Dimensi fleksibilitas dan pengembagan ;

337 refleksi dan implementasi dari sebuah ideologi 228 . Dalam konteks ini, Pancasila sebagai ideologi nasional dalam berbangsa dan bernegara sudah memenuhi tiga dimensi dasar tersebut. Permasalahannya adalah tergantung pada efektivitas pengembangan dan pendekatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Konsekuensi dari penegasan ini adalah bahwa Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, dan ini sangat diperukan berdasarkan kebutuhan konseptual. Keterbukaan ideologi artinya terbuka untuk terjadinya interaksi nilai yang terkandung di dalamnya dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat lingkungan sekitar, terutama pada tataran nilai penjabaran atau nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran nilai dasarnya. 15.b. Rehabilitasi dan rejuvenasi ideologi nasional di era global Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia, kini telah berada pada ambang batas, di mana masyarakat sudah kurang peduli careless terhadapnya, apakah sebagai dasar Negara, filsafat Negara atau sebagai ideologi Negara. Sejarah panjang perdebatan mengenainya 229 , dan sejarah perjalanannya dari momentum ke momentum dari kelahiran, mencari jati diri, perjuangan, hingga mempertahankan dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia telah sampai pada suatu realitas bahwa Pancasila masih jauh dari harapan. Tahun 1983 Pancasila ditetapkan oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat MPR melalui Tap MPR Nomor IIMPR1983 sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik 230 . Kini sejak era Reformasi, Pancasila mulai dipertanyakan kedudukannya dan mungkin bisa digantikan jika tidak segera diantisipasi oleh segelintir kelompok atau golongan yang menginginkan tegaknya sistem pemerintahan lain. Jika melihat ke belakang ketika Soekarno mendekritkan kembali Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, dan Badan Konstituante dibubarkan. Idea kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara ternyata dalam perkembangannya di kemudian hari terjadi 228 Ibid. h. 98 229 Terkait mengenai perdebatan dasar negara, bisa pembaca telusuri karya Ahmad Syafii Maarif; Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante Jakarta:: LP3ES, 1996 , Cet. Ke 3, hlm. 144 - 157 230 Ketetapan tersebut kemudian mengalami perubahan pada tahun 1998 berdasarkan rencana Tap MPR No . . . . MPR 1998 tentang pencabutan Tap MPR No. IIMPR1983 338 penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini ternyata erat kaitannya dengan kekuasaan yang ada pada genggaman Soekarno. Isu-isu politik yang muncul pasca Dekrit Presiden 1959 memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan yang diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan politik. Tiga kekuatan politik besar PNI, NU dan PKI yang ada pada waktu itu, menurut sebagian kalangan, bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak ditangani dengan hati-hati. Kebijakan Soekarno tertuang dalam gagasannya tentang Nasakom Nasionalisme, Agama dan Komunisme . Kemunculan paham Nasakom ini dilatarbelakangi ajaran Soekarno bahwa; Pancasila bukan merupakan sistem ideologi yang ketat dan monopolistis seperti Komunisme . . . . . . . . . waktu Pancasila lahir dalam tahun 1945 Komunisme tidak hadir dalam masyarakat kita 231 . Oleh karena itu Soekarno membuat lagi ideologi lain selain Pancasila, yaitu Nasakom. Jadi, kemunculan gagasan Nasakom hasil dari pemahaman Soekarno tentang eksistensi Pancasila bahwa; Pancasila bukan sistem ideologi yang ketat, maka Nasakom menurut Soekarno merupakan manifestasi dari Pancasila. Tetapi sebenarnya gagasan Nasakom itu sebagai strategi Soekarno untuk menguasai kekuatan-kekuatan politik agar selalu berada pada genggamannya dengan tujuan memudahkan untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain gagasan ini tidak lebih sebagai upaya untuk meredam gejolak politik pada waktu itu. Dengan menampung ketiga kekuatan tersebut dalam satu payung, Soekarno mencoba mengendalikan tiga unsur politik dominan. Namun, dengan upaya besar ini implikasinya adalah munculnya semacam pengkhianatan yang tidak terkendalikan oleh Soekarno sendiri terhadap Pancasila. Meskipun dalam Pancasila sendiri unsur-unsur nasionalisme dan agamis jelas terkandung di dalamnya, sementara paham Komunis pada hakekatnya tidak ada. Tiga unsur kekuatan ini sebenarnya paradoks, karena dari segi ajarannya Komunisme tidak mengakui adanya Tuhan tidak ber-Tuhan dan ini jelas bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi dengan mengangkat idea Nasakom menjadi sebuah ideologi, maka mau tidak mau telah terjadi penduaan paradoksial , dan ini tidak terelakan. Indonesia harus mengakui Pancasila di satu sisi, pada sisi lain harus menjungjung Nasakom. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan Soekarno sendiri yang berbunyi “……salah satu aspek dari 231 Bandingkan, Frederick dkk. ed. , Pemahaman Sejarah Indonesia. hlm. 81 339 Pancasila alat pemersatu adalah Nasakom, barang siapa menolak Nasakom, berarti menolak Pancasila. 232 Ini sebagai bukti bahwa Nasakom disetarakan dengan Pancasila. Di sinilah letak penyelewengan terjadi. Pada gilirannya, Nasakom dapat dipahami sebagai manifestasi politik Soekarno dalam rangka memperkuat idea Demokrasi Terpimpinnya. Sebuah strategi politik sekalipun harus mengorbankan Pancasila demi tercapainya cita-cita, Soekarno berupaya mengangkat citranya melalui slogan-slogan kemakmuran, kesejahteraan, nasionalisme yang agamis. Tentu saja Soekarno tidak akan pernah menyatakan bahwa ada manipulasi politik di balik persoalan tersebut. Sementara realitas kondisi negara kebalikan dengan slogan-slogan Soekarno tersebut yang pada waktu itu ia gembar-gemborkan seiring dengan menurunnya kharisma dan kekuasaannya. Hal ini ditandai dengan terjadinya krisis lokal berupa inflasi keuangan negara sebesar 600 yang memaksa era Soekarno berakhir. Peristiwa ini ditandai dengan penyerahan Supersemar 11 Maret 1964 233 . Lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan berbagai kritik, terutama dari kalangan intelektual, terkait dengan kekeliruan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, maupun Orde Lama menyebabkan Pancasila menjadi ideologi eksklusif tertutup . Seharusnya Pancasila diposisikan sebagai ideologi inklusif terbuka . Hal ini sebagaimana terungkap dalam salah satu buku “ Pendidikan Kewarganeg araan “ sebagai berikut; Pengalaman sejarah politik bangsa Indonesia di masa lalu, seperti pada waktu besarnya pengaruh Komunisme, Pancasila pernah menjadi doktrin yang kaku. Demikian juga waktu peran pemerintah Orde Baru sangat dominan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup 234 . Dua kata kunci dari petikan di atas, yaitu; kaku dan tertutup. Kaku dapat diartikan bahwa Pancasila dikondisikan menjadi ideologi yang tidak fleksibel. Hal ini karena Pancasila pada waktu Orde Lama dimanifestasikan ke dalam gagasan Nasakom, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi ideologi di samping Pancasila. 232 Frederick, dkk ed. , Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 233 Frederick, dkk ed. , Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400 234 Lihat Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan Jakarta: Penaku, 2008 , hlm. 27 - 28 340 Sementara, Tertutup, dapat diartikan bahwa Pancasila tidak dapat ditafsirkan oleh siapa pun berdasarkan keperluan dan relevansi zaman yang senantiasa menuntut perubahan dari waktu ke waktu, sehingga Pancasila kemudian menjadi tertutup. Hal ini karena Pancasila ditafsirkan oleh rezim Orde Baru dengan tafsiran yang sesuai dengan kepentingan sesaat, maka kemudian Pancasila menjadi alat politik untuk menjastifikasi tindakan-tindakan Pemerintah Orde Baru waktu itu. Senada dengan pandangan dalam kutipan di atas, As`ad Said Ali Wakil Kepala BIN Th. 2001 – 2009 menyatakan di dalam karyanya “ Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa “, bahwa kecendrungan untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara kembali muncul di era Orde Baru. Menurutnya, rezim Orde Baru telah menjadikan dasar negara Pancasila sebagai ideologi tunggal. Hal ini menurutnya lagi sama persis dengan cara Soekarno memahami Pancasila sebagai kepribadian dan welstanchauung bangsa. Ini berarti sama dengan menerima kebenaran Pancasila hampir tanpa pembuktian, maka kemudian implikasinya Pancasila di era Orde Baru diposisikan sebagai sebuah ideologi yang komprehensif, yaitu sebagai jiwa dan kepribadian, sebagai pandangan hidup, sebagai tujuan, sebagai perjanjian luhur, sebagai dasar negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan seterusnya 235 . Realitasnya upaya ini semua tidak dapat menciptakan hasil yang baik bagi kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Lengsernya rezim Orde Baru dan disusul dengan tampilnya era Reformasi di pentas perpolitikan nasional dengan ditandai semaraknya proses demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan, terbukanya keran kebebasan liberalisasi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu saja menjadikan sebagian pihak merasa bangga dengan pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan demokrasinya 236 . Tetapi sayang sekali ada hal terpenting dan sangat mendasar terkait dengan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang terabaikan dan terlupakan, yaitu; Pancasila. Dalam salah satu seminar 235 Lihat As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa Jakarta: LP3ES, 2009 , hlm. 34 - 39 236 Prestasi ini, setidaknya diukur dengan keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan dua kali Pemilihan Umum di era Reformasi, yaitu; pada tahun 2004 dan tahun 2009, dianggap sebagai negara yang paling demokratis di dunia setelah Amerika dan India. 341 yang diselenggarakan di Universitas Gajah Mada pada 1 Februari 2006, bertajuk “ Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara “ terungkap kehkawatiran oleh salah seorang peserta seminar tentang masa depan Pancasila. Ungkapan kekhawatiran tersebut sebagai berikut; Jikalau kita mau jujur dewasa ini Pancasila hanya tinggal rumusan verbal sila-sila Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, Perguruan Tinggi pun tampaknya sudah akan menghilangkan Pancasila dari kajian ilmiah. Kalangan elit politik merasa tidak populer jikalau berbicara tentang Pancasila, apalagi bersuara dan berminat untuk melaksanakannya. Jikalau hal ini dibiarkan berlalu maka bukannya mustahil dalam waktu singkat negara Indonesia yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa dengan darah dan nyawanya akan hancur oleh anak-anak bangsa sendiri yang berpola pikir terjajah oleh bangsa lain 237 . Gelombang demokratisasi melalui tuntutan reformasi yang melanda negara-negara yang tidak demokratis berbarengan dengan terjadinya krisis moneter tahun 1997, salah satunya adalah Indonesia, ternyata menjadi ancaman terhadap eksistensi dasar negara; Pancasila 238 . Hal ini terjadi secara kebetulan di era global. Globalisasi menjadikan sesuatu bukan hanya untuk wilayah atau bangsa tertentu, tetapi untuk semuanya tanpa mengenal batas wilayah atau bangsa. Ini artinya bahwa globalisasi merupakan kondisi yang menunjuk pada proses kaitan yang erat semua aspek kehidupan. Gejala yang muncul dari interaksi yang makin intensif dapat dilihat pada dunia perdagangan, media, budaya, transportasi, teknologi informasi dan sebagainya 239 . Ancaman terhadap ideologi negara tersebut diperparah lagi dengan arus kekuatan politik nasional yang tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, dampaknya kepercayaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara turut menurun di kalangan rakyat Indonesia pada umumnya. Ini artinya Pancasila dihadapkan pada persoalan mendasar. Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bagi rakyat dan bangsa 237 Lihat Abbas Hamami Mintaredja dkk. ed. , Memaknai Kembali Pancasila Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007 , hlm. 21 238 Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008 , cet. III, hlm. 24 239 A. Ubaedillah dan Abd. Rozak peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 27 342 Indonesia seluruhnya. Paling tidak ada tiga persoalan mendasar bagi eksistensi Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara Indonesia. Tiga persoalan mendasar tersebut itu, ialah; 1. Penyimpangan pemahaman Pancasila. 2. Penyalah gunaan status Pancasila. 3. Adanya kompetisi ideologi-ideologi dunia yang memasuki Indonesia. Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia bersamaan dengan krisi moneter, ekonomi dan politik sejak 1997, menurut Azyumardi Azra menjadikan Pancasila seolah-olah kehilangan relevansinya 240 . Kenapa Pancasila seolah-olah tidak relevan ? menurut Azyumardi lagi 241 paling tidak ada tiga faktor yang menjadikan Pancasila tidak relevan saat ini. Tiga faktor tersebut itu ialah; 1. Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang menjadikan Pancasila untuk mempertahankan status quo kekuasaannya. 2. Liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan yang ditetapkan Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas. 3. Desentralisasi dan otonomisasi daerah. Sebagaimana kita ketahui bahwa di era Orde Baru, rezim Soeharto telah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas asas tunggal dalam berorganisasi, baik organisasi politik partai politik atau organisasi kemasyarakatan. Konsekuensi dari kebijakan ini semua organisasi harus menetapkan Pancasila sebagai asasnya dalam AD dan ART-nya. Jika tidak, maka organisasi tersebut diancam dibubarkan. Oleh karena tujuan dari kebijakan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal adalah untuk memudahkan kontrol terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik, baik pada tataran elite partai atau pada tataran akar rumput, maka rezim Orde Baru juga mendominasi pemaknaan pemahaman Pancasila sesuai dengan kehendak dan keinginan political will Pemerintah waktu itu. Selanjutnya pemahaman Pancasila tersebut diindoktrinasikan secara paksa lewat 240 A. Ubaedillah dan Abd. Rozak peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 24 241 A. Ubaedillah dan Abd. Rozak Peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 25 343 Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P-4 . Tetapi pada akhirnya usaha meng-P-4-kan rakyat Indonesia mengalami kegagalan, walaupun dibiayai dengan miliaran rupiah, karena menggunakan pendekatan yang tidak tepat, yaitu pemaksaan, bukan berdasarkan kesadaran. Penghapusan kebijakan asas tunggal oleh Presiden B.J. Habibie, pada satu sisi membuka peluang tampilnya ideologi-ideologi lain selain Pancasila baik yang berdasarkan agama atau non agama di pentas perpolitikan nasional, sementara pada sisi lain penghapusan asas tunggal tersebut memunculkan dampak yang tidak baik, yaitu terjadinya penurunan pemahaman dan komitmen rakyat Indonesia pada Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan dasar negara, akibatnya Pancasila cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan otonomi daerah tidak terlepas dari latarbelakang dan tujuan atau visi, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dari aspek politik, otonomi daerah harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi tampilnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, terciptanya pemerintahan responsif serta terciptanya pengambilan keputusan berdasarkan pertanggung jawaban publik. Dari aspek ekonomi, otonomi daerah setidaknya bisa menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan mendorong terciptanya peluang untuk pengembangan kebijakan kedaerahan dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Sementara dalam aspek sosial budaya, otonomi daerah harus diarahkan pada terciptanya pengelolaan dan pemeliharaan integrasi dan harmonisasi sosial, mengembangkan nilai, tradisi karya seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam rangka merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global 242 . Namun demikian, ada sebagian pihak yang menghawatirkan kebijakan otonomi daerah, karena otonomi daerah menurutnya, dimungkinkan akan menumbuhkan sentimen kedaerahan, dan ini berdampak hilangnya loyalitas atau kesadaran untuk kebersamaan dan kesetiaan dari daerah sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI . Walau bagaimanapun harus ada upaya antisipasi, jika tidak, 242 Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 25 344 kemungkinan akan muncul sintimen lokal-nasionalisme yang hidup di ruang Nasionalisme Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, Pancasila sebagai dasar Negara akan makin kehilangan posisi sentralnya. 243 Realitas di lapangan membuktikan kebalikannya, salah satu contoh Aceh, justeru di era Reformasi Aceh kembali ke pangkuan NKRI, dan di beberapa daerah yang pernah rawan konflik, seperti Poso dan Ambon, kini sudah berada dalam kondisi kondusif. Tentu saja upaya mengembalikan daerah-daerah yang rawan konflik tersebut tidak begitu saja mudah seperti membalikan telapak tangan, tanpa melalui proses, kebijakan dan setrategi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, dan tanpa melibatkan semua pihak dan kekuatan. Tanpa keterlibatan semua pihak, keamanan dan kesatuan tidak akan terwujud. Mengingat betapa pentingnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dijadikan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang plural, memang sangat mendesak untuk dilakukan upaya-upaya revitalisasi Pancasila, baik terkait terhadap maknanya, perannya dan posisinya. Kenapa demikian ? karena berdasarkan keyakinan rakyat Indonesia bahwa Pancasila dapat dijadikan dasar kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra menegaskan bahwa Pancasila telah terbukti sebagai common platform ideologi negara bangsa Indonesia yang paling feasible, dan sebab itu lebih veable bagi kehidupan bangsa hari ini dan masa datang 244 . Oleh karena itu, secara terperinci, Azyumardi Azra menyatakan, sangat mendesak untuk dilakukan rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Rejuvenasi Pancasila menurut Azyumardi Azra dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagai public discourse wacana Publik 245 . Dengan menjadikan Pancasila sebagai wacana publik diharapkan akan muncul idea-idea brilian, baik dalam rangka pengembangan atau penilaian kembali reassissment makna dan pemahaman, sehingga Pancasila tetap relevan pada setiap saat dan zaman, tetapi dengan catatan bahwa teks Pancasila yang tersusun dalam lima sila tetap dipertahankan, tidak boleh ada amandemen atau perubahan. Dengan merekonstruksi pemahaman Pancasila tersebut, maka berarti telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka inclusive , bukan ideologi tertutup exclusive yang berakibat 243 Ibid. 244 Ibid. h.25 245 Ibid. h.25 345 terjadinya peminggiran atau tereliminasi oleh persaingan ideologi-ideologi dunia yang memasuki Indonesia sebagai dampak dari era global. Namun demikian, rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra di atas memerlukan keberania moral para pemimpin nasional. Empat pemimpin nasional pasca Soeharto sejak dari Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, dan bahkan Presiden SBY, diakui oleh banyak kalangan belum berhasil membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Nampaknya seperti ada kesan traumatik untuk membicarakan kembali Pancasila. Oleh karena itu, jika kita memang peduli terhadap nasiolisme Indonesia dan integrasi nasional, maka sudah saatnya sekarang para elite dan para pemimpin bangsa memberikan perhatian khusus pada ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu.

16. Pancasila Dari Waktu Ke Waktu

Sebagai sebuah ideologi Nasional, Pancasila tidak muncul dari ruang kosong, tetapi sebagaimana ditegaskan A. Syafi`i Maarif 246 ; ia hadir dari realitas sejarah dan semangat zaman yang melingkupinya. Realitas kesejarahan telah berproses dalam kurun waktu yang tidak sebentar, ia mampu memunculkan ramuan ideologi baru di tengah pertarungan ideologi saat itu; ideologi Kapitalis, dan Sosialis. Kelahiran dan perkembangan Pancasila sejak dipersiapkan untuk diusulkan sebagai dasar dan filsafat negara hingga saat disahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945 M. semuanya berlangsung dalam forum politik, bukan dalam forum akademik ilmiah. Dalam forum politik itulah, imbauan politik dikumandangkan untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan politik yang sangat fundamental bagi dasar dan arah kehidupan kemerdekaan menuju masa depan yang dicita-citakan bersama 247 . Oleh karena itu, Pancasila yang telah menempuh perjalanan panjang melebihi setengah abad dan telah mengalami pasang surutnya perjalanan Republik Indonesia, bukan merupakan dasar negara yang lahir tanpa mengalami berbagai 246 Ahmad Syafi`i Maarif dalam kata pengantar buku “ Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, oleh M. Abdul Karim. Yogyakarta: Surya Raya, 2004 h. VI. 247 Lihat. M. Abdul Karim, Menggali Muatan Pancasila Dalam Perspektif Islam, h. 3 346 perdebatan. Perdebatan yang terjadi justeru menjadikan Pancasila menemukan kekuatannya tersendiri. Dalam konteks kemunculan Pancasila, A.M.W. Pranarka 248 telah mengidentifikasi pertumbuhan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan dimulai dengan cita-cita kebangsaan yang bermula dari kebangkitan Nasional dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Namun posisi Pancasila sebagai ideologi kebangsaan itu mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan mendapatkan kekuatannya dalam Dekrit Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit Presiden menegaskan pemberlakuan kembali UUD 1945. Demikian itu tidak berarti bahwa pemikiran tentang Pancasila serta merta berhenti. Pengembangan pemikiran Pancasila dimungkinkan oleh adanya anggapan bahwa Pancasila merupakan wadah yang dapat mengakomodir berbagai aliran ideologi yang merasa terpanggil untuk memberikan interpretasi tentang Pancasila. Hal ini sejalan dengan pandangan Notonagoro, dan pada saat yang sama Notonagoro menekankan bentuk kompromi Pancasila 249 . Dalam sepanjang sejarah keberadaannya sebagai dasar dan filsafat negara Republik Indonesia, perkembangan Pancasila telah mendapatkan stresingnya yang berbeda-beda dari waktu ke waktu, baik di era Orde Lama, Orde Baru, dan bahkan di era Reformasi. 1. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara diinstrumentalisasikan untuk mendukung kepentingan politik sesaat, sebab pada era Orde Lama politik dijadikan panglima yang berakhir dengan tragedi Nasional G 30 SPKI. 2. Pada era Orde Baru ekonomi dijadikan ideologi pembangunan dan Pancasila dijadikan kata sihir sebagai Asas Tunggal yang secara manipulatif diritualisasikan untuk menjaga stabilitas pengembangan Kolusi, Nepotisme dan Kronisme di bawah kekuasaaan tunggal dengan mengatasnamakan diri sebagai mandataris MPR. 3. Pada era Reformasi, setelah pembangunan menghadapi jalan buntu sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi dan politik, maka dengan ambruknya seluruh bangunan ekonomi, turut 248 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila Jakarta: CSIS, 1985 , h. 313-318 249 Lihat, Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984 , h. 58