Kebijakan Pengendalian Luas Lahan Kritis
galian pasir menempati urutan pertama yang mencapai enam kali lipat dari 282.15 ha menjadi 1 612 ha. Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Barat mencatat pula bahwa
lingkungan di daerah penambangan berikut ini rusak parah yakni di Kabupaten Sumedang tepatnya di Kecamatan Cimalaka, Paseh dan Conggeang, di kaki Gunung
Ciremai Kabupaten Majalengka, di kaki Gunung Masigit Kabupaten Bandung, di Cikalahang dan Astanajapura Kabupaten Cirebon, di Cipamingkis Kabupaten Bogor,
di Warungkondang Kabupaten Cianjur dan di Cimangkok Kabupaten Sukabumi. Menurut beberapa pihak kerusakan tersebut terkait karena pemberian ijin
tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembukaan daerah pertambangan, maraknya penggalian C illegal, sulitnya pengawasan pada para penambang skala kecil. Semua
masalah tersebut menjadi tanggungjawab pemerintah daerah kabupaten karena seluruh pendapatan dari aktivitas usaha ini masuk ke kas pemerintah kabupaten.
Dengan kata lain, pengawasan yang efektif ada di tangan pemerintah kabupaten dan sebagian dari pendapatan hasil eksploitasi SDA tersebut seyogianya digunakan untuk
kepentingan manajemen SDA dan pengelolaan lingkungan. Berdasarkan fenomena tersebut maka ke depannya perlu terobosan upaya pengendalian praktik penggalian
yang merugikan lingkungan melalui penataan perijinan. Hasil survei terhadap wilayah yang memiliki lahan kriti relatif luas seperti di
daerah Rongga, ternyata daerah tersebut menghadapi masalah kemiskinan yang serius. Indeks Pembangunan Manusia IPM Kecamatan Rongga menempati urutan
terbawah di Kabupaten Bandung. Artinya, tingkat kesejahteraan masyarakat Rongga paling rendah diantara seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung. Problem
ganda yakni luas lahan kritis dan kemiskinan menarik untuk dikaji secara mendalam
agar ditemukan langkah penanganan penurunan jumlah penduduk miskin yang sejalan dengan pengendalian luas lahan kritis.
Pendekatan yang digunakan seyogianya berbasis insentif ekonomi dan kelembagaan engaging the public. Insentif ekonomi yang dimaksud terkait dengan
upaya pengusahaan lahan yang dapat memberikan pendapatan. Dengan demikian penanganan lahan kritis sebaiknya diperlakukan sebagai lahan bisnis yang terintegrasi
lintas output, sektor dan pelaku. Lintas output mencakup aneka jenis tanaman yang cocok berdasarkan siklusnya sehingga ada yang bisa dipanen per tiga bulan, per tahun
dan per 5 tahun. Lintas sektor mengaitkan antara sektor pertanian dengan sektor lainnya. Output pertanian diarahkan tidak sebatas sebagai konsumsi langsung, tapi
juga sebagai input untuk sektor lainnya sehingga akan mendorong perkembangan ekonomi keseluruhan. Lintas pelaku mengarah pada kemitraan antara pemerintah,
petani dan swasta. Pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi terjalinnya hubungan menguntungkan antara perusahaan yang menggunakan input dari output pertanian,
atau dengan perusahaan yang mengkonsumsi langsung super dan hypermarket, hotel dan restoran.
Tipe kebijakan penanganan lahan kritis di dalam maupun diluar kawasan hutan berbentuk regulasi yakni UU, Perda dan engaging the public seperti
implementasi social forestry dengan beragam turunannya. Berdasarkan hasil interview, yang lebih efektif adalah tipe engaging the public yakni social forestry
dimana di dalamnya terdapat kegiatan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Bukti lain keberhasilan tipe kebijakan ini adalah seperti yang terjadi di Cianjur yakni kegiatan pendampingan kelompok tani GNRHL oleh LSM, baik sisi
pemberdayaannya maupun pembinaan aktivitas kelompok yakni pembuatan tanaman dan pemeliharaan tanaman. Dengan demikian tipe kebijakan seperti ini perlu terus
dikembangkan dan mendapat dukungan penuh dari seluruh stakeholders.