Kepastian Berusaha Hutan Tanaman Industri dalam Perspektif Perusahaan

89 memberikan insentif dan kemudahan bagi perusahaan untuk ikut berkiprah di sektor hutan tanaman industri. Sebagai landasan Hukum pembangunan HTI adalah PP No.7 tahun 1990, lalu dirubah dengan PP No.6 tahun 1999, lalu disempurnakan dengan PP No.34 tahun 2002. Dari perspektif perusahaan, pembangunan hutan tanaman adalah investasi yang tipikal dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan di awal, proses produksi yang panjang dan penuh resiko kegagalan, serta hasil yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu pengusaha sangat berhati-hati dan penuh perhitungan yang cermat sebelum terjun ke sektor usaha hutan tanaman ini. Sebagai pertimbangan yang cermat seorang investor selalu melihat ke belakang dan sekaligus ke depan, menghubungkan antara potensi sumberdaya dengan potensi pasar, dimana perusahaan dapat menentukan faktor-faktor prospek investasi tersebut dari sisi kepastian berusaha, luas lahan, skala investasi dan struktur modal, teknologi yang diperlukan, dan keuntungan yang akan diperoleh.

6.1.1. Kepastian Berusaha

Dalam perspektif perusahaan, kepastian berusaha merupakan aspek penting yang sangat menentukan sekaligus jaminan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang, karena investasi dan kelestarian hutan umumnya memerlukan waktu yang panjang. Di Indonesia dan umumnya di negera berkembang lainnya kepastian lahan masih ditempatkan sebagai faktor yang paling rawan, karena disamping pengurusan izin yang sulit dengan birokrasi yang panjang, serta sering terjadi friksi atau benturan dengan masyarakat sekitar yang telah bermukim lebih dulu di sekitar kawasan. 90 Perusahaan telah melalui tahapan dan prosedur yang panjang untuk mendapatkan kepastian lahan, dengan kronologisnya sebagai berikut: 1. Dengan SK Menteri Kehutanan No.l 775Menhut-V1989, Barito Pacific Group dijinkan membuat percobaan penanaman Acacia mangium dengan luas 50 000 ha yang harus diselesaikan dalam jangka waktu 5 tahun 1990-1994. 2. Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan RRL mengeluarkan surat No.1109DJRRLV1989 untuk menindak lanjuti keputusan Menteri Kehutanan tersebut. 3. Pada tahun 1991 menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. 276Menhut-V1991 untuk menetapkan areal HPHTI seluas 311 215 ha. 4. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan itu, Barito Pacific Group membuat anak perusahaan dengan nama PT Enim Musi Lestari EML. 5. Mengikuti peraturan umum yang dibuat oleh Menteri Kehutanan, selanjutnya PT Enim Musi Lestari membentuk perusahaan patungan dengan PT Inhutani II yang pada waktu itu ditugasi oleh Departemen Kehutanan membangun kawasan hutan tak produktif di kabupaten Muara Enim tersebut. 6. Perusahaan patungan tersebut dinamakan PT Musi Hutan Persada MHP, yang mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman No.C2.1767.H1.01.10- Th 91, tertanggal 24 Mei 1991. 7. Dengan terbentuknya MHP, maka lokasi HPHTI lalu ditetapkan secara pasti. Namun untuk itu memerlukan proses yang cukup panjang sehingga sempat beberapa kali mengalami perubahan. Akhirnya kepastian tersebut dapat diperoleh setelah Gubernur Sumatera Selatan memberikan rekomendasi yang kedua kalinya pada tanggal 16 Januari 1995. 91 Berdasarkan surat rekomendasi Gubernur Sumatera Selatan Nomor: 5220023795 tahun 1995 dan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 038Kpts-II1996 tahun 1996. PT MHP memperoleh kepastian hak pengusahaan hutan tanaman industri HPHTI di atas areal seluas kurang lebih 296 400 ha HPHTI tetap di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan kebijakan pemerintah, sumber lahan untuk hutan tanaman industri adalah tanah kosong atau alang-alang, belukar, hutan alam rawang kurang produktit dan lain-lain. Namun lahan HTI diperbolehkan juga berasal dari hutan alam yang dikonversi jika memang ada alasan yang kuat dan tidak merugikan lingkungan. Berpedoman pada arahan pemerintah tersebut PT MHP dalam pembangunan HTI lebih memprioritaskan pada lahan alang-alang yang biasanya sering terbakar dan tidak produktif. Selanjutnya, Perusahaan bekerjasama dengan PT. Inhutani dalam pelaksanaan pembangunan HTI. Walaupun sudah mendapatkan kepastian lahan dari pemerintah perusahaan HTI tidak luput dari masalah klaim pemilikan lahan oleh penduduk sekitar kawasan. Pembangunan HTI mendapat dukungan politik yang besar dari pemerintah Orde Baru dengan memberi banyak subsidi. Pada era reformasi desakan untuk tidak mengkonversi hutan alam datang dari IMF International Monetary Fund melalui LOI Letter of intent dan Bank Dunia, dengan alasan utama keanekaragaman hayati dan masalah lingkungan. Pembangunan HTI di Indonesia didukung oleh subsidi dana reboisasi DR, yaitu partisipasi modal pemerintah dan pinjaman bunga rendah dan dibalik itu ada daya tarik lahan HTI yaitu kesempatan usaha dari Izin Pemanfaatan Kayu IPK. 92 Pengalaman MHP di Sumatera Selatan dalam membuat hutan tanaman dengan Acacia mangium mulai tanam sampai dipanen, dapat dijadikan acuan dalam pembangunan HTI di Indonesia. Pengalaman ini dapat memberi informasi berguna kepada investor lain yang berminat. Dari aspek legal sebetulnya lahan hutan tanaman sudah cukup kuat sejak diberlakukannya Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK di mana hutan tanaman diselenggarakan pada hutan produksi bebas. Kemudian dikeluarkan PP No.17 tahun 1998 yang mengatur prosedur pendirian unit-unit manajemen HTI pada lokasi yang mendapat izin. Masalah yang langsung dan berat terhadap kepastian usaha HTI adalah konflik friksi dengan penduduk sekitar areal hutan tanaman terutama tentang perebutan lahan dengan berbagai sebab. Permasalahan sosial adat penduduk di sekitar hutan hendaknya dapat diselesaikan terlebih dahulu, jika tidak maka investasi pada lahan HTI tersebut akan menghadapi banyak kesulitan yang akan sangat mengganggu kelangsungan usaha. Pengalaman MHP yang telah membangun hutan tanaman Acacia mangium seluas lebih kurang 193 500 ha yang dalam perjalanannya banyak menghadapi konflik sosial dengan masyarakat sekitar, mulai dari pencurian kayu, kebakaran hutan, dan klaim lahan telah mengakibatkan keamanan dan kepastian berusaha menjadi ancaman yang cukup berat. Puncak kerusuhan terjadi pada tahun 19992000, dimana terjadi pembakaran, demonstrasi dan pendudukan areal hutan oleh masyarakat secara besar-besaran. Konflik ini berakhir melalui negosiasi yang panjang antara perusahaan dan masyarakat dengan mediasi para ahli, pemerintah, dan para tokoh masyarakat, yang akhirnya menghasilkan beberapa kesepakatan-kesepakatan agar perusahaan lebih memperhatikan kesejahteraan 93 masyarakat. Perusahaan juga harus membayar milyaran rupiah untuk mengganti lahan yang diklaim mereka sebagai lahan eks marga. Belajar dari konflik tersebut kemudian perusahaan MHP merubah strategi pengelolaan hutan dengan melakukan pendekatan kemasyarakatan antara lain dengan program Mengelola Hutan Bersama Masyarakat MHBM dan Mengelola Hutan Rakyat MHR di areal tanah penduduk dengan kerjasama bagi hasil. Sejauh ini pendekatan tersebut sudah relatif berhasil dan konflik dengan masyarakat tidak pernah terjadi lagi, sehingga risiko investasi dapat dikurangi, seperti masalah lahan dan kebakaran hutan jauh berkurang.

6.1.2. Luas Lahan Konsesi