Keadilan Sosial Menuntut Pemerataan Kesejahteraan

411 Indonesia 358 . Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan bahwa dalam rangka keadilan sosial terdapat tujuan untuk memeratakan pendapatan rakyat, supaya dengan itu menjadi hilang perbedaan yang ketara antara yang kaya dan yang miskin. Dengan demikian, inti dari keadilan sosial ialah cita-cita kemanusiaan yang memenuhi hakikat yang adil, yaitu terpenuhinya segala sesuatu yang telah menjadi hak di dalam hubungan hidup kemanusiaan sebagai sesuatu yang wajib, apakah itu aspek politik, ekonomi, hukum dan sebagainya 359 Keadilan dalam aspek ekonomi ialah memberi hak yang sama dalam lapangan kehidupan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dalam hubungan ini Moh. Hatta menegaskan bahwa; pemimpin-pemimpin Indonesia yang menyusun Undang-undang Dasar 1945 berkeyakinan bahwa cita-cita keadilan sosial dalam ekonomi dapat mencapai kemakmuran yang merata 360 . Tujuan ini, tegas Moh. Hatta telah ditanamkan di dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut; 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi dan tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menurut Moh. Hatta; Pasal 33 dari Undang-undang Dasar 1945 ini adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik 358 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. H. 470 359 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila pidato peringatan lahirnya Pancasila di Gedung Kebangkitan Nasional , h. 36 360 Moh. Hatta, Pengertian Pancasila pidato peringatan lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, h. 36 412 Indonesia 361 . Berdasarkan pernyataan Moh. Hatta ini dapat dijabarkan bahwa untuk merealisasikan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus dilakukan penataan langkah-langkah kongrit dan strategis. Hal ini dimaksudkan untuk membuka lapangan kehidupan dalam berbagai sektor. Dalam konteks ini D. Chairat menegaskan bahwa; lapangan hidup ini bermacam-macam dan mempunyai aspek yang banyak, antaranya; tani, bisnis, industri kecil, industri besar, seluruhnya adalah termasuk segi penghidupan warga negara Indonesia 362 , maka berdasarkan sila keadilan sosial, kehidupan rakyat Indonesia tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya, antara besar dan kecil, antara industri besar dan industri kecil, perusahaan dan pertanian, semuanya harus mendapatkan keadilan dan pelayanan yang sama dari Pemerintah. Jika perusahaan-perusahaan besar dibantu melalui pemberian modal, kenapa tidak perusahan-perusahaan kecil tidak dibantu. Jika para pemilik PT mendapatkan fasilitas untuk membesarkan perusahaannya, maka para petani dan pedagang kecil pun sewajarnya mendapatkan pelayanan yang sama, agar demokratisisi ekonomi dapat direalisasikan dengan baik. Dan jika ini terlaksana, maka ekonomi kerakyatan 363 sebagaimana diprogramkan di era Reformasi dapat diwujudkan. Demokrasi ekonomi, menurut Muh. Yamin berhubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menghendaki pemerataan kesejahteraan dengan meminimalisir perbedaan atau jurang pemisah antara warga negara 364 . Ini artinya bahwa pertumbuhan ekonomi harus merata, sehingga tidak ada jurang pemisah antara rakyat yang tinggal di kota denga 361 Ibid. 362 D. Chairat, Falsafah Pancasila Jakarta: Wijaya, 1955 , h. 21 363 Ekonomi kerakyatan dapat diartikan sebagai kegiatan yang menggunakan sumber-sumber ekonomi berdasarkan kepada demokrasi ekonomi, keadilan berusaha yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Lihat, M. Azrul Tanjung, Koperasi UMKM dan Paragdima Baru Ekonomi Kerakyatan Jakarta: JKPB Press, 2010 , h. 51 364 Muh. Yamin, Pembahasan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, h.471 413 rakyat yang tinggail di kampung, antara petani dan pedagang, antara PNS dan wiraswatawan, dan sebagainya. Untuk mewujudkan kondisi ini tentu saja harus didukung dengan kebijakan-kebijakan strategis, efektif, dan professional.

8. Membangun Masyarakat Sejahtera

Berbicara soal kesejahteraan. Kesejahteraan tidak mungkin wujud menjadi kenyataan jika tidak tercipta sistem perpolitikan nasional yang stabil atau mantap. Dalam konteks ini setidaknya ada tiga serangkai yang menjadi sendi atau landasan bagi terciptanya negara kesejahteraan. Tiga serangkai itu ialah; 1. Adanya sistem politik yang mantap. Hal ini sebagai landasan bagi lahirnya, 2. Kemajuan sosial-ekonomi berkelanjutan. Hal ini sebagai prasyarat untuk mendorong lahirnya, 3. Kesejahteraan sosial, martabat bangsa dan kecerdasan rakyat. Demikian ini sebagaimana ditegaskan Wakil Presiden RI; Prof. Dr. Boediono pada acara kuliah umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Jakarta, sebagai berikut; . . . . . Sistem politik yang mantap adalah landasan bagi kemajuan sosio-ekonomi yang berkelanjutan. Pada gilirannya kemajuan sosio-ekonomi berkelanjutan adalah prasyarat mutlak bagi dimungkinkannya lahirnya kesejahteraan, martabat bangsa dan kecerdasan rakyat yang terus meningkat, yang pada gilirannya akan membuat sistem politik makin matang dan makin berakar 365 Dengan demikian, maka kesejahteraan sosial merupakan inti dari keadilan sosial. Bahkan berdasarkan kondisi yang dialami oleh rakyat 365 Dipetik dari Kuliah Umum yang disampaikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia; Prof. Dr. Boediono di Universitas Islan Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis 23 Desember 2010 di Auditorium Harun Nasution, yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP, UIN. 414 Indonesia, kesejahteraan merupakan sesuatu yang harus segera direalisasikan. Oleh karenanya, negara harus segera memastikan langkah-langkah kongrit, strategis, dan efektif untuk terciptanya kesejahteraan, karena sebagian besar rakyat Indonesia sudah terlalu lama dalam kondisi hidup penderitaan dan tidak menikmati hidup berkecukupan. Kemunculan negara kesejahteraan berawal dari upaya negara untuk mengelola sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan welfare rakyat, kemudian negara merealisasikannya melalui kebijakan-kebijakan politik yang menghadirkan pelayanan sosial social services 366 . Dengan demikian, negara kesejahteraan menghendaki peran negara yang lebih dominan terhadap pengelolaan sektor publik, kecuali dalam sektor-sektor perusahaan-perusahaan negara yang sudah jenuh atau kurang produktif 367 . Realitas ini bagi rakyat Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk merealisasikan cita-cita ini, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, ayat 2, yang berbunyi bahwa; Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3, dari Pasal 33, UUD- 19 le ih tegas e yataka ahwa Bu i da ta ah air da kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan 366 Sejarah kelahiran negara kesejahteraan menurut versi Barat ialah setelah negara-negara di Eropa dilanda krisis pasca perang Dunia I dan perang Dunia II. Munculnya negara kesejahteraan sebagai respon terhadap tantangan Kapitalisme dan kesulitan-kesulitan yang melanda karena depresi dan perang. Negara kesejahteraan di Eropa telah dimulai oleh Jerman pada masa Kanselir Otto Von Bismarck. Tujuan mendesak dari sistem negara kesejahteraan di Eropa adalah untuk meminimalisir akses Kapitalisme yang paling mencolok. Karena sistem Kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang tidak memihak kepada orang-orang lemah dhuafa atau miskin. Bahkan dalam sistem Kapitalisme, negara hanya memiliki peran yang terbatas dalam mengelola sektor publik, karena banyak persahaan-perusahaan milik negara diswastakan, artinya diserahkan kepada pihak swasta untuk dikelola. Selain dari itu, negara kesejahteraan adalah untuk mengurangi daya tarik sistem sosialis. Lihat, M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Isla a d The Eko o i Challe ge Jakarta: Ge a I sa i Press, 2000 , h. 133 367 Terkait dengan sektor-sektor atau perusahaan-perusahaan negara yang sudah jenuh atau kurang produktif, bisa saja negara melakukan kebijakan swastanisasi agar tidak membebani negara.