Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air

kegiatan pertanian merupakan non-point sources. Selama ini kebijakan pengendalian pencemaran air lebih bias pada point sources melalui penetapan baku mutu limbah cair yang dihasilkan langsung oleh pabrik-pabrik. Dalam rangka meningkatkan pentaatan terhadap kebijakan pengendalian pencemaran air, pemerintah mencoba menggugah kesadaran pihak industriawan melalui berbagai program baik di tingkat pusat maupun propinsi. Secara keseluruhan program-program tersebut belum memberikan hasil yang optimal, artinya tingkat ketaatan belum sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan. Pemerintah mengidentifikasi kendala upaya pengelolaan lingkungan melalui pengolahan limbah yang terbentuk end-of pipe treatment yang belum dapat mengatasi permasalahan pencemaran yang masih terus terjadi. Adapun kendala tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dalam pengolahan limbah dapat terjadi efek samping berupa terbentuknya limbah padat sludge atau gas yang juga bersifat polutan, sehingga upaya pengolahan limbah ini seolah-olah hanya mengubah bentuk limbah ke bentuk lain. 2. Memberi kontribusi terhadap peningkatan biaya proses produksi serta terhadap produk itu sendiri. 3. Pada umumnya belum adanya penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggar peraturan yang berkaitan dengan pembuangan limbah BPLHD Jabar, 2001. Hasil survei terhadap 32 perusahaan yang tersebar hampir di seluruh sektor ekonomi dan wilayah industri dan padat penduduk semakin memperjelas analisa BPLHD Jabar, bahwa alasan utama kurang mengindahkan aturan pengendalian pencemaran air bagi sebagian besar responden 50 persen terkait dengan tingginya biaya membangun unit pengolah air limbah sehingga bisa mengurangi keuntungan. Artinya, pertimbangan sisi ekonomi yang menyangkut biaya dan keuntungan telah mendominasi perilaku yang kurang respon terhadap kebijakan pengendalian pencemaran air. Alasan utama lainnya yang diungkapkan oleh sebagian besar responden 47 persen yakni perasaan aman membuang limbah ke sungai karena akan langsung terserap oleh air dan tidak ada sanksi membuang limbah ke sungai. Alasan terakhir semakin mempertegas penjelasan sebelumnya bahwa tipe kebijakan CAC yakni standar baku mutu limbah cair tidak memberi dorongan pada pihak pencemar untuk mengolah limbahnya. Selain itu permasalahan yang dihadapi dari implementasi pengelolaan lingkungan yang mengandalkan pada mekanisme CAC adalah sistem dan kemampuan monitoring yang lemah. Hal ini disebabkan oleh belum memadainya kapasitas SDM dan institusi disamping kurangnya koordinasi antara instansi yang terkait, serta minimnya pengetahuan tentang isu-isu lingkungan dari para stakeholders Alisjahbana, 2006. Alasan pertama yang menyangkut besarnya keuntungan perusahaan jika limbah harus diolah terlebih dahulu, membuka peluang untuk design tipe kebijakan lainnya yakni berbasiskan pasar untuk melengkapi kebijakan berbasis CAC. Pihak BPLHD pun mulai menawarkan strategi baru dalam upaya pengelolaan lingkungan, dan berubah dari upaya pengendalian menjadi upaya pencegahan, yang lebih dikenal dengan strategi produksi bersih. Strategi produksi bersih mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran, minimasi limbah waste minimization, teknologi bersih, dan bahkan juga upaya remediasi. Jika dikaitkan dengan matrik kebijakan terdapat beberapa pilihan bentuk insentif untuk mendukung kebijakan tersebut diantaranya pungutan, pemberian subsidi, pengenaan pajak dan tradable permits. Dasar philosofis dari makna insentif bahwa segala jenis input yang ada pasarnya yang digunakan dalam menghasilkan barang akan mendorong setiap pelaku ekonomi untuk menggunakannya seefisien mungkin. Jasa lingkungan tidak memiliki pasar sehingga pemanfaatannya tidak mengeluarkan biaya, maka kurang menimbulkan dorongan memikirkan dampak negatif dari pemanfaatan tersebut terhadap lingkungan. Melalui pendekatan ini, lembaga publik menawarkan insentif finansial untuk mengubah tingkat emisi Field, 1994. Pungutan mencakup pungutan atas limbah effluent charges berdasarkan jumlah dan kualitasnya, pungutan pengguna user charges atas pemakaian fasilitas yang bersifat kolektif, pungutan produk product charges melalui pembebaban harga pada produk yang mencemari dalam proses produksinya, dan differential tax terhadap produk berdasarkan tingkat pencemarannya Panayotou, 1992. Subsidi, termasuk di dalamnya berbagai bentuk dari bantuan finansial yang dimaksudkan untuk mendorong pengurangan dalam polusi atau untuk membiayai langkah tindakan yang diperlukan dalam mengurangi polusi. Dalam implementasinya, pihak yang berhasil menurunkan tingkat emisi akan diberi sejumlah uang untuk per unit emisi. Subsidi secara langsung akan mendorong pencemar melakukan upaya pengurangan emisi melalui penggunaan teknologi ramah lingkungan secara efisien agar mendapatkan subsidi yang lebih besar dari biaya. Konsekuensinya pemerintah harus memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan subsidi pengurangan emisi. Mekanisme lain dimungkinkan melalui lembaga perbankan agar mau memberikan suku bunga murah bagi pengusaha yang berupaya menurunkan emisi. Pajak lingkungan lebih dikenal dengan green tax. Instrumen pajak diharapkan akan menjadi insentif tambahan untuk pencegahan polusi dan sekaligus sebagai sumber penerimaan untuk membiayai upaya perbaikan lingkungan, seperti perlakuan pada buangan, pengumpulan sampah dan pengelolaan. Dasar philosofisnya setiap unit limbah yang dibuang ke badan air akan dikenakan pajak. Dengan demikian setiap limbah yang dibuang akan merupakan biaya. Oleh karena itu untuk menghindari beban biaya yang semakin besar, pihak pencemar akan terdorong berusaha mengurangi emisi melalui penggunaan teknologi ramah lingkungan secara efisien. agar beban pajak atas limbah yang dibuang subsidi yang lebih besar dari biaya. Upaya penyempurnaan pengenaan pajak lingkungan hendaknya memperhatikan hal berikut ini yakni penetapan tarif pajak lingkungan harus mempertimbangkan baik sisi regulasi lingkungan maupun kepentingan penerimaan. Seringkali pajak lingkungan dikenakan sedemikian rupa sehingga terkumpul dana yang cukup untuk membiayai program-program lingkungan Alisjahbana, 2006. Hasil survei menunjukan pula bahwa alasan lain yang banyak disebutkan 31 persen dari total responden yakni selama ini tidak ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air sesama pencemar. Alasan tersebut secara langsung menunjukan bahwa di Jawa Barat juga di Indonesia belum ada mekanisme transferable discharge permits TDP. TDP merupakan salah satu bentuk insentif dalam kebijakan lingkungan, yang bersifat decentralized dimana pelaksanaannya diberikan pada pelaku pasar. Dalam konteks ini pemerintah mentargetkan tingkat polusi yang ingin dicapai, namun dalam pelaksanaannya ada keleluasaan bagi para pencemar untuk melakukan transaksi permit. Ide utama dalam mekanisme TDP bahwa permit dapat diperjualbelikan melalui negosiasi antar para polluter, sehingga tercapai kesepakatan dan target polusi sebagaimana yang diinginkan oleh pemerintah. Mekanisme TDP diharapkan efektif dalam mengendalikan polusi karena polluter memiliki insentif untuk mendapatkan keuntungan dari jual beli permit. Mekanisme TDP dapat digunakan untuk pengendalian limbah cair, padat, dan gas baik yang uniformly maupun non- uniformly Tietenberg, 1996. Bentuk insentif apapun yang dipilih seyogyanya memberikan insentif bagi masyarakat untuk menemukan teknologi baru atau inovasi alternatif untuk mengurangi dampak kegiatannya terhadap kualitas lingkungan. Artinya, sistem insentif tersebut harus memberikan efek perubahan teknologi, peningkatan program penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat, dan peningkatan kesejahteraan. Indonesia termasuk di dalamnya Jawa Barat yang merupakan negara besar dan kaya dengan jumlah dan aneka sumberdaya alam, banyak klasifikasi sektor industri, sebagian besar industri merupakan industri mikro dan kecil, banyak pula industri yang informal, tampaknya tidak mungkin hanya menerapkan satu bentuk insentif, namun perlu dikombinasi. Bentuk insentif mana yang tepat sangat tergantung dari karakteristik industri dan limbah yang dibuang, institusi pendukung, kesiapan pihak-pihak yang terlibat. Panayotou 1992 menekankan bahwa faktor skala produksi, kepemilikan dan pengawasan, tipe polutan, kapasitas penegakan, budaya menjadi pertimbangan tipe instrumen atau kombinasi apa yang sebaiknya dipilih. Selanjutnya Panayotou 1992 memberikan saran-saran konstruktif sebagai berikut. Pertama, dibedakan berdasarkan skala produksi. Dalam kasus terdapat sejumlah kecil perusahaan konglomerat, standar emisi, pungutan buangan, dan kewajiban pemasangan peralatan pengolah limbah dapat efektif karena monitoring dan penegakan relatif mudah. Sebaliknya jika terdapat sejumlah besar industri kecil yang lebih tepat adalah instrumen tidak langsung seperti pajak input dan simpanan yang bisa ditarik kembali. Kedua, dibedakan berdasarkan tingkat persaingan. Industri monopoli atau oligopoli tidak akan respon terhadap insentif ekonomi karena permintaan bersifat inelastis. Oleh karena itu, standar dan kewajiban mengontrol peralatan yang tidak tergantung pada respon pasar akan lebih efektif. Ketiga, dibedakan berdasarkan kepemilikan dan pengawasan. Sektor industri yang didominasi perusahaan publik menghadapi hambatan anggaran yang tidak ketat atau cost-plus pricing formulas sehingga tidak akan respon terhadap pungutan polusi. Keempat , dibedakan berdasarkan komposisi polusi industri. Pungutan polusi atau permit tidak tepat jika polusi didominasi oleh limbah dimana lingkungan tidak memiliki kapasitas asimilatif seperti besi, limbah radioaktif. Regulasi yang ketat, bon kinerja, dan pusat treatmen kolektif dan fasilitas pembuangan akan lebih tepat. Kelima , mempertimbangkan secara eksplisit kapabiliti monitoring dan penegakan, serta ketersediaan sistem pendukung kelembagaan. Jika kelayakan monitoring dan penegakan rendah, kewajiban pemasangan alat pengontrol polusi akan lebih dimungkinkan. Selain itu pajak input dan bon kinerja juga dimungkinkan karena lebih mudah pengawasannya. Keenam, mengakomodasi pengawasan wilayah yang heterogen melalui desentralisasi kewenangan kepada agen lokal dan membiarkan solusi diterima secara lokal. Ketujuh, mendekati dan meraih perusahaan, mengarahkan ke industri dan teknologi yang kurang berpolusi. Dengan mempertimbangkan ketujuh aspek tersebut maka akan terdapat ragam kebijakan pengendalian pencemaran air sesuai karakteristik masing-masing yang memadukan antara pendekatan tipe CAC dan insentif pasar. Hasil survei ke beberapa perusahaan yang tersebar di wilayah industri dan jasa di Jawa Barat ditemukan adanya peluang kerjasama dalam pengelolaan limbah diantara para pencemar. Pemerintah seyogianya memfasitasi kerjasama ini dan ke depannya dapat ditindaklanjuti dengan user charge yang ditetapkan secara progresif berdasarkan jumlah limbah yang diolah di collective treatment tersebut. Pemerintah pun sebaiknya mendorong kerjasama pengembangan teknologi produksi atau substitusi bahan baku yang ramah lingkungan sesama dunia usaha. Selain itu berdasarkan hasil survei terdapat pula peluang TDP bagi perusahaan yang menghasilkan limbah sejenis namun berbeda dalam pendekatan pemakaian teknologi. Mekanisme TDP dapat membantu menekan masalah lingkungan dalam kondisi lemahnya monitoring dalam implementasi kebijakan CAC, karena pihak pencemar dapat memperoleh keuntungan dari jual beli ijin.

10.3. Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara

Sama halnya dengan pencemaran air, pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang paling responsif terhadap jumlah CO. Sedangkan untuk jumlah CO2p, variabel tingkat kepedulian sangat elastis dalam jangka panjang. Jumlah CO dan CO2p cenderung lebih banyak di wilayah industri dan perkotaan yang padat penduduk dan lalu lintasnya. Masalah semakin kompleks karena sumber pencemaran bersifat mobile sehingga sulit menentukan point sources, sehingga sulit memastikan siapa yang paling bertanggungjawab. Dampak dari pencemaran udara bersifat public bad bahwa derita yang dialami seseorang tidak mengurangi derita yang lainnya. Sampai saat ini UU No. 231997 mengenai lingkungan hidup merupakan peraturan payung bagi pengelolaan udara di Indonesia. Berbagai peraturan baik dalam bentuk PP, Keputusan Presiden, SK Menteri hingga Peraturan Daerah telah tersedia tapi kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia termasuk di Bandung terus menurun. Kajian terhadap perangkat hukum pengendalian pencemaran udara di Indonesia yang dilakukan oleh Pelangi dan Indonesian Center for Environmental Law ICEL, menemukan bahwa kewenangan dan kelembagaan pengendalian pencemaran udara secara spesifik dalam framework law mengenai lingkungan hidup UU No. 231997 belum diatur. PP No. 411999 pun belum mengatur secara rinci peran sektor terkait ataupun pemerintah daerah. Ketidakjelasan kewenangan dan kelembagaan ini pada akhirnya mempengaruhi keefektifan penerapan peraturan yang ada. Sementara terkait dengan isu teknis, ditemukan bahwa ternyata orientasi pengendalian pencemaran udara di Indonesia masih ke arah program penanggulangan dan pemulihan. Program pencegahan pencemaran udara di masa depan belum terakomodasi secara nyata. Selain itu, alat bantu untuk menghitung penyebaran pencemar udara, salah satu prasyarat dalam menyusun program kerja pengendalian pencemaran udara yang efektif dan efisien, sama sekali belum diatur dalam PP No. 411999. Satu temuan yang tidak kalah pentingnya adalah belum terakomodasikannya secara baik upaya membangun pemahaman dan peran serta masyarakat sebagai strategi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang dikeluarkan pemerintah Sadat, 2003. Substansi dari PP No. 411999 menyangkut baku mutu udara ambien nasional yang secara eksplisit merupakan aturan pembatasan jumlah emisi udara yang boleh dilepas ke udara. Mengacu pada matriks kebijakan lingkungan kebijakan tersebut merupakan tipe CAC, sementara banyak pilihan kebijakan tipe lainnya atau bentuk kebijakan campuran. Dengan diketahui akar masalah dari terjadinya pencemaran udara yakni lebih karena aktivitas transportasi kendaraan bermotor, maka penanganan pencemaran udara memberikan peluang dari beberapa aspek yakni kendaraan, bahan bakar, dan lalu lintasnya. Tabel 41 mengemukakan matrik kebijakan khusus untuk masalah pencemaran udara dari transportasi.