8. Tanaman Naungan dan Tumpangsari
Kopi merupakan tanaman tahunan sehingga penerimaan dari kopi juga bersifat
tahunan. Oleh karena itu, petani melakukan usahatani kopi dengan sistem tumpangsari dan tanaman naungan. Sistem penanaman tumpangsari dilakukan
dengan tujuan untuk menambah pendapatan petani sehari-hari karena umur tanaman tumpangsari bersifat musiman. Kopi merupakan tanaman yang tidak
membutuhkah penyinaran matahari yang banyak, sehingga penanaman kopi biasa dilakukan dengan tanaman naungan. Tanaman naungan selain berfungsi untuk
menaungi kopi juga dapat memberi tambahan pendapatan dari hasil panen tanaman naungan berupa buah atau kayu. Rata-rata jumlah tanaman tumpangsari
dan tanaman naungan petani kopi tersaji pada Tabel 17. Tabel 17. Rata-rata jumlah tanaman naungan dan tumpangsari petani kopi di
Kecamatan Air Hitam Lampung Barat 2015
Jenis Tanaman Petani Sertifikasi
Petani Nonsertifikasi Per usahatani 1,04
ha Per 1 ha
Per usahatani 1,01 ha
Per 1 ha Lada
73 70
53 53
Cabe 70
67 30
29 Pisang
156 150
154 153
Jumlah 299
287 237
235 Tanaman Kayu
125 120
36 36
Tanaman Buah 6
6 3
3 Jumlah
131 126
39 39
Berdasarkan Tabel 17 jenis tanaman tumpangsari yang paling dominan di daerah
penelitian yaitu pisang. Lada dan cabai juga menjadi tanaman yang sering ditumpangsarikan dengan tanaman kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah tanaman tumpangsari yang ditanam petani sertifikasi lebih banyak dibandingkan petani nonsertifikasi. Petani sertifikasi rata-rata menanam 287
batangha sedangkan petani nonsertifikasi menanam sebanyak 235 batangha. Hal ini disebabakan karena 16,67 persen petani nonsertifikasi tidak melakukan sistem
tumpangsari pada lahan kopi mereka sementara 96,67 persen petani sertifikasi melakukan sistem tumpangsari pada usahatani kopi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman naungan yang dominan
digunakan baik petani sertifikasi maupun nonsertifikasi yaitu jenis tanaman kayu. Tanaman yang digunakan antara lain dadap, afrika, medang, albasia, gamal,
mahoni, waru dan lain-lain. Jenis tanaman yang dominan digunakan yaitu pohon albasia kayu hujan dan afrika. Jenis tanaman penghasil buah yang ditanam
petani kopi yaitu alpukat, nangka, durian, mangga, tangkil, petai dan lain-lain. Tanaman penghasil buah ditanam dalam jumlah yang sedikit yaitu sebesar 6
batangha untuk petani sertifikasi dan 3 batangha untuk petani nonsertifikasi. Rata-rata jumlah tanaman naungan yang ditanam petani sertifikasi yaitu 126
pohonha, sedangkan untuk petani nonsertifikasi yaitu sebesar 39 pohonha. Jumlah tanaman naungan yang ideal untuk tanaman kopi yaitu 300-600 pohonha,
hal ini menunjukkan bahwa baik petani sertifikasi maupun petani nonsertifikasi belum mencapai jumlah ideal tanaman naungan, namun bila dibandingkan petani
sertifikasi lebih baik dari petani nonsertifikasi. Jumlah tanaman naungan merupakan salah satu indikator praktik usahatai kopi yang berkelanjutan dari segi
lingkungan, pohon naungan selain berfungsi sebagai penaung juga berfungsi sebagai penyerap karbon. Hal ini menunjukkan bahwa petani sertifikasi lebih baik
dalam melakukan usahatani kopi yang berkelanjutan dari segi lingkungan dibandingkan petani nonsertifikasi.
B. Analisis Usahatani
Usahatani merupakan kegiatan pemanfaatan sumber daya pada lahan untuk
mendapatkan balas jasa dari pemanfaatan lahan tersebut. Analisis usahatani dilakukan untuk melihat penggunaan input dalam usahatani dan menilai apakah
suatu usahatani menguntungkan atau tidak. Usahatani kopi adalah usahatani yang bersifat tahunan, sehingga pendapatan yang diterima petani juga bersifat tahunan.
Pendapatan yang di peroleh petani berasal dari pendapatan kopi, pendapatan tanaman tumpangsari dan pendapatan tanaman naungan. Pendapatan yang
diperoleh petani erat kaitannya dengan biaya yang digunakan dalam usahatani kopi. Biaya dalam usahatani kopi terbagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya
diperhitungkan. Biaya tunai meliputi biaya bibit, pupuk, pestisida dan herbisida, tenaga kerja, biaya panen dan pasca panen, iuran kelompok, pajak dan sewa lahan
tunai. Biaya diperhitungkan meliputi biaya sewa lahan dan biaya input seperti bibit dan pupuk kandang.
Pada penelitian ini awalnya manfaat ekonomi yang akan dihitung yaitu
produktivitas, pendapatan dan efisiensi biaya selama dua tahun terakhir yaitu tahun 2013 dan 2014, namun karena pada dua tahun tersebut produksi kopi di
Lampung Barat khususnya Kecamatan Air Hitam mengalami penurunan akibat cuaca ekstrim maka produktivitas, efisiensi biaya dan pendapatan dihitung selama
tiga tahun terakhir yaitu tahun 2012, 2013 dan 2014 dengan asumsi penggunaan input pada tahun 2012 sama dengan penggunaan input pada tahun 2013.