Aspek Kelembagaan MHBM dan MHR

148 Tabel 24. Rata-rata pendapatan per hektar petani peserta MHR, pendapatan perusahaan, dan biaya dikeluarkan serta net Profit perusahaan MHP No. Kluster ha Petani 40 Rpha MHP 60 Rpha Biaya MHP Rpha Net Profit MHP Rpha 1 0 - 5 6 153 789.54 9 230 684.31 4 081 843.40 5 148 840.91 2 5 - 10 7 908 078.37 11 862 117.56 4 197 050.43 7 665 067.12 3 11 - 20 8 978 738.28 13 468 107.42 3 658 036.66 9 810 070.76 4 20 9 830 591.76 14 745 887.63 3 389 882.24 11 356 005.40 Rata-rata 7 482 713.69 11 224 070.54 3 922 146.70 7 301 923.84 Sumber : Diolah dari data lapangan, 2010 Dari tabel di atas terlihat bahwa dari bagian pendapatan perusahaan sebesar 60 tersebut perusahaan harus menanggung biaya lain sebesar Rp 3 922 146.70 yang meliputi biaya perencanaan, pemeliharaan infrastruktur dan pengawasan, biaya tidak langsung administrasi umum, dan biaya suku bunga sebesar 8th. Sehingga bagian 20 yang merupakan kelebihan yang diterima oleh perusahaan dari petani sebenarnya hampir sama dengan biaya yang ditanggung perusahaan tersebut. Berdasarkan analisis tersebut sebenarnya hasil pembagian antara petani dan perusahan hampir seimbang proporsinya.

7.4. Aspek Kelembagaan MHBM dan MHR

Kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan Ruttan dan Hayami, 1984. Berdasarkan defenisih di atas kelembagaan MHBM dan MHR adalah aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling 149 tergantung satu sama lain. Penataan institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Dalam kelembagaan ini tercakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Untuk itu beberapa unsur penting dari kelembagaan MHBM dan MHR yang bisa dikembangkan adalah: - Institusi yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat - Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar sesama yang terstruktur - Peraturan dan penegakan aturanhukum - Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota - Kontrak atau kesepakatan - Pasar bagi produk yang dihasilkan 150 - Hak milik property rights atau tenureship - Stuktur organisasi yang jelas - Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Salah satu tujuan MHBM dan MHR yang utama adalah membangun model kemitraan untuk bersama-sama membangun hutan tanaman. Disamping itu banyak hal yang masih perlu dipelajari MHP dalam proses membangun kemitraan seperti proses demokratisasi, dinamika organisasi dan kelembagaan. Sehingga MHBM dan MHR dapat dijadikan model pemberdayaan masyarakat. Sesuai prinsip kolaborasi yang saling menguntungkan bagi perusahaan dan masyarakat karena masyarakat layak merasakan langsung manfaat pembanguan HTI. Berbagai kelembagaan masyarakat yang dilibatkan di dalam pelaksanaan MHBM diantaranya adalah Yayasan Kaffah, Koperasi Hikmah dan Pondok Pesantren Raudhatul Ulum. Perusahaan juga memberikan pinjaman untuk membiayai penanaman pohon-pohon serbaguna antara lain randu Ceiba petandra, petai Parka urdurata. sukun Artocarpus altilis, melinjo Gnetum gnemon, dan durian Durio zibethinus. Disamping itu ada juga kelompok MHBM yang tergolong dalam Kelompok Tani Serasan yang mewakili Desa Gunung Megang dan Gunung Megang Dalam Kecamatan Gunung Megang, Kelompok Petani Jujur desa Darmo Kecamatan Lawang Kidul, Kelompok Kombat yang mewakili 6 desa, yaitu Padang Bindu, Desa Pagar Dewa, Desa Betung, Desa Rami Pasai, Desa Pagar Jati, dan Desa Hidup Baru diwilayah Kecamatan Benakat. Salah satu kelembagaan advokasi yang terbentuk adalah Forum Sebahu Sejalan Kabupaten Muara Enim yang merupakan wadah untuk mengkritisi 151 implementasi MHBM dari PT. MHP, dimana perusahaan mendorong proses pemberdayaan organisasi yang ada sehingga mereka mampu mandiri dan membantu mereka dalam hal permodalan. Pemerintah kabupaten berharap bahwa implementasi kemitraan oleh MHP dapat membantu berkontribusi dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Diharapkan kedepan terbentuknya suatu perencanaan dan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah untuk mendukung lembaga kemitraan antara masyarakat dengan PT. MHP. Dengan pola MHBM dan MHR sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh PT. MHP dalam rangka membangun dan mengelola hutan tanaman sebagai pusat unggulan kehutanan Indonesia yang dilaksanakan bersama-sama dalam bentuk kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat yang berada di dalam dan disekitar kawasan atau yang terkait dengan lahan areal pengusahaan HTI dengan prinsip saling menguntungkan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, Mendorong tumbuhnya perekonomian masyarakat desa hutan, Membantu tersedianya sarana prasarana ekonomi yang memadai serta Mendorong tumbuhnya kesadaran dan prilaku positif masyarakat dalam pelestarian sumber daya hutan guna meningkatkan pengamanan hidup. MHBM dan MHR juga membantu tersedianya sarana prasarana ekonomi yang memadai. Serta mendorong tumbuhnya kesadaran dan prilaku positif masyarakat dalam pelestarian sumber daya hutan guna meningkatkan pengamanan hidup pada kelompok-kelompok masyarakat. 152 Untuk kabupaten Muara Enim dengan luas 161.400 Ha yang diperuntukan bagi penanaman tanaman HTI tersebar pada 9 Kecamatan merupakan wilayah pengelolaan MHBM yang dilakukan bersama perusahaan HTI PT. MHP dengan pola atau type MHBM antara lain : Type Payung, Type Desa, type akta satu desa dengan melibatkan lebih dari satu desa, type kelompok, type berdasarkan keturunan, type Talang, dan type Keluarga. Dengan luas areal mencakup sekitar 80.000 ha. Program ini merupakan bentuk kerjasama kolaborasi antara pihak perusahaan bersama kelompok masyarakat untuk mengelola hutan dengan mejadikan masyarakat sebagai stakeholder dari pengelolan HTI serta bagian dari program pembinaan kemasyarakatan dari konsep Pembinaan Masyarakat Desa Hutan PMDH PT. MHP dalam pembangunan sosial masyarakat untuk meminimum konflik antara masyarakat lokal, pendatang dan perusahaan pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan IUPHHK. Dalam rangka menjawab persoalan dan tantangan yang semakin kompleks ke depan, perusahaan HTI PT. MHP telah melakukan penggalian aspirasi masyarakat melaui kegiatan Fokus Diskusi Group FGD dengan melibatkan masyarakat di dalam dan disekitar kawasan HTI di wilayah Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim. Sampai saat ini telah dilakukan 5 kali FDG, mulai tahap satu sampai FGD tahap kelima. FGD tahap pertama dilaksanakan dengan melibatkan empat desa Eks Marga Rambang Niru yaitu Desa Jemenang, Desa Aur Duri, Desa Gemawang dan Desa Suban Jeriji. Yang dihadiri oleh 43 orang peserta yang terdiri dari utusan masyarakat, perangkat desa, pengurus MHBM desa, Pengurus MHBM Kecamatan, utusan dari pihak Perusahaan MHP. Dari penyelenggaraan kegiatan 153 FGD tersebut telah dibuat beberapa kesepakatan bersama yang terbagi dalam tiga tematik usulan aspirasi masyarakat antara lain : 1. Menyangkut Transparansi, antara lain : a. Harus adanya peta lokasi untuk kejelasan wilayah bagi masing-masing desa atau MHBM yang terkait dengan wilayah HTI. b. Harus adanya kejelasan pembagian peran dari masing-masing pekerjaan yang akan dilaksanakan dilapangan. c. Adanya transparansi dari plapon harga yang sebenarnya untuk setiap kegiatan pengelolan dilapangan dari pihak PT. MHP dan setiap plafon harga harus sama bagi masing-masing kelompok MHBM sesuai pekerjaan masingmasing. d. Setiap RO tidak boleh dikerjakan oleh karyawan PT. MHP dengan alasan apapun tanpa izin dari kelompok kerja MHBM. e. Pemotongan dan penyaluran Fee Manajemen 1 harus ketempat yang benar yaitu kelompok kerja MHBM. 2. Untuk Jasa Produksi antara lain : a. Jasa Produksi untuk daur ketiga agar ditinjau ulang kembali dan disesuaikan dengan sistim perhitungan tonase bukan per meter kibik. b. Pendistribusian Jasa Produksi harus melalui MHBM Payung. c. Jasa Manajemen Fee sebesar 1 diperuntukan hanya bagi MHBM Payung dan MHBM desa. 3. MOU terbaru Untuk Daur ke Tiga : a. Tidak perlu terlalu banyak MOU, cukup satu tetepi melibatkan 9 desa yang termasuk dalam wilayah MHBM ek Marga Rambang Niru. 154 b. Kepengurusan MHBM tingkat Desa maupun Kecamatan termasuk dalam butir-butir kesepakatan MOU. c. Pembuatan MOU harus didasari Hukum atau Notaris. d. Pembuatan MOU harus dihadirkan kedua belah pihak antara lain 9 desa terkait dan pihak PT. MHP. FGD tahap kedua dilaksanakan di desa Tebat Agung yang dihadiri oleh 40 orang peserta yang merupakan perwakilan dari 5 desa eks Marga Rambang Niru antara lain desa Tebat Agung, desa Kasih Dewa, desa Lubuk Raman, desa Tanjung Menang dan desa Gerinam. Peserta FGD tahap kedua ini terdiri dari perwakilan masyarakat, perangkat desa, pengurus MHBM desa dan MHBM Kecamatan, Pihak PT. MHP. Isu sosial yang diketengahkan adalah menyangkut pelaksanaan program MHBM belum sepenuhnya menyentuh kesemua lapisan warga masyarakat, sedangkan program pelaksanaan kegiatan MHBM dalam bentuk kemitraan dari pihak perusahaan PT. MHP belum berjalan dengan sempurna, masih banyak terjadi kesenjangan dan kecurangan yang merugikan sebahagian warga masyarakat selaku anggota MHBM yang harus mendapat tanggapan dan perbaikan dimasa yang akan datang. FGD tahap ketiga merupakan kegiatan Fokus Diskusi Group dengan melibatkan 9 desa diwilayah eks Marga Rambang Niru dalam rangka menyepakati hasil FGD pada tahap pertama dan FGD tahap kedua. Kegiatan FGD tahap IV ini merupakan kelanjutan dari kegiatan FGD sesudahnya antara lain merupakan agenda kegiatan dari Forum Sebahu Sejalan untuk memfasilitasi kegiatan MHBM di kabupaten Muara Enim. 155 Pertemuan tersebut menginventarisasi permasalahan yang terjadi dilapangan yang berdampak pada keterbatasan ruang gerak dari pelaksana staf lapangan PT. MHP dalam pelaksanaan tugasnya. Permasalahan lapangan yang terjadi saat ini disebabkan antara lain : 1. Belum berjalan kepengurusan MHBM ditingkat lapangan secara optimal 2. Masih lemahnya mekanisme kerja dari beberapa kepengurusan MHBM di tingkat lapangan. 3. Aturan-aturan dari pelaksanaan kegiatan MHBM tidak berjalan dengan baik. 4. Kurangnya pengayoman terhadap masyarakat oleh pengurus MHBM sehingga memunculkan rasa ketidak percayaan warga masyarakat terhadap kelembagaan MHBM yang ada. 5. Faktor budaya masyarakat yang belum siap untuk mengikuti perubahan- perubahan. FGD tahap kelima diadakan dengan mempertemukan pihak Masyarakat eks Marga Rambang Niru dan MHBM di 9 desa kecamatan Rambang Dangku dengan pihak perusahan HTI PT. Musi Hutan Persada, bertempat di kantor PT. MHP. Dari hasil pertemuan bersama pada FGD tahap V tersebut membuahkan kesimpulan, antara lain : 1. Perlu dibangun kebersamaan dengan mengedepankan kesejahteraan bersama. 2. Menatap masa depan dengan mengambil hikmah dari kejadian masa lalu. 3. Perlunya MHBM yang solid dengan kepemimpinan dan kepengurusan yang lurus yang mendahulukan kepentingan masyarakat banyak, dengan berpedoman pada AD dan ART yang disepakati. 4. Perlunya sosialisasi AD dan ART sampai tingkat desa dan pihak terkait. 156 5. PT. MHP bersedia mulai memberikan modal kerja untuk MHBM dan perhatian sosial lainnya. 6. MHBM perlu mengabil kesempatan kerja yang selama ini banyak diambil dan menguntungkan kontraktor dan pribadi tertentu. 7. MOU rotasi tahap kedua tetap disepakati apa adanya, sedangkan MOU untuk rotasi tanaman ketiga perlu dinegosiasi ulang. 8. Perlu penguatan-penguatan kelembagaan desa dan kecamatan, sumber daya manusia dan kewirausahaan melaui training, pendampingan dan model. Penguatan kelembagaan perlu menekankan pada penguatan organisasi di tingkat lokal. Proses pembangunan di masa lalu lebih memperhatikan penguatan kelembagaan di lapisan atas. Pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan bersama masyarakat dapat dilakukan melalui: 1 pemberian insentif, 2 penguatan organisasi, 3 akses terhadap informasi, 4 kepemilikan dan akses atas sumber daya terjamin, 5 ada usaha pengendalian atas tingkah laku opportunistik, dan aturan yang ditegakkan dan ditaati. 1. Pemberian Insentif Kelembagaan institusi hanya bisa berkembang dan berfungsi baik jika ada insentif bagi orang dan organisasi yang melaksakanannya, mentaati aturan-aturan mainnya serta mau bergabung dalam kegiatan kolektif. Hak atau kepemilikan atas sumber daya lahan dan tanah, akses kepada sumber daya, kepada informasi, aturan yang kondusif merupakan sebagian dari insentif yang bisa mendorong orang bekerja dalam pengelolaan hutan tanaman dengan kelembagaan yang baik. 157 Analisis kelembagaan harus dapat memahami insentif-insentif yang memotivasi perilaku manusia pada tempat dan waktu tertentu, dan dampak perilaku itu pada sumber daya hutan. Insentif-insentif tersebut mencakup 1 insentif yang berkaitan dengan karakteristik sumber daya, 2 insentif yang berkaitan dengan karakteristik masyarakat, dan 3 insentif yang berkaitan dengan karakteristik aturan-aturan rules. 2. Penguatan organisasi Pengelolaan hutan tanaman dan kawasan konservasi memerlukan keterlibatan masyarakat serta upaya penguatan kemampuan organisasi dan aturan yang melindungi masyarakat. Tata urutan organisasi perusahaan dan masyarakat menjadi faktor kunci dalam pengembangan pengelolaan hutan tanaman dan kawasan konservasi yang didukung oleh pemerintah dan kemauan politiknya. Organisasi di tingkat masyarakat desa dan petani sangat beragam bisa berkaitan dengan adat, pemerintah desa, kelompok tani, kelompok keagamaan, kelompok pemuda atau wanita ibu-ibu. Sebagian besar organisasi ini bersifat informal namun ada aturan mainnya. Sebagian lembaga pembangunan sangat memperhatikan upaya penguatan organisasi lokal ini baik dari segi kemampuan teknis, manajemen dan administrasi organisasi. Ada pula yang membentuk lembaga baru karena ada tujuan khusus yang ingin dicapai. 3. Infrastruktur dan informasi Pengembangan institusi tidak berhasil kalau tidak ada keseimbangan informasi. Ketimpangan akses dan penguasan informasi information asymmetry menjadi salah satu penyebab ketimpangan pembangunan, ketidakadilan 158 kesejahteraan, ketidak-merataan penguasan atas bisnis dan perdagangan dan ekploitasi suatu pihak terhadap pihak lain. Pemerintah mengekploitasi masyarakat atau pengusaha mengekploitasi petani. Di dalam insitusi yang baik tidak ada ekploitasi, tetapi ada pembagian peran yang memadai dan adil tergantung pada keanekaragaman kemampuan, potensi serta fungsi yang sesuai untuk masing- masing pihak. Informasi memerlukan proses transformasi dan transfer yang memadai. Sarana dan prasarana penyebaran informasi sangat vital peranannya dalam mendukung pengembangan institusi yang baik bagi pengembangan wanatani. Petani pedesaan sering tidak memiliki informasi yang cukup dalam bidang teknologi, ragam komoditi, sumber input, informasi harga dan jalur pemasaran komoditi atau pengelolaan hutan tanaman dan konservasi yang mereka hasilkan. Akibatnya masyarakat bisa saja dieksploitasi oleh pihak manajemen perusahaan. Masyarakat desa tidak memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup tentang mekanisme harga dan pasar. 4. Status kepemilikan dan akses atas sumber daya Kepemilikan, penguasaan dan pengendalian atas sumber daya hutan akan menjadi salah satu faktor pendorong bagi petani untuk menerapkan teknologi pengelolaan hutan tanaman dan kawasan konservasi. Pengelolaan hutan bisa dikembangkan dengan baik jika seorang petani atau anggota masyarakat betul-betul merasa aman dengan status kepemilikan atau penguasana lahannya. Misalnya jika lahan tersebut milik umum masyarakat tidak berminat menanam tanaman umur panjang tetapi jika milik pribadi dia bisa 159 berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhannya termasuk menjaga keseimbangan atau memenuhi kaidah-kaidah ekologis di dalam pengelolaan lahannya. 5. Pengendalian atas tingkah laku opportunistik Tingkah laku opportunistik dapat dijabarkan dalam beberapa tindakan dan perilaku manusia atau organisasi yang bertentangan dengan tujuan baik yang diinginkan manusia. Di dalam bahasa politik dikenal istilah KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan persoalan-persoalan ini seharusnya juga mendapat perhatian serius dalam pembanguan pengelolaan hutan dan konservasi. Teori institusi menunjukkan bahwa tindakan atau tingkah laku opportunistik termasuk perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan ke dalam korupsi, penyuapan, free rider dan moral hazard. Di dalam pengelolaan kehutanan sering timbul persoalan motivasi yang disebut rent seeking motivation. Orang atau organisasi yang memiliki sifat ini cenderung ekploitatif lebih mengutamakan keuntungan pribadi atau kelompok semata dan mengabaikan kepentingan umum serta aspek-aspek lingkungan dari pengelolaan hutan. Pengendalian atas tingkah laku oportunistik dapat dilakukan dengan penegakan hukum dalam institusi formal dan aturan lokal dalam institusi lokal. Masyarakat dan institusi adat mempunyai hukum adat dengan sanksi atau hukuman yang cukup memadai atau efektif di masa lampau. Di dalam lingkungan sosial masyarakat sering menggunakan “hukum sosial” yang tidak tertulis tetapi berupa sikap dan tindakan yang bisa menyebabkan orang yang melanggar norma, etika dan hukum akan merasa malu dan dilecehkan. 160 Persoalan yang banyak dihadapi saat ini adalah penegakan hukum formal cenderung tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga masyarakat sering bertindak sendiri dengan menggunakan “hukum rimba”. Mekanisme informal cukup efektif, namun harus berkenaan dengan etika dan norma kehidupan. Di tingkat organisasi lokal, aturan-aturan lokal dan informal dengan sanksi dan penghargaan yang diterima secara kolektif seringkali cukup berhasil mengatasi masalah tingkah laku opportunistik. 161

VIII. GERBANG PENGENDALI KEMEROSOTAN SOSIAL