Skenario Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan

dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa. Sementara sektor pertanian hanya menyerap alokasi kredit tidak lebih dari 4 persen. Pada tahun 2004 pertumbuhan kredit sektor industri pengolahan masih tetap tinggi yakni mencapai 20 persen dan menyebar ke wilayah lain yang belum terkategorikan sebagai wilayah industri seperti Kabupaten Majalengka, Kota Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Purwakarta, Subang dan Cianjur selain tetap mengalir ke wilayah industri. Kenyataan tersebut menunjukan tingginya aktivitas pengolahan produksi barang di banyak wilayah di Jawa Barat terutama yang dilakukan oleh pelaku usaha skala kecil dan menengah. Hal ini tercermin pada perkembangan jumlah unit usaha kecil dan menengah yang baru yang terdaftar di Dinas Perdagangan dan Perindustrian KabupatenKota di Jawa Barat. Potensi pengembangan usaha industri diperkirakan masih besar untuk 5 tahun ke depan, sehingga diproyeksikan kredit perbankan untuk sektor industri pengolahan tumbuh 20 persen selama periode 2007 - 2010. Perkembangan output sektor jasa sangat tinggi dalam 5 tahun terakhir terutama ditopang oleh sub sektor perdagangan eceran dan sektor jasa-jasa. Kontribusi kelompok sektor jasa terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat selama tahun 2001 - 2005 rata-rata mencapai 2 persen dari rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 4.5 persen. Sesuai perencanaan makroekonomi Jawa Barat ke depannya, dalam jangka menengah perekonomian Jawa Barat ditargetkan didominasi oleh sektor jasa. Oleh karena itu perlu dukungan kebijakan dari perbankan untuk meningkatkan alokasi kredit ke sektor jasa. Kredit sektor jasa pada tahun 2004 tumbuh 13 persen, sehingga diproyeksikan untuk periode 2007 - 2010 kredit tumbuh sebesar 13 persen pula. Diskenariokan ada kebijakan khusus peningkatan kredit ini sebesar 30 persen. Untuk kepentingan lingkungan, skenario tersebut diharapkan akan memberikan efek positif karena karakteristik produksi jasa yang menghasilkan limbah dan emisi lebih rendah dari sektor industri pengolahan. Sementara kredit perbankan untuk sektor pertanian pada tahun 2004 tumbuh 7 persen. Diharapkan ke depannya pertumbuhan pembiayaan sektor pertanian dapat bertahan sebesar 7 persen karena di Jawa Barat banyak sekali komoditas pertanian unggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Pada saat yang bersamaan Jawa Barat dihadapkan pada permasalahan serius yakni alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian karena tingginya pertumbuhan penduduk dan aktivitas perekonomian. Diproyeksikan untuk periode 2007 - 2010 lahan pertanian di Jawa Barat semakin menurun setiap tahunnya sebesar 0.5 persen. Penurunan lahan pertanian ini menurunkan output pertanian, sehingga menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Dalam ranagka mengantisipasi penurunan output perlu dilakukan upaya substitusi oleh input lainnya misalnya oleh kredit perbankan. Berdasarkan perhitungan trial and error menunjukan ternyata kredit perbankan untuk sektor pertanian harus naik 10 persen agar dampak negatif dari penurunan luas lahan dapat tereliminir. Oleh karena itu diskenariokan kredit perbankan untuk sektor pertanian naik 10 persen dari angka yang diproyeksikannya. Kedit untuk sektor bangunan tumbuh paling tinggi pada tahun 2004 yakni 34 persen. Hal ini terkait dengan berkembangnya pembangunan properti baik perumahan, pertokoan maupun perkantoran di beberapa wilayah Jawa Barat terutama di pusat-pusat pertumbuhan baru seperti Kota Tasikmalaya, Cirebon dan sekitarnya, Purwakarta dan Karawang, Bandung. Sektor bangunan diperkirakan masih berkembang pesat dalam tahun 2007 – 2010, termasuk rencana pengembangan infrastruktur yang dimungkinkan dibiayai perbankan. Oleh karena itu diproyeksikan selama periode ramalan kredit sektor bangunan meningkat 34 persen pula. Skenario ramalan yang pertama adalah kebijakan meningkatkan kredit perbankan untuk sektor tersier sebesar 20 persen, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian 10 persen. Kredit untuk sektor konstruksi tidak dinaikan lagi karena angka proyeksinya dalam model sudah cukup tinggi. Pola pertumbuhan ekonomi dengan skenario seperti ini bias pada sektor jasa yang diharapkan lebih sedikit menimbulkan degradasi lingkungan. Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 36. Kenaikan kredit untuk ketiga sektor ekonomi meningkatkan output seluruh sektor ekonomi dan output sektor jasa meningkat jauh lebih besar dibandingkan kedua sektor lainnya, sehingga kenaikan produktivitas tenaga kerja dan pangsa sektor jasa paling tinggi. Sebaliknya pangsa kedua sektor lainnya menurun. Di satu sisi kenaikan setiap output sektor ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1.58 persen dan menurunkan kemiskinan dalam persentase 0.28 persen. Di sisi lain kenaikan produktivitas tenaga kerja sektor jasa yang paling tinggi menjadi sumber penyebab angka Gini Ratio meningkat sebesar 0.40 persen setara dengan 0.0012 dari 0.2973 menjadi 0.2985. Dengan demikian penduduk miskin berkurang namun ketimpangan meningkat karena kenaikan pendapatan pekerja di sektor jasa lebih besar. Tabel 36. Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Peningkatan Kredit Perbankan Untuk Sektor Jasa, Industri Pengolahan dan Pertanian No Variabel Keterangan Bias Pada Sektor Jasa Industri 1 AGRO Sektor Pertanian 0.6131 0.6380 2 INDS Sektor Industri 1.4148 2.5651 3 JASA Sektor Jasa 2.8316 1.5552 4 GR Gini Rasio 0.4036 -0.1345 5 PR Jumlah Penduduk Miskin -0.2788 -0.2936 6 LKp Lahan Kritiskapita 0.0000 0.0000 7 TG Tambang dan Galian 0.1093 0.1145 8 KN Kontruksi 0.2864 0.3000 9 TDSp Total Dissolved Solidkapita 2.0045 2.0045 10 BODp Biologi Oxigen Demandkapita 1.5957 1.5957 11 CO Carbon Monoksida 0.9109 0.9413 12 CO2p Carbon Dioksida kapita 1.7653 1.8332 13 PDRB Produk Domestik Regional Bruto 1.5848 1.7020 14 YT PDRBkapita 1.5708 1.6849 15 SA Pangsa Pertanian -0.1074 -0.1164 16 SI Pangsa Industri -0.0778 0.3608 17 SJ Pangsa Jasa-Jasa 0.3803 -0.0344 18 PRDA Produktivitas TK Pertanian 0.6119 0.6373 19 PRDI Produktivitas TK Industri 1.3963 2.5326 20 PRDJ Produktivitas TK Jasa-Jasa 2.8133 1.5432 Kondisi sosial ekonomi tersebut tidak menimbulkan dampak terhadap luas lahan kritis per kapita, sedangkan kualitas air dan udara menurun tercermin dengan naiknya TDSp, BODp, CO dan CO2p seiring dengan naiknya PDRBkapita sebesar 1.57 persen. Sebagai bahan perbandingan jika skenarionya diubah dimana kebijakan meningkatkan kredit perbankan untuk sektor tersier sebesar 10 persen, sektor industri pengolahan 20 persen dan untuk sektor pertanian 10 persen. Skenario ini menunjukan bahwa pola pertumbuhan ekonomi yang dipilih seperti yang tengah berlangsung saat ini yakni lebih bias ke sektor industri pengolahan. Nampak dalam Tabel 36, tiga indikator lingkungan yakni luas lahan kritis per kapita, TDSp dan BODp tidak mengalami perubahan antara pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor industri dengan yang bias pada sektor jasa. Artinya, kedua pola pertumbuhan ekonomi ini memberikan dampak yang sama terhadap masalah lahan kritis dan pencemaran air. Namun tidak demikian dengan kasus pencemaran udara. Pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor industri menimbulkan dampak jumlah CO dan CO2p lebih tinggi dibandingkan dengan pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa. Dengan demikian secara keseluruhan pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor jasa lebih baik dari sisi kepentingan lingkungan daripada pola pertumbuhan ekonomi yang bias pada sektor industri pengolahan.

9.2. Skenario Kebijakan Kredit Perbankan dan Penurunan Ketimpangan Pendapatan

Berdasarkan skenario pada sub bab 9.1 nampak bahwa kebijakan peningkatan kredit sektor industri telah menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor jasa. Namun di sisi lain pertumbuhan ekonomi yang berbasis sektor jasa berdampak pada naiknya ketimpangan pendapatan sekalipun besaran kenaikannya relatif kecil. Jika pilihan kebijakan tetap pada peningkatan pangsa sektor jasa maka perlu kebijakan spesifik perbaikan distribusi pendapatan yang berdampak signifikan pada turunnya Gini Ratio. Dalam Rencana Strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat, tertuang salah satu misinya yakni mengembangkan struktur perekonomian regional yang tangguh dengan harapan meningkatnya pemerataan dan pertumbuhan ekonomi sehingga Indeks Gini Jawa Barat berada di bawah 0.2. Oleh karena itu, upaya pembangunan ekonomi Koperasi dan Usaha Kecil serta Menengah, menghilangkan kemiskinan dan mendorong kemajuan wilayah-wilayah tertinggal, maupun keseimbangan pembangunan antara perdesaan dengan perkotaan, menjadi sangat strategis guna mengurangi terjadinya kesenjangan yang makin melebar yang dapat melahirkan kecemburuan sosial, urbanisasi dan dapat mengganggu stabilitas keamanan wilayah. Untuk itu perlu dilakukan upaya pembangunan desa-desa dan kota-kota kecil dengan mengacu pada struktur ruang yang telah ditetapkan dan mengedepankan unsur padat karya Pemprov Jabar, 2003. Berbagai program sudah digulirkan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat golongan bawah seperti program Raksadesa, Dakabalarea, pengembangan kluster industri kecil berbasis sumberdaya lokal, pengembangan desa percontohan tiap kabupaten. Program tersebut bersifat multidimensi yakni berupa bantuan finansial, bantuan teknis dan pengembangan kapasitas kelembagaan melalui pembentukan kelompok usaha bersama. Berkembangnya micro-financing yang dimotori swasta memberikan peluang besar untuk turut mempercepat perkembangan usaha masyarakat golongan bawah. Dengan asumsi program-program tersebut berjalan sebagaimana yang diharapkan maka disimulasikan angka GR dapat turun 0.01 dari angka yang