Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia

5. Common, berada pada ketinggian di bawah 800 m. Contohnya adalah perkebunan Gunung Rang. Kemudian, Suprihatini dan Rosyadi 2003 mengungkapkan bahwa komposisi produk teh Indonesia pada tahun 2002 yang diperjualbelikan melalui Kantor Pemasaran Bersama KPB sebagian besar 50 persen adalah jenis medium grown tea , dan sisanya sebanyak 30 persen dan 20 persen merupakan low grown tea dan high grown tea.

2.2 Sistem Agribisnis Komoditas di Indonesia

Kajian mengenai sistem agribisnis di Indonesia telah banyak dilakukan. Khusus mengenai sistem agribisnis teh, Yusdja et al 2003 melakukan penelitian mengenai analisis dampak sosial ekonomi tehadap adopsi teknologi pemberantasan hama tanaman pada perkebunan teh rakyat, dimana salah satu tujuan dari penelitian tersebut adalah menganalisis sistem agribisnis perkebunan rakyat di daerah penelitian, yaitu Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Garut sebagai daerah penelitian didasari oleh besarnya potensi perkebunan rakyat disana, dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha atau sebesar 59,09 persen dari total areal perkebunan teh di Garut. Selain itu, dilihat dari data pertumbuhan areal tanam perkebunan teh selama periode 1989-2001, perkebunan teh rakyat di kabupaten ini menunjukkan kinerja yang sangat positif. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya peningkatan luas areal perkebunan rakyat sebesar 69,09 persen selama periode 1989-2001. Hal tersebut sangat berbeda dengan kinerja perkebunan negara dan swasta yang justru mengalami kemunduran. Dilihat dari aspek produktivitasnya, perkebunan teh rakyat di wilayah ini memiliki tingkat produktivitas terendah dibandingkan dengan perkebunan negara dan swasta. Perkebunan rakyat dengan luas areal mencapai 7.049,4 ha hanya mampu mencapai produktivitas sebesar 0,811 kg teh keringhatahun. Berbeda dengan perkebunan negara dan swasta yang mampu mencapai tingkat produktivitas sebesar 1.718 kghatahun dan 1.272 kghatahun. Pemilihan desa contoh dilakukan berdasarkan kontribusi masyarakatnya terhadap budidaya teh. Desa Pamulihan dan Desa Pangauban merupakan dua desa contoh yang sebagian masyarakatnya merupakan petani yang sumber pendapatannya berasal dari budidaya tanaman teh. 10 Kegiatan yang termasuk dalam subsistem hulu teh di desa contoh terdiri dari informasi mengenai aksesibilitas petani terhadap input-input pertanian. Berdasarkan hasil pengamatan, Yusdja et al 2003 menyatakan bahwa petani teh di desa contoh telah mengenal beberapa varietas seperti TRI 0205, Kiara, Gambung dan beberapa jenis varietas lainnya. Namun, petani masih mengeluhkan tingginya harga bibit tanaman teh Rp 1.500 – Rp 2.000 per pohon yang tidak sebanding dengan harga produk yan dihasilkan. Di samping itu, masih terbatasnya pengadaan bibit teh menyebabkan petani masih menemui kesulitan untuk dapat mengkases bibit. Dalam pengadaan tenaga kerja, sebagian besar petani mengandalkan tenaga kerja keluarga. Namun dalam pelaksanaan pemetikan umumnya petani menggunakan jasa tenaga buruh terutama bagi petani yang menguasai lahan kebun yang luas. Sementara dalam penguasaan sarana dan prasarana pertanian, petani masih tergolong sangat minim dalam menguasai sarana peralatan. Pada pengelolaan kebun atau budidaya, petani umumnya bergantung pada harga teh yang terjadi. Rendahnya harga teh serta tingginya biaya produksi akan memperkecil penerimaan petani tersebut. Hal ini menyebabkan kemampuan penguasaan terhadap sarana dan prasaran pertanian, pemberian pupuk serta intensitas pemeliharaan sangat minim dilakukan. Umumnya, petani menerapkan pola tanam teh secara monokultur, kecuali kondisi tanaman yang masih kecil atau telah banyak yang tuamati dan belum dilakukan replanting, umumnya dilakukan tumpangsari dengan tanaman lain seperti sayuran atau tembakau. Kegiatan di susbsistem pemasaran dicerminkan dari kegiatan sebagian besar petani contoh yang melakukan pemasaran teh melalui pedagang pengumpul desa. Dibandingkan dengan tataniaga perkebunan negara dan swasta, jalur tataniaga perkebunan rakyat mempunyai rantai yang lebih panjang. Hal tersebut seringkali tidak menguntungkan bagi petani karena petani tidak mendapat insentif yang baik atas kerja kerasnya dalam menghasilkan teh. Di samping itu, bentuk rantai tataniaga yang panjang juga diduga mempengaruhi keputusan petani. Salah satu akibat dari ketergantungan petani yang tinggi terhadap pedagang adalah pedagang dapat mengatur keputusan petani khususnya dalam penggunaan pestisida, dalam hal ini pedagang dapat berperan sebagai penyalur pestisida. 11 Lembaga serta pihak yang bertanggung jawab dalam mendampingi petani teh rakyat dalam hal ini adalah penyuluh. Dalam penelitiannya, Yusdja et al 2003 menyimpulkan bahwa petani teh rakyat di wilayah penelitian masih jauh dalam kemandirian usaha. Selain lahan yang dikelola relatif sempit, petani juga dihadapkan pada lemahnya permodalan serta kurangnya kerjasama antar petani teh. Kondisi ini mendorong petani teh memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pedagang pengumpul yang terbukti tidak memberikan insentif yang menguntungkan pada petani teh rakyat.

2.3 Dayasaing Komoditas Indonesia