Keadilan Dan Realitas Permasalahan

382 pentingnya masalah keadilan, sehingga Al-Qur`an menyebut kata adil keadilan berulang-ulang sebanyak dua puluh delapan kali 315 . Adil atau keadilan secara umum dapat diartikan sebagai upaya menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, atau upaya untuk memastikan seseorang yang memiliki hak memperoleh haknya tanpa ada halangan apa pun 316 . Dalam pengertian lain ialah; memberikan hak kepada orang yang berhak. Selanjutnya jika kata adil atau keadilan ini dikaitkan dengan rumusan sila kedua Pancasila, iaitu; Kemanusiaan yang adil dan beradab, maka artinya ialah; Manusia-manusia Indonesia yang memiliki sifat adil, iaitu; orang-orang yang menghormati hak-hak orang lain dan tidak sewenang-wenang menuruti kecendrungan dan keinginan sendiri atau golongannya dan tidak pula berlebihan ketika memutuskan hukuman kepada orang yang terkena hukum. Agama-agama dulu menurut Musthafa al-Rafi`ie didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Tetapi sumber-sumber keadilannya berbeda antara satu agama dengan agama lainnya sesuai dengan perbedaan kondisi, pemikiran dan kecendrungan masing-masing bangsa dan pemeluk agama-agama yang bersangkutan, misalnya sumber keadilan bangsa Roma adalah undang-undang rakyat, bangsa Yunani keadilannya bersumber pada undang-undang natural tabi`ie , bangsa Inggris sumber keadilannya hati Raja, sumber keadilan di dalam agama Islam adalah pemikiran dan hikmaf pelaksanaan Syariat Islam perundang-ndangan yang diilhami oleh al-Qur`an dan Sunnah Nabi 317 . Dalam realitas kehidupan yang sudah carut marut, kezaliman terjadi berleluasa di mana-mana, keadilan sangat sulit diwujudkan, kecuali harus melalui proses perjuangan serius yang melibatkan semua pihak, terutama Pemerintah. Masyarakat dalam kondisi seperti ini pada umumnya merasa takut untuk menyampaikan aspirasi kebenaran, 315 Lihat, Muhammad Aziz Nazamiy Salim, al-Fikr al-Siyasi Fiy al-Islam Iskandariyah: Muassisah Shabbab al-Jami`ah, 1996 , h. 90 316 Lihat, Musthafa al-Rafi`ie, al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah Beirut: al-Shinkat al-Alawiyyah Li al-Kitab, 1990 , h. 167 317 Ibid. 383 hanya sebilangan kecil orang-orang yang memiliki jiwa patriotik merasa terpanggil untuk melakukan restorasi kondisi yang sudah rusak ke keadaan yang normal. Dalam kondisi seperti ini keadilan akan disuarakan, maka mau atau tidak, mereka akan berhadapan dengan struktur kekuatan. Di sinilah akan terjadi pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, mana yang menang dan mana yang kalah, tergantung pada dominasi kekuatan masing-masing, jika kebenaran itu yang mendominasi, pasti akan meraih kemenangan. Tetapi jika sebaliknya, maka kebatilan akan memperoleh kemenangan. Di sinilah dominasi kekuatan menjadi penentu. Berbicara soal keadilan, Ahmad Syafii Maarif menegaskan; Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat sejak sekian lama dan banyak kemajuan-kemajuan yang telah dicapai melalui pembangunan demi pembangunan, sekalipun sasaran akhir berupa wujudnya masyarakat adil dan makmur masih jauh dari jangkauan 318 . Soeharto sendiri Presiden Indonesia ke II mengakui; bahwa masyarakat adil dan makmur masih jauh dari kenyataan, meskipun pembangunan Nasional yang sedang berlangsung sampai sekarang sekitar tahun 1980-an telah banyak menghasilkan buah yang nyata 319 . Banyak kasus yang terjadi di era Orde Baru membuktikan adanya indikasi bahwa keadilan dalam berbagai aspek kehidupan belum terealisasikan, baik dalam ranah hukum, ekonomi dan termasuk bidang pendidikan. Pada tahun 1980-an ada kecendrungan untuk mempersempit makna keadilan hanya sebatas formal, yaitu; keadilan menurut hukum. Kecendrungan ini menurut laporan Hak Asasi Manusia, semakin diperkuat karena pola komunikasi tidak lagi terjadi timbal balik antara 318 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante Jakarta: LP3S, 1985 , h. 62. Lihat juga, A. Syafii Maarif, Al-Qur`an Realitas dan Limbo Sejarah Bandung: Penerbit Pustaka, 1985 , h. 319 Umar Hasyim, Negeri Allah, Adil Makmur Di Di Bawah ampunan Allah Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981, h. 20 - 21 384 rakyat dengan Pemerintah, melainkan yang terjadi justeru satu arah 320 . Lalu lintas satu arah ini lebih parah lagi karena terkesan sebagai manifestasi dari kehendak struktur kekuasaan yang dominan, secara sederhana, kita melihat pola komunikasi satu arah ini ternyata penuh dengan paksaan. Menurut laporan Hak Asasi Manusia lagi saat itu, melawan pola komunikasi yang demikian ini, berarti melawan rumusan yang secara kelembagaan sudah disiapkan, dan ini berarti pula melakukan perlawanan terhadap struktur kekuatan itu. Keadilan dalam arti yang sebenarnya tidak mendapat tempat, karena semakin hari rumusan keadilan semakin dipersempit sesuai dengan kehendak undang-undang yang telah disiapkan 321 . Dengan demikian undang-undang yang dibuat itu tidak lebih sekedar dijadikan alat atau justifikasi untuk tujuan melindungi tindakan-tindakan struktur kekuatan yang sedang berkuasa, bukannya undang-undang dan hukum digunakan untuk menegakkan keadilan, melindungi orang-orang teraniaya dan menghukum orang-orang yang bersalah di sisi undang-undang. Rakyat Indonesia selalu menaruh harapan kepada siapa saja yang cerdas dan akan memimpin Indonesia agar dapat melaksanakan keadilan yang sebenar-benarnya sesuai dengan tuntutan fitrah dan tuntutan hak asasi manusia. Sudah menjadi fenomena di era Orde Baru, bahwa dominasi tafsiran formal akan lebih dimengerti jika kita memperhatikan sejumlah peraturan-peraturan Pemerintah waktu itu seperti; Penpres Petunjuk Presiden , Kepres Keputusan Presiden , Inpres Instruksi Presiden , Permen Peraturan Menteri , SK. Menteri, Perda, Instruksi Gubernur, sampai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh tingkat Rt. dan Rw 322 . Dominasi undang-undang atau peraturan dan tafsiran resmi seperti itu adalah sebagai akibat dari penerapan kedaulatan hukum rule of low 320 Lihat, T. Mulya Lubis, et al Pnyt , Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1981 Jakarta: Djaya Pirusa, 1983 , h. 45 321 Ibid. 322 Lihat, T. Mulya Lubis, et al Pnyt. , Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Indonesia. h. 46 385 yang dikondisikan untuk mendapatkan legitimasi yang dipaksakan atas tindakan yang sedang dan akan diambil. Peta perpolitikan Nasional era Orde Baru berdasarkan mobilisasi arus atas ke bawah top down telah memunculkan Pemerintahan yang lepas kendali dari kontrol rakyat, sehingga masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat tidak dapat ditangani dengan baik. Pencurian, perampokan, penodongan, perkelahian, pembunuhan, seolah-olah tidak ada henti-hentinya dari waktu ke waktu, semua itu terjadi dengan teranga-terangan. Perkelahian antar remaja, antar anak-anak sekolah telah terjadi begitu marak. Pelacuran di rumah-rumah bordil dan di warung remang-remang telah terjadi di mana-mana, baik yang legal di sisi aturan Pemerintah ataupun yang illegal. Belum lagi penyalah gunaan kekuasaan wewenang juga telah terjadi melalui berbagai modus seperti korupsi, kolusi dan nepotisme KKN danitu terjadi secara terangan-terangan, tanpa rahasia-rahasiaan 323 . Kondisi yang carut-marut ini sebagai akibat dari adanya ketimpagan-ketimpangan yang menyebabkan terjadinya rasa tidak puas terhadap pelaksanaan hukum undang-undang , yang sering kali dimanipulasi dan dipermainkan. Keputusan hakim sering kali terjadi kontraprodutif, yang benar bisa menjadi salah, dan yang salah bisa menjadi benar tergantung pada kekuatan lobi-lobi, uang dan jasa-jasa lain. Siapa yang banyak menyogok uang kepada para penegak hukum dan aparat terkait bisa dipastikan dia akan menang, meskipun hakikatnya dia berada di pihak yang salah. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyogok uang besar bisa dipastikan dia akan kalah, meskipun hakikatnya dia berada di posisi yang benar. Fenomena ini jelas bertentangan dengan Pancasila, terutama sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena sikap adil yang harusnya menjadi cermin para penegak hukum dan aparat terkait tidak terealisasi dalam kehidupan nyata. Kelanjutan dari fenomena ini memunculkan implikasi yang lebih parah, yaitu munculnya sindrom ketidak percayaan rakyat kepada Pemerintah. 323 Ibid. h. 54 386 Keadilan merupakan salah satu nilai unversal adalah sesuatu yang asas bagi bangsa yang berprikemanusiaan dan berperadaban, yaitu manusia-manusia yang beradab, maka realisasi keadilan sebagai manifestasi dari sikap manusia-manusia yang berprikemanusiaan adalah dambaan semua manusia yang tidak dapat ditawar-tawar sampai kapanpun. Pemerintah yang mengabaikan keadilan pasti akan dihadapkan pada berbagai masalah yang berat-berat. Secara politis dapat dikatakan bahwa pelaksanaan keadilan adalah untuk memastikan agar setiap individu rakyat dapat dengan mudah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam kondisi yang aman, damai dan tenteram. Dengan demikian, semua tugas dan tanggung jawab dapat direalisasikan sepenuhnya dengan baik dalam situasi yang kondusif, maka dengan memberi perhatian sepenuhnya pada pelaksanaan keadilan secara merata, kesejahteraan untuk seluruh rakyat dapat diwujudkan dengan mudah. Tuntutan keadilan akan terus muncul pada setiap saat, kapan saja dan di mana saja, terutama ketika situasi politik dalam keadaan carut marut tidak stabil sebagai akibat dari; 1. melemahnya peran para penegak hukum, 2. Terjadinya kesenjangan yang sangat ketara antara yang kaya dan yang miskin, 3. Peraturan dan kebijakan Pemerintah semakin hari semakin keras, 4. Rasa takut selalu menghantui rakyat, 5. Rakyat merasa dikontrol dalam berbagai aspek kehidupan, 6. Hukum dan undang-undang hanya menjadi bahan mainan di antara para penegak hukum, 7. Nepotisme terjadi di mana-mana secara leluasa dalam sistem pemerintahan. Semuanya tu akan berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial social problems , seperti pencurian, perampokan, kemiskinan, pelacuran, pembunuhan, penipuan, penggelapan uang, persekongkolan kolusi dalam berbagai tindak kejahatan, korupsi dan sebagainya. Pada akhirnya kondisi ini akan memunculkan semangat rakyat yang memiliki kesadaran tinggi untuk mendobrak ketimpangan-ketmpangan yang ada, meskipun harus berhadapan dengan resiko yang mengancam diri mereka karena akan dianggap menentang struktur kekuatan. Kebangkitan ini mengkristal didorong oleh rasa tanggung 387 jawab untuk menegakan keadilan, melakukan restorasi dan reformasi untuk perbaikan hidup yang lebih baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Dalam kondisi seperti ini Pemerintah mau atau tidak, dihadapkan pada dilema dan kekuatan rakyat. Bagi pemimpin yang berjiwa besar, bijaksana, akan menghadapi situasi ini dengan penuh kesadaran akan menyadari ketimpangan-ketimpangan ini, kemudian melakukan perbaikan kemaali sesuai dengan tuntutan keadilan rakyat. Tetapi jika pemimpinnya bersikap egois, otoriter atau tirani, semua tuntutan rakyat itu akan dihadapi dengan kekuatan aparat militer. Peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia pada sekitar tahun 1998 yang berujung pada terjadinya pelengseran Presiden Soeharto dari jabatannya karena desakan dari berbagai elemen masyarakat adalah sebagai akibat dari berbagai masalah yang terjadi pada bangsa ini dalam setiap lini kehidupan. Berbagai permasalahan yang menimpa saat itu sebenarnya bermuara pada tidak adanya keadilan dalam arti yang sebenarnya, baik dalam aspek ekonomi, pendidikan, hukum dan sebaginya. Di era Reformasi, Pemerintah nampak komitmen dalam pemberantasan tindak kejahatan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan upaya-upaya Komisi Pemberantasan Korupsi KPK mengejar para Koruptor, meskipun KPK harus berhadapan dengan tantangan-tantangan berat, yaitu percobaan-percobaan kerdilisasi KPK oleh orang-orang yang tidak suka dengannya melalui upaya mengkriminalkan beberapa pimpinannya, seperti yang terjadi kepada Antasari Azhar, Bibit dan Candra. Walaupun begitu Pemerintah tidak putus-asa, upaya pemberantasan korupsi harus diteruskan sampai Negara ini benar-benar bersih dari para Koruptor. Pemberantasan dimulai dari para pejabat tinggi, para mantan pejabat ataupun sedang menjabat, baik di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan bahkan di Lembaga Penegakkan hukum dan Kepolisian sendiri. Pengejaran terhadap para Koruptor adalah merupakan upaya penegakan hukum untuk memastikan keadilan itu ditegakan, karena para Koruptor adalah para penjahat berdasi dan sebenarnya mereka adalah musuh negara dan musuh seluruh rakyat Indonesia yang selalu berlindung di balik permainan hukum dan undang-undang, oleh karenanya harus diadili karena memang merugikan 388 negara, menggerogoti asset Negara dan menyengsarakan masyarakat banyak. Berbagai tindak pidana di era Reformasi sebenarnysa merupakan fenomena yang tidak ada habis-habisnya. B.J. Habibie Presiden RI ke III mengkritik Pemerintah era Reformasi, bahwa reformasi memang diakui telah berhasil membuahkan demokratisasi, tetapi belum terkordinasi secara baik. Dampaknya dalam praktik masih terjadi berbagai penyimpangan 324 . Menurut Habibie lagi penyimpangan ini terjadi selama sepuluh tahun era Reformasi, yaitu orientasi para elite politik lebih mengutamakan kepentingan politik sesaat. Hal ini terjadi karena kelembagaan politik belum melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya, baik di tingkat Birokrasi, Partai Politik, maupun di tingkat Lembaga Perwakilan Rakyat Parlemen 325 . Dengan demikian, kepentingan dan keberpihakan kepada rakyat dan masyarakat banyak belum sepenuhnya terakomodasi. Di sinilah letak permasalahan bahwa keadilan belum terealisasikan secara merata dan pastinya belum banyak dinikmati oleh masyarakat dan rakyat banyak.

4. Keadilan dan Komitmen Pada Tanggung Jawab

Sebagimana disebutkan di atas bahawa keadilan sebagai salah satu nilai universal menjadi dambaan setiap manusia hidup, bukan saja manusia Indonesia tetapi juga manusia sejagat 326 , karena itu keadilan berimplikasi lahirnya ikatan dan penyatuan masyarakat dalam satu kesatuan yang harmoni dan dinamis. Setiap individu dalam masyarakat akan menunaikan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing sesuai dengan kemampuan, keinginan dan latar belakang pendidikannya dalam kondisi aman dan bebas dari setiap tekanan dan rasa takut. Hanya 324 Pidato Mantan Presiden RI ke III, B.J. Habibie, di depan anggota Dewan Perwakilan Daerah DPD dalam rangka peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional di Gedung DPD Jakarta pada tanggal 29 Mei 2008. 325 Ibid. 326 Band. M. Ruthnaswamy, The Making of The State London: T.Tpt, 1932 , h. 301 - 328 389 dalam kondisi aman dan kondusif pembangunan Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, keadilan harus ditegakan di tengah-tengah masyarakat, dan ditegakan kepada siapa saja sepanjang sebagai warga negara, siapa pun dia, terlepas dari posisi dan pangkat yang disandangnya, terlepas dari asal usul keturunan siapa, warna kulit, orang kecil, orang besar, orang bawah, orang kuat, orang lemah, lelaki, perempuan, tua, muda dan sebagainya, sehingga keadilan mewarnai segenap aspek kehidupan dan setiap individu rakyat, di dalam ucapan, di dalam aktivitas harian, di dalam mengatur memanaj kehidupan orang banyak, di dalam memberikan kesaksian kepada orang yang tertuduh agar tidak memberikan saksi palsu atau mempermain-mainkan hukum, di dalam menerapkan hukum dan undang-undang, di dalam pemerataan ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Dalam konteks ini, Mustafa al-Rafi`iy salah seorang penulis kontemporer tentang pemikiran Politik Islam menegaskan bahwa; semua itu tidak mungkin bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata, melainkan jika setiap individu masyarakat menyadari tanggung jawabnya masing-masing. Pihak pertama sekali yang harus memiliki sikap adil ialah pemerintah, kemudian rakyat 327 . Ini disebabkan di tangan pemerintah terletak kekuatan dan kekuasaan yang bersifat memaksa. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang ada padanya memungkinkan pemerintah mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat dan rakyat sekalipun sedikit terkesan otoriter, tetapi itu tidak mengapa, yang penting keadilan dapat ditegkan. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa keadilan sebagai sesuatu yang asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dalam rangka merealisasikan keadilan pada setiap individu dan masyarakat harus ada langkah-langkah strategis. Langkah-langkah strategis tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu; 327 Lihat, Mustafa al-Rafi`iy, Al-Islam Din al-Madaniyyah al-Qadimah Beirut: al-shinkat al-`Alawiyyah Li Al-Kitab, 1990 , h. 170 - 171