Biaya Usahatani Kopi Analisis Usahatani

Biaya yang berhubungan dengan jumlah produksi kopi yaitu biaya panen dan pascapanen seperti biaya pengangkutan panen, pengangkutan pemasaran dan karung. Petani sertifikasi mengeluarkan biaya panen dan pascapanen lebih rendah dari petani nonsertifikasi. Biaya panen dan pascapanen yang dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi dikarenakan rata-rata produksi kopi petani nonsertifikasi lebih baik dari petani sertifikasi. Biaya diperhitungkan merupakan biaya yang tidak benar-benar dikeluarkan petani, namun tetap diperhitungkan untuk melihat pendapatan yang benar-benar diterima petani. Biaya diperhitungkan meliputi biaya tenaga kerja TKDK, sewa lahan serta biaya bibit dan pupuk. Rata-rata biaya diperhitungkan pada usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam disajikan dalam Tabel 22. Tabel 22. Rata-rata biaya diperhitungkan pada usahatani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015 Biaya diperhitungkan Rp Petani sertifikasi Petani nonsertifikasi Per 1,04 ha per 1 ha Per 1,01 ha Per 1 ha Bibit dan Pupuk organik 179.818,78 172.902,67 84.227,78 83.393,84 TKDK 2.819.222,22 2.710.790,60 3.389.472,22 3.355.913,09 Sewa lahan 2.290.000,00 2.201.923,08 1.940.000,00 1.920.792,08 Total Biaya diperhitungkan 5.289.041,00 5.085.616,35 5.413.700,00 5.360.099,01 Tabel 22 menunjukkan bahwa rata-rata biaya diperhitungkan yang dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Biaya sewa lahan diperhitungkan petani sertifikasi lebih besar dikarenakan 96,67 persen lahan petani sertifikasi adalah hak milik sedangkan petani nonsertifikasi yang memiliki lahan hak milik hanya 80 persen. Biaya diperhitungkan petani nonsertifikasi lebih besar juga dikarenakan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga petani nonsertifikasi lebih dominan dari petani sertifikasi sehingga biaya TKDK yang dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih besar.

3. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan

Hasil produksi dalam usahatani merupakan balas jasa pemanfaatan lahan dan input-input yang digunakan. Produksi suatu komoditas erat hubungannya dengan produktivitas dan penerimaan. Produksi yang tinggi akan meningkatkan produktivitas dan penerimaan usahatani.

a. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan Kopi

Hasil produksi kopi merupakan kuantitas biji kopi yang dihasilkan selama satu tahun yang dihitung dalam kilogram. Produksi kopi berbanding lurus dengan produktivitas dan penerimaan kopi. Produktivitas kopi merupakan perbandingan jumlah produksi kopi per hektar luas lahan yang digunakan untuk usahatani kopi. Hasil produksi, produktivitas dan penerimaan kopi tersaji pada Tabel 23. Tabel 23. Rata-rata produksi, produktivitas dan penerimaan kopi per ha Tahun 2012-2014 di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat Keterangan Petani Sertifikasi Petani nonsertifikasi 2012 2013 2014 2012 2013 2014 Produksi kg 1.225,96 977,56 604,49 1.233,72 1.008,26 692,56 Harga Rp 14.566,67 17.366,67 19.533,33 14.066,67 16.950,00 19.133,33 Penerimaan Rp 18.040.064,10 16.762.820.51 11.958.333,33 17.344.884,49 17.173.267,33 13.259.075,91 Produktivitas kopi kgha 1.161,12 928,62 563,07 1.171,51 944,44 630,91 Berdasarkan Tabel 23 pada Tahun 2012 rata-rata produksi dan penerimaan kopi petani sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Namun pada dua tahun berikutnya produksi dan penerimaan kopi petani sertifikasi lebih rendah dari petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan pada Tahun 2013 dan 2014 produksi kopi baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi mengalami penurunan karena kegagalan pembungaan akibat cuaca ekstrim. Intensitas curah hujan yang tinggi menyebabkan bunga-bunga kopi menjadi rontok. Besar kecilnya produksi mempengaruhi produktivitas kopi dan penerimaan kopi. Produktivitas kopi petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Produksi dan produktivitas petani nonsertifikasi yang lebih baik dikarenakan intensifnya penggunaan pupuk kimia yang mempunyai pengaruh cepat dalam peningkatan produksi dan produktivitas kopi. Usahatani kopi secara organik menggunakan pupuk kandang dan pupuk organik yang memberikan dampak cukup lama dalam meningkatkan produksi dan produktivitas kopi petani sertifikasi. Rata-rata penerimaan kopi yang diperoleh petani sertifikasi juga lebih rendah dari petani nonsertifikasi. Hal ini dikarenakan produksi kopi petani sertifikasi yang lebih kecil dan harga kopi yang diterima petani sertifikasi dan nonsertifikasi tidak jauh berbeda.

b. Produksi, Produktivitas dan Penerimaan Lahan

Produksi lahan berasal dari hasil produksi kopi, tumpang sari dan naungan. Besar kecilnya produksi tumpangsari dan naungan akan mempengaruhi penerimaan lahan yang diterima petani. Rata-rata produksi, harga dan penerimaan tumpangsari dan naungan disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Rata-rata produksi, harga dan penerimaan tumpang sari dan naungan petani kopi di Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015 Keterangan Petani Sertifikasi Petani Nonsertifikasi Per 1 ha Per 1 ha Produksi kg Harga Rpkg Penerimaan Rp Produksi setara kopi Kg Produksi kg Harga Rpkg Penerimaan Rp Produksi setara kopi Kg Tumpangsari Lada 16,55 31.222,22 1.297.596,15 78,66 12,61 22.222,22 965.841,58 58,26 Cabe 21,47 3.888,89 605.235,04 36,69 7,92 3.511,11 126.710,67 7,64 Pisang 1960,26 805,56 1.928.824,79 116,93 1859,15 756,99 1.852.145,21 111,72 Jumlah 1998,29 3.831.655,98 232,28 1879,68 2944697.47 177,62 Naungan Alpukat 74,15 722,22 230.769,23 13,99 21,67 188,89 63.256,33 3,82 Nangka 186,11 98,89 89.465,81 5,42 234,32 82,22 88.998,90 5,37 Mangga 19,76 333,33 98.824,79 5,99 Durian 43,70 533,33 223.824,79 13,57 Lain-lain 5,98 389,00 27.777,00 1,68 13,42 2011,00 13.6303,00 8,22 Jumlah 329,70 670.661,62 40,66 269,42 288.558,23 17,41 Berdasarkan Tabel 24 diketahui rata-rata produksi lahan petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Produksi lahan petani sertifikasi lebih baik dikarenakan rata-rata hasil produksi dan penerimaan tumpangsari serta naungan petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Tingginya produksi tumpangsari dan naungan dikarenakan 96, 67 persen petani sertifikasi melakukan sistem tumpangsari dan naungan pada lahan yang ditanami kopi, sedangkan petani nonsertifikasi yang melakukan sistem tumpangsari dan naungan hanya sebesar 60 persen. Berdasarkan Tabel 17 jumlah tanaman tumpangsari dan naungan petani sertifikasi lebih tinggi dari petani nonsertifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa petani sertifikasi memiliki pengetahuan yang lebih baik untuk mengoptimalkan penggunaan lahan pada usahatani kopi dengan melakukan sistem tumpangsari dan naungan.