yang ditanami serehwangi sejak tahun 1977, tanpa ada jenis tanaman keras lainnya padahal serehwangi merupakan jenis tanaman yang tidak memiliki akar
kuat sehingga tidak mengikat tanah. Tanaman ini mudah ditanam, biaya produksi dan pemeliharaan sangat murah, bisa dipanen 3 bulan sekali. Melalui proses
penyulingan sederhana bisa dijadikan minyak serehwangi yang bisa dijual dengan harga tinggi. Tingginya harga komoditas minyak serehwangi menarik banyak
pihak untuk terlibat dalam tanaman ini, namun ketika harga anjlok tanaman tersebut menjadi produk yang tidak menarik lagi. Tanaman ditinggalkan dan
dibiarkan terlantar yang mengakibatkan perbukitan gundul dan rawan longsor. Kenyataan ini tidak lepas dari status lahan hak guna umum HGU sehingga tidak
ada kewajiban untuk pemeliharaan. Berdasarkan gambaran tersebut dapat diketahui bahwa lahan kritis milik
negara tidak terdefinisikan dengan baik yang terkait erat dengan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan yang kurang baik.
7.1.3. Keberadaan Kebijakan dan Pelaksanaan Penanganan Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan
Masalah lahan kritis secara nasional sudah muncul sejak awal pembangunan. Pemerintah telah merespon masalah ini dengan kebijakan reboisasi
melalui Program Bantuan Reboisasi dan Penghijauan INPRES pada tahun 1976 yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh berbagai kebijakan. Dalam rangka menggali
informasi sejauhmana pelaksanaan kebijakan tersebut di lingkup Propinsi Jawa Barat, maka dilakukan interview dengan pejabat yang mewakili Perum Perhutani
Wilayah Unit III, Sub Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bandung, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Indramayu.
Menurut sumber informasi, Program Bantuan Reboisasi dan Penghijauan INPRES sangat intensif sebagai kebijakan pertama yang merespon masalah
lahan kritis. Hal ini dimungkinkan karena bentuk program jelas dan sifatnya sebagai pelaksana penanaman.
Selanjutnya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam menggalakan penghijauan, pada tahun 1978 digulirkan program MALU Mantri
dan Lurah. Program Malu adalah program yang utamanya bertujuan untuk meningkatkan keamanan hutan dari tindakan pihak-pihak yang dapat
mengakibatkan kerusakan hutan. Program ini dilakukan atas kerjasama antara RKPH Resort Kesatuan Pemangkuan Hutan dengan kelurahan yang berwenang
atas suatu kawasan hutan. RKPH memiliki kewenangan sebagai polisi hutan. Tindakan pihak-pihak yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan tersebut
diantaranya kegiatan penjarahan hutan oleh sekelompok orang yang mengambil kayu secara ilegal.
Program Malu dalam perkembangannya diperluas untuk kegiatan tumpangsari pada suatu area hutan yang manfaatnya dapat dinikmati oleh warga
setempat. Hal ini dilakukan sebagai wujud kerjasama antara RKPH, kelurahan dan masyarakat untuk mengantisipasi kecenderungan adanya tindakan pengrusakan
hutan atau penebangan secara ilegal. Menurut sumber informasi, pelaksanaan kebijakan ini kurang intensif karena lemahnya manajemen.
Dengan keluarnya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1982 upaya penghijauan semakin serius. UU LH tersebut memiliki asas melestarikan
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Tujuan UU tersebut adalah tercapainya