Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan

berarti dibalik hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan terdapat variabel kemiskinan yang mendorong hubungan diantara keduanya menjadi berbalik arah backward bending, tidak mengikuti Teori EKC yang berbalik arah menjadi seperti huruf U terbalik.

3.2. Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan

Dilihat dari aspek hak kepemilikan, terdapat perbedaan karakteristik antara lahan kritis dengan pencemaran air dan pencemaran udara. Untuk kasus lahan kritis terdapat kepemilikan yang jelas yakni pemilikan pribadi atau negara. Sebagian besar lahan kritis di Jawa Barat yakni 68 persen adalah milik masyarakat, berarti terkait dengan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Kepemilikan pribadi seharusnya dapat menjamin adanya upaya konservasi karena benar tidaknya pola pemanfaatan dari lahan tersebut menyangkut keuntungan dan kerugian buat si pemilik. Kepemilikan yang jelas ini seyogianya mempermudah penanganan luas lahan kritis, dengan syarat masyarakat paham dan peduli terhadap pengelolaan lahan yang tepat dan ada surplus produksi untuk menutupi biaya pengolahan. Sedangkan lahan kritis milik negara sangat dimungkinkan karena tidak terdefinisikannya hak kepemilikan tersebut dengan baik terutama karakteristik enforceability. Berbeda dengan kasus lahan kritis, air dan udara merupakan barang publik yang bebas diakses oleh siapapun. Sifat open access ini menempatkan kedua SDA tersebut sebagai barang gratis yang tidak ada harganya sehingga bisa menimbulkan kegagalan pasar. Artinya, ketika tidak ada kepemilikan mendorong banyak pihak turut memanfaatkan tanpa ada kewajiban memeliharanya sehingga menimbulkan eksternalitas negatif. Pihak ketiga menderita kerugian akibat perilaku pihak pertama. Pencemaran air dan udara sebagai by product terutama dari kegiatan produksi yang dilakukan oleh pihak industri menimbulkan dampak negatif bagi pihak lain. Pencemaran air dan udara sebagai eksternalitas negatif memiliki konsekuensi ganda. Pertama, pencemaran yang dibiarkan terakumulasi akan menurunkan produktivitas lingkungan yang pada gilirannya dapat membatasi pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana yang sudah dirumuskan oleh Pezzey tentang ‘economic and environmental stocks and flows – a general model’ kemampuan menghasilkan output tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan modal, teknologi dan tenaga kerja, namun juga oleh produktivitas lingkungan. Kedua, pihak yang dirugikan akan bereaksi atas penderitaannya sehingga menuntut kompensasi. Keduanya memiliki implikasi bahwa eksternalitas negatif harus diinternalisasikan yang berarti memberikan harga untuknya dalam rangka mencapai manfaat sosial secara optimum. Konsekuensinya, internalisasi eksternalitas akan mempengaruhi biaya produksi dan tingkat produksi. Coase 1960 mengemukakan solusi terhadap masalah eksternalitas negatif ini. Inti dari cara pemecahan yang dikemukakan Coase adalah bagaimana dua individu atau perusahaan memecahkan masalah eksternalitas negatif tanpa banyak campur tangan dari pemerintah. Artinya, sejauhmana solusi swasta mampu mengatasi masalah eksternalitas. Coase Theorem menyatakan bahwa dalam keadaan tidak ada biaya transaksi, tingkat produksi barang dan jasa dalam suatu industri dimana terjadi eksternalitas tergantung apakah pihak yang menimbulkan eksternalitas secara legal dikenakan biaya atau tidak atas eksternalitas yang menimbulkan dampak negatif bagi pihak lain. Kesediaan menanggung biaya eksternalitas sangat tergantung pada bargaining antara pihak yang menderita dengan pihak yang berbuat. Dengan demikian solusi swasta bisa sangat efektif seandainya pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan solusi penanganan masalah eksternalitas tanpa mengeluarkan biaya yang memberatkan alokasi sumberdaya. Asumsi kuat yang melekat dibalik teorema ini adalah proses bargaining bekerja dalam kerangka pasar persaingan sempurna, informasi sempurna, tidak ada biaya transaksi sehingga kedua belah pihak akan sama-sama diuntungkan. Namun dalam kenyataannya asumsi tersebut sangat tidak realistis. Selain banyak pihak yang berkepentingan, kepentingan masing-masing akan lebih mendominasi untuk memenangkan tawar menawar. Untuk itu pemerintah dapat memfasilitasi proses bargaining ini agar tercapai tingkat produksi optimum secara sosial yakni profit maksimum dimana eksternalitas sudah diinternalisasikan. Selain itu pemerintah dapat menetapkan kebijakan dalam rangka menominalkan air dan udara melalui standar baku mutu limbah cair dan emisi dengan mekanisme CAC atau berbasis pasar. Aturan baku mutu limbah yang merupakan turunan dari UU Lingkungan Hidup merupakan tipe CAC yang membutuhkan kelembagaan yang kuat dalam pelaksanaannya. Temuan Panayotou 1992 menunjukan bahwa di negara-negara berkembang dimana terdapat keterbatasan pemerintah dalam anggaran dan kemampuan penegakan, maka tipe kebijakan CAC secara umum tidak efektif dalam mengontrol degradasi lingkungan. Permasalahannya, kebijakan tersebut bisa jadi tidak efektif mencapai sasarannya ketika tingkat kepedulian dan kesadaran lingkungan belum terbangun. Implementasi kebijakan yang efektif perlu didukung oleh kepedulian dan kesadaran stakeholders terhadap masalah pencemaran ini, yakni pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Kepedulian dan kesadaran lingkungan akan menjadi sentral dalam implementasi kebijakan lingkungan dalam bentuk apa pun. Artinya, tanpa kepedulian dan kesadaran lingkungan kebijakan tersebut tidak akan ada maknanya. Kepedulian dan kesadaran lingkungan ini perlu dibangun dengan berbagai dimensi yang menyangkut berbagai pihak. Oleh karena itu, etika lingkungan menjadi sentral dalam pengendalian degradasi lingkungan.

3.3. Etika Lingkungan