petani sertifikasi, sehingga biaya yang dikeluarkan petani nonsertifikasi lebih tinggi. Petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang dengan harga
yang lebih terjangkau dari harga pupuk kimia yang lebih banyak digunakan petani nonsertifikasi. Petani nonsertifikasi juga mengeluarkan biaya sewa lahan yang
lebih tinggi dari petani sertifikasi. Hal ini dikarenakan 20 persen petani nonsertifikasi melakukan usahatani kopi dengan sistem sakap dan sewa,
sedangkan untuk petani sertifikasi hanya 6,67 persen yang melakukan usahatani kopi dengan sistem sakap.
b. Analisis Pendapatan Lahan
Pendapatan lahan dihitung dengan menjumlahkan penerimaan kopi, tanaman
tumpangsari dan tanaman naungan dan dikurangi dengan biaya usahatani pada lahan tersebut. Tinggi rendahnya pendapatan lahan dipengaruhi oleh
pengoptimalan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh petani. Pengoptimalan pemanfaatan lahan dalam usahatani kopi dilakukan melalui sistem tanaman
naungan dan tumpangsari. Penanaman tanaman naungan selain berfungsi sebagai penaung juga dapat memberikan tambahan penerimaan bagi petani. Rata-rata
pendapatan lahan yang diterima petani kopi dapat dilihat pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27 rata-rata penerimaan lahan petani sertifikasi pada tahun
2012 dan 2013 lebih baik dari petani nonsertifikasi, namun untuk Tahun 2014 penerimaan lahan petani nonsertifikasi lebih baik. Biaya tunai yang dikeluarkan
petani nonsertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Sama seperti sebelumnya, hal ini disebabkan karena besarnya biaya pupuk dan pestisida kimia
serta biaya sewa lahan tunai yang dikeluarkan petani nonsertifikasi. Biaya tunai
yang dikeluarkan petani sertifikasi lebih rendah dikarenakan pada usahatani kopi organik meminimalkan penggunaan input dari luar. Usahatani kopi organik yang
dilakukan petani sertifikasi lebih banyak menggunakan pupuk kandang yang harganya lebih murah dibandingkan pupuk kimia. Usahatani kopi konvensional
yang dilakukan petani nonsertifikasi menggunakan pupuk dan pestisida kimia dalam jumlah yang cukup besar sehingga biaya yang dikeluarkan petani
nonsertifikasi lebih tinggi. Tabel 27. Rata-rata pendapatan lahan per ha petani kopi di Kecamatan Air Hitam
Lampung Barat 2015
Keterangan Petani sertifikasi
Petani nonsertifikasi 2012
2013 2014
2012 2013
2014 Penerimaan
Kopi 18.040.064,10
16.762.820,51 11.958.333,33
17.344.884,49 17.173.267,33
13.259.075,91 Tumpangsari
3.851.730,77 3.851.730,77
3.836.378,21 3.001.237,62
3.001.237,62 3.106.435,64
Naungan 685.000,00
685.000,00 641.987,18
299.339,93 299.339,93
343.894,39 Penerimaan Lahan
22.576.794,87 21.299.551,28
16.436.698,72 20.645.462,05
20.473.844,88 16.709.405,94
Biaya Biaya Tunai
4.530.608,90 4.344.743,52
3.417.844,48 5.288.666,06
5.153.719,69 4.329.235,37
Biaya Diperhitungkan
5.112.083,34 5.112.083,34
5.027.644,23 5.361.336,63
5.361.336,63 5.357.623,76
Total Biaya Usahatani
9.642.692,24 9.456.826,86
8.445.488,71 10.650.002,70
10.515.056,33 9.686.859,13
Pendapatan lahan Atas biaya tunai
18.046.185,97 16.954.807,76
13.018.854,24 15.356.795,98
15.320.125,19 12.380.170,57
Atas biaya total 12.934.102,63
11.842.724,43 7.991.210,00
9.995.459,35 9.958.788,56
7.022.546,81 Nisbah Penerimaan
dan Biaya tunai RC 4,98
4,90 4,81
3,90 3,97
3,86 Nisbah Penerimaan
dan Biaya total RC 2,34
2,25 1,95
1,94 1,95
1,72
Petani sertifikasi mengendalikan gulma dengan cara disiangi dikoret, sehingga
membutuhkan lebih banyak tenaga kerja luar keluarga. Hal ini menyebabkan Biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi untuk upah tenaga kerja TKLK lebih
besar dibandingkan dengan petani nonsertifikasi. Meskipun masih ada petani sertifikasi yang menggunakan pupuk dan pestisida kimia namun jumlah yang
digunakan tidak sebanyak petani nonsertifikasi.
Petani kopi biasa melakukan pembibitan sendiri tanaman kopi untuk penyulaman atau penyambungan batang yang berasal dari biji kopi yang dipanen. Petani kopi
yang memiliki ternak memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang, sehingga petani tidak mengeluarkan biaya untuk membeli pupuk kandang dan
bibit tanaman kopi. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata biaya diperhitungkan petani sertifikasi lebih rendah dari rata-rata biaya diperhitungkan petani
nonsertifikasi. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga TKDK petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi sehingga biaya diperhitungkan
petani nonsertifikasi lebih besar dari petani sertifikasi. Pendapatan lahan petani sertifikasi baik atas biaya tunai maupun biaya total lebih
baik dari petani nonsertifikasi. Pendapatan lahan atas biaya tunai maupun biaya total petani nonsertifikasi lebih kecil dari petani sertifikasi dikarenakan
penerimaan lahan petani nonsertifikasi yang lebih rendah dan biaya usahatani petani nonsertifikasi lebih tinggi dari petani sertifikasi. Nisbah penerimaan
dengan biaya RC untuk petani sertifikasi lebih besar dari petani nonsertifikasi. Hal ini berarti setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan petani sertifikasi akan
memperoleh penerimaan lebih besar dari petani nonsertifikasi. Nisbah penerimaan dengan biaya dihitung untuk mengetahui apakah usahatani
menguntungkan atau tidak dan hasil penelitian membuktikan bahwa usahatani kopi secara organik dengan sistem tumpangsari dan naungan lebih
menguntungkan dari usahatani konvensional dengan sistem tumpangsari dan naungan.