Lembaga serta pihak yang bertanggung jawab dalam mendampingi petani teh rakyat dalam hal ini adalah penyuluh.
Dalam penelitiannya, Yusdja et al 2003 menyimpulkan bahwa petani teh rakyat di wilayah penelitian masih jauh dalam kemandirian usaha. Selain lahan
yang dikelola relatif sempit, petani juga dihadapkan pada lemahnya permodalan serta kurangnya kerjasama antar petani teh. Kondisi ini mendorong petani teh
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pedagang pengumpul yang terbukti tidak memberikan insentif yang menguntungkan pada petani teh rakyat.
2.3 Dayasaing Komoditas Indonesia
Penelitian mengenai dayasaing teh pernah dilakukan sebelumnya. Tatakomara 2004 melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi ekspor komoditas teh di Indonesia, serta dayasaing komoditas teh di pasar internasional. Pada periode 1992-2002, sebagian besar area perkebunan
teh merupakan perkebunan rakyat, sisanya dimiliki oleh pemerintah dan pengusaha swasta. Namun, apabila dilihat dari volume produksinya perkebunan
rakyat justru menempati posisi terendah dibandingkan dengan produktivitas perkebunan negara dan swasta. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penggunaan
teknologi yang mendukung dalam hal produksi. Dilihat dari perkembangan produksi, dalam kurun waktu 1992-2002,
Indonesia telah mengalami perkembangan produksi sebesar 1,16 persen, perkembangan produksi ini searah dengan perkembangan luas areal perkebunan
teh sebesar 1,56 persen. Sedangkan dilihat dari perkembangan ekspor tehnya, Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,72 persen. Namun peningkatan
volume ekspor ini tidak diiringi dengan peningkatan nilai ekspor, yang turun rata- rata sebesar 1,29 persen setiap tahunnya.
Dari hasil regresi untuk model ekspor teh Indonesia dapat disimpulkan bahwa variabel-varaibel yang mempengaruhi ekspor teh Indonesia yaitu produksi
teh domestik, volume ekspor teh Indonesia tahun sebelumnya, harga teh dunia, lag harga teh dunia, nilai tukar rupiah sebelumnya, konsumsi teh domestik, dan
variabel harga domestik. Dari ketujuh variabel tersebut, variabel produksi teh Indonesia, volume ekspor tahun sebelumnya, dan konsumsi teh domestik
berpengaruh nyata terhadap ekspor tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya tidak
12
berpengaruh nyata. Dilihat dari elastisitasnya, hanya variabel produksi domestiklah yang memiliki elastisitas lebih dari satu. Artinya ekspor teh
Indonesia cukup peka terhadap perubahan produksi teh domestik. Tatakomara 2004 menyatakan bahwa teh Indonesia yang dinilai dengan
menggunakan indeks REER telah memiliki keunggulan komparatif, karena sumberdaya alam yang melimpah yang dimiliki Indonesia. Namun, diperlukan
usaha yang lebih keras lagi untuk meningkatkan dayasaing teh Indonesia secara kompetitif, sehingga dayasaing di pasar internasionalnya menjadi lebih kuat.
Penelitian mengenai dayasaing teh di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Febriyanthi 2008. Alat yang digunakan untuk meneliti dayasaing teh adalah
Revealed Comparative Advantage RCA , sementara teori Berlian Porter
digunakan untuk menganaisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keunggulan komoditi suatu negara. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa
selama periode 1996-2005, terdapat pertumbuhan produktivitas sebesar 11,3 persen. Namun hal ini berbeda dengan pertumbuhan produksi komoditas teh
Indonesia yang hanya naik sebesar 0,71 persen. Hal ini dikarenakan luas areal penanaman teh yang mengalami penurunan sebesar 1,12 persen. Febriyanthi
2008 menyatakan bahwa struktur pasar yang dihadapi teh Indonesia dalam pasar teh internasional, adalah pasar persaingan oligopoli dan pasar persaingan
monopoli. Posisi Indonesia di masing-masing pasar tersebut adalah market follower
. Akibatnya Indonesia sangat rentan terhadap adanya kekuatan pesaing- pesaing yang kuat, seperti Sri Langka, Kenya, Cina dan India.
Berdasarkan analisis keunggulan komparatif, Indonesia memiliki dayasaing yang kuat. Namun dilihat dari keunggulan kompetitif, Indonesia masih
berdayasaing lemah. Secara garis besar hal ini menunjukkan bahwa dayasaing Indonesia di pasar internasional masih lemah. Analisis keunggulan komparatif
dengan metode RCA menunjukkan bahwa komoditas teh Indonesia yang berdayasaing kuat adalah teh hijau kode HS 090210 dan teh hitam kode HS
090240 dikarenakan keunggulan komparatif yang dimiliki kedua produk itu dan nilai ekspor yang cukup tinggi, serta pangsa pasar yang luas. Komoditi teh hijau
hanya memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2001-2003, sementara teh
13
hitam berpotensi berdaya saing kuat karena memiliki keunggulan komparatif pada tahun 2004 dan 2005.
Analisis keunggulan kompetitif dengan teori Berlian Porter menunjukkan bahwa komoditas teh Indonesia berdayasaing lemah karena terdapat berbagai
kendala yaitu kualitas teh Indonesia yang belum memenuhi standar internasional, kualitas sumberdaya manusia yang masih lemah, kurangnya sarana dan prasarana
yang mendukung pembangunan komoditas teh Indonesia, permintaan domestik yang semakin menurun serta kebijakan pemerintah yang tidak kondusif terhadap
pembangunan komoditi teh nasional. Namun, dalam penelitiannya Febriyanthi 2008 belum melakukan analisis keterkaitan antar komponen yang menentukan
dayasaing suatu negara competitive advantage of nations.
2.4 Strategi Pengembangan Agribisnis