Ketentuan Pidana Keberadaan Kebijakan dan Pelaksanaan Penanganan Lahan Kritis di Dalam dan Luar Kawasan
Dengan keluarnya UU LH yang baru diharapkan muncul langkah-langkah yang lebih tegas dalam mengendalikan kerusakan lingkungan.
Dalam rangka memperluas dan mempertajam pelaksanaan social forestry, pada tahun 1998 diluncurkan program padat karya kehutanan hutan rakyat.
Kegiatan hutan rakyat berupa penanaman lahan kosong dan pekarangan di luar kawasan oleh masyarakat dengan jenis tanaman keras, Multi Purpose Trees
Species dan buah-buahan. Tujuan kegiatan tersebut untuk memperoleh penutupan
lahan yang optimal untuk mengendalikan lahan kritis, menghasilkan kayu bakar, kayu bangunan untuk keperluan masyarakat lokal, konservasi tanah, memperbaiki
iklim mikro dan tata air serta lingkungan. Berdasarkan hasil interview, diperoleh informasi bahwa program ini sangat efektif karena dibentuk kelompok-kelompok
dengan pekerjaan yang terarah. Dengan mempertimbangkan bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8 sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan
hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan, sehingga keluar UU tentang Kehutanan yang baru pada tahun 1999.
Berdasarkan UU Kehutanan yang baru, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan dengan: 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
proporsional.
2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial,
budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. 3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai.
4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan
sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.
5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam rangka impementasi UU Kehutanan yang baru dan
pendalaman sosial forestry, tahun 2000 dikembangkan program PHBM yakni pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Dalam menyikapi lahirnya UU Kehutanan yang baru, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 19 tahun
2001 tentang Pengurusan Hutan. Dalam pasal 18 peraturan daerah tersebut dinyatakan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Kemudian dalam pasal 28 ditegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan diluar kehutanan hanya dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Sementara itu terkait dengan upaya rehabilitasi
hutan, diatur dalam pasal 33, bahwa rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan di dalam dan luar kawasan hutan yang bertujuan untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan.
Pada tahun 2003 Gubernur bersama dengan jajaran MUSPIDA mencanangkan Gerakan Rehabilitas Lahan Kritis GRLK di Jawa Barat.
Sedangkan Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional, menetapkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
GNRHL pada tahun 2004. GNRHL bertujuan untuk melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan terencana dengan melibatkan para
pihak seperti instansi pemerintah terkait, swasta dan masyarakat, agar kondisi lingkungan hulu sungai kembali berfungsi sebagai daerah resapan air hujan yang
baik. Lokasi rehabilitasi hutan di Jawa Barat diprioritaskan di DAS Citarum. Berdasarkan hasil interview diperoleh informasi bahwa pelaksanaan
gerakan rehabilitas tersebut kurang intensif karena penyediaan bibit dari luar daerah sehingga sampai ke tempat tujuan jadi kering. Selain itu banyak pihak
terlibat sehingga kurang terkoordinasi dengan baik. Berdasarkan pemaparan di atas, berarti implementasi kebijakan rehabilitasi lahan kritis masih mengandung
kendala. Sedangkan program-program yang terkait langsung dengan lahan milik
masyarakat adalah Unit Percontohan Usaha Pelestarian Sumberdaya Alam UP- UPSA, Unit Percontohan Pertanian Menetap UP-UPM, Pembuatan Kebun Desa
KBD, Pengelolaan HutanKebun Rakyat dan Kredit Usahatani Konservasi Daerah Aliran Sungai KUK-DAS.
UP-UPSA ditempatkan pada lahan kritis yang dapat diusahakan untuk usahatani semusimtahunan dan diutamakan lahan yang digarap sendiri oleh para
pemilikpeserta yang merupakan kelompok tani yang telah dibina melalui proses penyuluhan. Pada kurun waktu 1989 - 1997, usaha pembuatan unit percontohan
pelestarian sumberdaya alam, dilakukan untuk pengelolaan ternak dan benih unggul, meningkat sebesar 12.58 persen atau rata-rata per tahun sebesar 1.57
persen, yang meliputi penanaman sejumlah 800 unit dengan minimal luas lahan 10 ha untuk satu unit.
UP-UPM ditempatkan di wilayah yang masih terdapat masyarakat tani yang berladang berpindah-pindah, diutamakan pada wilayah desa yang akan
menjadi tempat pemukiman kembali hasil restrukturisasi desa, dan diutamakan lahan yang digarap sendiri oleh para pemilikpeserta yang merupakan kelompok
tani yang telah dibina melalui proses penyuluhan. Pada kurun waktu 1989 - 1997, usaha pembuatan unit percontohan pertanian menetap, dilakukan terutama untuk
pengelolaan ternak dan benih unggul, meningkat sebesar 1.51 persen, yang meliputi penanaman sejumlah 800 unit dengan minimal luas lahan 20 ha untuk
satu unit. Sasaran lokasi KBD adalah lokasi yang berdekatan dengan lokasi
penanaman, mudah mendapatkan air, topografi relatif datar, dekat dengan jalan sehingga dapat memudahkan pengangkutan bibit. Pembuatan KBD meliputi
pembuatan bibit kayu-kayuan, buah-buahan , tanaman industri, dan hijauan ternak dengan sistem bergulir diantara kelompok petani yang ada. Dalam kurun waktu
1989 - 1997 upaya pembuatan kebun bibit desa di Jawa Barat meningkat sebesar 7.12 persen, atau rata-rata 0.89 persen per tahun, yang meliputi 105 unit per tahun,
dalam satu unit pembuatan kebun bibit desa setara dengan 400 batang. Sasaran pengelolaan hutan rakyatkebun rakyat adalah lahan-lahan kritis
yang keadaan lapangan curam, serta kemiringan lereng lebih besar dari 40 persen, lapisan tanah pertanian dengan tanaman semusim. Pada kurun waktu 1989 - 1997,
usaha pengelolaan hutankebun rakyat dilakukan dengan penanaman tanaman kayu-kayuan berdaun panjang yang menghasilkan produk utama kayu dan non
kayu seperti biji, buah dan getah, penanaman sebesar 12 396 ha per tahun. KUK-DAS merupakan paket kegiatan usahatani terpadu antara
intensifikasi pertanian dan penerapan teknik konservasi tanah, melalui paket teknologi agroforesty. Sasaran lokasinya adalah lahan kritis yang terletak dalam
satu hamparan usahatani yang kelompok taninya sudah mantap, atau pada lokasi hasil kegiatan RLKT, UPSA, UPM yang berhasil dan mempunyai dampak serta
lahan yang telah dilakukan tahap prakondisi. Tujuan KUK-DAS meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitasintensifikasi
pertanian lahan kering, dan meningkatkan peran kelembagaan terkait yaitu: kelompok tani, koperasi unit desa, lembaga ketahanan masyarakat desa lainnya,
dan mendekatkan dan meningkatkan pengetahuan petani terhadap jasa perbankan. Pada kurun waktu 1989 - 1997, kredit usaha konservasi daerah aliran
sungai meningkat sebesar 13.97 persen atau rata-rata per tahun sebesar 1.53 persen, yang meliputi 2 997 ha atau 374.63 ha per tahunnya, dimana kredit yang
diberikan kepada petani maksimal Rp2 000 000 per ha dengan jangka waktu pengembalian modal kredit 5 tahun serta masa tenggang 1 tahun, bunga kredit 6
persen per tahun secara menurun, angsuran kredit dilakukan tiap semester bersamaan dengan panen usahatani. Kredit diberikan oleh Bank Pembangunan
Daerah yang dijamin oleh Departemen Kehutanan dalam bentuk dana garansi kredit yang berasal dari Dana Reboisasi. Namun ketika krisis ekonomi terjadi
paket-paket kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan lebih intensif lagi, bahkan
upaya pembuatan KBD turun dan kredit usaha tani konservasi berhenti sampai tahun 1998.
Ragam kebijakan pengendalian lahan kritis di atas merupakan multi tipe yang mencoba memperhitungkan berbagai sisi. Kebijakan yang digulirkan tidak
hanya tipe regulasi namun juga tipe kebijakan yang mengandung unsur subsidi bantuan finansial dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan
mengharuskan terjadinya partisipasi aktif masyarakat dalam mengelola lahan kritis, dan model kebijakan ini jika bisa bertahan akan berdampak signifikan pada
turunnya luasan lahan kritis. Perkembangan terakhir menunjukan di beberapa wilayah yang tadinya terkategorikan lahan kritis sudah mulai menghijau lagi,
namun banyak pula wilayah yang tetap gersang.
7.2. Kasus Pencemaran Air 7.2.1. Pencemaran Air: Realita
Open Access
Seiring dengan laju pembangunan ekonomi yang tercermin dengan meningkatnya pendapatan per kapita, kualitas air permukaan mengalami
penurunan sehingga peruntukannya sudah tidak sesuai lagi sebagaimana mestinya. Adapun sumber penurunan kualitas air di beberapa DAS di Jawa Barat adalah
sebagai berikut: 1. Cisadane, bersumber dari penduduk 1.67 juta, 8 industri dengan dominasi
industri makanan-minuman, 4 548 ha sawah, 1 726 ekor ternak besar, 1 penambangan.
2. CiliwungDepok, bersumber dari penduduk 1.74 juta, 101 industri dengan dominasi industri tekstil, kimia, farmasi dan makanan, 4 693 ha sawah, 2 597
ekor ternak besar. 3. CileungsiBekasi, bersumber dari penduduk 3.1 juta, 181 industri dengan
dominasi industri makanan, tekstil, logam, kimia, dan kertas, 36 386 hektar sawah, 8 376 ekor ternak besar.
4. CitarumCekungan Bandung, Cirata, Jatiluhur, Karawang: bersumber dari penduduk 8.6 juta, 542 industri dengan dominasi industri tekstil, makanan,
logam, kimia, dan kertas, 79 833 hektar sawah, 65 969 ekor ternak besar. 5. CimanukTomo, Jatibarang, bersumber dari penduduk 3.2 juta, 312 industri
dengan dominasi industri kulit dan makanan, 54 706 hektar sawah, 46 950 ekor ternak besar BPLHD, 2004.
Dengan demikian industri, rumah tangga, pertanian dan peternakan merupakan sumber terjadinya pencemaran air. Setiap sumber menghasilkan jenis limbah cair
yang berbeda. Ketika di suatu wilayah terdapat banyak industri tekstil, makananminuman, kulit, kertas dan kimia, bahan pencemar yang membebani
sungai akan lebih didominasi oleh BOD, COD, TSS, TDS, CL. Namun demikian, memahami sumber pencemaran belum cukup untuk mengungkap hal yang
mendasar sebagai penyebab terjadinya pencemaran air, perlu kajian yang lebih seksama mengingat air sungai tempat pembuangan limbah adalah SDA yang tidak
ada pemiliknya open access, artinya siapa pun dapat mengaksesnya tanpa ada kewajiban untuk memeliharanya. Eksistensi open access tidak memenuhi satu pun
karakteristik dari hak kepemilikan yang dapat terdefinisikan dengan baik, sehingga mendorong tingkat eksploitasi yang tinggi.