diharapkan akan lebih mendorong tingkat konsumsi teh dalam negeri, bahkan menggeser posisi minuman subtitusi lain.
Selain berpengaruh terhadap konsumsi, isu tersebut juga akan semakin memicu produsen untuk meningkatkan mutu produk mereka. Pembeli akan
semakin menuntut kualitas produk mulai dari pengelolaan kebun, manajemen, serta tanggung jawab tehadap lingkungan dan kelangsungan perkebunan teh yang
berkelanjutan sustainable tea. Hal tersebut akan mendorong produsen tanah air untuk melengkapi produk tehnya dengan atribut sertifikasi yang menujukan
kepedulian mereka kepada pekerja, lingkungan juga keberlangsungan kegiatan teh yang berkelanjutan. Beberapa jenis sertifikasi internasional yang telah umum
dikantongi produsen teh dalam negeri diantaranya GMP Good Manufacturing Practices,
GAP Good Agricultural Practices, HACCP, UTZ Certificate, Rainforest Alliance, Sertifikat Lestari, dan beberapa sertifikasi lainnya.
6.2 Keterkaitan Antar Komponen Utama
Berdasarkan analisis dayasaing pada setiap komponen, maka dapat diketahui bagaimana keterkaitan antar komponen dalam sistem agribisnis teh
Indonesia. Berikut ini adalah analisis keterkaitan antar komponen utama dalam agribisnis teh Indonesia :
6.2.1 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Fakor Sumberdaya dengan Kondisi Permintaan Domestik
Kondisi faktor sumberdaya dan kondisi permintaan domestik telah memiliki keterkaitan yang saling mendukung. Permintaan konsumen domestik
terhadap produk teh masih dapat dipenuhi oleh produsen-produsen dalam negeri
34
. Dengan kondisi faktor sumberdaya yang dimiliki Indonesia, memungkinkan pihak produsen untuk menghasilkan produk teh, bahkan untuk
mengekspornya data ekspor impor teh Indonesia ada pada Tabel 2. Meskipun Indonesia juga melakukan impor teh dari negara lain, namun agribisnis teh
Indonesia telah unggul secara komparatif Tatakomara 2004. Volume impor teh Indonesia hanya sebesar 9.000 ton atau sekitar 6,5 persen dari total produksi teh
34
Produksi teh dalam negeri pada tahun 2008 mencapai 137.499 ton. Sementara konsumsi teh dalam negeri hanya sebesar 42.000 ton atau sebesar 30,5 persen ITC 2009
88
nasional ITC 2009. Selain itu, kebutuhan teh impor hanya digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan blending tea oleh para produsen teh lokal
35
. Selain itu, rendahnya konsumsi domestik justru medorong sumberdaya
manusia dalam industri teh peneliti dan pengusaha untuk menciptakan teknologi dan berinovasi untuk meningkatkan minat konsumen dan jumlah konsumsi dalam
negeri. Teknologi tersebut diantaranya adalah teknologi peningkatan nilai tambah yang diharapkan mampu meningkatkan pilihan produk teh di mata konsumen.
Teknologi peningkatan nilai tambah ini juga merupakan strategi yang digunakan untuk meningkatkan komposisi produk kemasan yang diekspor, sehingga mampu
meningkatkan nilai ekspor produk teh Santoso Suprihatini 2007b.
6.2.2 Keterkaitan antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik dengan Industri Terkait dan Industri Pendukung
Komponen kondisi permintaan domestik dengan komponen industri terkait dan pendukung memiliki keterkaitan yang belum saling mendukung. Seperti yang
telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya, diketahui bahwa permintaan teh Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2008, konsumsi teh Indonesia
hanya sebesar 42.000 ton, sangat jauh apabila dibandingkan dengan konsumsi teh negara produsen lainnya. Cina, produsen teh terbesar di dunia tingkat konsumsi
teh domestiknya mencapai 872.000 ton. Negara produsen teh lainnya seperti India, Jepang dan Bangladesh konsumsi teh domestiknya mencapai 798.000 ton,
134.000 ton dan 47.000 ton. Selain rendahnya volume konsumsi teh dalam negeri, perdagangan teh di
Indonesia juga belum didukung oleh kesediaan industri dalam menyediakan teh dengan kualitas terbaik. Teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh
dengan mutu kedua dan ketiga mutu pertama ditujukan untuk pasar ekspor. Dalam penelitiannya, Surjadi 2003 menemukan bahwa produk teh bermutu
tinggi yang beredar di pasaran hanya terdiri dari dua merk, dari total yang beredar sebelas merk. Kedua produk tersebut tidak diiklankan dengan media elektronik
televisi dan informasi yang disampaikan kepada konsumen terbatas hanya pada media publikasi kalender, dengan tanpa menekankan informasi mutu tinggi pada
rasa air seduhannya. Sebaliknya, produk teh mutu rendah diiklankan melalui
35
Suprihatini dan Rosyadi 2003 ditambah dengan hasil wawancara dengan Bapak Boyke S. Soeratin anggota Asosiasi Teh Indonesia, PT Bursa Berjangka Jakarta [8 Maret 2011]
89
media elektronik. Dengan demikian rendahnya konsumsi teh dalam negeri, khususnya teh bermutu tinggi Tabel 16, disebabkan oleh tidak tersedianya
informasi, atau produk tidak tersedia di pasaran, dan atau disebabkan oleh kedua faktor tersebut Surjadi 2003
36
. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri dalam negeri, khususnya
produsen, packers dan lembaga pemasar teh di dalam negeri belum menyediakan informasi maupun memastikan ketersediaan produk bermutu tinggi di pasaran.
Perusahaan-perusahaan teh di dalam negeri belum secara optimal melakukan upaya promosi dan sosialisasi mengenai produk teh yang berkualitas yang
ditunjukkan pada rendahnya biaya iklan yang dikeluarkan mayoritas perusahaan untuk mempromosikan produk teh mereka Tabel 18. Kurangnya pengetahuan
konsumen ini juga menyebabkan rendahnya penghargaan konsumen terhadap produk-produk teh yang dihasilkan produsen di dalam negeri. Karena itu,
meskipun produk teh yang beredar di dalam negeri didominasi oleh teh berkualitas rendah, namun belum ada tuntutan dari konsumen yang menekan
industri teh dalam negeri untuk meningkatkan kualitas produknya. Kondisi ini berbeda dengan perdagangan teh Indonesia di pasar
internasional, dimana konsumen internasional sangat menuntut produk dengan kualitas dan standarisasi tertentu. Hal tersebut ditunjukan oleh ketatnya
persyaratan yang diajukan konsumen luar negeri untuk setiap produk teh yang masuk. Salah satu bentuk persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah negara
produsen umumnya dipenuhi dengan sertifikasi internasional.
6.2.3 Keterkaitan antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung dengan Persaingan, Struktur dan Strategi
Komponen industri terkait dan pendukung dengan komponen persaingan, struktur dan strategi secara umum belum menghasilkan suatu keterkaitan yang
saling mendukung. Keterkaitan yang belum mendukung ini tampak pada kondisi persaingan yang dihadapi di pasar domestik. Dalam persaingannya di pasar
domestik, produk teh Indonesia dihadapkan oleh persaingan dengan industri
36
Penelitian Surjadi 2003 ini dilakukan dengan menggunakan produk teh dari berbagai merk yang dikonsumsi konsumen contoh, dimana konsumen contoh yang terlibat merupakan
konsumen keluarga yang diwakili oleh ibu rumah tangga yang dianggap sebagai pengambil keputusan. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Tasikmalaya sebagai perwakilan pasar di
daerah produsen, dan Surabaya sebagai perwakilan pasar di daerah non-produsen.
90
minuman subtitusi lainnya. Dibandingkan dengan mengkonsumsi teh, konsumen rumah tangga lebih memilih mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk
memenuhi kebutuhannya terhadap minuman non-teh seperti air mineral, kopi dan susu Adam 2006. Hal tersebut juga dapat disebabkan oleh kurangnya promosi
yang dilakukan produsen teh apabila dibandingkan dengan kegiatan promosi minuman subtitusi lainnya
37
. Selain itu, pengusaha-pengusaha teh Indonesia masih belum berada pada
suatu kondisi persaingan yang kompetitif. PTPN sebagai market leader umumnya masih mengandalkan Pasar Lelang Jakarta Jakarta Tea Auction di samping
pemasaran langsung kepada pembeli. Dengan struktur pasar oligopoly buyers market
yang dihadapi PTPN di Pasar Lelang Jakarta, maka posisi PTPN cenderung lemah dan berdaya tawar rendah Tarigan 2003. Struktut pasar
oligopoly buyers market cukup membatasi pergerakan harga akibat rendahnya
tingkat persaingan di pasar lelang yang didominasi oleh beberapa perusahaan besar tertentu
38
. Sementara harga yang terbentuk dijadikan acuan bagi harga teh nasional. Selain itu, tindakan-tindakan atau strategi perusahaan dinilai kurang
responsif terhadap perubahan iklim persaingan. Penurunan kondisi teh nasional sejak sepuluh tahun lebih ini belum mampu diantisipasi dengan baik oleh para
stakeholder.
6.2.4 Keterkaitan antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi dengan Kondisi Faktor Sumberdaya