Realisasi Program MHBM dan MHR Realisasi Program MHBM

132

7.3. Realisasi Program MHBM dan MHR Realisasi Program MHBM

Program MHBM yang dimulai pada tahun 2000 dilaksanakan pada kawasan-kawasan yang semula banyak dilanda konflik lahan. Menurut data yang ada kelompok masyarakat yang terlibat konflik lahan tersebut adalah yang berasal dari eks Marga Rambang Kapak Tengah, eks Marga Rambang Niru. Keturunan Puyang Tanah Putih, Desa Karta Dewa, Desa Karang Raja, Desa Tanjung Agung. Selanjutnya kelompok atau desa yang terlibat konflik meluas pada kelompok tani Serasan Kecamatan Talang Ubi Selatan, kelompok tani Gotong Royong Dusun Benakat, Desa Damlo, Desa Kepur, Desa Muara Enim, Talang Tumbur, Gunung Megang Dalam, Talang Jernihan, Talang Sebasah, Desa Tanjung Raman. Seluruhnya meliputi areal seluas 104 679.7 ha yang termasuk dalam wilayah 49 desa. Luas efektif untuk menanam tanaman pokok sekitar 70 atau 73 273 ha. Melalui Program MHBM gejolak sosial dapat dikendalikan dengan kesibukan masyarakat untuk bekerja dan berusaha memperoleh pendapatan. Manfaat utama MHBM yang diharapkan oleh masyarakat adalah kelestarian peluang kerja di hutan tanaman. Masyarakat yang terlibat dalam setiap kegiatan pembangunan HTI tersebut yang berasal dari penduduk desa yang bersangkutan akan menerima upah jasa kerja sesuai dengan tarif yang berlaku. Disamping itu masyarakat akan menerima jasa produksi yang dihitung atas basil panen kayu dari wilayah desa yang bersangkutan, berdasarkan basil timbangan pabrik, paling lambat 30 hari setelah kayu diterima pembeli PT. Tanjung Enim Lestari TEL. Selanjutnya masyarakat juga menerima jasa manajemen berupa uang yang besarnya disepakati 133 berdasarkan besaran persentase tertentu sebagai imbalan dari ikatan pengelolaan areal MHBM. Hasil jasa manajemen ini diharapkan akan menjadi sumber dana yang kontinyu untuk keperluan pemerintah desa dan kecamatan untuk membangun daerahnya. Dari data perusahaan, hingga saat ini jumlah akte kesepakatan antara MHP dengan masyarakat yang telah ditanda-tangani melibatkan 56 desa. Jumlah dan rincian desa maupun masyarakat yang terlibat dalam akte kesepakatan MHBM tersebut dapat dilihat secara rinci dalam tabel 17. Tabel 17. Wilayah, kelompok masyarakat dan jumlah desa yang terlibat dalam program MHBM, tahun 2010 Wilayah Kelompok Masyarakat Jumlah Desa Subanjeriji 1. Eks Marga RKT I 12 desa 2. Eks Marga Rambang Niru 9 desa 3. Keturunan PT Putih 1 desa 4. Desa Karang Raja 1 desa 5. Desa Tanjung Agung 1 desa 6. Desa Darmo 1 desa 7. Kelompok Tani Serasan 3 desa Benakat 1. Desa Kerta Dewa 10 klp 2. Kelurahan Talang Ubi Selatan 12 klp 3. Kerluarahan Talang Ubi Barat 1 desa 4. Warga Benakat 5 desa Jumlah 56 desa Sumber: PT. Musi Hutan Persada, 2010 Program MHBM telah mampu memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha. Untuk itu semua kegiatan pembangunan HTI dalam program MHBM harus melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat dalam setiap kegiatan mulai dari pembersihan lahan untuk di tanam sampai pada pemanenan. Jadi secara nyata 134 kegiatan MHBM dapat dianggap sebagai perluasan lapangan kerja dan lapangan usaha yang merupakan realisasi dari usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha diaktualisasikan dari lingkup pekerjaan pembangunan HTI yaitu mulai dari penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan, penyemprotan pestisida, kegiatan pemeliharaan lainnya hingga pada pemungutan hasil kayu. Keterlibatan masyarakat ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya diharapkan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Program MHBM ini merupakan cara yang paling efektif untuk melibatkan masyarakat. Semua pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan oleh perusahaan selama ini dilimpahkan pada kelompok masyarakat yang tercakup dalam program ini. Hubungan kerja ini bersifat formal dan dikukuhkan di dalam sebauah akta kerjasama yang bersifat mengikat. Manfaat langsung yang diterima oleh masyarakat adalah pendapatan dari bekerja pada setiap kegiatan pembangunan HTI, disamping jasa produksi dan jasa management yang telah di atur dalam kesepakatan. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, dari luasan konsesi lahan HTI milik PT. MHP sekitar 296 400 ha, terdapat sekitar 174 talang, 32 dusun, 79 desa, 17 kecamatan, dan 6 kabupaten yang berinteraksi langsung dengan wilayah PT. MHP. Dari sejumlah wikayah ini terdapat jumlah angkatan kerja yang cukup besar, yang berasal dari sekitar 28 813 kepala keluarga dengan 119 760 jiwa yang bermukim di sekitar wilayah ini. Sampai dengan tahun 2009 program MHBM yang dilakukan oleh perusahaan di bagi ke dalam 3 wilayah yang meliputi 15 unit kerja. Luas areal 135 kerja MHBM yang telah dibuat dalam akta kesepakatan formal saat ini berjumlah 61 172.72 hektar. Rincian luasan per wilayah dan jumlah Kepala Keluarga serta jumlah jiwa per unit dapat di lihat dalam tabel berikut ini. Tabel 18. Rincian luas MHBM per wilayah dan jumlah kepala keluarga dan jiwa per unit, tahun 2010 Wilayah Luas MHBM ha Unit Jumlah KK Jumlah Jiwa Wilayah 1 37 967.35 Unit 1 1 170 3 245 Unit 2 5 081 27 169 Unit 3 1 228 4 116 Unit 4 926 4 179 Unit 5 962 4 748 Total 1 9 367 43 457 Wilayah 2 5 905.66 Unit 6 2 485 9 940 Unit 7 3 757 14 584 Unit 8 2 199 8 441 Unit 9 1 668 7 432 Unit 10 1 444 4 332 Total 2 11 553 44 729 Wilayah 3 17 299.71 Unit 11 1 158 3 820 Unit 13 1 202 4 733 Unit 14 5 189 21 735 Unit 15 344 1 286 Total 3 7 893 31 574 Total 61 172.72 28 813 119 760 Sumber : PT. Musi Hutan Persada, 2010 Dari luasan total MHBM seluas 61 172.72 hektar tersebut dengan siklus setiap daur 7 tahun maka paling tidak sekitar 8 738.96 hektar setiap tahunnya HTI yang di tanam baru, dan sisanya 52 433,76 hektar tanaman HTI dalam pemeliharaan. Kegiatan ini menyerap ribuan bahkan puluhan ribu tenaga kerja lokal setiap tahunnya. Hasil analisis penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa jika setiap hektar tanaman HTI membutuhkan 53 HOK mulai dari persiapan lahan sampai dengan panen maka. Maka di butuhkan tenaga kerja sebanyak 3 242 154 HOK 136 per daurnya. Jika setiap orang dapat berkerja 25 hari per bulan atau 300 hari pertahun yang setara dengan 300 HOK maka setiap tahunnya untuk kegaiatan MBHM ini saja telah terserap tenaga kerja sebanyak 10 807 orang per siklus atau sekitar 1.543 orang per tahun. Jadi untuk kegiatan HTI pada program MHBM saja sudah mampu menampung 37.5 kepala keluarga dari desa-desa yang ada disekitar HTI. Saat ini di seluruh wilayah MHP terdapat lebih dari 150 orang pemborong lokal, yang melaksanakan pekerjaan pembangunan HTI untuk program MHBM, mulai dari persiapan lahan sampai dengan pemanenan hasil. Harga borongan setiap pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pemborong lokal ke petani secara rinci dapat di lihat pada tabel berikut ini. Tabel 19. Harga borongan pekerjaan dari MHP ke pemborong lokal dan dari pemborong lokal ke petani program MBHM di PT. MHP, tahun 2010 No. Jenis Pekerjaan Borongan dari PT. MHP Borongan ke Petani 1. Tebas Rpha 200 000 - 400 000 150 000 - 300 000 2. Semprot Rpha 160 000 120 000 3. Tanam Rpha 505 000 350 000 4. Widing I Rpha 180 000 120 000 5. Semprot I Rpha 200 000 150 000 6. Semprot II Rpha 160 000 120 000 7. Singling Rpha 110 000 80 000 8. Semprot III Rpha 120 000 80 000 9. Pemberantasan Hama Rpha 144 000 90 000 10. Penebangan 30 000ton 20 000m3 Sumber : Data Lapangan, 2010 Dari Tabel di atas terlihat ada selisih harga antara pemborong lokal dan petani, selisih ini adalah biaya manajemen dan operasional di tambah keuntungan pemborong. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan pemborong lokal 137 keuntungan bersih yang mereka peroleh berkisar antara 10 – 20 persen. Setiap pemborong rata-rata memiliki anak buah pekerja rata-rata antara 50 – 60 orang, dengan omzet per bulan sekitar Rp60 juta – Rp100 juta. Kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar dalam program MHBM secara signifikan dapat meredam gejolak sosial yang selama ini banyak terjadi. Dengan adanya jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak telah memberikan rasa nyaman di tengah-tengah masyarakat sekitar perusahaan. Masyarakat di samping mengelola usahatani pokok mereka, baik sebagai petani tanaman pangan, petani karet, petani sawit, mereka juga mempunyai peluang untuk menambah pendapatan dengan bekerja di lahan HTI milik perusahaan. Sebagian besar petani yang memiliki lahan terbatas, biasanya membagi pekerjaan di rumah tangga mereka, dimana biasanya isteri di bantu anak-anak menyadap karet atau mengerjakan kebun mereka, sedangkan suaminya bekerja di lahan HTI perusahaan MHP. Dengan 6 hari kerja per minggu, rata-rata mereka mendapat upah sekitar Rp350 000 per minggu atau sekitar Rp1 400 000 per bulan. Penambahan pendapatan ini sangat membantu petani yang ada disekitar areal MHP untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Secara global kita dapat menghitung peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar wilayah konsesi PT. MHP dengan pendekatan jasa produksi dan jasa manajemen. Secara rinci jasa produksi dan jasa manajemen yang telah diberikan perusahaan kepada masyarakat dapat di lihat dalam tabel berikut ini. 138 Tabel 20. Jasa produksi MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 - 2009 Wilayah Jasa Produksi Rp 2006 2007 2008 2009 I 1 452 867 350 2 498 940 518.95 1 342 667 710.53 1 144 759 455.24 II - - 98 872 480.00 65 838 551.00 III - - 348 848 068.00 482 075 300.00 Total 1 452 869 356 2 498 942 525.95 1 790 390 266.53 1 692 675 315.24 Sumber: Divisi CSR PT. MHP, Tahun 2010 Tabel 21. Jasa manajemen MHBM per tahun berdasarkan wilayah, 2006 - 2009 Wilayah Jasa Manajemen Rp 2006 2007 2008 2009 I 329 592 550.94 279 591 926.40 259 096 323.41 252 243 842.77 II - - 7 230 698.00 3 681 948.00 Total 329 592 550.94 279 591 926.40 266 327 021.41 255 925 790.77 Sumber: Divisi CSR PT. MHP, Tahun 2010 Dari tabel 20 dan 21 di atas terlihat bahwa jika dihitung keseluruhan jumlah jasa produksi selama 4 tahun adalah sebesar Rp7 434 877 463.72 dan total jasa manajemen adalah sebesar Rp1 131 437 289.52, sehingga total jasa produksi dan jasa manajemen adalah sebesar Rp8 566 314 753.24. Jika jumlah kepala keluarga di sekitar kawasan MHP yang tercakup dalam program MHBM adalah 28 813 KK, maka berarti nilai yang diterima per KK dalam 4 tahun terakhir adalah sebesar Rp297 307 atau sekitar Rp74 236 per tahun. Jumlah ini tidak seberapa dan umumnya di berikan melalui kelompok. Ada beberapa kelompok yang membagikannya dalam bentuk uang, ada juga kelompok yang menggunakan uang ini untuk pembangunan fasilitas umum seperti bangunan kantor dan jalan setapak, dan ada juga beberapa kelompok yang tidak jelas penggunaannya. Secara lebih mendalam, jika kita mencermati jumlah jasa manajemen pada tabel 21, ini merupakan suatu petunjuk kepada kita bahwa berapa besar jumlah 139 uang yang di transaksikan kepada masyarakat setiap tahunnya yang menggambarkan nilai pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat dalam program MHBM. Misalnya pada tahun 2006 jumlah jasa manajemen yang dibayarkan adalah sebesar Rp329 592 550.94, jumlah ini adalah 1 dari jumlah transaksi yang sesungguhnya terjadi, ini berarti bahwa dalam pengelolaan manajemen HTI mulai dari penanaman sampai dengan pemanenan adalah sebesar Rp32 959 255 094. Jika kita asumsikan ada 28 813 KK, maka pada tahun 2006 setiap KK akan menerima sebesar Rp1 143 902, tahun 2007 sebesar Rp970 367 per KK, tahun 2008 sebesar Rp924 329 dan pada tahun 2009 sebesar Rp888 230. Jika kita asumsikan ada 10.807 setiap tahunnya, maka pada tahun 2006 mendapat sebesar Rp3 049 806 per orang, pada tahun 2007 sebesar Rp2 587 137 per orang, tahun 2008 sebesar Rp 2 464 394 per orang, dan pada tahun 2009 sebesar Rp 2 368 148 per orang. Realisasi Program MHR Sampai dengan tahun 2010 jumlah akta kesepakatan yang telah dilaksanakan dalam program MHR telah meliputi luas 9 565.53 ha, tersebar di 12 unit dan 34 blok. Program MHR dimulai pada tahun 2001 dengan luas penanaman 217.88 ha jumlah ini terus meningkat hingga tahun 2010 jumlahnya mencapai 9 565.53 ha. Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok secara rinci dapat di lihat pada tabel 22. 140 Tabel 22. Luas total implementasi program MHR di masing-masing unit dan blok sampai dengan tahun 2010 Sumber : Musi Hutan Persada, 2010 Dibanding dengan MHBM, program MHR memang ditangani belakangan karena MHR menyangkut kegiatan penanaman, penebangan, pengangkutan dan Unit Blok Luas ha 01 . Martapura Sungai Langit 233.53 Sungai Tuha 107.38 02 . Merbau Merbau I 441.27 Merbau II 948.23 Merbau III 1 076.39 03 . Gemawang Banding Anyar 692.08 Subanjeriji 148.09 Toman I 537.37 Toman II 224.75 Toman III 452.18 04 . Caban Caban Selatan 22.69 Caban Utara 122.49 Sodong Utara 31.61 05 . Sodong Lengi 236.63 Niru 49.71 Sodong Barat 289.72 Sodong Selatan 266.19 06 . Lubuk Guci Baung Selatan 64.57 Lubuk Guci 161.12 Setuntung 453.27 07 . Baung Utara Baung Utara 486.99 Suban Ulu 134.27 09 . Semangus Selibing 264.13 10 . Keruh II Jena 19.24 Keruh II 602.40 13 . Lantingan Lantingan Barat 65.20 Lantingan Timur 4.54 Resam 8.72 14 . Serai Ibul 122.90 Lagan 53.42 Serai 985.87 15 . Keruh I Jernih 28.75 Keruh I 101.19 Koneng 128.62 Total 9 565.53 141 penanaman kembali yang harus dilaksanakan secara teratur dan ketat waktunya. Penebangan dan pengumpulan kayu yang teratur berkaitan dengan keterikatan MHP dengan TEL yang memerlukan bahan baku yang kontinyu untuk jumlah tertentu. Penanaman kembali areal bekas tebangan juga harus dilakukan segera setelah kayu dari bidang tebangan terangkut semua, untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan dan menghindari terjadinya pertumbuhan gulma yang berlebihan agar risiko keberhasilan pembuatan tanaman tidak semakin bertambah dan biayanya tidak meningkat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka pelaksanaan program MHR baru mulai ditangani lebih sungguh-sungguh setelah program MHBM berjalan lancar dan tidak lagi menghadapi kesulitan-kesulitan yang berarti. Pada tabel 16 di atas, sampai dengan tahun 2010 luas kegiatan yang telah dicapai oleh program MHR mencapai 9 565.53 ha. Kegiatan program MHR dimulai dari wilayah Subanjeriji yang persoalan sosial ekonominya memang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Program MHR merupakan implementasi salah satu butir dalam SK HPHTI yang mengamanatkan kepada perusahaan, apabila di dalam areal HTI terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, sawah, atau telah diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan dari areal kerja HTI. Apabila lahan tersebut dikehendaki untuk dijadikan areal HTI maka penyelesaiannya dilakukan oleh perusahaan dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. 142 Program mengelola hutan rakyat MHR merupakan pengelolaan hutan tanaman lestari yang dilaksanakan secara bersama-sama antara PT. MHP dengan masyarakat yang berada di dalamsekitar areal HTI atau juga di dalam kawasan berupa enclave melalui pola kemitraan. Program MHR telah dimulai sejak tahun 2001 dengan ketentuan sbb: 1. Menanam A. mangium pada lahan milik masyarakat di luar kawasan konsesi HTI, namun terenclave oleh hutan tanaman. Kawasan tersebut mungkin berupa belukar, kebun karet, atau pemukiman sementara. 2. Peserta MHR ada pula anggota masyarakat yang semula menanam karet, namun melihat nilai perolehan yang lebih besar dengan menanam A. mangium, dengan suka rela tanpa paksaan. mereka mengikuti program MHR. Apalagi posisi enclave memudahkan mereka mendapat bantuan dari MHP. 3. Perusahaan memberikan pinjaman kepada kelompok tani. dan memberi bimbingan usaha persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan. 4. Mereka mendapat bayaran pada setiap pekerjaan jasa kerja, mendapat bagi hasil dart nilai bersih kayunya pada akhir daur, yaitu nilai kayu setelah dikurangi dengan biaya operasional. Bagi hasil ini adalah 60 untuk perusahaan dan 40 untuk peserta. 5. Untuk meningkatkan kemampuan dalam menanam A. mangium, diundang pula keterlibatan LSM, seperti yang dilakukan pada MHBM. Program MHR adalah program pengembangan hutan tanaman yang cukup strategis. Program ini di satu sisi menguntungkan petani, dan disisi lain juga memberi manfaat yang banyak bagi perusahaan. Petani yang selama ini memiliki 143 lahan tidur atau tidak produktif, baik berupa lahan kosong berupa alang-alang atau semak belukar, atau lahan bekas karet tua yang tidak produktif, dapat mengikuti program MHR ini. Sedangkan bagi perusahaan program ini secara tidak langsung merupakan peluang untuk memperluas tanaman pokok dengan peran serta masyarakat. Program MHR diterapkan di lahan milik dan menurut kesepakatan mereka terlebih dahulu membersihkan lahannya sehingga siap tanam, kemudian diperiksa oleh Kepala Unit barulah dibayar oleh perusahaan. Ada pemikiran untuk mempekerjakan pihak ketiga untuk menilai keberhasilan kerja, namun hal ini nampaknya akan membebani MHP sekaligus mengurangi tanggung jawab Kepala Unit. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang membuka 8 ha tanaman karet tuanya untuk dikonversi menjadi hutan A. mangium. Untuk pembersihan sampai siap tanam ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp500 000 - Rp750 000 per ha, bergantung kondisi lapangan dan gulma. Untuk menanam dan memupuk ia harus membayar sebanyak Rp200 000 per ha. Demikian juga untuk pekerjaan lainnya, misalnya pengendalian gulma weeding sebesar Rp75 000 per ha, bagi masyarakat tersebut semua pengorbanan tersebut sudah seimbang dengan yang diperolehnya dan ia dapat mengonversi kebun karet tua menjadi hutan Acacia mangium . Program MHR cukup menarik minat bagi masyarakat di sekitar hutan karena dengan program itu masyarakat dapat memanfaatkan lahannya yang menganggur, sekaligus memperoleh kesempatan kerja dengan bantuan permodalan dari MHP. Dengan demikian program MHR akan menguntungkan kedua belah pihak, bahkan termasuk TEL yang akan menerima kayu dalam 144 jumlah lebih banyak. Dalam perkembangannya nanti, misalnya mulai rotasi kedua, program MHR dapat diarahkan agar sebagian hasilnya dipungut sebagai kayu pertukangan, sehingga dapat menutup kurangnya pasokan kayu yang selama ini sudah terjadi, baik untuk konsumsi domestik maupun menambah bahan baku bagi industri perkayuan di Provinsi Sumatera Selatan. Dampak positif program MHR cukup banyak dan bersifat multi-dimensi, sedangkan dampak negatifnya tidak ada. Oleh karena itu program MHR ini perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan diupayakan dapat didukung oleh semua pihak, tidak hanya menjadi program MHP saja. Dampak positif tersebut adalah: 1. Lahan kosong yang tak produktif selama ini dapat meningkatkan hasil kayu yang di waktu mendatang akan semakin berkurang, sedangkan di nisi lain kebutuhannya meningkat. 2. Menciptakan lapangan kerja yang cukup besar, sehingga memecahkan masalah pengangguran atau setengah pengangguran di kalangan masyarakat, baik lokal maupun transmigran yang selama ini hanya menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional. 3. Mengurangi risiko tcrjadinya kebakaran, yang sangat merugikan berbagai pihak, baik MHP, perkebunan, maupun masyarakat luas. 4. Meningkatkan pasokan kayu, di mana pada saat ini masalah tersebut sedang dihadapi oleh Indonesia dalam skala nasional karena hancurnya hutan akibat salah urus di masa lalu dan penjarahan pasca reformasi. Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan yang diambil dari 60 sampel petani MHR terlihat bahwa semakin luas lahan HTI yang diusahakan 145 semakin efisien hasil yang dicapai. Hal ini terlihat dari pengelompok kluster luas lahan petani contoh terlihat rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI petani peserta MHR per hektar yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan luas lahan. Keadaan ini bisa di lihat secara rinci pada tabel berikut ini. Tabel 23. Rata-rata produksi, harga, penerimaan, biaya dan pendapatan dari HTI petani peserta MHR per hektar No Kluster Ha Produksi Hargaunit RpBdt Penerimaan Rpha Biaya Rpha Pendapatan Rpha m 3 BDT ton 1 0 - 5 129.32 54.12 566 944.56 30 586 670.71 15 202 196.87 15 384 473.85 2 5 - 10 142.59 64.19 563 260.03 36 216 160.99 16 445 965.06 19 770 195.93 3 11 - 20 166.19 70.63 560 473.73 39 550 046.55 17 103 200.84 22 446 845.71 4 20 171.45 74.31 565 429.48 41 815 397.47 17 238 918.08 24 576 479.39 Rata-rata 144.08 61.64 565 107.33 34 740 879.93 16 034 095.7 18 706 784.23 Sumber : Diolah dari dara lapangan, 2010 Dari tabel di atas terlihat bahwa berdasarkan hasil pengkalsteran terlihat bahwa semakin besar luasan areal petani peserta MHR, semakin besar rata-rata produksi yang dihasilkan, dan pendapatan yang di terima. Untuk petani yang mempunyai lahan di bawah 5 ha, rata-rata produksinya 129.32 m 3 ha dan pendapatan sebesar Rp15 384 473.85ha. Untuk petani dengan luas lahan antara 5- 10 ha, rata-rata produksinya 142.59 m 3 ha dan pendapatan sebesar Rp19 770 195.93ha. Bagi petani yang memiliki lahan antara 11-20 ha produksi rata-ratanya adalah 166.19 m 3 ha dengan pendapatan sebesar Rp22 446 845.71ha. Sedangkan untuk petani yang memiliki luasan di atas 20 ha, produktivitasnya lebih tinggi lagi, dengan produksi rata-rata 171.45 m 3 ha dan pendapatan sebesar Rp24 576 479.39ha. Adanya trend kenaikan produksi dan pendapatan seiring dengan 146 besarnya luas lahan yang dikutkan dalam program MHR, menunjukkan kepada kita bahwa semakin luas lahan dalam satu hamparan semakin efisien pengelolaan HTI pola MHR tersebut. Kecenderungan ini secara diagramatis dapat di lihat pada gambar berikut ini. Gambar 5. Trend kenaikan produksi rata-rata di hubungkan dengan luas Gambar 6. Trend kenaikan pendapatan rata-rata di hubungkan dengan luas 129.32 142.59 166.19 171.45 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 - 5 5 - 10 11 - 20 20 Produksi m 3 Luas ha 15,384,473.8 5 19,770,195.9 3 22,446,845.7 1 24,576,479.3 9 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 30,000,000 0 - 5 5 - 10 11 - 20 20 Pendapatan Luas ha Rp 147 Berdasarkan hasil kajian ini ada beberapa implikasi penting yang dapat disimpulkan dari program MHR. Bagi petani kecil dengan areal yang sempit, produksi rendah karena di akibatkan beberapa hal seperti kemungkinan adanya penyelewengan penggunaan faktor produksi seperti pupuk dan obat-obatan untuk penggunaan tanaman lain atau bahkan mungkin di jual karena kebutuhan ekonomi yang mendesak. Karena luasan yang sempit dan tersebar luas, pengawasan memang menjadi lebih sulit dan biaya-biaya tertentu menjadi lebih mahal seperti pengangkutan dan penyaradan. Sedangkan untuk petani peserta MHR yang memiliki lahan yang lebih luas, dengan kemampuan ekonomi yang lebih baik, kemungkinan penggunaan faktor-faktor produksi menjadi lebih optimal sehingga produktivitas mereka menjadi lebih tinggi. Sebagai implikasi penting dari semua ini berarti semakin luas hamparan yang terintegrasi dalam pelaksanaan program MHR semakin efisien pengelolaan dan semakin tinggi produktivitsnya. Untuk itu petani peserta dengan luasan yang sempit, dengan lokasi yang berdekatan harus dihimpunan dalam satu kelompok manajemen yang satu. Sehingga di harapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani peserta MHR. Walaupun sistem ini terkadang menimbulkan perselisihan antara petani peserta yang malas dan yang rajin dengan produktivitas yang berbeda jauh, karena dalam satu manajemen pengelolaan yang hasilnya diambil rata-ratanya. Dari hasil pendapatan yang diperoleh, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di muka, bagi hasil yang ditetapkan adalah 40 untuk petani peserta MHR dan 60 untuk PT. MHP. Pendapatan rata-rata petani dan perusahaan dari pendapatan di atas secara rinci dapat di lihat pada tabel berikut ini. 148 Tabel 24. Rata-rata pendapatan per hektar petani peserta MHR, pendapatan perusahaan, dan biaya dikeluarkan serta net Profit perusahaan MHP No. Kluster ha Petani 40 Rpha MHP 60 Rpha Biaya MHP Rpha Net Profit MHP Rpha 1 0 - 5 6 153 789.54 9 230 684.31 4 081 843.40 5 148 840.91 2 5 - 10 7 908 078.37 11 862 117.56 4 197 050.43 7 665 067.12 3 11 - 20 8 978 738.28 13 468 107.42 3 658 036.66 9 810 070.76 4 20 9 830 591.76 14 745 887.63 3 389 882.24 11 356 005.40 Rata-rata 7 482 713.69 11 224 070.54 3 922 146.70 7 301 923.84 Sumber : Diolah dari data lapangan, 2010 Dari tabel di atas terlihat bahwa dari bagian pendapatan perusahaan sebesar 60 tersebut perusahaan harus menanggung biaya lain sebesar Rp 3 922 146.70 yang meliputi biaya perencanaan, pemeliharaan infrastruktur dan pengawasan, biaya tidak langsung administrasi umum, dan biaya suku bunga sebesar 8th. Sehingga bagian 20 yang merupakan kelebihan yang diterima oleh perusahaan dari petani sebenarnya hampir sama dengan biaya yang ditanggung perusahaan tersebut. Berdasarkan analisis tersebut sebenarnya hasil pembagian antara petani dan perusahan hampir seimbang proporsinya.

7.4. Aspek Kelembagaan MHBM dan MHR