Pemberlakuan Hukum Berdasarkan Kebaikan Bersama

402 nilai-nilai lain, baik dari agama ataupun budaya asalkan dapat memperkuat kedudukan hukum itu sendiri. Ini berarti bahwa yang akan dibina itu bersifat dinamik sesuai dengan keperluan pada setiap saat. 2. Hukum dapat melahirkan afektifitasnya, jika dapat mewujudkan keadilan yang sebenarnya. Ini berarati bahwa hukum bukanlah alat justifikasi untuk memperkokoh kekuasaan atau posisi semata, bukan pula sebagai alat legitimasi dalam melakukan eksploitasi yang justeru melahirkan keadaan tidak adil. Dengan demikian, hukum diwujudkan secara objektif untuk tujuan memelihara kepentingan rakyat banyak. 3. Hukum mempunyai fungsi untuk memelihara dinamika kehidupan bangsa. Dengan demikian, hukum berfungsi untuk memelihara ketertiban masyarakat, dan bukan untuk mempertahankan status quo, melainkan untuk membuka kemungkinan terjadinya kemajuan yang tercermin dalam proses perubahan. Sehingga hukum tidak dijadikan mainan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan pribadi atau golongan dengan meminggirkan aspek keadilan dan kepentingan orang banyak. 4. Hukum ditegakkan untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan masyarakat, bangsa dan negara, sehingga masyarakat memiliki harga diri, dan percaya diri. 5. Hukum ditegakkan untuk melindungi orang-orang yang tidak berdosa atau tidak bersalah, sehingga orang yang bersangkutan merasa terlindungi hak-hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara. 6. Hukum berfungsi untuk melindungi orang-orang kecil dan orang-orang teraniaya, sehingga meraka merasa aman dan damai dalam pergaulan hidup antar sesama warga, tidak merasa takut untuk menyuarakan kebenaran di depan publik. Selain dari itu, perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan di masyarakat terdapat hubungan segi tiga keadilan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Notonagoro, yaitu; 1. Keadilan membagi-bagikan segala sesuatu kepada sesama warga yang telah menjadi haknya. 2. Menerima dengan sepenuh hati atas segala keadilan. Ini disebabkan tanpa ada komitmen dengan keadilan, tidak ada rakyat, bangsa dan negara yang dapat hidup tenteram dan damai, maka komitmen 403 terhadap penghormatan keadilan adalah mutlak menjadi hak hidup rakyat, bangsa dan negara. 3. Keadilan secara timbal balik atau komunikatif di dalam hidup bersama, yaitu memberikan segala sesuatu yang telah menjadi hak masing-masing kepada sesama rakyat, bangsa dan negara atas dasar kesamaan nilai antara hal-hal yang wajib diberikan 345 . Apabila fenomena ini benar-benar terlaksana di dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapat diharapkan keadilan sosial dalam hukum akan menjadi kenyataan. Hanya saja dalam upaya-upaya merealisasikan keadilan sosial dalam hukum selain dari hal-hal positif sebagaimana disebutkan di atas terdapat pula hal-hal negatif yang harus dihindari, yaitu; 1. Hukum agar tidak digunakan untuk mempertahankan status quo. Karena kalau hal ini terjadi, menurut Anwar Harjono, jelas yang diutamakan adalah kepastian dan keterlibatan pelaksanaan hukum , dan bukan sesuatu pengembangan atau kemungkinan mengikuti perkembangan masyarakat. 2. Hukum agar tidak semata-mata hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik, atau hukum dipakai untuk merekayasa masyarakat low as a tool of social engineering 346 . Hukum yang dibuat hasil rekayasa kekuatan-kekuatan sosial politik, menurut Anwar Harjono pada umumnya terjadi dalam negara yang mempraktekkan pola politik liberal, di mana kekuatan-kekuatan sosial politik yang berkoalisi atau yang menang merekayasa hukum 347 . Dalam kondisi seperti ini, kepentingan golonganlah yang lebih dominan dibandingkan kepentingan publik. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa hukum diberlakukan tanpa mempertimbangkan kepentingan-kepentingan golongan, status sosial, asal usul, agama, suku bangsa dan sebagainya, dan jika ini yang terjadi jelas tidak demokratis, justru kondisi ini mengarah pada keadaan diktator, karena hukum atau undang-undang dibuat berdasarkan kepentingan sepihak untuk tujuan-tujuan melindungi golongan kekuatan-kekuatan sosial politik dominan dalam percaturan politik. 345 Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer Jakarta: Bina Aksara, 1983 , h. 163 346 Lihat, Anwar Harjono, Indonesia Kita, Pemikiran Berwawasan Iman – Islam, h. 131 347 Ibid. 404 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa keadilan sosial yang mempertimbangkan hal-hal di atas adalah bukan saja karena kesadaran terhadap hukum dari warga masyarakat, tetapi karena pengaturan hukum yang diarahkan pada struktur masyarakat. Hal inilah yang memberikan peluang kepada rakyat untuk mendapatkan keadilan yang sebenarnya. Oleh karena itu, realisasi keadilan dengan sendirinya mengharuskan terlaksananya hak dan kewajiban 348 dalam masyarakat. Ini sesuai dengan pandangan A. Gunawan Setiardja bahwa wujud atau tidaknya kesejahteraan seluruh rakyat bergantung pada ditaati dipatuhi atau tidaknya kewajiban oleh rakyat itu sendiri 349 . Oleh karena itu, jika rakyat komitmen untuk mentaati loyal dan menghormati hak dan kewajiban secara ikhlas dan jujur, maka kesejahteraan dengan sendirinya akan wujud. Ini artinya ada keterkaitan antara keadilan sosial dalam hukum dengan hak dan kewajiban serta kesejahteraan sosial, maka secara logika kesejahteraan sosial tidak akan terealisasi jika tidak ada keadilan yang merata di dalam masyarakat, bangsa dan negara.

6. Pemerataan Pendapatan Secara Adil Menciptakan Pertumbuhan Ekonomi

Keadilan dalam ekonomi, dalam arti pemerataan ekonomi menghendaki wujudnya kehidupan yang layak dan memadai bagi seluruh rakyat tanpa membedakan perbedaan keturunan, aliran politik, daerah, agama, dan sebagainya. Pemerataan ekonomi sebagai agenda manusia dalam sepanjang hidupnya di muika bumi ini di mana saja berada, termasuk di Indonesia. Adalah langkah bijak menerapkan konsep keadilan sosial pada aktivitas perekonomian agar setiap individu rakyat mendapatkan pelayanan yang sama. Pemerataan ekonomi tidak berarti menyamaratan 348 Hak adalah kuasa untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilaksanakan. Kewajiban dapat diartikan sebagai suatu beban untuk dikerjakan yang sudah menjadi kemestian. Bedanya hak lahir dari dalam diri sendiri internal , sementara kewajiban datang dari luar eksternal . 349 Lihat, A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila Yogyakarta: Kanisius, 1983 , h.48 405 pendapatan pada setiap rakyat seperti di negara-negara yang menerapkan ideologi Komunis. Pemerataan ekonomi bertujuan agar setiap rakyat dapat menikmati kehidupan yang layak 350 . Kehidupan yang layak ditandai dengan tersedianya berbagai fasilitas yang cukup memadai, antaranya; rumah yang layak huni, tersedinya obat-obatan untuk menjamin kesehatan, tersedianya makanan yang mencukupi, jaringan jalan infra structure yang baik, pemilikan kendaraan yang sesuai dengan kemampuan meskipun harus melalui kredit, mendapatkan kesempatan pendidikan dan pengajaran. Kehidupan yang layak ini tidak berarti harus glamour atau mau menciptakan mahligai dan istana buat rakyat, tetapi kehidupan yang layak itu dimaksudkan untuk memberi keseimbangan kepada rakyat sebagai manusia dengan kehidupannya 351 . Kondisi seperti ini harus dimiliki oleh setiap rakyat, baik rakyat petani, buruh, pedagang, professional, pegawai bawahan, baik yang di kampung ataupun di kota. Dengan demikian, kemakmuran, dalam arti kehidupan sejahtera menjadi bagian yang harus diraih oleh setiap rakyat Indonesia, dan hal ini hanya dapat direalisasikan melalui demokratisasi ekonomi, maka kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh segelintir individu atau kalangan tertentu saja sebagaimana terjadi dalam masyarakat yang kental dengan budaya nepotisme dan kronisme. Pemerataan ekonomi akan melahirkan kesejahteraan sosial, hal ini sebagaimana dirumuskan di dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu dengan tersedianya segala keperluan dan fasilitas hidup, baik yang primer, seperti rumah tempat tinggal, makanan, pakaian dan sebagainya, atau keperluan skunder, seperti; rumah bagus, kendaraan bagus, baju bagus, jalan raya bagus, TV, dan sebagainya. Oleh karena itu semua aktivitas perekonomian pada dasarnya bertujuan untuk memajukan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. 350 Lihat, D. Chairat, Falsafah Pancasila Jakarta: Wijaya, 1955 , h. 22 351 Ibid.