Plato 88

Pramudito Sumalyo 140

Palestina 140

PGI ( Persatuan Gereja-geraja Indonesia ) 160

PHDI ( Parisada Hindu Dharma Indonesia ) 160


(3)

PKI ( Paratai Komunis Indonesia ) 160

Pakistan 128

Proletariat 131

Portogis 136

R

R. Panji Soeroso 5

S

Soekarno 3, 4, 7, 8, 9, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 37, 38, 39, 48, 50, 52, 53, 54

Soeharto 23, 54, 61, 67, 79, 104, 116, 141, 142, 144, 146, 149, 151, 167, 192, 194, 196, 214, 215, 222, 224

SBY 145

Soesanto Tirtoprodjo 4

Sartono 4

Samsi 4

Soepomo 7, 8, 9, 13, 14, 15, 20, 26, 39

Soebardjo 8, 29

Sumpah Pemuda 6

SI ( Syarekat Islam ) 5, 149, 162, 195

SDI ( Syarekat Dagang Islam ) 5, 136, 149

Sosialistik 12

Simbolik 18

Sosial-nasiolisme 20

Sosial-demokrasi 20

Sun Yatsen 21, 22, 23, 133

Sosialisme 22

Sunario 24Soekiman 31, 37

Sayuti Melik 44

Singgih 98

Sayidiman Suryohadiprojo 142, 151, 182

Said Agil Husin Al-Munawwar 152, 163, 164


(4)

Sygman Rhee 133

Sartono Kartodirjo 137

T

Teuku Moh. Hasan 43, 44

T.M. Usman El-Muhammady 18, 25

Trisila 18, 19

Taufik Abdullah 47

Timor Leste ( Timor Timur ) 129, 145, 223

Taman Siswa 136

TNI ( Tentara Nasional Indonesia ) 216, 219, 220, 222

T. Mulya Lubis 239, 249

TKI ( Tenaga Kerja Indonesia ) 112, 113

W

Wilopo 6

Weltanchoung 15, 20

Wongsonegoro 32

Woodrow Wilson 133

WALUBI ( Perwalian Umat Budha Indonesia ) 160

Z U

UNESCO 174

Y


(5)

(6)

SEKILAS TENTANG PENULIS

Sirojuddin Aly; tenaga akademik konsen pada kajian pemikiran politik Islam adalah dosen tetap pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ( FISIP ), Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sebelumnya dari tahun 2002 – 2009 dosen pada Fakultas Usuluddin dan Filsafat, Program Studi Pemikiran Politik Islam di Universitas yang sama. Penulis lulus Lc. ( S-1 ) dari Universitas Islam Madinah Saudi Arabia tahun 1988, meraih Master of Islamic Studies ( S-2 ) dari Universiti Kebangsaan Malaysia ( UKM ) tahun 1993, dan Ph.D ( S-3 ) diraih dari Universitas yang sama, yaitu; Universiti Kebangsaan Malaysia pada akhir tahun 2001. Mengenai pengalaman kerja sebagai berikut;

1. Tahun 1993 – 1997 dosen ( pensyarah ) pada Fakulti Pengajian Islam ( Faculty of Islamic Studies ), Universiti Kebangsaan Malaysia ( UKM ).

2. Tahun 1997 dosen part time pada Kolej Anjung Selatan di Sepang, Selangor, Malaysia.

3. Tahun 1998 – 2001 dosen ( pensyarah ) pada Institut Kemajuan Ikhtisas Pahang, Malaysia yang bekerjasama dengan Universiti Malaya ( UM ) dan Universitas Yarmouk di Jordan. 4. Tahun 2003 – 2006 mengajar di Institut PTIQ dan IIQ Jakarta. 5. Tahun 2002- 2006 mengajar pada Program Pascasarjana S-2

Program Studi Politik Islam, Isntitut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta (Kayumanis ).

6. Tahun 2006 – 2009 Direktur Pascasarjana, Program Studi Politik Islam, Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta ( Klender ). 7. Tahun 2010 – 2013 Pembantu Ketua I ( Puket -1 ) bidang

Akademik pada Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia ( STAIINDO ) Jakarta.

8.

Sejak tahun 2009 – sekarang; Anggota Dewan Penilai Ijazah Studi Islam Pendidikan Tinggi Luar Negeri, pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Isla

m, Kementerian Agama

RI.

9.

Sejak tahun 2013

2015 sebagai anggota Team

Pembakuan Format Ijazah ( S-1, S-2 dan S-3 )

pada Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi

Islam, Kementerian Agama RI.

10.

Sejak tahun 2010

2015, ketua Dewan

Kehormatan Akademik Fakultas ( Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik ), Universitas Islam

Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

11.

Sejak tahun 2015

sekarang, ketua Center for

Islamic Political Thought (CIPT) atau Pusat

Kajian Pemikiran Politik Islam (Puskappolis),

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif