Keberadaan Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Pengendalian
sektor ekonomi yang berada di KotaKabupaten Bandung, KotaKabupaten Cirebon, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Indramayu.
Distribusi jumlah responden menurut wilayah dan sektor ekonomi dapat dilihat pada Tabel 30 dimana total sampel sebanyak 61 yang terdiri dari 32
perusahaan dan 29 rumahtangga. Terdapat perbedaan substansi pertanyaan antara kuesioner untuk perusahaan dengan untuk rumahtangga. Untuk perusahaan lebih
fokus pada pandangan dan sikap mereka terhadap berbagai kebijakan pengendalian pencemaran air, sementara untuk rumahtangga terkait dengan
perilaku membuang sampah dan kotoran, sikap terhadap realita air sungai sebagai open access
. Terkait dengan perilaku membuang sampah dan kotoran, diberi angka 3
jika memiliki septiktank sendiri dan tidak membuang sampah serta kotoran ke sungai. Nilai 2 jika memiliki septiktank sendiri, tidak membuang sampah atau
kotoran ke sungai. Nilai 1 jika tidak memiliki septiktank sendiri sehingga membuang kotoran ke sungai, tapi tidak membuang sampah ke sungai. Nilai 0
jika tidak memiliki septiktank sendiri sehingga membuang kotoran dan sampah ke sungai.
Sementara untuk pelaku usaha di sektor industri manufaktur, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dibuat skala likert untuk setiap tahap persepsi.
Persepsi pertama yakni pengetahuan, nilai 4 untuk sangat mengetahui dengan baik, nilai 3 untuk mengetahui dengan baik, nilai 2 untuk cukup mengetahui, nilai 1
untuk kurang mengetahui dan 0 untuk sama sekali tidak mengetahui. Persepsi berikutnya yakni pemahaman, nilai 4 untuk sangat memahami dengan baik, nilai 3
untuk memahami dengan baik, nilai 2 untuk cukup memahami, nilai 1 untuk kurang memahami dan 0 untuk sama sekali tidak memahami.
Tabel 30. Distribusi Sampel Survei Persepsi dan Sikap Pengusaha dan
Rumahtangga Terhadap Eksistensi Sungai dan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat
Umur Perusahaan dan Lamanya Menetap Tahun
Jumlah Sampel Perusahaan Rumahtangga
31 30 - 31
29- 31 28- 31
27- 31 26- 31
25- 31 24- 31
23- 31 22- 31
21- 31 20- 31
19- 31 18- 31
17- 31 16- 31
15- 31 14- 31
2 2
2 2
2 2
3 6
6 9
10 11
11 12
12 13
14 15
10 11
12 13
13 13
13 14
16 16
16 16
17 17
17 17
18 20
13- 31 12- 31
11- 31 10- 31
9- 31 8- 31
7- 31 6- 31
5- 31 4- 31
3- 31 2- 31
16 18
19 20
25 26
26 27
27 30
30 32
21 21
21 23
23 23
24 25
27 28
28 29
Selanjutnya adalah sikap setuju, nilai 4 untuk sangat setuju sekali, nilai 3 untuk setuju sekali, nilai 2 untuk cukup setuju, nilai 1 untuk kurang setuju dan 0
untuk sama sekali tidak setuju. Sikap terakhir adalah dorongan, nilai 4 untuk
sangat terdorong sekali, nilai 3 untuk terdorong sekali, nilai 2 untuk cukup terdorong, nilai 1 untuk kurang terdorong dan 0 untuk sama sekali tidak
terdorong. Sikap terakhir yang akan menentukan aksi mengelola limbah dengan baik
atau tidak. Oleh karena itu sikap inilah yang diperhitungkan dan digabung dengan perilaku rumahtangga untuk menunjukkan pandangan dunia usaha dan
rumahtangga terhadap eksistensi air sungai sebagai open access dan sejauhmana efektivitas implementasi kebijakan pengendalian air di lapangan.
Hasil penggabungan akan menunjukkan angka yang berada diantara nilai 0 – 4. Nilai antara 3 - 4 menggambarkan respon yang sangat positif, atau pada saat
yang bersamaan terdapat efektivitas kebijakan yang sangat tinggi. Nilai antara 2 - 3 menggambarkan respon yang cukup positif, atau pada saat yang bersamaan
terdapat efektivitas kebijakan yang cukup tinggi. Nilai antara 1 - 2 menggambarkan respon yang kurang positif, atau pada saat yang bersamaan
terdapat efektivitas kebijakan yang rendah. Nilai antara 0 – 1 menggambarkan tidak ada respon, atau pada saat yang bersamaan kebijakan sama sekali tidak
terimplementasikan. Hasil pengolahan data menunjukan bahwa seiring dengan laju
pembangunan ekonomi dimana pangsa sektor industri dan jumlah penduduk semakin meningkat, ternyata respon masyarakat terhadap eksistensi air sungai
sebagai open access dan tingkat efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran air semakin rendah. Informasi ini ditunjukan pada Tabel 31.
Tabel 31. Tingkat Responsif Pengusaha dan Rumahtangga Terhadap Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Barat
Tahun Nilai rata-rata Keterangan
1974 2.33 Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan
yang cukup tinggi 1975 2.38
Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi
1976 2.21 Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan
yang cukup tinggi 1977 2.13
Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi
1978 2.13 Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan
yang cukup tinggi 1979 2.00
Respon yang cukup positif, efektivitas kebijakan yang cukup tinggi
1980 1.85 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1981 1.73
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1982 1.76 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1983 1.77
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1984 1.70 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1985 1.68
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1986 1.62 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1987
1.62 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1988 1.60
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
Tabel 31. Lanjutan
Sumber: Hasil Survei Nilai rata-rata selama periode penelitian hanya 1.84 yang berarti
efektivitas kebijakan pengendalian pencemaran rendah. Berdasarkan data hasil survei yang disajikan dalam tabel tersebut, nampak bahwa sejak tahun 1980 nilai
berada diantara 1 – 2 yang berarti adanya respon yang kurang positif terhadap eksistensi air sungai sebagai open access atau pada saat yang bersamaan terdapat
Tahun Nilai rata-rata Keterangan
1989 1.67 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1990 1.64
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1991 1.68 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1992 1.65
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1993 1.61 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1994 1.61
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1995 1.61 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1996 1.62
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1997 1.61 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 1998 1.62
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
1999 1.71 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 2000 1.64
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
2001 1.64 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 2002 1.63
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
2003 1.66 Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan
yang rendah 2004 1.66
Respon yang kurang positif, efektivitas kebijakan yang rendah
efektivitas kebijakan yang rendah. Berikut ini adalah alasan para responden yang dikaitkan dengan penjabaran dari teori open access.
Penjabaran alasan dibedakan antara dunia usaha dengan rumahtangga. Untuk dunia usaha disediakan 13 alasan sebagai berikut:
1. Tidak ada sanksi membuang limbah ke sungai. 2. Relatif aman membuang limbah ke sungai karena akan langsung terserap oleh
air. 3. Ketika banyak pihak membuang limbah ke sungai semakin aman karena
semakin banyak yang berbuat semakin sulit mengidentifikasi siapa yang yang paling bertanggungjawab.
4. Tidak ada bayaran atas penggunaan air sebagai tempat pembuangan limbah. 5. Kalau harus membangun unit pengolah air limbah sangat besar biayanya
sehingga bisa mengurangi keuntungan. 6. Setiap pihak memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sungai sebagai tempat
pembuangan limbah dengan cepat dan sepuas-puasnya. 7. Dampak dari pencemaran air akan ditanggung pihak lain.
8. Karena banyaknya pembuat pencemaran air, upaya penurunan pencemaran bisa saling mengandalkan.
9. Kalau perusahaan sendiri yang melakukan aksi mencegah pencemaran air, sementara yang lain tidak, pencemaran air akan tetap tinggi.
10. Kalau perusahaan sendiri yang melakukan aksi mencegah pencemaran air sementara yang lain tidak, mereka tetap dapat menikmati manfaatnya.
11. Selama ini tidak ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air sesama pencemar.
12. Sekalipun ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air, tapi biaya negosiasinya sangat besar bahkan bisa menyamai besarnya biaya untuk
mengatasi kerusakan lingkungan itu sendiri. 13. Tidak ada keuntungan yang diperoleh perusahaan ketika terlibat dalam
pencemaran air. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa alasan utama kurang
mentaati aturan pengendalian pencemaran air bagi sebagian besar responden 50 adalah nomor 5 yakni kalau harus membangun unit pengolah air limbah sangat
besar biayanya sehingga bisa mengurangi keuntungan. Dengan demikian pertimbangan sisi ekonomi yang menyangkut biaya dan keuntungan telah
mendominasi perilaku yang kurang respon terhadap kebijakan pengendalian pencemaran air. Hal ini bisa dipahami karena biaya pemasangan dan
pengoperasian unit pengolah limbah sangat tinggi. Ketika item ini diperhitungkan akan menaikan biaya produksi akhirnya menurunkan tingkat produksi. Kajian
literatur dapat memperkuat fenomena ini. Eksternalitas yang dalam hal ini adalah air yang tercemar akan menjadi
biaya jika eksternalitas tersebut tidak diinternalisasikan dalam biaya produksi, sehingga prinsip maksimisasi keuntungan terletak pada Marginal Private Cost
MPC = Marginal Social Benefit MSB. Sebaliknya jika biaya eksternal itu diinternalisasikan, yang ditunjukkan oleh adanya proses pengolahan limbah
sebelum dibuang ke sungai maka akhirnya akan menjadi biaya sosial, sehingga prinsip maksimisasi keuntungan terletak pada Marginal Social Cost MPC =
Marginal Social Benefit MSB. Dampaknya terhadap ouput optimal akan tercapai
pada tingkat yang lebih rendah, baik dalam struktur pasar persaingan sempurna
maupun monopoli. Kajian secara grafis tentang fenomena ini disajikan dalam Gambar 5 dan Gambar 6.
Gambar 5. Internalisasi Eksternalitas Dalam Pasar Persaingan Sempurna
Gambar 6. Internalisasi Eksternalitas Dalam Pasar Monopoli Alasan utama lainnya yang diungkapkan oleh sebagian besar responden
47 persen yakni alasan nomor 2, yakni relatif aman membuang limbah ke sungai Price
P
2
P
1
Q
1
Q
2
0 Quantity MSC
MPC
AR = D = MR
P
1
0 Q
2
Q
1
Quantity MR AR = D = P
Price
P
2
MSC MPC
karena akan langsung terserap oleh air. Secara fisik, air yang mengalir memiliki kapasitas menyerap residu lebih besar dibandingkan dengan air yang tergenang.
Meskipun demikian kapasitas tersebut ada titik optimumnya, sehingga jika pandangan setiap individu terhadap air sungai bahwa relatif aman membuang
limbah ke sungai karena akan langsung terserap oleh air, pada gilirannya akan mendorong over eksploitasi. Pemahaman seperti ini menyederhanakan
permasalahan karena melihat perilaku secara pribadi. Ketika perilaku itu terjadi secara menyeluruh, maka pemahaman tersebut akan menjadi bencana karena
terbatasnya daya dukung lingkungan. Sebagian besar responden pun yakni 44 persen menyatakan alasan nomor
1 yakni tidak ada sanksi membuang limbah ke sungai sebagai alasan utama tetap melakukan pembuangan limbah ke sungai. Jawaban ini muncul karena dua sebab
utama. Pertama, sebagaimana ditemukan dari hasil survei, dikarenakan ketidaktahuan dan ketidakpahaman terhadap berbagai aturan yang berlaku tentang
pengendalian pencemaran air. Kedua, bagi pihak-pihak yang sekalipun mengetahui dan memahami aturan, namun karena kontrol dan penegakan aturan
tersebut tidak berjalan, tetap memberikan peluang untuk dilanggar. Alasan lain yang banyak disebutkan 31 persen dari total responden
adalah nomor 11 yakni selama ini tidak ada peluang kerjasama untuk menurunkan pencemaran air sesama pencemar. Alasan ini secara langsung menunjukan bahwa
di Jawa Barat juga di Indonesia belum ada mekanisme transferable discharge permits
TDP sebagai alternatif mengatasi degradasi lingkungan. TDP memberikan kesempatan kepada sesama pihak pencemar untuk
memperjualbelikan ijin pembuangan limbah. Terdapat 3 jenis TDP, yakni credit
trading, averaging dan allowance trading Ellerman, 2005. Mekanisme TDP
akan efektif dalam kondisi biaya transaksi yang rendah. Hasil survei menunjukan sebanyak 28 persen responden menyatakan bahwa sekalipun ada peluang
kerjasama untuk menurunkan pencemaran air, tapi biaya negosiasinya sangat besar bahkan bisa menyamai besarnya biaya untuk mengatasi kerusakan
lingkungan itu sendiri. Dari seluruh gambaran di atas, nampak bahwa realitas open access dari air
sungai sangat kentara sehingga menyulitkan implementasi kebijakan dengan baik. Dengan demikian semakin dapat dipahami mengapa hasil estimasi menunjukan
variabel kebijakan tidak berpengaruh. Sementara itu menarik pula menelusuri persepsi dan sikap rumahtangga
dalam memanfaatkan air sungai. Terdapat 15 item pernyataan yang disodorkan dalam kuesioner Lampiran 5 yang secara substansi sama dengan pernyataan
untuk perusahaan. Hasil survei menunjukan terdapat kecenderungan sikap yang berbeda dengan perusahaan. Sebagian besar responden 90 persen menyatakan
kurang setujutidak setujusama sekali tidak setuju terhadap pernyataan aman membuang sampah ke sungai ketika jumlah penduduk masih sedikit. Demikian
halnya untuk pernyataan membuang sampah ke sungai semakin aman ketika jumlah penduduk semakin banyak karena semakin sulit mengidentifikasi siapa
yang berbuat, ternyata sebagian besar responden 76 persen menyatakan kurang setujutidak setujusama sekali tidak setuju. Sebanyak 52 persen responden setuju
bahwa ada bayaran ketika membuang limbah ke sungai. Menariknya sebagian besar responden 89 persen kurang setujutidak setujusama sekali tidak setuju
bahwa dampak dari pencemaran air akan ditanggung pihak lain. Berdasarkan
pandangan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut seperti itu berarti terdapat suatu sikap rumahtangga yang tidak semena-mena dalam memanfaatkan air
sungai. Sekalipun air sungai termasuk SDA open access ternyata beberapa
rumahtangga yang disurvei memiliki keterbatasan dalam memanfaatkannya. Keterbatasan tersebut tidak lain karena adanya larangan membuah sampah dan
limbah ke sungai. Hasil survei menunjukan ternyata sebagian besar responden 90 persen menyatakan kurang setujutidak setujusama sekali tidak setuju terhadap
pernyataan tidak ada larangan membuang sampah ke sungai. Artinya, sebagian besar rumahtangga mengakui adanya aturan dan mereka memahami dan
cenderung mengikuti aturan tersebut. Mereka merasa memiliki tanggungjawab bahwa harus melakukan aksi dalam bentuk apa pun ketika terjadi pencemaran air.
Hal ini dinyatakan oleh 84 persen responden. Mereka pun mengakui adanya peluang kerjasama sesama rumahtangga bahkan antar RTRW dalam
mengendalikan pencemaran air. Mereka tidak mengakui adanya biaya negosiasi yang besar dalam kerjasama tersebut. Hal ini ditunjukan oleh pandangan 66
persen responden yang menyatakan kurang setujutidak setujusama sekali tidak setuju terhadap pernyataan selama ini ada peluang kerjasama untuk menurunkan
polusi, tapi biaya negosiasinya sangat besar. Sebanyak 55 persen responden merasa yakin akan mendapat keuntungan jika terlibat dalam pengendalian
pencemaran air. Dengan demikian hasil survei ke 29 rumahtangga yang berada di sekitar
sungai di Kota Bandung, Cirebon, Kabupaten Bandung, Indramayu memberikan harapan besar bahwa ada kepedulian yang baik dari masyarakat sekitar sungai
terhadap pencemaran air. Fakta ini merupakan modal besar untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pencemaran air.
Dengan membandingkan hasil survei ini dengan perusahaan berarti pelaku utama yang mendorong tingginya pencemaran air adalah dari dunia usaha
terutama sektor industri manufaktur. Konsekuensinya, kebijakan pengendalian pencemaran air seyogianya lebih bias pada pihak industriawan.
7.3. Kasus Pencemaran Udara 7.3.1. Pencemaran Udara: Eksternalitas Publik
Udara dan kehidupan makhluk hidup tidak dapat dipisahkan. Sekalipun keberadaan udara tidak nampak secara kasat mata, semua makhluk hidup
tergantung padanya. Dari aspek kepemilikan, tidak ada kepemilikan atas udara, sehingga tidak terdapat kewajiban pemeliharaan atasnya. Ketika penduduk
semakin banyak dan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya semakin meningkat pada gilirannya akan menimbulkan pencemaran udara. Pencemaran
udara terjadi ketika udara di atmosfir tercampur zat atau radiasi yang berpengaruh buruk terhadap organisme hidup.
Industri merupakan aktivitas anthropogenik penyumbang pencemaran udara terbesar, walaupun untuk di daerah perkotaan di Indonesia dan negara
berkembang lainnya tingkat kontribusinya masih berada di bawah tingkat emisi kendaraan bermotor BPLHD, 2004.
Di Jawa Barat terdapat berbagai jenis industri yang potensial mengemisikan pencemar udara seperti industri tekstil yang terkonsentrasi di
daerah Kota Bandung Selatan dan Kabupaten Bandung, industri batu kapur di
Padalarang, industri semen di Palimanan dan pengilangan minyak di daerah Cirebon dan Bekasi. Selain itu jumlah kendaraan dan aktivitas lalu lintas yang
terus meningkat setiap tahunnya, maka diperkirakan tingkat pencemaran udara di Jawa Barat terutama di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi.
Pencemaran udara akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia, kehidupan tumbuhan dan hewan, keseimbangan ekosistem dan
kerusakan material. Eksternalitas negatif ini merupakan eksternalitas publik, bahwa kerugian yang dialami oleh seseorang tidak mengurangi kerugian yang
diderita pihak lainnya. Selain itu, pencemaran udara bisa terjadi lintas batas administrasi.
Karena emisi dari industri umumnya dilepaskan melalui cerobong, emisi dari industri mempunyai karakteristik penyebaran yang berbeda dengan emisi gas
buang kendaraan bermotor yang cenderung terkonsentrasi di atas permukaan tanah. Pengaruh faktor meteorologi seperti angin dan stabilitas atmosfer akan
menyebabkan emisi yang dilepaskan pada ketinggian mempunyai potensi untuk tinggal di atmosfer lebih lama dan menyebar sehingga menimbulkan dampak
negatif di tempat lain yang berlokasi jauh dari sumbernya. Dengan demikian sulit mengidentifikasi secara pasti siapa yang paling bertanggungjawab atas
pencemaran udara yang diderita oleh suatu wilayah. Beranjak dari fenomena ini, respon terhadap masalah pencemaran udara menuntut pemikiran yang holistik.