Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberdayaan masyarakat di pedesaan saat ini semakin berkembang dengan pesat dikarenakan perhatian dari pemerintah yang lebih intensif. Perwujudan NAWACITA ketiga yang digagas Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019 yang berisi “Membangun Indonesia dari pinggiran den gan memperkuat daerah dan desa” menjadi hal yang harus ditanggapi dengan positif. Setiap desa telah medapatkan kepercayaan untuk memberdayakan daerahnya sendiri dengan berbagai potensi yang dimiliki. Peran pemerintah adalah memberikan fasilitas, supervisi, dan pendampingan untuk mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif. Pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan Eko, 2002, dalam Cholisin, 2011: 1. Sedangkan Permendagri RI Nomor 7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat Pasal 1 ayat 8 menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemberdayaan Masyarakat dipandang perlu, terutama bagi masyarakat desa sebagai 2 upaya untuk meningkatkan kapasitas agar dapat mengikuti tantangan global. Pemberdayaan masyarakat dewasa ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara mandiri. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pelaku-pelaku tersebut selanjutnya disebut sebagai pendamping desa. Fokus pendamping desa adalah memperkuat proses kaderisasi bagi pemberdaya masyarakat dan komponen-komponen masyarakat lainnya agar mau dan mampu memandirikan desa. Bagan hubungan kerja pendamping desa menurut Ghozali, 2015: 13 dapat dilihat pada Gambar 1. Pelaku Pendampingan Desa Tenaga Pendamping Profesional Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa KPMD Pihak Ketiga 1. Pendamping Desa 2. Pendamping Teknis 3. Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat TAPS 1. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM 2. Perguruan Tinggi PT 3. Organisasi Kemasyarakatan Ormas 4. Perusahaan, dll Gambar 1. Pelaku Pendampingan Desa Dari bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah mempercayakan tugas pemberdayaan masyarakat kepada dua sub pokok yaitu tenaga pendamping profesional dan KPMD, sedangkan pihak ketiga merupakan pihak diluar pemerintahan yang menjalankan program pemberdayaan secara mandiri. Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang saat ini masih menggencarkan pemberdayaan masyarakat. Salah satu program utama yang 3 dilakukan adalah pengentasan kemiskinan. Menurut BPS 2016: 5 jumlah penduduk Kabupaten Bantul tahun 2014 mencapai 971.511 jiwa. Dari jumlah tersebut presentase keluarga pra sejahtera mencapai 12 persen. Keluarga pra- sejahtera dimaknai sebagai keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu pangan, sandang, dan papan. Oleh sebab itu pengorientasian pemberdayaan masyarakat pada sektor pengentasan kemiskinan merupakan hal yang paling tepat. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD Kabupaten Bantul tahun 2011-2015, pengentasan kemiskinan dilaksanakan melalui dua program kegiatan. Program pertama yaitu koordinasi antar pihak pemerintah daerah, masyarakatpelaku dan pihak swasta terkait dengan pembangunan kemiskinan. Program kedua peningkatan kesejahteraan dan produktivitas keluarga miskin melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat Bappeda Kab. Bantul, 2016:101. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat mempengaruhi pembangunan suatu wilayah atau negara. Salah satu tolok ukur pemberdayaan masyarakat adalah melalui pengukuran Indeks Pembangunan Manusia IPM. IPM merupakan indikator yang ditetapkan oleh United Nation Development Program UNDP untuk mengukur pembangunan suatu wilayah. IPM mengukur pencapaian membangunan melalui dimensi angka harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup layak. Saat ini IPM Kabupaten Bantul tahun 2015 berada pada posisi 77.99 persen, meningkat sebanyak 0,88 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya BPS Kab. Bantul, 2015: 63. Posisi ini menunjukkan bahwa IPM Kabupaten 4 Bantul termasuk dalam kategori tinggi dan menempati urutan ketiga di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun IPM Kabupaten Bantul tinggi, akan tetapi Kabupaten Bantul masih memiliki permasalahan pada sektor peluang kerja. Tahun 2015 jumlah penduduk usia produktif Kabupaten. Bantul tercatat sebanyak 77,62 persen. Dari jumlah tersebut, Kab. Bantul memiliki 3 persen penduduk menganggur. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah pengangguran naik sebanyak 0,43 poin dari tahun sebelumnya. Hal ini perlu ditanggapi serius untuk kesejahteraan Kabupaten Bantul di masa yang akan datang. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Bantul telah melakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa KPMD yang selanjutnya dibagi dalam satuan tingkat Desa dengan nama Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Daerah LPMD. LPMD merupakan lembaga khusus dari pemerintah yang secara langsung melibatkan masyarakat dalam proses pemberdayaan, terutama mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan. LPMD tersusun dari sekumpulan kader-kader yang melakukan pendampingan masyarakat sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat secara lokal. Visi LPMD yakni “terwujudnya masyarakat pedesaan yang maju, mandiri, berdaya saing, dan sejahtera.” Sesuai dengan visinya, LPMD diharapkan dapat merepresentasikan warga desa di suatu daerah agar dapat menjalankan program dengan tepat sasaran Ghazali, 2005: 14. Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan LPMD di Kabupaten Bantul meliputi: 1 pengembangan sumber daya dan pemukiman desa, 2 5 ketahanan masyarakat desa, dan 3 usaha ekonomi desa dan pendayagunaan teknologi tepat guna TTG. Program tersebut merupakan program pokok yang tersusun dari sub-sub program strategis. Saat ini, program yang telah berhasil dan berjalan dengan baik adalah Program Nasional Pemberayaan Masyarakat Mandiri PNPM Mandiri. Program ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Hasil dari program ini adalah terbentuknya kelompok-kelompok usaha mandiri, kelompok usaha Usaha Mikro Kecil Menengah UMKM, masyarakat yang tanggap terhadap isu masyarakat, dan masyarakat yang sadar tentang pentingnya pemberdayaan Bappeda Kabupaten. Bantul, 2013: i. Meskipun PNPM tersebut berjalan dengan baik, namun permasalahan kemiskinan dan ketenagakerjaan masih belum terselesaikan. Kemiskinan dan ketenagakerjaan merupakan permasalahan yang mengakar melibatkan berbagai elemen masyarakat. Sedangkan PNPM Mandiri belum mampu meliputi berbagai lapisan. Sebagai contoh program PNPM Mandiri Kabupaten Bantul saat ini masih menyasar pada pemuda dan orang dewasa produktif pengangguran dengan sebagian besar anggota adalah laki-laki. Strategi yang digunakan untuk melakukan pengentasan kemiskinan haruslah dapat tepat sasaran. Menurut Laporan Koordinasi Program-program Pemberdayaan Masyarakat Kab. Bantul Tahun 2013, strategi tersebut meliputi: 1 validasi data kepala keluarga miskin dan penguatan sistem monitoring dan evaluasi penanggulangan kemiskinan, 2 pengurangan beban hidup Kepala Keluarga KK miskin, dan 3 pemberdayaan KK miskin. Karena 6 kompleksnya permasalahan kemiskinan, maka pemerintah Kabupaten Bantul melakukan kegiatan pemberdayaan melalui basis rumah tangga, komunitas, serta melalui usaha mikro dan kecil. Dalam proses pemberdayaan masyarakat, pemerintah dibantu oleh “aktor” pemberdaya masyarakat yang harus memiliki kemampuan yang mencukupi untuk kelancaran pelaksanaannya. Aktor tersebut yaitu Kader Desa. Secara umum, orang yang disebut sebagai Kader Desa meliputi: kepala desa, anggota BPD, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa KPMD, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, pengurusanggota kelompok taninelayanpengrajinkelompok perempuankelompok laki-laki yang memiliki keinginan dan kepedulian untuk membangun desa baik secara langsung maupun tidak langsung Ghozali, 2015: 11. Keberadaan atas Kader Desa telah diakui oleh pemerintah bersamaan dengan dibentuknya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia dan dibentuknya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tetapi, sampai saat ini masih terjadi permasalahan terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kader Desa. Menurut Ghozali 2015: 5 tugas dari Kader Desa adalah melakukan pendampingan desa. Pendampingan desa bukanlah mendampingi proyek yang masuk ke desa, bukan pula mendampingi dan mengawasi penggunaan dan desa. Akan tetapi pendampingan desa adalah memberdayakan desa sebagai self governing community yang maju, kuat, mandiri dan demokratis sesuai dengan pendapat Ghazali 2016: 6 7 Kegiatan pendampingan desa membentang mulai dari pengembangan kapasitas pemerintahan, mengorganisir dan membangun kesadaran kritis warga masyarakat, memperkuat organisasi-organisasi warga, memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasi dan memperkuat musyawarah desa sebagai area demokrasi dan akuntabilitas lokal, merajut jejaring dan kerjasama desa, hingga mengisi ruang-ruang kosong di antara pemerintah dan masyarakat. Intinya pendampingan desa ini adalah dalam rangka menciptakan suatu frekuensi dan kimiawi yang sama antara pendamping dan yang didampingi Ghazali, 2015: 6. Dalam ilmu kesejahteraan sosial, dijelaskan bahwa pelaku pemberdayaan masyarakat digolongkan menjadi dua macam yaitu volunteer dan social worker. Volunteer atau relawan menurut Friedlander dalam Adi, 2013: 11 dianggap sebagai cikal bakal berbagai lapangan pekerjaan sosial. Lingkup pemberdayaan yang dilakukan tidak hanya sebatas dalam lingkup kelompok namun juga dalam lingkup individual dan keluarga. Perannya tidak hanya memberikan bantuan berupa uang, namun juga pemberian pelatihan pekerjaan sosial modern atau keterampilan sebagai fondasi untuk kehidupan yang lebih baik. Sedangkan social worker atau pekerja sosial yaitu penggiat kerelawanan yang telah profesional di bidang pemberdayaan masyarakat. Jika relawan tidak diberikan remunasi imbal jasa secara teratur untuk kegiatannya, pekerja sosial sebagai tenaga profesional mendapatkan remunasi yang teratur, tertata, dan relatif menjanjikan. Kader Desa merupakan pekerja sosial yang tergabung dalam Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Daerah LPMD yang berperan sebagai “orang kunci” pemberdayaan masyarakat. Meskipun Kader Desa dikelola oleh pemerintah melalui lembaga LPMD, namun belum mendapatkan remunisi atau upah kerja yang ajeg sesuai dengan perannya sebagai kader. Selain itu rekruitement Kader Desa tidak 8 disesuaikan dengan keprofesionalitasannya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, melainkan melalui musyawarah desa atau inisiatif dari pemerintah itu sendiri Ghozali, 2015: 32. Oleh sebab itu, saat ini Kader Desa diklasifikasikan sebagai relawan, selanjutnya dikemukakan lebih terperinci oleh Sulistyani 2004: 113 bahwa salah satu pelaku pemberdayaan masyarakat yakni Agen pembaharu agent of change yakni stakeholder yang melakukan pemberdayaan masyarakat seperti LSM, ormas, organisasi profesi, organisasi kepemudaan, organisasi wanita, organisasi lokal perpanjangan tangan pemerintah seperti PKK, LMD, dan sebagainya. Dalam pengembangan kapasitas Kader Desa, diperlukan modal atau capital yang memadai. Secara umum, capital yaitu sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Capital itu sendiri terdiri dari berbagai macam, dalam kaitannya dengan Kader Desa, capital yang sering digunakan adalah human capital sumber daya manusia, social capital modal sosial, dan cultural capital modal kultural. Sumber daya manusia yaitu modal yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dalam diri individu. Wujud sumber daya yakni pengembangan pengetahuan, pengembangan keterampilan, pengelolaan program, pengelolaan keuangan, administrasi, sistem informasi, dan sebagainya. Sedangkan modal kultural atau cultural capital adalah modal manusia yang termanifestasi dalam budaya sehingga membentuk hasil karya manusia baik berupa idegagasan, kompeleks aktifitas, maupun dalam bentuk fisik. Sebagai contoh yaitu tari-tarian, puisi, artefak, dan lain sebagainya. 9 Sebagai salah satu elemen yang dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat, modal sosial merujuk pada nilai, norma, dan jaringan yang dipercaya dan dijalankan sebagian besar anggota kelompok atau masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya baik secara sengaja maupun tidak. Modal sosial menurut Putnam 2002: 167 yaitu institusi sosial yang didalamnya melibatkan kepercayaan sosial trust, norma- norma norms, dan jaringan network untuk kepentingan masyarakat bersama. Modal sosial membantu Kader Desa agar berperan aktif, kritis, peduli terhadap lingkungan, berdaulat, dan bermartabat. Menurut Marwani 2002 dalam Theresia, dkk. 2014: 49 menyebutkan bahwa modal sosial memiliki fungsi untuk 1 memberikan kemudahan dalam mengakses informasi, 2 menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas, 3 mengembangkan solidaritas, 4 memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas, 5 memungkinkan pencapaian bersama, dan 6 membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Meskipun kontribusi modal sosial tidak dapat diukur secara kuantitas, namun peranannya sangat penting untuk keberhasilan suatu kelompok. Coleman 2009: 95 mendefinisikan modal sosial sebagai sumber penting bagi para individu dan sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk bertindak meningkatkan kualitas hidupnya. Lebih lanjut Coleman menggambarkan bahwa modal sosial dapat memudahkan pencapaian tujuan yang sulit dicapai. Modal sosial terbentuk ketika relasi antara manusia mengalami perubahan positif yang membuat seseorang mudah melakukan tindakan. Seperti halnya sumber daya manusia, modal sosial juga tidak memiliki wujud yang real, namun dapat dirasakan 10 melalui keterampilan dan pengetahuan dalam memudahkan kegiatan dan membentuk jejaring atau relasi antar manusia. Keberhasilan pemberdayaan desa yang mendayagunakan modal sosial dapat dilihat pada penelitian-penelitian sebelumnya. Pratikno, 2001:vi yang menyatakan bahwa untuk memecahkan permasalahan Indonesia yang memiliki masyarakat majemuk dan variasi etnis yang sangat tinggi, diperlukan bekal modal sosial yang tinggi pula. Modal sosial tersebut termanifestasi dalam bentuk inovasi institusi, mekanisme, dan nilai untuk integrasi sosial secara terus menerus agar modal sosial senantiasa terasah dan kuat. Dengan pemanfaatan modal sosial, mampu memberikan dampak yang lebih besar terhadap keberhasilan program. Lebih lanjut, Bahrudin 2013 juga mengungkapkan bahwa dengan menggunakan modal sosial, pengusaha Pengrajin Bambu yang merupakan subyek dalam penelitiannya mampu meningkatkan dan menumbuhkembangkan usahanya dengan signifikan, terutama dalam penggunaan jaringan dan kepercayaan. Hasil penelitian Pratikno dan Bahrudin dikuatkan dengan ungkapan Tohani, 2014:1 yang meneliti tentang pemanfaatan modal sosial dalam program pendidikan desa vokasi di Gemawang, Kabupaten Semarang. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa keberhasilan program ditentukan oleh seberapa besar modal sosial yang dimanfaatkan penyelenggaranya. Oleh sebab itu, penelitian terhadap desa yang berprestasi perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar modal sosial yang dimiliki. 11 Desa Bangunjiwo merupakan salah satu Desa di Kabupaten Bantul yang memiliki berbagai prestasi dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Beberapa prestasi yang telah diraih yakni Juara I Lomba Desa se- Kabupaten Bantul dan menjadi daerah percontohan Posyandu Balita se-Provinsi DIY. Lomba Desa se- Kabupaten Bantul merupakan lomba yang dilaksanakan oleh KPMD yang merupakan media evaluasi kinerja Pemberdaya Masyarakat, baik pemerintah desa maupun masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan daerah yang menjadi percontohan Posyandu Balita merupakan daerah yang berhasil mengelola program posyandu dengan baik di bidang administrasi, pelayanan, maupun aspek lainnya yang menjadi pedoman posyandu di daerah lain. Keberhasilan Desa Bangunjiwo melaksanakan program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor. Namun, saat ini belum dilakukan penelitian terkait dengan hal tersebut. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Modal Sosial Kader Desa dalam Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ”.

B. Identifikasi Masalah

Dokumen yang terkait

Penilaian Masyarakat Desa Terhadap Pemerintahan Desa Dalam Era Otonomi Daerah (Studi kasus : Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta )

2 50 64

Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (Kwk-Gbkp) Pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo

2 51 132

Studi tentang pembinaan kader pembangunan Desa dalam menunjang keberhasilan pembangunan Desa di Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang

0 10 55

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL

6 91 245

PENGEMBANGAN DESA WISATA SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA BRAYUT, KECAMATAN SLEMAN, KABUPATEN SLEMAN, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

4 22 156

PERAN PEMUDA DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA DI DESA KEBONAGUNG, KECAMATAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

17 72 197

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI SENTRA PERTANIAN DI RUMAH PINTAR “PIJOENGAN” DESA SRIMARTANI, KECAMATAN PIYUNGAN, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA.

0 1 184

MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN DI DESA WISATA TEMBI KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

1 6 177

Potensi Produksi Arang dari Hutan Rakyat Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta | Purwanto | Jurnal Ilmu Kehutanan 1856 5888 1 PB

0 0 9

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MENAYU LOR, MRISI DAN BETON, TIRTONIRMOLO, KASIHAN, BANTUL DALAM PROGRAM PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN DESA

0 1 6