d = nilai statistik hitung Durbin-Watson
n = jumlah observasi var β = varian dari koefisien lagged endogeneous variable
Apabila h
hitung
lebih kecil daripada nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi. Masalah serial
korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan tidak menimbulkan bias parameter regresi Pindyck dan Rubinfeld, 1983.
3.5 Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Dalam penelitian ini keragaman antara
kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat dilihat dengan menggunakan kriteria RMSPE Root Mean Squares Percent Error dan Theil’s inequality coefficient U-
Theil. RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh variabel endogen hasil estimasi menyimpang dari alur nilai aktualnya dalam ukuran persen. U-Theil
berguna untuk mengetahui kemampuan prediksi model untuk analisis simulasi ramalan. Kriteria tersebut dirumuskan sebagai berikut Pindyck dan Rubinfeld,
1983. ………………………...30
………………...……………...31 dimana:
Y
st
= nilai simulasi dasar Y
at
= nilai pengamatan aktual T
= jumlah periode pengamatan Untuk melihat keeratan arah slope antara yang aktual dengan yang
disimulasi digunakan R
2
koefisien determinasi. Koefisien determinasi diperoleh dengan meregresikan masing-masing persamaan, dengan variabel endogen berupa
nilai aktual, sedangkan variabel eksogen adalah nilai prediksi. Makin kecil U, dan makin besar R
2
koefisien determinasi maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0 maka pendugaan model
sempurna, jika U=1 maka pendugaan model naif.
3.6 Simulasi Model
Studi ini akan melakukan perubahan-perubahan dari penerimaan dan pengeluaran untuk mengetahui dampak penerimaan dan pengeluaran pemerintah
terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Simulasi dilakukan dari sisi penerimaan dan pengeluaran
pemerintah daerah, dan campuran diantara keduanya. Simulasi tersebut antara lain:
1. Peningkatan penerimaan pajak sebesar 10 persen. Pajak merupakan salah satu komponen utama PAD. Semakin besar PAD maka daerah semakin mandiri
sehingga ketergantungan terhadap pemerintah pusat berkurang. Pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak daerah sesuai
dengan potensi yang dimilikinya, hal itu dilakukan untuk meningkatkan PAD agar daerah semakin mandiri.
2. Peningkatan penerimaan retribusi sebesar 10 persen. Retribusi juga merupakan komponen utama PAD, sehingga dengan peningkatan retribusi maka PAD
akan meningkat. 3. Peningkatan bagi hasil SDA sebesar 10 persen. Bagi hasil SDA adalah salah
satu penerimaan daerah melalui mekanisme penerimaan bagi hasil. Peningkatan dana bagi hasil akan meningkatkan penerimaan daerah, sehingga
pemerintah daerah akan mengeksploitasi SDA di daerahnya semaksimal mungkin dalam rangka meningkatkan penerimaan pemerintah daerah.
4. Peningkatan bagi hasil pajak sebesar 10 persen. DBH pajak terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan. DBH pajak dan SDA merupakan komponen dana perimbangan, sehingga semakin besar DBH pajak dan SDA, maka dana
perimbangan semakin besar, dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah.
5. Peningkatan DAU sebesar 10 persen. Hal tersebut dilakukan karena rata-rata kenaikan DAU selama 3 tahun terakhur sekitar 10 persen. DAU merupakan
dana dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Alokasi DAU digunakan untuk menutup gap yang
terjadi apabila kebutuhan daerah melebihi potensi penerimaan daerah.