Lahan Kritis Pengertian dan Pengukuran Degradasi Lingkungan

merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri. Total output BOD yang dihasilkan dari beberapa sektor di Jawa Barat terutama bersumber dari sektor pertanian dan manufaktur. Tingginya kadar BOD yang dihasilkan dari sektor pertanian merupakan hasil pembusukan materi organik pada hasil-hasil pertanian. Sedangkan dari industri manufaktur tingginya BOD dihasilkan dari limbah yang mengandung bahan organik tinggi. Padatan Terlarut Total TDS adalah bahan-bahan terlarut diameter 10 -6 mm dan koloid diameter 10 -6 mm – 10 -3 mm yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0.45 μm. TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di perairan. Nilai TDS di perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik berupa limbah domestik dan industri.

2.1.3. Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan yang mengalami penurunan produktivitas atau kehilangan fungsi secara fisik, kimia, hidrologi dan sosial ekonomi sebagai akibat dari salah penggunaan dan atau salah pengelolaan Karmellia, 2006. Lahan kritis secara fisik adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga untuk perbaikannya memerlukan investasi yang besar, sedangkan lahan kritis secara kimia adalah lahan yang bila ditinjau dari tingkat kesuburan, salinitas dan keracunan tidak lagi memberikan dukungan positif terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi hidrologi tanah berkaitan dengan fungsi tanah dalam mengatur tata air. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tanah untuk menahan, menyerap dan menyimpan air. Lahan kritis secara hidrologi berkaitan dengan berkurangnya kemampuan lahan dalam menjalankan salah satu atau lebih dari ketiga kemampuannya tadi. Lahan kritis secara sosial ekonomi adalah lahan yang sebenarnya masih mempunyai potensi untuk usaha pertanian dengan tingkat kesuburan relatif baik, tetapi karena adanya faktor penghambat sosial ekonomi misalnya sengketa pemilikan lahan, sulit pemasaran hasil atau harga produksi sangat rendah maka lahan tersebut ditinggalkan penggarapnya sehingga menjadi terlantar. Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang bisa terjadi di dalam hutan dan di luar hutan, ukurannya hektar. Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi Dephut, 2000. Lebih lengkapnya, kriteria lahan kritis adalah: 1. Lahan kosong tidak produktif. 2. Lapisan olah tanah solum kurang dari 30 cm. 3. Lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi. 4. Lahan kosong dan kemiringan di atas 15 persen. 5. Lahan dengan penutupan vegetasi di bawah 25 persen. 6. Lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan. 7. Lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20 meter. 8. Lahan rawan bencana. Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai berdasakan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum opsional pada pengelolaan tradisional bobot 30 persen, kelerengan lahan bobot 20 persen, tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal bobot 15 persen, batu-batuan bobot 5 persen dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan bobot 30 persen.

2.2. Model Pezzey