III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Degradasi Lingkungan
Model Pezzey dan Teori EKC secara substansi memiliki makna yang sama, yakni membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi
lingkungan. Pemikiran Pezzey yang terungkap dalam economic and environmental stocks and flows – a general model,
memperlihatkan hubungan timbal balik antara produktivitas lingkungan dengan degradasi lingkungan.
Bahwasannya, produksi barang dan jasa dipengaruhi oleh produktivitas lingkungan dimana kualitas lingkungan sendiri ditentukan oleh besar kecilnya
belanja lingkungan yang disisihkan dari kegiatan produksi. Namun model tersebut sulit memisahkan dampak negatif dan positif dari berlangsungnya pertumbuhan
ekonomi terhadap kualitas lingkungan. Artinya, model tidak mengungkapkan apakah hubungan timbal balik tersebut terjadi secara bersamaan atau bertahap.
Teori EKC muncul lebih detil melalui elaborasi tahap pembangunan yang menentukan degradasi lingkungan, bahwa pada tahap awal pembangunan yang
didominasi oleh sektor pertanian degradasi lingkungan masih rendah. Selanjutnya ketika perekonomian memasuki tahap industrialisasi, degradasi lingkungan
semakin meningkat. Setelah melewati tahap tersebut dimana perekonomian mulai didominasi oleh sektor jasa, setiap peningkatan pendapatan per kapita akan
menurunkan degradasi lingkungan. Industrialisasi di Indonesia mulai dilaksanakan setelah ditetapkannya
kebijakan Industri Substitusi Impor ISI yang dimulai tahun 1970. Tujuan utama kebijakan tersebut diarahkan untuk melindungi infant industry dari kompetisi
dengan produk impor. Ketika tahun 1985 harga minyak anjlok, pemerintah mulai menaruh perhatian pada komoditas non migas, sehingga kebijakan ISI digeser
oleh kebijakan promosi ekspor. Sebagai wilayah administrasi terdekat dengan ibu kota, Jawa Barat
menjadi daerah utama untuk pengembangan kawasan industri. Tidak mengherankan sejak tahun 1985 pangsa industri manufaktur dalam PDRB Jabar
mencapai 16.87 persen, padahal tahun sebelumnya masih 9.49 persen. Pada tahun 1993 pangsa industri manufaktur semakin besar yakni 20.18 persen sehingga
menurut klasifikasi UNIDO Jawa Barat sudah tergolong sebagai wilayah industri. Periode berikutnya pangsa tersebut semakin besar dan mencapai 37.86 persen
pada tahun 1996 dan akhir tahun 2005 sudah mencapai 41.6 persen BPS Jabar, berbagai tahun.
Industrialisasi yang terjadi Jawa Barat pada dasarnya merupakan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Strategi ini cukup
berhasil dimana Jabar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang cenderung di atas nasional dan memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia rata-rata 14
persen setiap tahunnya. Artinya, peran Jabar sangat strategis sebagai penyangga perekonomian nasional.
Industri Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bogor 10.7 persen, Kabupaten Bekasi 13.5 persen, Kota Bandung 12.9 persen, dan Kabupaten
Bandung 17.6 persen. Pada saat yang bersamaan wilayah lainnya masih bercorak agraris. Arus urbanisasi ke wilayah industri sangat tinggi sehingga
kepadatan penduduk melebihi kewajarannya. Sungai yang melewati daerah tersebut adalah Sungai Cisadane, Cileungsi, Ciliwung, dan Citarum. Sebagai
dampak dari industrialisasi dan padatnya penduduk, keempat sungai ini masuk dalam kategori sebagai sungai dengan polusi air permukaan paling tinggi di Jawa
Barat BPLHD, 2004. Dikaitkan dengan Teori EKC, kondisi kualitas air permukaan Jawa Barat
berada pada tahap sebelum titik balik bahwa industrialisasi yang meningkatkan pendapatan per kapita memperburuk kualitas air. Dilihat dari jumlahnya, industri
yang ada di Jawa Barat didominasi oleh industri pakaian, tekstil, logam, kulit, makanan dan minuman, kayu, mineral, dan furniture. Karakteristik industri seperti
ini terutama industri pakaian dan tekstil banyak menimbulkann limbah cair yang berbahaya.
Di sisi lain, industrialisasi dan dinamika penduduk di wilayah-wilayah yang berbasis aktivitas ekonomi di sektor industri dan jasa telah menimbulkan
tingginya pembuangan emisi terutama dari sektor transportasi. Dengan demikian menurunnya kualitas air dan udara terjadi seiring dengan proses industrialisasi
yang sudah dimulai sejak tahun 1985. Berdasarkan perhitungan Bapeda Jabar, sektor industri pengolahan di
Jawa Barat memiliki keterkaitan terkuat dengan sektor industri sendiri intra- industry trade
, sedikit keterkaitan dengan sektor pertanian dan cenderung menggunakan input impor baik luar propinsi maupun luar negeri Pemprov Jabar,
2003. Selain itu industri yang berkembang di Jawa Barat cenderung padat modal. Artinya, industrialisasi Jawa Barat tidak berbasis sumberdaya lokal sehingga
peningkatan output sektor industri pengolahan tidak diikuti oleh peningkatan tenaga kerjanya secara proporsional. Kenyataan ini berdampak pada disparitas
antar wilayah, disparitas pendapatan antar golongan masyarakat pertanian dan
non-pertanian dan tingginya persentase penduduk miskin. Kenyataan tersebut sangat nampak dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia IPM dimana
Jawa Barat menduduki urutan ke-15 di tingkat nasional, padahal ekonominya tumbuh di atas rata-rata.
Ketika perekonomian dihadapkan pada krisis dimana pengangguran meningkat, kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa Barat semakin memburuk
yakni meningkatnya angka Gini Ratio dan tingkat kemiskinan. Kenyataan ini menyimpang dari Teori Kuznet, bahwa perekonomian Jawa Barat ternyata tidak
mampu terus tumbuh justru mengalami resesi dan kualitas lingkungan semakin buruk.
Dalam kondisi distribusi pendapatan yang tidak merata, terdapat 2
fenomena yang berdampak pada luasnya lahan kritis. Pertama, adanya kelompok
kaya yang menjadi pressure group terhadap mekanisme pembuatan kebijakan sehingga bias untuk kepentingannya, bahkan perilaku memanfaatkan kelemahan
hukum dan masyarakat miskin untuk melakukan penebangan ilegal secara besar-
besaran. Kedua, adanya kelompok miskin yang sulit akses terhadap banyak aspek,
seperti terhadap kegiatan ekonomi formal, sumber permodalan, pendidikan, kesehatan, air bersih, dan sanitasi. Kondisi seperti ini memaksa mereka tidak
memikirkan kepentingan jangka panjang. Artinya, kebutuhan mendesak saat ini jauh lebih penting sehingga tidak peduli apakah tindakan tertentu berdampak
buruk terhadap lingkungan. Kasus tingginya perambahan dan penjarahan kayu di area hutan milik Perhutani di Kabupaten Garut, Cianjur, Ciamis, dan Sukabumi,
adalah contoh masalah lahan kritis yang terkait dengan kemiskinan. Berdasarkan gambaran kinerja perekonomian Jawa Barat seperti di atas
berarti dibalik hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan terdapat variabel kemiskinan yang mendorong hubungan diantara keduanya
menjadi berbalik arah backward bending, tidak mengikuti Teori EKC yang berbalik arah menjadi seperti huruf U terbalik.
3.2. Degradasi Lingkungan: Aspek Kelembagaan