Revisi Pancasila Dalam Piagam Jakarta
297 Dalam konteks ini, persoalan sebenarnya terletak di tangan
Soekarno dan Moh. Hatta, karena keduanya sebagai tokoh yang berpengaruh tentu saja dapat memainkan perananya untuk menentukan
arah mana yang akan dituju. Dalam arti bahwa jika Soekarno dan Moh. Hatta memang setuju dengan Piagam Jakarta sebagaimana yang sudah
menjadi kesepakatan bersama, tentu tidak akan membuka ruang untuk upaya penghapusan beberapa kalimat dalam Piagam Jakarta.
Kontroversi meruncing di sekitar Piagam Jakarta sejak semula memang sudah dirasakan. Namun demikian, karena kebesaran pengorbanan dan
toleransi para tokoh Nasionalis Islam sangat tinggi, demi wujudnya kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia seluruhnya, maka
permasalahan yang rumit itu akhirnya dapat diselesaikan bersama dengan penuh kesadaran dan husnu zan prasangka baik .
Pancasila yang disahkan penggunaannya semenjak Indonesia merdeka hingga hari ini adalah rumusan Pancasila yang dihapuskan
tujuh anak kalimatnya pada sila pertama, yaitu; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan sebagai
penggantinya kalimat; Yang Maha Esa. Jadi sila pertama Pancasila yang pada mulanya berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa
140
. Secara sistematik rumusan Pancasila yang diberlakukan sampai sekarang, ialah;
1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Inilah rumusan Pancasila yang diberlakukan sebagai dasar dan filsafat negara Republik Indonesia hingga hari ini. Dalam konteks ini
Prawoto menyebut rumusan Pancasila tersebut sebagai rumus Pancasila ke-2
141
. Sehubungan dengan ini Nugroho Notosusanto menegaskan
140
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jld. 1, h. 400 - 410
141
Pembahasan tentang rumus-rumus Pancasila dari rumus 1 hingga rumus IV dan bahkan rumus V, pembaca dapat merujuk karya Noor Ms. Bakry;
Pancasila Yuridis Kenegaraan, tahun terbit 1985, hlm. 40 – 41, dan rujuk pula karya
Prawoto Mangkusasmito yang berjudul; Pertumbuhan Historis Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 12
298 bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan itu ialah
konsep yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan . . . . yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Konsep ini diterima dengan
suatu perubahan penting, yakni sila pertama dari dasar negara yang tercamtum di dalam Pembukaan itu, yang pada awalnya berbunyi;
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bangi pemeluk-pemeluknya, dirubah menjadi; Ketuhanan Yang Maha Esa
142
. Dengan demikian, berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas
tentang pertumbuhan dan perkembangan Pancasila, dapat ditegaskan di sini bahwa proses perkembangan rumus Pancasila telah mengalami
beberapa tahap perkembangan. Setidaknya ada tiga tahap perkembangan, sebagai berikut;
1. Tahap sebagai konsep, rancangan atau gagasan yang disampaikan secara individu oleh ketiga tokoh nasional; Muh.
Yamin, Soepomo dan Soekarno. 2. Tahap rumusan yang lengkap sebagai hasil rumusan secara
kolektif, yaitu; rumusan Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta.
3. Tahap perubahan, yaitu tahap penghapusan tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila.
Suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian di sini, ialah terkait dengan penghapusan tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila.
Terjadinya penghapusan itu nampaknya sebagai kelanjutan dari sidang-sidang BPUPKI sebelumnya, rupanya yang dianggap prinsip
masih belum selesai, dan oleh sebagian kalangan dinilai bahwa penghapusan itu sangat mengejutkan. Padahal rumus Pancasila yang
terkandung di dalam Piagam Jakarta itu telah menjadi alat pemersatu atau perekat, makanya Piagam Jakarta disebut gentlement agreement.
Tetapi tiba-tiba saja tujuh anak kalimat itu dihapuskan,
143
yang menurut Prawoto sebagai essensi Piagam Jakarta
144
. Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah melalui memeras otak dan tenaga
142
Nugroho Notosusanto, Proses Pertumbuhan Pancasila Dasar Negar Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981 , h. 23
143
Penghapusan itu bukan saja terjadi pada tujuh anak kalimat dari sila pertama Pancasila yang terkandung di dalam Piagam Jakarta, tetapi penghapusan itu
terjadi juga pada beberapa kalimat di dalam Undang-Undang Dasar 1945
144
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 18
299 berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI pada 18 Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat dirubah. Pasti di balik
ini semua ada kekuatan yang mendorong terjadimya perubahan yang sangat mengejutkan.
9. Latar Belakang Perubahan Pancasila
Jika kita mau mereview ke belakang tentang alam pemikiran yang dominan dalam sejarah pergerakan nasional sebelum
terbentuknya Badadan Penyelidik BPUPKI , secara umum setidaknya ada dua kekuatan pemikiran, sehingga hal ini berimplikasi pada
pembentukan corak cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dua kekuatan itu, Pertama; alam pemikiran yang direpresentasikan oleh para tokoh
Nasionalis Sekular dan, Kedua; alam pemikiran yang direpresentasikan oleh para tokoh Nasionalis Islam. Kedua-dua corak pemikiran ini
berkembang pada saat bersamaan, dan keduanya terdapat titik temu disamping ada perbedaan mendasar. Titik temu di antara keduanya
adalah karena keduanya sama-sama ingin merealisasikan cita-cita kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajah asing terutama Belanda
waktu itu . Perbedaannya terletak pada dasar ideologi masing-masing yang tidak dapat dipertemukan, di mana aliran pemikiran Nasionalis
Sekular menginginkan Indonesia merdeka agar didasarkan pada asas kebangsaan yang bebas dari ikatan agama manapun dalam berbangsa
dan bernegara
145
, meskipun negara tetap mengakui eksistensi agama-agama yang ada. Pada umumnya mereka-mereka itu lebih
pragmatis
146
. Sementara aliran pemikiran para tokoh Nasionalis Islam menghendaki supaya Indonesia merdeka diasaskan pada Islam,
mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, selain fenomena berdirinya beberapa Kesultanan Islam Kerajaan
bercorak budaya Islam , seperti; Kesultanan Samudera Pasai
145
Hal ini dapat pembaca merujuk pada buku; Pemikiran Soekarno Tentang Islam dan Unsur-Unsur Pembaharuannya, tulisan Muhammad Ridwan Lubis. Dalam
karyanya ini, Ridwan Lubis 1992:131 menyatakan bahwa Soekarno banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, antaranya, pemikiran
Mustafa Kemal Attaturk yang berhasil mengubah sistem pemerintahan yang berdasarkan Khilafah ke bentuk Negara Republik Turkey Demokrasi Sekular.
146
Orang-orang pragmatis dalam berpolitik adalah mereka yang mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan situasi dan kondisi di mana program dan
aktivitasnya tidak terlalu terikat kaku pada suatu doktrin atau ideologi tertentu.
300 diperkirakan beridiri pada abad 13 M. , Kesultanan Demak, Kerajaan
Mataram II, Kerajaan Makasar, Kerajaan Ternate, Tidore, dan lain-lain yang kesemuanya itu sebagai bukti sejarah wujudnya
perpolitikan Islam di masa lalu, dan dengan sendirinya, menurut mereka, Syariat Islam dapat diberlakukan kepada rakyat Indonesia yang
beragama Islam. Realitasnya keinginan ini baru berhasil sebatas dalam rumusan Piagam Jakarta, tidak sampai ke tataran implementasi
praktis secara menyeluruh. Di dalam perkembangan ketata negaraan Indonesia selanjutnya keinginan ini tidak kesampaian
147
, karena terjadi perubahan atau penghapusan terhadap beberapa kalimat di dalam
Piagam Jakarta. Dalam konteks ini Moh. Hatta menegaskan; Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia PPKI yang bersidang sesudah proklamasi kemerdekaan
148
, menjadikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan Pendahuluan Undang-Undang Dasar 1945 dengan menghapus bagian
kalimat; dengan
kewajiban menjalakan
Syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya
149
. Selanjutnya Moh. Hatta menyampaikan alasannya, yaitu ada keberatan dari pihak non muslim pihak yang
tidak beragama Islam . Menurut mereka; tidak tepat di dalam suatu pernyataan pokok yang menyangkut mengatur seluruh bangsa
Indonesia ditempatkan suatu penempatan kalimat yang hanya mengenai sebagian saja dari rakyat Indonesia sekalipun itu mayoritas. Hatta
selanjutnya menyatakan; Untuk memelihara persatuan dan kesatuan seluruh wilayah Indonesia, dikeluarkanlah dihapus bagian kalimat;
dengan kewajiban menjalakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dari Pembukaan Undang-Undang Dasar
150
. Terkait dengan kenapa penghapusan tujuh anak kalimat itu
terjadi. Hal ini sebagaimana dituturkan Moh. Hatta di dalam bukunya; Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hatta
menceritakan peristiwa ancaman kepadanya yang terjadi pada sore hari
147
Di dalam sejarah perkembangan dasar negara Indonesia di kemudian hari, yaitu di tahun 1959, Piagam Jakarta ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Dokumen
Historis yang menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dan menjadi bagian dari Konstitusi tersebut.
148
Indonesia diproklamasikan pada jam 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
149
Moh. Hatta. Uraian Pancasila Jakarta: Mutiara, 1977 , h. 11
150
Ibid.
301 17 Agustus 1945, bahwa pada waktu itu Hatta kedatangan seorang
Opsir Kaigun Angkatan Laut Jepang yang mengaku sebagai utusan Indonesia bagian Timur. Tamu itu datang membawa pesan penting yang
harus segera disampaikan kepada Hatta. Karena pesan tersebut dikatakan sangat penting, Hatta pun bersedia menerima tamu tersebut.
Opsir Kaigun itu menyatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di wilayah Kaigun merasa keberatan terhadap kalimat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar yang berbunyi; Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syarit Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka
sebenarnya menyadari bahwa kalimat tersebut tidak mengikat mereka dan hanya mengikat sebagian rakyat Indonesia yang beragama Islam,
namun begitu mereka memandangnya segabai sesuatu yang diskriminatif terhadap mereka golongan minoritas. Hatta memberi
jawaban kepada Opsir tersebut,
151
bahwa hal tersebut bukan diskriminasi, sebab penetapan tujuh anak kalimat hanya menyangkut
rakyat yang beragama Islam saja. Selain dari itu ketika Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan, Mr. A.A. Maramis salah
seorang panitia sembilan yang beragama Kristen tidak merasa keberatan dan pada tanggal 22 Juni 1945 beliau turut pula menanda
tanganinya. Opsir Jepang tersebut kemudian menyatakan; bahwa pada waktu itu A.A. Maramis memang tidak merasa ada diskriminasi
dengan penetapan tujuh anak kalimat itu, tetapi kalau Pambukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu diteruskan juga apa adanya, golongan
Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik. Opsir Jepang tersebut yang katanya sungguh-sungguh menyenagi Indonesia
merdeka, mengingatkan Hatta tentang semboyan yang selama itu didengun-dengunkan; bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh
152
. Ucapan Opsir Kaigun itu rupanya berpengaruh pada pendirian
Hatta. Kemudian menurut pengakuan Hatta; terbayang gambaran bahwa perjuangannya yang lebih dari dua puluh lima tahun dengan
melalui penjara dan pembuangan untuk mencapai Indonesia merdeka
151
E. Saefuddin Anshari di dalam karyanya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional . . . . h. 55 , mencatat; bahwa nama Opsir Jepang
itu tidak diingat oleh Moh. Hatta. Kalau hal ini benar, adalah merupakan sesuatu yang naïf, seharusnya tidak terjadi pada Hatta yang dikenal sebagai orang yang ketat
disiplin. Maka jika hal ini demikian, itu tentu saja memunculkan berbagai pertanyaan dan spekulatif.
152
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 Jakarta: Tintamas, 1969 , h. 57 - 59
302 bersatu dan tidak terpecah-pecah, apakah Indonesia yang baru dibentuk
akan pecah lagi dan mungkin dijajah kembali karena suatu hal yang sebenarnya bisa diselesaikan. Jika Indonesia pecah, pasti daerah di luar
jawa dan Sumatera akan dikuasai lagi oleh Belanda dengan menjalankan politik memecah belah dan menguasai
153
. Setelah terdiam beberapa menit, Moh. Hatta kemudian
menegaskan kepada Opsir Kaigun Jepang; besok hari dalam sidang PPKI akan saya samapikan masalah yang sangat penting itu. Saya
minta kepada
Opsir Jepang
bersabar dan
termasuk pemimpin-pemimpin Kristen yang berhati panas agar mereka jangan
terpengaruh oleh propaganda Belanda. Mengingat betapa seriusnya persoalan ini, keesokan harinya pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang
PPKI dimulai, Bung Hatta mengundang empat tokoh Islam; Ki Bagus Hadikusumo, K.H. A. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo dan Teuku
Moh. Hasan dari Sumatera , mengadakan dialog lobby membicarakan masalah itu, supaya tidak terjadi perpecahan sebagai
bangsa
154
. Berlima dengan Bung Hatta, tokoh-tokoh Islam tersebut mencapai kesepakatan untuk menghapus beberapa kalimat dalam
Piagam Jakarta, yaitu; dengan kewajiban menjalankan Sysriat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang
Maha Esa. Setelah kesepakatan dicapai, Bung Hatta kemudian menegaskan
bahwa pemimpin-pemimpin
tersebut benar-benar
mementingkan nasib dan persatuan.
155
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Alamsyah Ratu Perwiranegara Menteri Agama RI di
tahun 1980-an menegaskan bahwa tanpa bantuan dan pengorbanan umat Islam, Pancasila tidak akan ada di Indonesia. Umat Islam telah
memberikan hadiah dan pengorbanan terbesar untuk kemerdekaan Republik Indonesia dan hidupnya Pancasila.
156
Hatta selanjutnya menegaskan bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan
menghapus perkataan; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan menggantinya dengan; Ketuhanan Yang
153
Kohar Hari Sumarno, Manusia Indonesia ManusiaPancasila Jakarta: Galia Indonesia, 1405 H. 1984 , h. 60. Lihat juga E. Saefuddin Anshari, Piagam
Jakarta: 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsnsus Nasional Antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
– 1959, h. 55
154
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 58 - 59
155
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59
156
Lihat Majalah Kiblat No. 23. tahun 1980, h. 8 - 9
303 Maha Esa
157
. Perubahan yang disetujui oleh lima tokoh itu kemudian disahkan oleh sidang lengkap PPKI.
Berdasarkan penjelasan Moh. Hatta di atas terkait dengan latarbelakang penghapusan pencoretan bagian kalimat dari Piagam
Jakarta, dapat dimengerti bahwa yang terlibat secara langsung dalam lobby itu lima orang tokoh. Tetapi menurut catatan Sajuti Melik salah
seorang anggota PPKI dan catatan Teuku Moh. Hasan juga anggota PPKI sebagaimana dikutip Prawoto; bahwa yang melakukan lobby itu
tiga orang saja; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan Moh. Hatta
158
. Jadi, bukan lima orang, sebab K.H.A. Wahid Hasyim waktu itu tidak ada karena beliau masih dalam perjalanan dari Jawa Timur ke
Jakarta , sementara Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan yang baru mendapat undangan sidang pada pagi itu, tutur Prawoto,
beliau Kasman belum mengetahui sama sekali persoalannya. Jika demikian kondisinya, berarti ada dua sumber yang berlainan. Pertama;
sumber dari Moh. Hatta, dan Kedua; dari Sajuti Melik dan Teuku Moh. Hasan. Sumber yang mendekati kebenaran menurut penulis adalah
sumber pertama, karena penghapusan tujuh anak kalimat itu tidak dapat dipertanggung jawabkan apabila hanya dibicarakan oleh dua orang
tokoh Islam Ki Bagus Hadikusumo dan Teuku Moh. Hasan ditambah dengan Moh. Hatta tampa melibatkan tokoh-tokoh Islam yang lain.
Berdasarkan latarbelakang penghapusan tujuh anak kalimat di atas, penulis ingin menyampaikan beberpa catatan terkait dengan Opsir
Kaigun Jepang yang datang kepada Moh. Hatta, Pertama: Orang yang datang kepada Moh. Hatta pada sore hari 17 Agustus 1945 itu adalah
misteri, karena menurut catatan E. Saefuddin Anshari dalam bukunya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945, bahwa Moh. Hatta tidak ingat nama Opsir
Kaigun Jepang itu
159
. Padahal Moh. Hatta sangat dikenal sebagi seorang administrator yang ketat. Harusnya seperti yang sudah menjadi
kebiasaan, dicatat dalam buku catatan tamu, karena hal itu sangat penting, apalagi menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua
: Moh. Hatta tidak membicarakan lebih dulu tentang kedatangan Opsir Kaigun Jepang itu, benarkah dia membawa missi dari
orang-orang Kristen dari Indonesia bagian Timur ?, bukannya terus
157
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 59
158
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 33 - 35
159
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 55
304 memprakarsai penghapusan pencoretan terhadap beberapa kalimat di
dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar itu sendiri . Ketiga: Opsir Kaigun Jepang itu mengaku, bahwa dia menyenangi Indonesia
merdeka. Apakah ini bisa dipercaya ?. Keempat: Opsir Kaigun Jepang yang datang kepada Moh. Hatta seolah-olah mewakili golongan umat
Kristen Protestan dan Katolik dari wilayah Indonesia bagian Timur. Benarkah demikian ?. Padahal umum diketahui, bahwa orang-orang
Jepang umumnya beragama Budha, Shinto atau tidak beragama. Sementara agama Kristen, baik Protestan atau Katolik adalah agama
tentara Sekutu Amerika dan Eropah , yaitu orang-orang yang dianggap musuh oleh bangsa Jepang waktu itu. Dapatkah dikatakan bahwa Opsir
Kaigun Jepang itu menjadi wakil orang-orang Kristen ? Secara logika sangat sulit untuk menerima kenyataan ini.
Pertanyaan-pertanyaan menggelitik
ini wajar
diajukan berdasarkan analisis terhadap fakta sejarah, secara akademik sah-sah
saja karena sebenarnya banyak terjadi ketidak jelasan di seputar penghapusan tujuh anak kalimat dari Piagam Jakarta. Kehadiran Opsir
Kaigun Jepang sebagai tamu Moh. Hatta juga tidak jelas sehingga muncul berbagai spekulasi. Oleh karena itu perubahan-perubahan yang
terjadi pada Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945, tidak heran jika di kemudian hari menjadi kontroversi dan memunculkan berbagai
spekulasi, terutama di kalangan para tokoh Nasionalis Islam. Sehubungan ini, Prawoto menegaskan; bahwa perubahan itu ternyata
menimbulkan benih pertentangan sikap dan pemikiran di kemudian hari. Dengan tak tersengajakan menjadi suburlah fitnah yang sangat
merugikan bangsa dan negara
160
. Selanjutnya Prawoto menyatakan; tersiarnya teks Pembukaan dan Undang-Undang Dasar yang sudah
dirubah itu menggoncangkan kalbu para pemimpin Islam yang turut merancang Undang-Undang Dasar dan juga mereka yang sudah
mendengar isi rancangan tersebut. Karena kedudukan mereka di tengah-tengah masyarakat sangat vital, maka frustasi mereka itu
160
Pertentangan sikap dan pemikiran, tumbuhnya fitnah menfitnah, bahkan frustasi dan kecewa sebagai akibat dari dihapusnya tujuh anak kalimat itu, segera reda
sedikit demi sedikit setelah Pemerintah Orde Baru berhasil meyakinkan umat Islam Indonesia tentu saja dengan berbagai pendekatan dan strategi , bahwa Pancasila
tidak bertentangan dengan agama, terutama agama Islam, bahkan agama menempati posisi yang khusus di dalam Pancasila. Dari aspek lain, karena keberhasilan Rezim
Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal, sehingga berdampak pada tidak adanya kemunculan ideologi-ideologi lain selain Pancasila.
305 merebak ke bawah dan ke samping. Mulailah terjadi krisis kepercayaan.
Namun demikan, Prawoto menyatakan; kegoncangan ini tidak dirasakan oleh golongan di luar Islam, sehingga artinyapun tidak segera mereka
tangkap
161
. Hampir sama dengan sikap Prawoto di atas, E. Saefuddin
Anshari di dalam bukunya; Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . . menyatakan bahwa reaksi atas kejadian 18 Agustus 1945 itu ternyata
terbagi dua sikap, Pertama; mereka yang beranggapan seperti Prawoto yang menyesalkan perubahan yang tiba-tiba itu. Kedua; mereka yang
beranggapan bahwa tidak ada hal yang tidak selaras dalam semua ini. Selanjutnya E. Saefuddin Anshari yang mengutip pandangan Ahmad
Sanusi di dalam bukunya; Islam: Revolusi dan Masyarakat, menyatakan bahwa Piagam Jakarta itu tidaklah dirubah atau
diombang-ambingkan oleh Badan Penyelidik atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
162
. Selaras dengan ini Moh. Hatta menulis; Pada waktu itu kami dapat menyadari bahwa semangat Piagam Jakarta
tidak lenyap dengan menghapus perkataan; Ketuhanan dengan kewajban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan
menggantinya dengan; Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya Moh. Hatta menegaskan
163
bahwa dalam negara Indonesia yang berfaham semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka tiap-tiap peraturan dalam
kerangka Syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR Dewan
Perwakilan Rakyat dan jika diterima oleh DPR, maka akan mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara ini, kata Hatta, bagi umat Islam
Indonesia ada satu sistem Syariat Islam yang diatur dalam undang-undang berdasarkan al-Qur`an dan Hadis Nabi yang sesuai
dengan aspirasi umat Islam Indonesia
164
. Begitulah realitas yang terjadinya terkait dengan penghapusan
tujuh anak kalimat di dalam Piagam Jakarta. Walau bagaimanapun, semua itu sudah berlalu dan menjadi catan sejarah, waktu tidak dapat
diputar kembali ke belakang. Bangsa Indonesia seluruhnya, terutama
161
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, h. 28
162
E. Saefuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 . . . . . h. 28 dan 61
163
Penegasan Moh. Hatta ini sebagaimana dikutip E. Saefuddin Anshari di dalam bukunya ; Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 62
164
Moh. Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, h. 28 - 60
306 umat Islam, tidak ada pilihan lain selain memahami ada hikmah di balik
apa yang terjadi, sehingga dengan begitu diharapkan lahir sikap positif. Para tokoh Nasionalis Islam telah berjuang begitu hebatnya, tetapi takdir
Tuhan menentukan yang lain. Yang penting sekarang, ialah bagaiamana rakyat Indonesia dapat merealisasikan apa yang telah
menjadi konsensus bersama para founding fathers negara Indonesia. Mempermasalahkan hal-hal yang telah lalu tidak ada gunanya, selain
membazirkan waktu. Sehubungan ini, penulis setuju dengan pandangan Taufik Abdullah bahwa Pancasila sebagai hasil rumusan
Panitia kecil panitia sembilan dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter, di mana Pancasila terkandung di dalamnya,
maka Pancasila yang resmi diberlakukan hari ini adalah Pancasila yang disahkan oleh PPKI dalam sidangnya 18 Agustus 1945 dengan
menghapus tujuh anak kalimat; dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, jadinya; Ketuhanan Yang Masa Esa
165
. Perjuangan menegakkan Syariat Islam masih terbuka meskipun tidak
harus secara formalistik sebagaimana ditegaskan Moh. Hatta; bahwa dalam negara Indonesia yang berpaham semboyan Bhinneka Tunggal
Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang
RUU ke DPR, dan jika diterima, maka undang-undang tersebut akan mengikat umat Islam Indonesia.