Latar Belakang Dampak penerimaan dan pengeluaran Pemerintah daerah terhadap kinerja ekonomi dan kemiskinan di Indonesia
Pembiayaan publik ini menyebabkan adanya kebijakan-kebijakan yang menyangkut usaha penghimpunan dana diantaranya melalui pajak dan
pengeluaran yang diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pengeluaran pemerintah pusat digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Negara APBN, sedangkan pengeluaran pemerintah daerah
digambarkan dalam Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Daerah APBD. Tata cara pengelolaan APBN dan APBD diatur dalam Undang-Undang. Undang-
Undang yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yaitu Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut bersama
dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan Undang-Undang yang dikeluarkan dalam rangka otonomi daerah
sebagai pengganti Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 25 Tahun 1999. Adanya Undang-Undang tersebut berimplikasi pada munculnya
hak, wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan penerapan kedua undang-undang tersebut, manajemen pemerintah daerah mengalami pergeseran, yaitu dari sentralistis menjadi sistem desentralistis.
Dampak yang langsung dirasakan adalah semakin besarnya tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam membangun daerahnya sesuai dengan kondisi daerah.
Untuk itu daerah dituntut mampu menggunakan sumber daya manusianya secara optimal agar dapat mengelola anggarannya dalam mencapai kesejahteraan
masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah memuat dua aspek penting, yaitu
pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun tugas pembangunan dan
pengalokasian pengeluaran sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerahnya masing-masing. Pada prinsipnya pengeluaran dalam APBN dan APBD bertujuan
untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi pelayanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran pemerintah ini secara tidak langsung
merupakan investasi pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sumber dari pengeluaran pemerintah adalah penerimaan pemerintah.
Penerimaan daerah berasal dari Penerimaan Asli Daerah PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dana perimbangan merupakan
sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antar Pemerintah Daerah, yang berupa transfer dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Sebagian besar provinsi hanya mampu menghimpun PAD sekitar 20 persen dari total penerimaannya, sehingga tergantung pada transfer dari
pemerintah pusat. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah penentuan prioritas pengeluaran pemerintah berdasarkan penerimaannya tersebut merupakan hal yang
perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam menyusun rencana anggarannya. Masalah pengalokasian pengeluaran publik ini merupakan pilihan yang
cukup sulit, yang mana pemerintah harus menentukan komponen mana saja dari pengeluaran tersebut yang harus dikurangi atau ditambah dalam menciptakan
anggaran yang efektif dan efisien. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen dalam output suatu negara. Peningkatan pengeluaran pemerintah
seharusnya akan diikuti peningkatan output, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi yang positif. Tetapi adakalanya pengeluaran pemerintah tidak optimal
dalam meningkatkan output. Hal itu mungkin disebabkan oleh besarnya jenis pengeluaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga alokasi pengeluaran
tersebut tidak tepat. Oleh karena itu penelitian mengenai komposisi pengeluaran pemerintah yang tepat perlu dilakukan sehingga dapat diketahui jenis pengeluaran
pemerintah yang perlu ditambah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan jenis pengeluaran apa yang dapat dikurangi. Dengan kata lain untuk mengetahui
jenis pengeluaran pemerintah yang memacu pertumbuhan ekonomi dan jenis pengeluaran yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Selain pertumbuhan ekonomi, indikator lain yang menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjalankan fungsinya yaitu penyerapan tenaga
kerja, distribusi pendapatan, dan tingkat kemiskinan. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, maka diharapkan tercipta lapangan pekerjaan sehingga penyerapan
tenaga kerja bertambah dan pengangguran berkurang. Meskipun pertumbuhan ekonomi tahun 2005-2008 cenderung mengalami kenaikan, tetapi pertumbuhan
tenaga kerja justru mengalami penurunan mulai tahun 2007. Pada tahun 2006 pertumbuhan tenaga kerja sebesar 1.07 persen, kemudian mengalami peningkatan
menjadi 4.69 persen pada tahun 2007, tetapi setelah itu berangsur-angsur mengalami penurunan menjadi 2.62 dan 2.25 persen pada tahun 2008 dan 2009.
Jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran sebesar 10.93 juta orang atau 10.28
persen dari angkatan kerja, pada tahun 2007 menurun menjadi 10,01 juta orang atau 9.11 persen dari angkatan kerja, kemudian menurun kembali pada tahun 2008
menjadi 9.39 juta orang atau 8.46 persen. Pada tahun 2009 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia menjadi 8.96 juta orang atau 7.87 persen dari angkatan kerja.
Kesempatan kerja penuh tercapai jika jumlah pengangguran sekitar 5-6 persen. Jika target pertumbuhan ekonomi hanya 5.5 persen, maka target full employment
sulit tercapai. Pertumbuhan ekonomi setidaknya harus mencapai 7.13 persen per tahun agar mampu menyerap tenaga kerja secara optimal. Pertumbuhan sebesar
itu diperlukan selama lima tahun mendatang mulai 2010 jika pemerintah ingin mengejar target kesempatan kerja penuh full employment 5-6 persen pada tahun
2014. Tujuan dasar pembangunan ekonomi tidaklah semata-mata hanya untuk
mengejar pertumbuhan PDB atau PDRB, namun juga untuk menciptakan pemerataan pendapatan antar masyarakat, karena ketidakmerataan distribusi
pendapatan masyarakat juga merupakan permasalahan pembangunan. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi gagal untuk mengurangi bahkan
menghilangkan besarnya kemiskinan absolut maka pertumbuhan PDB per kapita yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Karena
apa yang disebut dengan proses trickle down effect dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin tidak terjadi seperti yang diharapkan. Masalah
distribusi pendapatan mengandung dua aspek. Aspek pertama adalah bagaimana menaikkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih berada di bawah garis
kemiskinan, sedang aspek kedua adalah pemerataan pendapatan secara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar
penduduk atau rumah tangga. Keberhasilan mengatasi aspek yang pertama dapat dilihat dari penurunan persentase penduduk yang masih berada di bawah garis
kemiskinan. Persentase penduduk miskin di Indonesia mamang mengalami penurunan dari 20.37 persen pada tahun 2007 menjadi 15.42 persen pada tahun
2008, dan menurun kembali menjadi 14.15 persen pada tahun 2009. Meskipun terus mengalami penurunan, ada beberapa provinsi yang persentase penduduk
miskinnya meningkat, yaitu Provinsi Gorontalo, Irian Jaya Barat, dan Papua. Untuk aspek yang kedua, keberhasilan memperbaiki distribusi pendapatan secara
menyeluruh adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan miskin lebih besar dari laju pertambahan pendapatan golongan kaya. Provinsi dengan PDRB
perkapita tertinggi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, sedangkan terendah yaitu Nusa Tenggara Timur. Perbedaan PDRB per kapita keduanya sangat jauh, pada tahun
2009 PDRB per kapita DKI Jakarta sebesar Rp 40 juta, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 4.13 persen, sedangkan Nusa Tenggara Timur hanya Rp 2.5
juta, dengan tingkat pertumbuhan 2.31 persen. PDRB per kapita DKI Jakarta berbeda jauh dibandingkan PDRB per kapita Nusa Tenggara Timur, selain itu
PDRB per kapita DKI Jakarta tumbuh lebih cepat dari pada Nusa Tenggara Timur. Dari keadaan tersebut terlihat bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan di
Indonesia. Ukuran agregat yang memperlihatkan kondisi perekonomian tersebut di atas
merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dikeluarkan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah,
sebagaimana dikemukakan oleh Keynes Todaro dan Smith, 2006. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya
secara mandiri sehingga seluruh potensi harus dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan yang efektif dan efisien.