Keadilan Sosial Meredakan Ketegangan

399 partai-partai politik dan sebagainya adalah kelayakan dan kapabilitas di samping tingkat pendidikan yang memadai. Jika dalam rekrutmen warga negara untuk mendudukuki jabatan-jabatan tersebut masih berlaku atas dasar pertimbangan daerah, etnik, aliran politik tertentu, keluarga, teman, dan sebagainya, sementara kelayakan dan kapabilitas tidak ada, maka berarti keadilan sosial dalam politik atau demokratisasi politik belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, dan ini berarti pula bahwa pelaksanaan sila keadilan sosial sebagaimana termaktub di dalam Pancasila belum terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan Negara, karena memang dalam rekrutmen tersebut belum dapat menempatkan seseorang pada tempatnya. Dalam hal terjadi perubahan mendasar terkait dengan restrukturisasi sistem pemerintahan daerah atau wilayah karena adanya kebijakan otonomi daerah, rekrutmen warga negara berdasarkan kelayakan, kapabilitas, serta tingkat pendidikan yang diperlukan tetap harus menjadi kriteria atau tolok ukur, meskipun di sana tidak dapat dihindari adanya prioritas warga setempat atau daerah dibanding warga dari luar daerah. Walau bagaimana pun masalah-masalah perbedaan etnik, budaya, aliran politik, agama, dan sebagainya sampai hari ini dalam sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia modern masih tetap terkendali 342 , meskipun tetap saja terjadi pasang surut dari waktu ke waktu. Selain dari itu harus disadari bahwa perbedaan-perbedaan tersebut tidak mungkin dapat dihilangkan sampai kapanpun. Perbedaan-perbedaan itu akan tetap wujud sepanjang umur dunia, karena perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya menyangkut kepentingan-kepentingan khusus yang jika tidak diakomodir oleh pemerintah, akan memunculkan masalah serius. Tetapi dengan terealisasinya keadilan sosial dalam berbagai aspek kehidupan, setidaknya 342 Kecuali wilayah Timor Timur yang terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI pada bulan Agustus 1999 setelah dilakukan referendum dibawah pengawasan PBB, ternyata rakyat Timor Timur memilih merdeka. Sejak dari awal integrasi wilayah Timor Timur ke Indonesia pada tahun 1975 tidak diakui oleh PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa . Oleh karena itu wajar kalau Pemerintah Indonesia di era Presiden BJ. Habibie melepaskan wilayah Timor Timur kini menjadi Timor Leste atas persetujuan MPR. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tekanan-tekanan Barat atas Indonesia, terutama karena masalah Hak Asasi Manusia HAM . 400 dapat meminimalisir krisis dan meredakan ketegangan-ketegangan yang terjadi di masyarakat, bangsa, dan negara.

4. Keadilan Sosial Dalam Hukum

Pada dasarnya keadilan terletak pada kemampuan seseorang untuk bersikap menghormati dan mengakui serta memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia yang mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama di depan hukum. Dengan demikian, keadilan merupakan nilai etika yang memberi makna pada kehidupan manusia dalam pergaulan dan interaksi, tanpa keadilan kehidupan tidak bermakna. Sistem hukum yang dipagari oleh ideologi Pancasila merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan bernegara sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, terkait dengan sistem lainnya secara timbal balik melalui berbagai pengaruh dan interaksinya 343 . Dengan demikian, sistem hukum negara Indonesia tidak tergantung secara deterministic menentukan sebagaimana yang ditegaskan oleh faham materialisme historis yang berdasarkan pada kekuatan produksi semata-mata, juga tidak dengan sendirinya wujud melalui keberhasilan dan kemajuan ekonomi. Oleh karenanya, pembentukan sistem hukum yang dapat melahirkan keadilan harus dibuat secara objektif dan berdasarkan pertimbangan - pertimbangan kebaikan bersama maslahat `ammah , maka pembuatan hukum tidak sepihak berdasarkan kepentingan-kepentingan golongan, atau partai politik yang dominan. Jika hal ini yang terjadi, maka hukum akan menjadi bahan mainan. Parahnya lagi hukum dapat dibeli dengan uang, akibatnya orang yang beruang akan menang meskipun sebenarnya dia kalah, dan orang yang tidak punya uang akan kalah meskipun sebenarnya menang. Sebagaimana diketahui bersama bahwa rakyat Indonesia menganut faham Ketuhanan dalam ber-Tuhan. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam 343 Lihat, Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya Jakarta: PT. Gramedia, 1989 , h. 161 401 Pancasila, dan termaktub juga di dalam Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, masalah-masalah hukum dalam rangka ketata-negaraan Indonesia mengacu pada koridor Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini sebagaimana disampaikan seorang pakar hukum; Hazairin yang dikutip Anwar Harjono, menegaskan bahwa ada dua pandangan mengenai hukum yang menjadi perdebatan klasik ketika orang merumuskan pendapat mengenai apa itu hukum. Dua pandangan itu ialah, Pertama; Melihat hukum sebagai masalah manusia antar manusia. Unsur-unsur lain seperti hubungan dengan alam sekitar atau bahkan dengan Tuhan Allah yang menciptakan manusia tidak menjadi perhatian. Secara sosiologis pandangan seperti ini disebut pandangan berdasarkan faham kemasyarakatan. Kedua; Melihat hukum tidak saja sebagai sestuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya yang sangat erat dengan Tuhan. Bahkan Tuhan Allah dilihat sebagai sumber hukum yang utama. Secara teologis pandangan kedua ini berdasarkan faham ke-Tuhanan 344 . Menelaah dua pendekatan terhadap sumber hukum yang berbeda sebagaimana disebutkan di atas, maka pembinaan sistem hukum di Indonesia adalah berdasarkan faham Ketuhanan. Yaitu; hukum tidak hanya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya dengan Tuhan Allah . Setidaknya rumusan hukum yang dibuat dalam bingkai Ketuhanan.

5. Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama

Upaya-upaya untuk merealisasikan keadilan sosial dalam hukum harus menjadi dasar bagi tatanan kehidupan demi terciptanya ketenteraman dan kedamaian hidup. Berikut ini disampaikan beberapa langkah, antaranya sebagai berikut; 1. Hukum dikembangkan berdasarkan acuan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, tetapi tanpa mengabaikan kemasukan 344 Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, Jakarta: Gema Insani, 1995 , h. 126 - 127