Apa saja faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan PLK?

259 dia mau kemana, di sini dia sudah besar, terus saatnya untuk dipulangkan, tapi ya akhirnya dia bunuh diri, tapi tertolong lah. Di sini kan kamu sudah besar, Le, kamu udah gini gini, tapi ternyata nggak tahu kalau ibunya menolak. Tahu-tahu kan kemaren dia gitu, ibunya ya nggak mau menerima itu. Dikabari tahu, nunggu aja nggak mau, pulang, seperti itu, bahkan ibu kandungnya sendiri lho itu. Ya itu karena faktor perekonomian, ditinggal suaminya kawin lagi kan, hidupnya sendiri, sudah cerai, sendirian. Ya akhirnya kita bina lagi lah gimana caranya”. 18. Apa saja faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan PLK? “Faktor penghambat memang ternyata karena kita segmen anak jalanan ini belum bisa mandiri seperti anak yang normatif, harus perlu bimbingan dan pengarahan yang intens, kalau anak dalam pengambilan keputusan tata tertip dalam hal rumah tangga saja lah. Tata tertip rumah singgah Ahmad Dahlan, ternyata partisipasinya masih minim, beda kalau kita tengok ke sekolah apalagi sekolahan-sekolahan yang favorit dan sebagainya itu. Diperhatikan baik dari dalam pendapat maupun ya dalam penyaluran anspirasi apa lah bakat, dan seni dan sebagainya itu ada, tapi kalau anak jalanan itu masih minim sekali, makanya dalam artian di sini tidak cuma hak anak ini terpenuhi tapi memang kewajiban kita sebagai anak jalanan itu ya harus ada tidak mengganggu lingkungan dan sebagainya, dia juga harus sama-sama mempunyai norma-norma yang harus ditaati dalam masyarakat seperti itu, ternyata internal sendiri faktor anak yang pengen ke normatif itu agak susah dibanding tahun-tahun yang dulu anak-anak yang awal-awal adanya anak jalanan pada tahun 2000 2001 itu sangat responya untuk mendapatkan bimbingan kemudian mendapatkan perhatian atau pelatihan itu sangat respon. Anak selalu mengambil ya sisi positifnya lah, antusias itu sangat kita rasakan gitu, oya saya pengen sekolah, pengen kursus itu. Tapi memang anak-anak yang sekarang dari tahun 2010, 2011 ini sudah saya itu merasa gundah gitu kenapa kok anak-anaknya kok lain, ngeyelnya itu berlebihan, kenapa wong dibimbing untuk mendapatkan hal yang positif, hal yang memang itu untuk diri mereka itu kok susah, tapi ya mungkin kita bisa melihat mbak, mungkin karena itu globalisasi atau apa ya mungkin internet dan pembelajaran yang sedemikian cepatnya ya mungkin saja atau mungkin saja orang tua sekarang ini cenderung tidak memperhatikan ke anak, memang dia disibukkan dengan dunia kerjanya sehingga dia tidak memperhatikan lagi, itu memang sangat saya rasakan. Kalau motivasi itu udah nggak kurang-kurangnya motivasi akan selalu kreatif kita memberikan hal-hal kepada mereka itu karena kita kan yang utamakan kan pendidikan anak yang mau di sini itu, kalau mau pendidikan formal kita rujuk kesekolah yang mau menampung mereka baik di negeri atau pun swasta, kalau bisa negeri Alhamdulillah lebih ringan lagi kalau 260 terpaksanya swasta ya. Nah itu pun anak-anak yang disana itu ternyata nggak kuat sampai pendidikan ke SMA itu, paling SMP, SMP pun paling jarang masuk, kemudian kita usahakan kejar paket, kejar paket dia juga pengennya itu instan berangkatnya pada waktu ujian thok dan itu ujian pun minta dibimbing sama guru pembimbingnya dan minta lulus, itu kan ya bukan apa ilmu yang dia dapat tapi cuma sesuatu yang legal formal seperti ijazah, itu sama sekali tidak mendidik mereka. Nah ini kan beda dengan anak-anak yang dulu dan ini formasinya saya tanya kemana-mana juga belom ada, udah kita coba outbond, ada les, anak KCP tiap hari selasa belajar nah responya anak-anak itu. Sudah ada temen dari Australia yang mengajar bahasa inggris ya kita datangkan, tapi respon mungkin dari 10 anak cuma 2 anak, 2 saja yang mau yang lainnya cuma ikut-ikutan atau pun sama sekali nggak ikut. Sama saja dengan pendidikan formal, pendidikan ketrampilan, dulu itu saya seneng pulang dari ketrampilan dia mempraktekkan ilmunya bisa kemudian pengen berkarya dengan ilmu ang dia dapat, tapi sekarang kemalasan anak itu makin tinggi. Figur-figur ternyata anak-anak yang seperti itu ada figur-figur dari orang tuanya ya memang cenderung malas, orang tuanya pengamen juga masih tidak malu walaupun dia bapak-bapak masih bisa berjalan dan lain sebagainya, dia itu tidak risih lagi ke jalan. Ya seperti itu lah, yang menghambat itu ya dari faktor internal sendiri anak itu yang susah. Iya anak-anak yang sudah mantan alumni lah seperti itu ya dulu digetak Le kamu harus membersihkan halaman nanti kalau kamu ngeyel nanti ngepel itu masih berlanjut, tapi sekarng ngepel itu ya besok Lek enggak langsung dia itu merasa takut atau apa, dia pergilah kemana, respon untuk menerima sesuatu yang positif itu masih susah lah. Seperti ini pelatihan mencukur ini alatnya dijual tinggal ini. Lek ini kan alatnya dua tak jual satu ya, iyaa.. tapi ternyata semuanya dijual. Kalau faktor dari sekolah itu saya rasa gini dek, sekolahan di Jogja ini walaupun namanya kota pelajar tapi kan ada sekolahan-sekolahan yang mau dilikuidasi kalau tidak mendapatkan murid, sehingga kepala sekolah itu dengan sendirinya datang ke sini minta anak walaupun tidak lulus apa pun dia pengen sekolah di tempat saya SMP atau pun SMA, nanti dia ngakalinnya gampang nanti ikut kejar paket atau apa sehingga anak itu berangkat dua kali atau apa nggak masalah, yang penting tercatat dan sekolahnya tidak terlikuidasi dan mereka dapat kerja seperti itu. Dan itu memang sangat mendukung ke anak, karena anak yang sekolah formal biasa negeri biasanya anak-anak ndak bisa, anak pasti tidak memenuhi tata tertib yang ada, karena anak pasti telat bangunnya siang, pakaiannya tidak pernah rapi, nggak mau mengerjakan PR dan lain sebaginya. 261

2. Wawancara Pekerja Sosial Rumah Singgah Ahmad Dahlan