Dimensi fleksibilitas dan pengembagan ;
337 refleksi dan implementasi dari sebuah ideologi
228
. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai ideologi nasional dalam berbangsa dan bernegara
sudah memenuhi tiga dimensi dasar tersebut. Permasalahannya adalah tergantung pada efektivitas pengembangan dan pendekatan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang. Konsekuensi dari penegasan ini adalah bahwa Pancasila harus menjadi ideologi terbuka,
dan ini sangat diperukan berdasarkan kebutuhan konseptual. Keterbukaan ideologi artinya terbuka untuk terjadinya interaksi nilai
yang terkandung di dalamnya dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat lingkungan sekitar, terutama pada tataran nilai penjabaran
atau nilai instrumentalnya, dan bukan pada tataran nilai dasarnya. 15.b. Rehabilitasi dan rejuvenasi ideologi nasional di era global
Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia, kini telah berada pada ambang batas, di mana masyarakat sudah kurang
peduli careless terhadapnya, apakah sebagai dasar Negara, filsafat Negara atau sebagai ideologi Negara. Sejarah panjang
perdebatan mengenainya
229
, dan sejarah perjalanannya dari momentum ke momentum dari kelahiran, mencari jati diri, perjuangan,
hingga mempertahankan dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia telah sampai pada suatu realitas bahwa Pancasila masih jauh
dari harapan. Tahun 1983 Pancasila ditetapkan oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat MPR melalui Tap MPR Nomor
IIMPR1983 sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik
230
. Kini sejak era Reformasi, Pancasila mulai dipertanyakan kedudukannya dan mungkin bisa digantikan jika tidak segera
diantisipasi oleh segelintir kelompok atau golongan yang menginginkan tegaknya sistem pemerintahan lain.
Jika melihat ke belakang ketika Soekarno mendekritkan kembali Pancasila dan UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, dan Badan
Konstituante dibubarkan. Idea kembali kepada Pancasila sebagai dasar negara ternyata dalam perkembangannya di kemudian hari terjadi
228
Ibid. h. 98
229
Terkait mengenai perdebatan dasar negara, bisa pembaca telusuri karya Ahmad Syafii Maarif; Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan
Dalam Konstituante Jakarta:: LP3ES, 1996 , Cet. Ke 3, hlm. 144 - 157
230
Ketetapan tersebut kemudian mengalami perubahan pada tahun 1998 berdasarkan rencana Tap MPR No . . . . MPR 1998 tentang pencabutan Tap MPR
No. IIMPR1983
338 penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini ternyata erat
kaitannya dengan kekuasaan yang ada pada genggaman Soekarno. Isu-isu politik yang muncul pasca Dekrit Presiden 1959 memaksa
Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan yang diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan politik. Tiga kekuatan politik besar PNI,
NU dan PKI yang ada pada waktu itu, menurut sebagian kalangan, bisa saja merongrong kekuasaan Soekarno bila tidak ditangani dengan
hati-hati. Kebijakan Soekarno tertuang dalam gagasannya tentang Nasakom Nasionalisme, Agama dan Komunisme . Kemunculan
paham Nasakom ini dilatarbelakangi ajaran Soekarno bahwa; Pancasila bukan merupakan sistem ideologi yang ketat dan monopolistis
seperti Komunisme . . . . . . . . . waktu Pancasila lahir dalam tahun 1945 Komunisme tidak hadir dalam masyarakat kita
231
. Oleh karena itu Soekarno membuat lagi ideologi lain selain Pancasila, yaitu Nasakom.
Jadi, kemunculan gagasan Nasakom hasil dari pemahaman Soekarno tentang eksistensi Pancasila bahwa; Pancasila bukan sistem ideologi
yang ketat, maka Nasakom menurut Soekarno merupakan manifestasi dari Pancasila. Tetapi sebenarnya gagasan Nasakom itu sebagai strategi
Soekarno untuk menguasai kekuatan-kekuatan politik agar selalu berada pada genggamannya dengan tujuan memudahkan untuk
mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain gagasan ini tidak lebih sebagai upaya untuk meredam gejolak politik pada waktu itu. Dengan
menampung ketiga kekuatan tersebut dalam satu payung, Soekarno mencoba mengendalikan tiga unsur politik dominan. Namun, dengan
upaya besar ini implikasinya adalah munculnya semacam pengkhianatan yang tidak terkendalikan oleh Soekarno sendiri terhadap Pancasila.
Meskipun dalam Pancasila sendiri unsur-unsur nasionalisme dan agamis jelas terkandung di dalamnya, sementara paham Komunis pada
hakekatnya tidak ada. Tiga unsur kekuatan ini sebenarnya paradoks, karena dari segi ajarannya Komunisme tidak mengakui adanya Tuhan
tidak ber-Tuhan dan ini jelas bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi dengan mengangkat idea Nasakom menjadi sebuah
ideologi, maka mau tidak mau telah terjadi penduaan paradoksial , dan ini tidak terelakan. Indonesia harus mengakui Pancasila di satu sisi, pada
sisi lain harus menjungjung Nasakom. Hal ini dapat dibuktikan dengan
pernyataan Soekarno sendiri yang berbunyi “……salah satu aspek dari
231
Bandingkan, Frederick dkk. ed. , Pemahaman Sejarah Indonesia. hlm. 81
339 Pancasila alat pemersatu adalah Nasakom, barang siapa menolak
Nasakom, berarti menolak Pancasila.
232
Ini sebagai bukti bahwa Nasakom disetarakan dengan Pancasila. Di sinilah letak
penyelewengan terjadi. Pada gilirannya, Nasakom dapat dipahami sebagai manifestasi
politik Soekarno dalam rangka memperkuat idea Demokrasi Terpimpinnya. Sebuah strategi politik sekalipun harus mengorbankan
Pancasila demi tercapainya cita-cita, Soekarno berupaya mengangkat citranya
melalui slogan-slogan
kemakmuran, kesejahteraan,
nasionalisme yang agamis. Tentu saja Soekarno tidak akan pernah menyatakan bahwa ada manipulasi politik di balik persoalan tersebut.
Sementara realitas kondisi negara kebalikan dengan slogan-slogan Soekarno tersebut yang pada waktu itu ia gembar-gemborkan seiring
dengan menurunnya kharisma dan kekuasaannya. Hal ini ditandai dengan terjadinya krisis lokal berupa inflasi keuangan negara sebesar
600 yang memaksa era Soekarno berakhir. Peristiwa ini ditandai dengan penyerahan Supersemar 11 Maret 1964
233
. Lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998 memunculkan
berbagai kritik, terutama dari kalangan intelektual, terkait dengan kekeliruan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, maupun Orde Lama
menyebabkan Pancasila menjadi ideologi eksklusif tertutup . Seharusnya Pancasila diposisikan sebagai ideologi inklusif terbuka .
Hal ini sebagaimana terungkap dalam salah satu buku “ Pendidikan Kewarganeg
araan “ sebagai berikut; Pengalaman sejarah politik bangsa Indonesia di masa lalu,
seperti pada waktu besarnya pengaruh Komunisme, Pancasila pernah menjadi doktrin yang kaku. Demikian juga waktu peran
pemerintah Orde Baru sangat dominan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup
234
.
Dua kata kunci dari petikan di atas, yaitu; kaku dan tertutup.
Kaku dapat diartikan bahwa Pancasila dikondisikan menjadi ideologi yang tidak fleksibel. Hal ini karena Pancasila pada waktu Orde Lama
dimanifestasikan ke dalam gagasan Nasakom, yang dalam perkembangannya kemudian menjadi ideologi di samping Pancasila.
232
Frederick, dkk ed. , Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400
233
Frederick, dkk ed. , Pemahaman Sejarah Indonesia, hlm. 400
234
Lihat Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan Jakarta: Penaku, 2008 , hlm. 27 - 28
340 Sementara, Tertutup, dapat diartikan bahwa Pancasila tidak dapat
ditafsirkan oleh siapa pun berdasarkan keperluan dan relevansi zaman yang senantiasa menuntut perubahan dari waktu ke waktu, sehingga
Pancasila kemudian menjadi tertutup. Hal ini karena Pancasila ditafsirkan oleh rezim Orde Baru dengan tafsiran yang sesuai dengan
kepentingan sesaat, maka kemudian Pancasila menjadi alat politik untuk menjastifikasi tindakan-tindakan Pemerintah Orde Baru waktu itu.
Senada dengan pandangan dalam kutipan di atas, As`ad Said Ali Wakil Kepala BIN Th. 2001
– 2009 menyatakan di dalam karyanya “ Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa “, bahwa
kecendrungan untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara kembali muncul di era Orde Baru. Menurutnya, rezim Orde Baru telah
menjadikan dasar negara Pancasila sebagai ideologi tunggal. Hal ini menurutnya lagi sama persis dengan cara Soekarno memahami Pancasila
sebagai kepribadian dan welstanchauung bangsa. Ini berarti sama dengan menerima kebenaran Pancasila hampir tanpa pembuktian, maka
kemudian implikasinya Pancasila di era Orde Baru diposisikan sebagai sebuah ideologi yang komprehensif, yaitu sebagai jiwa dan kepribadian,
sebagai pandangan hidup, sebagai tujuan, sebagai perjanjian luhur, sebagai dasar negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan
seterusnya
235
. Realitasnya upaya ini semua tidak dapat menciptakan hasil yang baik bagi kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
adil, makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia. Lengsernya rezim Orde Baru dan disusul dengan tampilnya era
Reformasi di pentas perpolitikan nasional dengan ditandai semaraknya proses demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan, terbukanya
keran kebebasan liberalisasi dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tentu saja menjadikan sebagian pihak
merasa bangga dengan pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan demokrasinya
236
. Tetapi sayang sekali ada hal terpenting dan sangat mendasar terkait dengan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang
terabaikan dan terlupakan, yaitu; Pancasila. Dalam salah satu seminar
235
Lihat As`ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa Jakarta: LP3ES, 2009 , hlm. 34 - 39
236
Prestasi ini, setidaknya diukur dengan keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan dua kali Pemilihan Umum di era Reformasi, yaitu; pada tahun
2004 dan tahun 2009, dianggap sebagai negara yang paling demokratis di dunia setelah Amerika dan India.
341 yang diselenggarakan di Universitas Gajah Mada pada 1 Februari 2006,
bertajuk “ Kontekstualisasi dan Implementasi Pancasila Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara “ terungkap
kehkawatiran oleh salah seorang peserta seminar tentang masa depan Pancasila. Ungkapan kekhawatiran tersebut sebagai berikut;
Jikalau kita mau jujur dewasa ini Pancasila hanya tinggal rumusan verbal sila-sila Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan UUD 1945, Perguruan Tinggi pun tampaknya sudah akan menghilangkan Pancasila dari kajian ilmiah. Kalangan elit
politik merasa tidak populer jikalau berbicara tentang Pancasila, apalagi bersuara dan berminat untuk melaksanakannya. Jikalau
hal ini dibiarkan berlalu maka bukannya mustahil dalam waktu singkat negara Indonesia yang diperjuangkan oleh para pendiri
bangsa dengan darah dan nyawanya akan hancur oleh anak-anak bangsa sendiri yang berpola pikir terjajah oleh bangsa lain
237
. Gelombang demokratisasi melalui tuntutan reformasi yang
melanda negara-negara yang tidak demokratis berbarengan dengan terjadinya krisis moneter tahun 1997, salah satunya adalah Indonesia,
ternyata menjadi ancaman terhadap eksistensi dasar negara; Pancasila
238
. Hal ini terjadi secara kebetulan di era global. Globalisasi menjadikan
sesuatu bukan hanya untuk wilayah atau bangsa tertentu, tetapi untuk semuanya tanpa mengenal batas wilayah atau bangsa. Ini artinya
bahwa globalisasi merupakan kondisi yang menunjuk pada proses kaitan yang erat semua aspek kehidupan. Gejala yang muncul dari
interaksi yang makin intensif dapat dilihat pada dunia perdagangan, media, budaya, transportasi, teknologi informasi dan sebagainya
239
. Ancaman terhadap ideologi negara tersebut diperparah lagi
dengan arus kekuatan politik nasional yang tidak mempercayai pemerintah Orde Baru, dampaknya kepercayaan terhadap Pancasila
sebagai dasar negara turut menurun di kalangan rakyat Indonesia pada umumnya. Ini artinya Pancasila dihadapkan pada persoalan mendasar.
Suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bagi rakyat dan bangsa
237
Lihat Abbas Hamami Mintaredja dkk. ed. , Memaknai Kembali Pancasila Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2007 , hlm. 21
238
Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008 ,
cet. III, hlm. 24
239
A. Ubaedillah dan Abd. Rozak peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 27
342 Indonesia seluruhnya. Paling tidak ada tiga persoalan mendasar bagi
eksistensi Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara Indonesia. Tiga persoalan mendasar tersebut itu, ialah;
1. Penyimpangan pemahaman Pancasila. 2. Penyalah gunaan status Pancasila.
3. Adanya kompetisi ideologi-ideologi dunia yang memasuki
Indonesia. Gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia bersamaan
dengan krisi moneter, ekonomi dan politik sejak 1997, menurut Azyumardi Azra menjadikan Pancasila seolah-olah kehilangan
relevansinya
240
. Kenapa Pancasila seolah-olah tidak relevan ? menurut Azyumardi lagi
241
paling tidak ada tiga faktor yang menjadikan Pancasila tidak relevan saat ini. Tiga faktor tersebut itu
ialah; 1. Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rezim Soeharto
yang menjadikan Pancasila untuk mempertahankan status quo kekuasaannya.
2. Liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan yang ditetapkan Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai
satu-satunya asas. 3. Desentralisasi dan otonomisasi daerah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di era Orde Baru, rezim Soeharto telah menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas asas
tunggal dalam berorganisasi, baik organisasi politik partai politik atau organisasi kemasyarakatan. Konsekuensi dari kebijakan ini
semua organisasi harus menetapkan Pancasila sebagai asasnya dalam AD dan ART-nya. Jika tidak, maka organisasi tersebut diancam
dibubarkan. Oleh karena tujuan dari kebijakan menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal adalah untuk memudahkan kontrol terhadap
kekuatan-kekuatan sosial politik, baik pada tataran elite partai atau pada tataran akar rumput, maka rezim Orde Baru juga mendominasi
pemaknaan pemahaman Pancasila sesuai dengan kehendak dan keinginan political will Pemerintah waktu itu. Selanjutnya
pemahaman Pancasila tersebut diindoktrinasikan secara paksa lewat
240
A. Ubaedillah dan Abd. Rozak peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 24
241
A. Ubaedillah dan Abd. Rozak Peny. , Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 25
343 Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P-4 .
Tetapi pada akhirnya usaha meng-P-4-kan rakyat Indonesia mengalami kegagalan, walaupun dibiayai dengan miliaran rupiah, karena
menggunakan pendekatan yang tidak tepat, yaitu pemaksaan, bukan berdasarkan kesadaran.
Penghapusan kebijakan asas tunggal oleh Presiden B.J. Habibie, pada satu sisi membuka peluang tampilnya ideologi-ideologi lain
selain Pancasila baik yang berdasarkan agama atau non agama di pentas perpolitikan nasional, sementara pada sisi lain penghapusan
asas tunggal tersebut memunculkan dampak yang tidak baik, yaitu terjadinya penurunan pemahaman dan komitmen rakyat Indonesia
pada Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan dasar negara, akibatnya Pancasila cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebijakan otonomi daerah tidak terlepas dari latarbelakang dan tujuan atau visi, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dari aspek politik, otonomi daerah harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi tampilnya kepala pemerintahan daerah yang
dipilih secara demokratis, terciptanya pemerintahan responsif serta terciptanya pengambilan keputusan berdasarkan pertanggung jawaban
publik. Dari aspek ekonomi, otonomi daerah setidaknya bisa menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah dan
mendorong terciptanya peluang untuk pengembangan kebijakan kedaerahan dalam rangka mengoptimalkan pendayagunaan potensi
ekonomi di daerahnya. Sementara dalam aspek sosial budaya, otonomi daerah harus diarahkan pada terciptanya pengelolaan dan pemeliharaan
integrasi dan harmonisasi sosial, mengembangkan nilai, tradisi karya seni, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif
dalam rangka merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global
242
. Namun demikian, ada sebagian pihak yang menghawatirkan
kebijakan otonomi daerah, karena otonomi daerah menurutnya, dimungkinkan akan menumbuhkan sentimen kedaerahan, dan ini
berdampak hilangnya loyalitas atau kesadaran untuk kebersamaan dan kesetiaan dari daerah sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
NKRI . Walau bagaimanapun harus ada upaya antisipasi, jika tidak,
242
Lihat A. Ubaedillah dan Abd. Rozak, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, hlm. 25
344 kemungkinan akan muncul sintimen lokal-nasionalisme yang hidup di
ruang Nasionalisme Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, Pancasila sebagai dasar Negara akan makin kehilangan posisi sentralnya.
243
Realitas di lapangan membuktikan kebalikannya, salah satu contoh Aceh, justeru di era Reformasi Aceh kembali ke pangkuan NKRI, dan
di beberapa daerah yang pernah rawan konflik, seperti Poso dan Ambon, kini sudah berada dalam kondisi kondusif. Tentu saja upaya
mengembalikan daerah-daerah yang rawan konflik tersebut tidak begitu saja mudah seperti membalikan telapak tangan, tanpa melalui
proses, kebijakan dan setrategi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, dan tanpa melibatkan semua pihak dan kekuatan. Tanpa
keterlibatan semua pihak, keamanan dan kesatuan tidak akan terwujud.
Mengingat betapa pentingnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dijadikan untuk persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia yang plural, memang sangat mendesak untuk dilakukan upaya-upaya revitalisasi Pancasila, baik terkait terhadap maknanya,
perannya dan posisinya. Kenapa demikian ? karena berdasarkan keyakinan rakyat Indonesia bahwa Pancasila dapat dijadikan dasar
kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra menegaskan bahwa Pancasila telah terbukti
sebagai common platform ideologi negara bangsa Indonesia yang paling feasible, dan sebab itu lebih veable bagi kehidupan bangsa hari ini dan
masa datang
244
. Oleh karena itu, secara terperinci, Azyumardi Azra menyatakan, sangat mendesak untuk dilakukan rehabilitasi dan
rejuvenasi Pancasila. Rejuvenasi Pancasila menurut Azyumardi Azra dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagai public discourse
wacana Publik
245
. Dengan menjadikan Pancasila sebagai wacana publik diharapkan akan muncul idea-idea brilian, baik dalam rangka
pengembangan atau penilaian kembali reassissment makna dan pemahaman, sehingga Pancasila tetap relevan pada setiap saat dan
zaman, tetapi dengan catatan bahwa teks Pancasila yang tersusun dalam lima sila tetap dipertahankan, tidak boleh ada amandemen atau
perubahan. Dengan merekonstruksi pemahaman Pancasila tersebut, maka berarti telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka
inclusive , bukan ideologi tertutup exclusive yang berakibat
243
Ibid.
244
Ibid. h.25
245
Ibid. h.25
345 terjadinya
peminggiran atau
tereliminasi oleh
persaingan ideologi-ideologi dunia yang memasuki Indonesia sebagai dampak dari
era global. Namun demikian, rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila,
sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra di atas memerlukan keberania moral para pemimpin nasional. Empat pemimpin nasional
pasca Soeharto sejak dari Presiden B.J. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, dan bahkan Presiden SBY, diakui oleh
banyak kalangan belum berhasil membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Nampaknya seperti ada kesan traumatik untuk
membicarakan kembali Pancasila. Oleh karena itu, jika kita memang peduli terhadap nasiolisme Indonesia dan integrasi nasional, maka sudah
saatnya sekarang para elite dan para pemimpin bangsa memberikan perhatian khusus pada ideologi Pancasila sebagai ideologi pemersatu.