349 5. Sebuah ideologi yang baik dan dapat mempertahankan
eksistensinya pada zaman dan masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu, ideologi tersebut harus memiliki setidaknya
tiga dimensi dasar; Dimensi realitas, Dimensi idealisme, dan Dimensi fleksibilitas.
6. Pada masa yang lalu pernah terjadi mutual misunderstanding antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi
negara. Tetapi kesalah pahaman tersebut lebih banyak dilatar belakangi oleh berbagai kepentingan politik dari pada
substansinya, atau lebih dikarenakan ketidak jelasan paradigma dan cara pandang. Substansi keduanya jelas berbeda, Islam
adalah agama, sementara Pancasila adalah ideologi negara. Tetapi esensi ajaran Islam dan ideologi Pancasila tidak
bertentangan.
7. Di era Reformasi telah terjadi rendahnya pemahaman masyarakat terhadap Pancasila. Dalam kondisi seperti ini upaya
revitalisasi pemahaman Pancasila sebagai dasar negara menajadi sangat urgen dan mendesak.
8. Sejak bergulirnya era Reformasi, Pancasila tidak lagi tampil dalam berbagai wacana. Hal ini merupakan indikasi bahwa
Pancasila dalam fungsinya sebagai dasar Negara telah terlupakan, sehingga hal ini secara gradual bisa mengurangi
komitmen bangsa Indonesia untuk tetap menggunakan nilai-nilai yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945.
9. Pengembangan Pancasila sebagai ideologi Nasional harus menjadi ideologi terbuka, agar dapat tetap relevan dengan zaman
dan masyarakat yang selalu berubah dari waktu ke waktu. 10. Dalam rangka efektivitas sosialisasi Pancasila sebagai ideologi
negara kepada seluruh rakyat Indonesia harus bijaksana. Oleh karena itu pada sebagian masyarakat tidak harus menyebutkan
kata Pancasila, tetapi cukup nilai-nilai dari ajaran doctrine Pancasila itu sendiri, karena sebagian masyarakat masih ada
yang alergi ketika mendengar sebutan Pancasila.
BAB II
AGAMA DAN NEGARA PRAKTEK KEHIDUPAN RAKYAT INDONESIA
350
1. Eksistensi Agama Dalam Negara Pancasila
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi payung bagi kehidupan keagamaan rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, UUD 1945, BAB XI,
Pasal 29, Ayat 1 berbunyi; Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Ayat 2 berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan Pasal
29, Ayat 1 dan 2 ini sebagai dasar pijakan bagi negara dalam membangun kehidupan umat beragama dan sekaligus merupakan
pengakuan negara terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, rakyat Indonesia dijamin untuk memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan tuntutan ajaran agama yang diyakininya benar. Sebab kebutuhan untuk beragama merupakan tuntutan terdalam dari diri
manusia, maka beragama merupakan hak asasi sejak manusia mengenal Tuhannya. Oleh karena itu, siapa pun tidak ada hak untuk
melarang seseorang beragama.
Selanjutnya perlu diperhatikan apa yang disampaikan Moh. Hatta terkait dengan implikasi pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa sebagai berikut; a. Melahirkan keharmonian di dalam masyarakat dan lingkungan
jika dihayati dan dilakukan dengan memupuk persahabatan dan persaudaaan di antara sesama masyarakat.
b. Mengharuskan manusia membela kebenaran dan menentang segala tindakan dusta melanggar aturan .
c. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mangharuskan manusia membela keadilan dan menentang segala bentuk
kezaliman. d. Mengharuskan manusia berperilaku baik, dan dengan
sendirinya akan memperbaiki kesalahan. e. Mengharuskan manusia berlaku jujur, dan dengan sendirinya
akan menghindari dari tindakan curang main curang . f. Mengharuskan manusia berlaku suci, dan dengan sendirinya
akan menentang segala kekotoran.
351 g. Mengharuskan manusia menikmati keindahan, dan dengan
sendirinya akan melenyapkan segala keburukan
252
. Dengan begitu, menurut Moh. Hatta; sila Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi dasar yang dapat mengarahkan cita-cita kenegaraan untuk menyelenggarakan segala sesuatu yang baik bagi kehidupan rakyat dan
bangsa Indonesia
253
, seperti yang digagas oleh Plato dan Aristoteles; en dam onia atau the good life, orang Indonesia bilang; gemah ripah
loh jinawi
254
, maka atas dasar pemikiran ini Moh. Hatta menegaskan; politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Oleh karena itu
dalam tataran praktis sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sebatas wujudnya hormat menghormati antara sesama pemeluk agama,
melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dijadikan panduan yang memberikan arah ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan
persaudaraan. Negara dengan demikian, menurut Moh. Hatta lagi mendapatkan fondasinya yang kuat
255
. Hal ini sesuai dengan pandangan D. Chairat yang menyatakan bahwa negara kita mempunyai
dasar-dasar pertahanan yang kuat dengan komitmen dan berlandaskan Ketuhanan
256
. Tetapi itu semua bergantung pada political will elite negara dan perilaku para politisinya. Jika tidak, semuanya hanya sebatas
gagasan-gagasan yang tidak bermakna. D. Chairat selanjutnya menyatakan; mempercayai Tuhan; Tuhan
yang menjadikan langit da bumi, Tuhan yang menguasai alam semesta, maka seluruh gerak negara tetap berlindung di bawah rahmat Tuhan
257
. Fakta menunjukan bahwa sejak perjuangan rakyat Indonesia 17 Agustus
1945 dalam menghadapi berbagai seragan dahsyat, selamanya kata D. Chairat, kita minta perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
konteks ini D. Chairat menyatakan bahwa kita belum dapat melupakan rangkaian sejarah pada hari Pahlawan 10 November 1945 di mana
tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia untuk
252
Lihat Moh. Hatta, Pengertian Pancasila Pidato Peringatan Lahirnya Pancasila Tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta: Inti Idayu
Press, 1978 , h. 29
253
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h, 28
254
Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008 ,
edisi revisi, h. 13
255
Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, h. 28
256
Lihat. D. Chairat, Filsafat Pancasila Jakarta: wijaya, 1955 , h. 8
257
Ibid.