MODAL SOSIAL KADER DESA DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

(1)

MODAL SOSIAL KADER DESA DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN

KABUPATEN BANTUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HALAMAN JUDUL TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh Iin Sawitri NIM 13102241037

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Hai manusia, sungguh Kami ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling


(6)

PERSEMBAHAN

Atas karunia Allah SWT,

Karya ilmiah ini wujud pengabdian yang tulus dan penuh kasih untuk Ayahanda Sajan/Harjo Purwanto dan Ibunda Mulyanti yang sangat ku sayangi, ku

hormati, dan kubanggakan. Beliau selalu mencurahkan kasih sayang, memanjatkan doa dan harapan mulia dengan tulus ikhlas untuk anak-anaknya.


(7)

MODAL SOSIAL KADER DESA DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN

KABUPATEN BANTUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh Iin Sawitri NIM 13102241037

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan: (1) proses pemberdayaan masyarakat, (2) pendayagunaan modal sosial oleh Kader Desa dalam program pemberdayaan masyarakat, dan (3) manfaat pendayagunaan modal sosial oleh Kader Desa dalam program pemberdayaan masyarakat.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis studi kasus. Setting

penelitian yakni aktivitas Kader Desa Desa Bangunjiwo. Informan dalam penelitian ini adalah Kader Desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat sasaran. Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian yang dibantu dengan pedoman observasi, wawancara, dokumentasi, dan penggunaan Software Ucinet 6.0 untuk analisis jaringan. Teknik analisis data yang digunakan yakni pengumpulan data, reduksi, display data, dan penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji konfirmability yaitu perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dan triangulasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) program utama pemberdayaan masyarakat yang berjalan di Desa Bangunjiwo yakni Peran Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di Desa Bangunjiwo terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Proses pelaksanaan program Posyandu telah berjalan dengan optimal, sampai pada tahapan peningkatan kesejahteraan kelompok. (2)modal sosial yang didayagunakan oleh Kader Desa yakni jaringan, kepercayaan, resiprositas, serta nilai dan norma. Keempat modal sosial tersebut berjalan dengan optimal karena adanya dukungan baik dari pemerintah desa, kelompok Kader Desa, maupun masyarakat sasaran. (3) modal sosial yang terbentuk dalam program pemberdayaan masyarakat memiliki manfaat terhadap modal manusia dan efektivitas dan efisiensi program, namun penggunaan modal sosial untuk meningkatkan sarana dan prasarana baru dilakukan dalam program Posyandu. Berdasarkan temuan yang telah disebutkan, maka perlu dilakukan pengembangan kualitas Kader Desa berbasis modal sosial yang terencana dan terintegrasi untuk menciptakan Kader Desa yang mampu melaksanakan program pemberdayaan dengan baik dan berkelanjutan.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Modal Sosial Kader Desa dalam Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. sebagai Rektor Universitas Negeri Yogyakarta dan seluruh staff dan jajarannya atas kebijakan, fasilitas, serta bantuan teknis sehingga Tugas Akhir Skripsi ini dapat selesai.

2. Dr. Haryanto, M.Pd sebagai Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan beserta staff dan jajarannya yang memberikan persetujuan dan pelayanan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi

3. Dr. E. Kus Eddy Sartono, M.Si sebagai Penguji Utama, Dr. Entoh Tohani, M.Pd selaku Ketua Penguji, dan Nur Djazifah ER, M.Si selaku Sekretaris Penguji yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif terhadap Tugas Akhir Skripsi ini.

4. Lutfi Wibawa, M.Pd sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Hiryanto, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Akademik, dan seluruh dosen dan staff PLS FIP UNY yang telah memberikan pelayanan dan ilmu yang tiada terkira selama penulis melaksanakan perkuliahan.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Fokus Masalah ... 12

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Manfaat Penelitian ... 13

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 15

A. Kajian Pustaka ... 15

1. Pendayagunaan Modal Sosial ... 15

a. Pengertian Pendayagunaan Modal Sosial ... 15

b. Pengertian Modal Sosial ... 15

c. Dimensi Modal Sosial ... 17

c. Tipologi Modal Sosial ... 20


(11)

2. Kader Desa ... 22

a. Pengertian Kader Desa ... 22

b. Kader Desa sebagai Pelaku Pemberdayaan Masyarakat ... 23

c. Fungsi Kader Desa ... 31

3. Pemberdayaan Masyarakat ... 33

a. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat ... 33

b. Elemen Pemberdayaan Masyarakat ... 35

c. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat ... 37

d. Tahap Pemberdayaan Masyarakat ... 37

e. Strategi Pemberdayaan ... 40

f. Indikator Pemberdayaan ... 41

B. Kajian Penelitian yang Relevan ... 42

C. Kerangka Berpikir ... 45

D. Pertanyaan Penelitian ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 49

A. Pendekatan Penelitian ... 49

B. Setting Penelitian ... 51

C. Sumber Data ... 51

a) Subjek Penelitian ... 51

b) Obyek Penelitian ... 53

D. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data ... 53

1. Observasi ... 53

2. Wawancara ... 54

3. Dokumentasi ... 56

E. Keabsahan Data ... 57

F. Analisis Data ... 58

1. Pengumpulan Data ... 58

2. Reduksi Data ... 59


(12)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Hasil Penelitian ... 61

1. Deskripsi Desa Bangunjiwo ... 61

2. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat ... 66

a. Program Peran Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) ... 70

b. Program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) ... 78

c. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ... 85

d. Program Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) ... 89

3. Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat ... 92

a. Program Peran Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD) ... 93

b. Program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) ... 105

c. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ... 119

d. Program Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) . 127 4. Manfaat Modal Sosial ... 138

a. Program Peran Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD) ... 139

b. Program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) ... 141

c. Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ... 144

d. Program Tim Koordinasi Pemberantasan Kemiskinan (TKPK) .... 145

B. Pembahasan ... 146

1. Proses Pemberdayaan Masyarakat di Desa Bangunjiwo ... 147

2. Pendayagunaan Modal Sosial ... 149

a. Jaringan ... 149

b. Kepercayaan ... 151

c. Resiprositas ... 152

d. Nilai dan Norma ... 153

3. Manfaat Pendayagunaan Modal Sosial ... 158

C. Keterbatasan Penelitian ... 160

BAB V PENUTUP ... 161


(13)

B. Implikasi ... 162

C. Saran ... 163

DAFTAR PUSTAKA ... 164


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengertian Modal Sosial Menurut Ahli ... 16

Tabel 2. Dimensi Modal Sosial ... 18

Tabel 3. Tabel Tugas Kader Desa ... 30

Tabel 4. Daftar Informan Kunci ... 53

Tabel 5. Kualitas Angkatan Kerja Desa Bangunjiwo ... 65

Tabel 6. Program Kebudayaan Desa Bangujiwo ... 67

Tabel 7. Proses Pemberdayaan Masyarakat ... 153

Tabel 8. Jaringan Program Pemberdayaan Masyarakat ... 156

Tabel 9. Wujud Kepercayaan kepada Kader Desa ... 157

Tabel 10. Wujud Resiprositas Kader Desa ... 158

Tabel 11. Wujud Nilai dan Norma dalam Pemberdayaan Masyarakat ... 159

Tabel 12. Wujud Modal Sosial dalam Proses Pemberdayaan Masyarakat .... 160


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pelaku Pendampingan Desa ... 2

Gambar 2. Level Modal Sosial ... 18

Gambar 3. Peran Pekerja Masyarakat ... 31

Gambar 4. Tahap-tahap Pembangunan Berbasis Masyarakat ... 39

Gambar 5. Kerangka Berfikir ... 47

Gambar 6. Teknik Analisis Data ... 59

Gambar 7. Peta Wilayah Desa Bangunjiwo ... 63

Gambar 8. Struktur Organisasi Desa Bangunjiwo ... 64

Gambar 9. Skema Proses Pemberdayaan Masyarakat ... 68

Gambar 10. Musyawarah Desa Membahas RPJM Des ... 69

Gambar 11. Struktur Organisasi Pemberdayaan Masyarakat ... 73

Gambar 12. Suasana Kegiatan Posyandu ... 80

Gambar 13. Aktivitas Pemeriksaan Jentik-Jentik ... 90

Gambar 14. Jaringan Program PPKBD ... 96

Gambar 15. Jaringan Program Posyandu ... 109

Gambar 16. Jaringan Program PSN ... 124


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Teknik Pengumpulan Data ... 171

Lampiran 2. Instrumen Penelitian ... 175

Lampiran 3. Pedoman Wawancara ... 180

Lampiran 4. Catatan Lapangan ... 186

Lampiran 5. Catatan Wawancara ... 202

Lampiran 6. Analisis Hasil Wawancara ... 231

Lampiran 7. Dokumentasi ... 246


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemberdayaan masyarakat di pedesaan saat ini semakin berkembang dengan pesat dikarenakan perhatian dari pemerintah yang lebih intensif. Perwujudan NAWACITA ketiga yang digagas Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia Periode 2014-2019 yang berisi “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa” menjadi hal yang harus ditanggapi dengan positif. Setiap desa telah medapatkan kepercayaan untuk memberdayakan daerahnya sendiri dengan berbagai potensi yang dimiliki. Peran pemerintah adalah memberikan fasilitas, supervisi, dan pendampingan untuk mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif.

Pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Eko, 2002, dalam Cholisin, 2011: 1). Sedangkan Permendagri RI Nomor 7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat Pasal 1 ayat 8 menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemberdayaan Masyarakat dipandang perlu, terutama bagi masyarakat desa sebagai


(18)

upaya untuk meningkatkan kapasitas agar dapat mengikuti tantangan global. Pemberdayaan masyarakat dewasa ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara mandiri. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pelaku-pelaku tersebut selanjutnya disebut sebagai pendamping desa. Fokus pendamping desa adalah memperkuat proses kaderisasi bagi pemberdaya masyarakat dan komponen-komponen masyarakat lainnya agar mau dan mampu memandirikan desa. Bagan hubungan kerja pendamping desa menurut Ghozali, (2015: 13) dapat dilihat pada Gambar 1.

Pelaku Pendampingan Desa Tenaga Pendamping Profesional Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Pihak Ketiga

1. Pendamping Desa 2. Pendamping Teknis 3. Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPS)

1. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 2. Perguruan Tinggi (PT) 3. Organisasi

Kemasyarakatan (Ormas) 4. Perusahaan, dll

Gambar 1. Pelaku Pendampingan Desa

Dari bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah mempercayakan tugas pemberdayaan masyarakat kepada dua sub pokok yaitu tenaga pendamping profesional dan KPMD, sedangkan pihak ketiga merupakan pihak diluar pemerintahan yang menjalankan program pemberdayaan secara mandiri.

Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang saat ini masih menggencarkan pemberdayaan masyarakat. Salah satu program utama yang


(19)

dilakukan adalah pengentasan kemiskinan. Menurut BPS (2016: 5) jumlah penduduk Kabupaten Bantul tahun 2014 mencapai 971.511 jiwa. Dari jumlah tersebut presentase keluarga pra sejahtera mencapai 12 persen. Keluarga pra-sejahtera dimaknai sebagai keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu pangan, sandang, dan papan. Oleh sebab itu pengorientasian pemberdayaan masyarakat pada sektor pengentasan kemiskinan merupakan hal yang paling tepat. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bantul tahun 2011-2015, pengentasan kemiskinan dilaksanakan melalui dua program kegiatan. Program pertama yaitu koordinasi antar pihak pemerintah daerah, masyarakat/pelaku dan pihak swasta terkait dengan pembangunan kemiskinan. Program kedua peningkatan kesejahteraan dan produktivitas keluarga miskin melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat (Bappeda Kab. Bantul, 2016:101).

Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat mempengaruhi pembangunan suatu wilayah atau negara. Salah satu tolok ukur pemberdayaan masyarakat adalah melalui pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indikator yang ditetapkan oleh United Nation Development Program (UNDP) untuk mengukur pembangunan suatu wilayah. IPM mengukur pencapaian membangunan melalui dimensi angka harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup layak. Saat ini IPM Kabupaten Bantul tahun 2015 berada pada posisi 77.99 persen, meningkat sebanyak 0,88 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya (BPS Kab. Bantul, 2015: 63). Posisi ini menunjukkan bahwa IPM Kabupaten


(20)

Bantul termasuk dalam kategori tinggi dan menempati urutan ketiga di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Meskipun IPM Kabupaten Bantul tinggi, akan tetapi Kabupaten Bantul masih memiliki permasalahan pada sektor peluang kerja. Tahun 2015 jumlah penduduk usia produktif Kabupaten. Bantul tercatat sebanyak 77,62 persen. Dari jumlah tersebut, Kab. Bantul memiliki 3 persen penduduk menganggur. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah pengangguran naik sebanyak 0,43 poin dari tahun sebelumnya. Hal ini perlu ditanggapi serius untuk kesejahteraan Kabupaten Bantul di masa yang akan datang.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Bantul telah melakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat melalui Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) yang selanjutnya dibagi dalam satuan tingkat Desa dengan nama Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Daerah (LPMD). LPMD merupakan lembaga khusus dari pemerintah yang secara langsung melibatkan masyarakat dalam proses pemberdayaan, terutama mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan. LPMD tersusun dari sekumpulan kader-kader yang melakukan pendampingan masyarakat sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat secara lokal. Visi LPMD yakni “terwujudnya masyarakat pedesaan yang maju, mandiri, berdaya saing, dan sejahtera.” Sesuai dengan visinya, LPMD diharapkan dapat merepresentasikan warga desa di suatu daerah agar dapat menjalankan program dengan tepat sasaran (Ghazali, 2005: 14).

Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan LPMD di Kabupaten Bantul meliputi: (1) pengembangan sumber daya dan pemukiman desa, (2)


(21)

ketahanan masyarakat desa, dan (3) usaha ekonomi desa dan pendayagunaan teknologi tepat guna (TTG). Program tersebut merupakan program pokok yang tersusun dari sub-sub program strategis. Saat ini, program yang telah berhasil dan berjalan dengan baik adalah Program Nasional Pemberayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Program ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Hasil dari program ini adalah terbentuknya kelompok-kelompok usaha mandiri, kelompok usaha Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), masyarakat yang tanggap terhadap isu masyarakat, dan masyarakat yang sadar tentang pentingnya pemberdayaan (Bappeda Kabupaten. Bantul, 2013: i).

Meskipun PNPM tersebut berjalan dengan baik, namun permasalahan kemiskinan dan ketenagakerjaan masih belum terselesaikan. Kemiskinan dan ketenagakerjaan merupakan permasalahan yang mengakar melibatkan berbagai elemen masyarakat. Sedangkan PNPM Mandiri belum mampu meliputi berbagai lapisan. Sebagai contoh program PNPM Mandiri Kabupaten Bantul saat ini masih menyasar pada pemuda dan orang dewasa produktif pengangguran dengan sebagian besar anggota adalah laki-laki. Strategi yang digunakan untuk melakukan pengentasan kemiskinan haruslah dapat tepat sasaran. Menurut Laporan Koordinasi Program-program Pemberdayaan Masyarakat Kab. Bantul Tahun 2013, strategi tersebut meliputi: (1) validasi data kepala keluarga miskin dan penguatan sistem monitoring dan evaluasi penanggulangan kemiskinan, (2) pengurangan beban hidup Kepala Keluarga (KK) miskin, dan (3) pemberdayaan KK miskin. Karena


(22)

kompleksnya permasalahan kemiskinan, maka pemerintah Kabupaten Bantul melakukan kegiatan pemberdayaan melalui basis rumah tangga, komunitas, serta melalui usaha mikro dan kecil.

Dalam proses pemberdayaan masyarakat, pemerintah dibantu oleh “aktor” pemberdaya masyarakat yang harus memiliki kemampuan yang mencukupi untuk kelancaran pelaksanaannya. Aktor tersebut yaitu Kader Desa. Secara umum, orang yang disebut sebagai Kader Desa meliputi: kepala desa, anggota BPD, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, pengurus/anggota kelompok tani/nelayan/pengrajin/kelompok perempuan/kelompok laki-laki yang memiliki keinginan dan kepedulian untuk membangun desa baik secara langsung maupun tidak langsung (Ghozali, 2015: 11). Keberadaan atas Kader Desa telah diakui oleh pemerintah bersamaan dengan dibentuknya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia dan dibentuknya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tetapi, sampai saat ini masih terjadi permasalahan terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kader Desa.

Menurut Ghozali (2015: 5) tugas dari Kader Desa adalah melakukan pendampingan desa. Pendampingan desa bukanlah mendampingi proyek yang masuk ke desa, bukan pula mendampingi dan mengawasi penggunaan dan desa. Akan tetapi pendampingan desa adalah memberdayakan desa sebagai self governing community yang maju, kuat, mandiri dan demokratis sesuai dengan pendapat Ghazali (2016: 6)


(23)

Kegiatan pendampingan desa membentang mulai dari pengembangan kapasitas pemerintahan, mengorganisir dan membangun kesadaran kritis warga masyarakat, memperkuat organisasi-organisasi warga, memfasilitasi pembangunan partisipatif, memfasilitasi dan memperkuat musyawarah desa sebagai area demokrasi dan akuntabilitas lokal, merajut jejaring dan kerjasama desa, hingga mengisi ruang-ruang kosong di antara pemerintah dan masyarakat. Intinya pendampingan desa ini adalah dalam rangka menciptakan suatu frekuensi dan kimiawi yang sama antara pendamping dan yang didampingi (Ghazali, 2015: 6).

Dalam ilmu kesejahteraan sosial, dijelaskan bahwa pelaku pemberdayaan masyarakat digolongkan menjadi dua macam yaitu volunteer dan social worker. Volunteer atau relawan menurut Friedlander (dalam Adi, 2013: 11) dianggap sebagai cikal bakal berbagai lapangan pekerjaan sosial. Lingkup pemberdayaan yang dilakukan tidak hanya sebatas dalam lingkup kelompok namun juga dalam lingkup individual dan keluarga. Perannya tidak hanya memberikan bantuan berupa uang, namun juga pemberian pelatihan pekerjaan sosial modern atau keterampilan sebagai fondasi untuk kehidupan yang lebih baik. Sedangkan social worker atau pekerja sosial yaitu penggiat kerelawanan yang telah profesional di bidang pemberdayaan masyarakat. Jika relawan tidak diberikan remunasi (imbal jasa) secara teratur untuk kegiatannya, pekerja sosial sebagai tenaga profesional mendapatkan remunasi yang teratur, tertata, dan relatif menjanjikan.

Kader Desa merupakan pekerja sosial yang tergabung dalam Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Daerah (LPMD) yang berperan sebagai “orang kunci” pemberdayaan masyarakat. Meskipun Kader Desa dikelola oleh pemerintah melalui lembaga LPMD, namun belum mendapatkan remunisi atau upah kerja yang ajeg sesuai dengan perannya sebagai kader. Selain itu rekruitement Kader Desa tidak


(24)

disesuaikan dengan keprofesionalitasannya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, melainkan melalui musyawarah desa atau inisiatif dari pemerintah itu sendiri (Ghozali, 2015: 32). Oleh sebab itu, saat ini Kader Desa diklasifikasikan sebagai relawan, selanjutnya dikemukakan lebih terperinci oleh Sulistyani (2004: 113) bahwa salah satu pelaku pemberdayaan masyarakat yakni Agen pembaharu (agent of change) yakni stakeholder yang melakukan pemberdayaan masyarakat seperti LSM, ormas, organisasi profesi, organisasi kepemudaan, organisasi wanita, organisasi lokal perpanjangan tangan pemerintah seperti PKK, LMD, dan sebagainya.

Dalam pengembangan kapasitas Kader Desa, diperlukan modal atau capital

yang memadai. Secara umum, capital yaitu sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Capital itu sendiri terdiri dari berbagai macam, dalam kaitannya dengan Kader Desa, capital yang sering digunakan adalah human capital (sumber daya manusia), social capital (modal sosial), dan cultural capital

(modal kultural). Sumber daya manusia yaitu modal yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dalam diri individu. Wujud sumber daya yakni pengembangan pengetahuan, pengembangan keterampilan, pengelolaan program, pengelolaan keuangan, administrasi, sistem informasi, dan sebagainya. Sedangkan modal kultural atau cultural capital adalah modal manusia yang termanifestasi dalam budaya sehingga membentuk hasil karya manusia baik berupa ide/gagasan, kompeleks aktifitas, maupun dalam bentuk fisik. Sebagai contoh yaitu tari-tarian, puisi, artefak, dan lain sebagainya.


(25)

Sebagai salah satu elemen yang dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat, modal sosial merujuk pada nilai, norma, dan jaringan yang dipercaya dan dijalankan sebagian besar anggota kelompok atau masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya baik secara sengaja maupun tidak. Modal sosial menurut Putnam (2002: 167) yaitu institusi sosial yang didalamnya melibatkan kepercayaan sosial (trust), norma-norma (norms), dan jaringan (network) untuk kepentingan masyarakat bersama. Modal sosial membantu Kader Desa agar berperan aktif, kritis, peduli terhadap lingkungan, berdaulat, dan bermartabat.

Menurut Marwani (2002) dalam (Theresia, dkk. 2014: 49) menyebutkan bahwa modal sosial memiliki fungsi untuk (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi, (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas, (3) mengembangkan solidaritas, (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas, (5) memungkinkan pencapaian bersama, dan (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Meskipun kontribusi modal sosial tidak dapat diukur secara kuantitas, namun peranannya sangat penting untuk keberhasilan suatu kelompok. Coleman (2009: 95) mendefinisikan modal sosial sebagai sumber penting bagi para individu dan sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk bertindak meningkatkan kualitas hidupnya. Lebih lanjut Coleman menggambarkan bahwa modal sosial dapat memudahkan pencapaian tujuan yang sulit dicapai. Modal sosial terbentuk ketika relasi antara manusia mengalami perubahan positif yang membuat seseorang mudah melakukan tindakan. Seperti halnya sumber daya manusia, modal sosial juga tidak memiliki wujud yang real, namun dapat dirasakan


(26)

melalui keterampilan dan pengetahuan dalam memudahkan kegiatan dan membentuk jejaring atau relasi antar manusia.

Keberhasilan pemberdayaan desa yang mendayagunakan modal sosial dapat dilihat pada penelitian-penelitian sebelumnya. Pratikno, (2001:vi) yang menyatakan bahwa untuk memecahkan permasalahan Indonesia yang memiliki masyarakat majemuk dan variasi etnis yang sangat tinggi, diperlukan bekal modal sosial yang tinggi pula. Modal sosial tersebut termanifestasi dalam bentuk inovasi institusi, mekanisme, dan nilai untuk integrasi sosial secara terus menerus agar modal sosial senantiasa terasah dan kuat. Dengan pemanfaatan modal sosial, mampu memberikan dampak yang lebih besar terhadap keberhasilan program. Lebih lanjut, Bahrudin (2013) juga mengungkapkan bahwa dengan menggunakan modal sosial, pengusaha Pengrajin Bambu yang merupakan subyek dalam penelitiannya mampu meningkatkan dan menumbuhkembangkan usahanya dengan signifikan, terutama dalam penggunaan jaringan dan kepercayaan.

Hasil penelitian Pratikno dan Bahrudin dikuatkan dengan ungkapan Tohani, (2014:1) yang meneliti tentang pemanfaatan modal sosial dalam program pendidikan desa vokasi di Gemawang, Kabupaten Semarang. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa keberhasilan program ditentukan oleh seberapa besar modal sosial yang dimanfaatkan penyelenggaranya. Oleh sebab itu, penelitian terhadap desa yang berprestasi perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar modal sosial yang dimiliki.


(27)

Desa Bangunjiwo merupakan salah satu Desa di Kabupaten Bantul yang memiliki berbagai prestasi dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Beberapa prestasi yang telah diraih yakni Juara I Lomba Desa se- Kabupaten Bantul dan menjadi daerah percontohan Posyandu Balita Provinsi DIY. Lomba Desa se-Kabupaten Bantul merupakan lomba yang dilaksanakan oleh KPMD yang merupakan media evaluasi kinerja Pemberdaya Masyarakat, baik pemerintah desa maupun masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan daerah yang menjadi percontohan Posyandu Balita merupakan daerah yang berhasil mengelola program posyandu dengan baik di bidang administrasi, pelayanan, maupun aspek lainnya yang menjadi pedoman posyandu di daerah lain. Keberhasilan Desa Bangunjiwo melaksanakan program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor. Namun, saat ini belum dilakukan penelitian terkait dengan hal tersebut. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Modal Sosial Kader Desa dalam Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, dapat diidentifikasikan permasalahan yang terkait dengan beberapa masalah yang akan digali pemecahannya melalui penelitian. Adapun permasalahan yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Kabupaten Bantul saat ini masih memiliki permasalahan terkait tingginya angka kemiskinan yaitu mencapai angka 12 persen.


(28)

2. Meskipun IPM Kabupaten tinggi yaitu 77,99 persen, namun Kabupaten Bantul masih memiliki 3 persen penduduk menganggur atau naik sebanyak 0,43 persen dari tahun sebelumnya.

3. Program pemberdayaan masyarakat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) telah berhasil, namun cakupannya masih sempit dan belum mampu menjaring masyarakat dari berbagai golongan. 4. Kader Desa sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat belum melaksanakan

tugas pokok dan fungsinya dengan baik

5. Pelatihan dan pemberian keterampilan kepada Kader Desa saat ini masih terbatas pada pelatihan Human Capital

6. Banyak Kader Desa yang belum memanfaatkan Modal Sosial dengan baik dalam melaksanakan tugasnya.

7. Desa bangunjiwo memiliki potensi yang tinggi mengenai program pemberdayaan masyarakat, akan tetapi belum dilakukan penelitian terkait modal sosial.

C. Fokus Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang didapatkan, agar penelitian ini dapat dilakukan secara terarah maka peneliti memfokuskan permasalahan pada lingkup modal sosial Kader Desa di wilayah Desa Bangunjiwo, Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan yaitu : 1. Bagaimana proses pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo ?

2. Bagaimana pendayagunaan modal sosial oleh Kader Desa dalam program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo?


(29)

3. Apa manfaat pendayagunaan modal sosial oleh Kader Desa dalam program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk:

1. Mendeskripsikan proses pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo 2. Mendeskripsikan pendayagunaan modal sosial oleh Kader Desa dalam program

Pemberdayaan Masyarakat di Desa Bangunjiwo

3. Mengetahui manfaat pendayagunaan modal sosial dalam program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo.

F. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu mendukung teori terkait pentingnya kepemilikan modal sosial bagi aktor yang melakukan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, dengan pembahasan mengenai Kader Desa diharapkan mampu memberikan gambaran yang riil terkait peran Kader Desa sebagai aktor pemberdaya yang memiliki peran dalam Pendidikan Luar Sekolah.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat praktis yaitu,


(30)

merupakan faktor penting terselenggaranya kehidupan bermasyarakat serta terealisasikannya program pemerintah.

b. Bagi peneliti, penelitian ini untuk menambah wawasan tentang Kader Desa yang dapat dijadikan informasi penting dalam penggalian informasi kemasyarakatan. Terutama dalam hal penggalian metodologi penelitian dalam bidang pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat.

c. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi rujukan dan referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai pemberdayaan masyarakat dan pekerja sosial (lebih spesifik sebagai Kader Desa).


(31)

BAB II

LANDASAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka

1. Pendayagunaan Modal Sosial

a. Pengertian Pendayagunaan Modal Sosial

Pendayagunaan berasal dari kata “daya guna” yang berarti manfaat. Adapun pengertian pendayagunaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 326) adalah 1) Kemampuan mendatangkan hasil atau manfaat; dan 2) kemampuan menjalankan tugas dengan baik. Sedangkan pendayagunaan adalah pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil atau menjalankan tugas dengan baik. Dapat diartikan bahwa pendayagunaan modal sosial adalah segala upaya dan cara yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk memanfaatkan dan memperoleh hasil dari penggunaan modal sosial.

b. Pengertian Modal Sosial

Pengertian mengenai Modal sosial telah dikaji oleh beberapa ahli dengan berbagai pandangan yang berbeda. Ilmuan yang berpengaruh terhadap teori ini diantaranya Pierre Bourdieu, James Coleman, Robert Putnam, dan Fukuyama. Para ahli mendefinisikan pengertian Modal Sosial berbeda-beda sesuai dengan latar belakang bidang keahliannya. Bourdieu mengungkapkan bahwa modal sosial sangat erat kaitannya dengan sumber daya potensial atau kepemilikan diri yang menghasilkan jaringan. Sedangkan Coleman lebih menekankan pada modal sosial sebagai bagian struktur sosial yang membantu kognitif anak. Putnam juga


(32)

menambahkan bahwa selain norma dan jaringan, modal sosial juga tersusun atas kepercayaan yang membantu individu melaksanakan kegiatannya secara lebih efisien dan terkoordinasi. Dilengkapi dengan pendapat dari Fukuyama bahwa di dalam modal sosial juga terdapat kerjasama antara elemen yang satu dengan yang lainnya sehingga membentuk suatu sistem yang terkoordinasi. Beberapa teori tersebut dirangkum oleh Dwiningrum seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengertian Modal Sosial Menurut Ahli

Ahli Pengertian

Bourdieu Sekelompok sumber-sumber aktual atau potensial yang berhubungan dengan kepemilikan suatu jaringan yang bertahan dari hubungan-hubungan yang kurang atau lebih melembaga dari saling mengetahui atau menghargai.

Coleman Bagian dari struktur sosial yang mendukung tindakan-tindakan para aktor yang merupakan anggota dari struktur itu. Modal sosial adalah beberapa aspek dari struktur sosial yang mendukung tindakan pelaku yang menyoroti tingkat tinggi modal sosial terutama manfaat perkembangan anak. Modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang menjadi sifat dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial komunitas yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial seorang anak dan remaja.

Putnam Bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma, dan kepercayaan. Modal Sosial, sebagaimana bentuk modal lainnya adalah produktif dan memfasilitasi pencapaian tujuan tertentu yang tidak akan mungkin dalam keberadaannya

Fukuyama Kemampuan orang-orang bekerja bersama-sama untuk tujuan-tujuan umum di dalam kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi.

Sumber: Dwiningrum, (2004: vii-viii)

Modal sosial merupakan sebuah sumber daya atau aset sosial yang berupa norma dan jaringan yang dilandasi atas kepercayaan yang terkoordinasi dengan baik sehingga menghasilkan kinerja yang lebih efektif dan efisien.


(33)

c. Dimensi Modal Sosial

Coleman (2009: 415) menyebutkan bahwa bentuk-bentuk modal sosial meliputi: (1) kewajiban dan ekspektasi, (2) potensi informasi, (3) norma dan sanksi efektif, (4) relasi wewenang, (5) organisasi sosial yang dapat disesuaikan dan (6) organisasi yang disengaja. Coleman juga mengungkapkan bahwa modal sosial dapat diciptakan, dipelihara dan dirusak konsekuensinya oleh individu itu sendiri. Sedangkan Pretty dan Ward (2001: 211) mengidentifikasikan empat aspek utama modal sosial yakni: (1) hubungan saling percaya (relation of trust), (2) adanya pertukaran (reciprocity and exchange), (3) aturan umum (common rules), norma-norma (norm), dan sanksi-sanksi (sanction), (4) keterkaitan (connectedness), jaringan (network), dan kelompok-kelompok (groups). Dilanjutkan menurut Putman (1993) dalam Dwiningrum (2004:10) mengungkapkan bahwa unsur-unsur pembentuk modal sosial meliputi: (1) jaringan pertemuan/dialog masyarakat (networl of civic engagement), (2) norma-norma yang saling berinteraksi/ timbal balik (norm of generalized reciprocity), dan (3) kepercayaan sosial (social trust). Hasbullah (2006: 9-12) menguraikan unsur-unsur pembentuk modal sosial dalam enam unsur-unsur modal sosial yakni: (1) Kepercayaan (trust), (2) Jaringan (network), (3) Saling tukar kebaikan (reciprocity), (4) Norma (norm), (5) Nilai (value), dan (6) Tindakan yang proaktif.

Berbagai pendapat ahli tersebut memiliki berbagai persamaan dan perbedaan, untuk memudahkan menarik kesimpulan mengenai unsur pembentuk modal sosial, maka dapat diringkas melalui Tabel 2.


(34)

Tabel 2. Dimensi Modal Sosial

Pendapat Para Ahli Hasbullah,

(2006: 9-12)

Coleman, (2009: 415)

Pretty dan Ward, (2001: 211) Putman, (dalam Dwiningrum 2004: 10) Kewajiban dan ekspektasi

Kepercayaan Kepercayaan Kepercayaan sosial

Resiprositas Adanya pertukaran

Norma dan nilai

Norma dan sanksi efektif

Aturan umum, norma, dan sanksi

Norma yang saling berinteraksi Jaringan Potensi informasi Keterkaitan, jaringan,

dan kelompok

Jaringan

pertemuan/dialog masyarakat Relasi wewenang

Organisasi Kelompok Tindakan

yang proaktif

Pratikno selanjutnya mengelompokkan dimensi modal sosial menjadi tiga level, yaitu nilai, institusi, dan mekanisme. Dalam setiap level terdapat elemen-elemen yang menyertainya seperti Gambar 2.

Gambar 2. Level Modal Sosial Sumber : Pratikno, (2001:27). NILAI, KULTUR, PERSEPSI

a) Simpati

b) Rasa berkewajiban c) Trust

d) Resiprositas

e) pengakuan timbal balik

INSTITUSI MEKANISME

a) Kerjasama

b) Sinergi antar kelompok a) Keterlibatan civil engagement

b) Asosiasi c) network


(35)

Unsur-unsur yang dapat digunakan untuk penelitian mengenai modal sosial Kader Desa merupakan hasil kajian dari dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh ahli yang meliputi:

1) Jaringan (network)

Jaringan di dalam modal sosial merupakan sebuah partisipasi yang dibangun oleh banyak individu dalam satu kelompok sehingga antara individu satu dengan yang lainnya saling terhubung dan berinteraksi dengan beberapa prinsip yaitu kesukarelaan, kesamaan, kebebasan, dan keadaban.

2) Kepercayaan (trust)

Kepercayaan merupakan suatu bentuk keinginan seseorang untuk mengambil resiko atas hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan sesuatu yang diharapkan dan tidak akan berlaku hal yang dapat merugikan kelompoknya. Rasa percaya akan membuat seseorang bertindak sebagaimana orang lain dalam kelompoknya lakukan tanpa memperhatikan resiko yang akan didapat.

3) Resiprositas (reciprocity)

Resiprositas atau saling tukar kebaikan merupakan sebuah pola hubungan antara individu satu dengan yang lainnya dalam suatu kelompok. Tindakan ini terjadi secara berangsung-angsur sehingga terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dan saling mendukung satu sama lain.


(36)

4) Nilai dan Norma (value and norm)

Nilai dimaknai sebagai ide atau gagasan yang dimaknai dan dipercaya secara turun temurun yang dianggap benar dan merupakan warisan dari nenek moyang. Nilai-nilai tersebut antara lain etos kerja, harmoni, kompetisi, dan petisi. Selain itu, nilai kesetiakawanan juga merupakan salah satu motor penggerak suatu kelompok agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Norma merupakan seperangkat aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang disepakati oleh anggota-anggota dalam suatu kelompok. Jika seseorang melanggar norma, akan mendapatkan sanksi disepakati oleh anggota kelompok sehingga seseorang akan cenderung untuk mengikuti norma yang berlaku. Nilai dan Norma merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi dalam modal sosial.

d. Tipologi Modal Sosial

Menurut Woolcock dalam Gilchrist (2009: 12), modal sosial dibagi atas tiga tipologi yaitu :

1) Modal sosial yang mengikat (bounding social capital), yaitu modal sosial yang timbul akibat adanya perekat yang kuat dalam sistem kemasyarakatan. Perekat tersebut meliputi nilai, kultur, persepsi, tradisi, dan hubungan kekerabatan. 2) Modal sosial yang menjembatani (bridging social capital), yaitu modal sosial

yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Modal sosial ini mendorong untuk membangun kelompok baru melalui ikatan berupa institusi atau mekanisme.


(37)

3) Modal sosial yang menghubungkan (linking social capital), merupakan hubungan sosial yang memiliki karakter adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada di dalam masyarakat. e. Manfaat Modal Sosial

Menurut Marwani (dalam Theresia, 2014: 49) menyebutkan bahwa keberadaan modal sosial dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi bekerjanya komunitas atau kelompok. Secara terperinci, manfaat tersebut yakni: (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi, (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas, (3) mengembangkan solidaritas, (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas, (5) memungkinkan pencapaian bersama, dan (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Meskipun kontribusi modal sosial tidak dapat diukur secara kuantitas, namun peranannya sangat penting untuk keberhasilan suatu kelompok.

Sejalan dengan pandangan Gilchrist, (2009: 13) yang menekankan fokus pemanfaatan modal sosial terhadap jejaring di dalam komunitas. Gilchrist mengungkapkan bahwa banyak orang yang bergabung di dalam komunitas untuk mendapatkan keuntungan diantaranya mendapatkan perasaan saling memiliki, berkonsultasi dengan rekan di dalam kelompok untuk meningkatkan kualitas hidup, membantu beradaptasi dengan lingkungan sekitar, dan dengan mengikuti sebuah kelompok seseorang akan mudah melakukan aktivitas secara lebih efektif dan efisien.


(38)

Penelitian Coleman (2009: S95) berfokus pada pemanfaatan social capital

dalam pembentukan human capital. Coleman mendefinisikan modal sosial sebagai sumber penting bagi para individu dan sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk bertindak meningkatkan kualitas hidupnya atau sering disebut sebagai human capital. Lebih lanjut Coleman menggambarkan bahwa modal sosial dapat memudahkan pencapaian tujuan yang sulit dicapai. Modal sosial terbentuk ketika relasi antara manusia mengalami perubahan positif yang membuat seseorang mudah melakukan tindakan. Seperti halnya sumber daya manusia, modal sosial juga tidak memiliki wujud yang real, namun dapat dirasakan melalui keterampilan dan pengetahuan dalam memudahkan kegiatan dan membentuk jejaring atau relasi antar manusia.

2. Kader Desa

a. Pengertian Kader Desa

Definisi kader menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008: 614) kader adalah (n) 1 perwira-perwira atau bintara-bintara dl tentara; 2 orang-orang yg (diharapkan) akan memegang pekerjaan-pekerjaan penting dl pemerintahan, partai, dsb; sedangkan pengaderan adalah (n) hal mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader. Sedangkan menurut buku panduan BKKBN (1997) kader adalah seseorang atau sejumlah orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus di bidang tertentu, serta mau dan mampu menyebarluaskan pengetahuan serta keterampilannya kepada sasarannya secara teratur dan terencana. Sedangkan menurut Ghozali (2015: 11) mengungkapkan mengenai kader,


(39)

Makna kata “kader” sebagaimana lazim dipahami dalam sebuah organisasi, adalah orang yang dibentuk untuk memegang peran penting (orang kunci) dan memiliki komitmen dan dedikasi kuat untuk menggerakan organisasi mewujudkan visi misinya. Dalam konteks desa, Kader Desa adalah “Orang Kunci” yang mengorganisir dan memimpin rakyat desa bergerak menuju pencapaian cita-cita bersama. Kader Desa terlibat aktif dalam proses belajar sosial yang dilaksanakan oleh seluruh lampiran masyarakat desa.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Kader Desa adalah pendamping desa atau masyarakat yang memiliki tugas menemukan, mengembangkan kapasitas, dan mendampingi desa agar menjadi lebih baik dan mampu membawa perubahan kearah yang positif.

Kader Desa yaitu seseorang yang bertugas dalam pengelolaan urusan desa melalui perannya di dalam masyarakat. Kader Desa menurut Ghozali (2015: 11) bisa diduduki oleh kepala desa, anggota BPD, Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), tokoh adat; tokoh agama; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; pengurus/anggota kelompok tani; pengurus/anggota kelompok nelayan; pengurus/ anggota kelompok perajin; pengurus/anggota kelompok perempuan. Kader Desa dapat berasal dari kaum perempuan dan laki-laki dalam kedudukannya yang sejajar, mencakup warga desa dengan usia tua, kaum muda maupun anak-anak.

b. Kader Desa sebagai Pelaku Pemberdayaan Masyarakat

Kader Desa dinilai sebagai civil institution yaitu sebuah institusi lokal yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat untuk memperhatikan isu-isu publik serta sebagai wadah representasi dan partisipasi untuk memperjuangkan hak warga desa (Ghazali, 2015: 17). Keberadaan Kader Desa mampu membangkitkan kesadaran


(40)

masyarakat untuk ikut serta dalam melakukan pembangunan. Saat ini, kajian mengenai Kader Desa sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat belum ditemui oleh penulis. Oleh sebab itu, Kader Desa dapat diklasifikasikan ke dalam istilah-istilah lain di dalam pemberdayaan masyarakat. Suprijanto (2015: 47) menjelaskan mengenai peran pendidik nonformal yang memiliki peranan hampir sama dengan Kader Desa. Sedangkan Adi, (2015:11) menyatakan pelaku pemberdayaan diantaranya relawan (volunteer) dan pekerja sosial (social worker), dilanjutkan menurut Sulistyani (2014: 113) menyebutkan bahwa salah satu pelaku pemberdayaan adalah agen pembaharu (agent of change).

1) Pendidik Nonformal

Pendidik nonformal merupakan pendidik yang memperhatikan pembelajaran sebagai proses menghasilkan perubahan perilaku, baik dalam hal pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Fungsi pendidik nonformal yakni: (1) penyebar pengetahuan, (2) pelatih keterampilan, dan (3) perancang pengalaman belajar kreatif. Di dalam pendidikan non formal, subutan bagi pendidik berbagai macam seperti tutor, fasilitator, pamong, dan lain-lain.

2) Relawan

Relawan memiliki peranan penting dalam pengembangan usaha pemberdayaan masyarakat. Relawan merupakan pioner seperti yang diungkapkan Friendlander (dalam Adi, 2015: 11) sebagai berikut:

volunteers have been the pioneers in all fields of social work, not only in groupwork, but also in casework, health services, and community organization. They started out by assisting people in financial stress who did not want to ask


(41)

recognized the need for professional training of social workers in complex society.

Maksud dari kutipan tersebut yakni relawan telah menjadi pionir dari berbagai pekerjaan sosial, bukan hanya dalam lingkup kelompok, tetapi juga menyasar pada lingkup individu, layanan kesehatan, dan organisasi kemasyarakatan. Relawan membantu masyarakat mengatasi permasalahan tidak hanya dalam wujud bantuan uang saja, melainkan memberikan fondasi berwujud keterampilan dan pelatihan yang berguna untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang belum berdaya. Sesuai dengan namanya, relawan merupakan kegiatan yang dilakukan secara suka rela atas dasar kemanusiaan. Oleh karena itu, relawan tidak mendapatkan remunisi atau imbalan jasa yang ajeg atas perannya melakukan kegiataan pemberdayaan.

3) Pekerja Sosial

Pekerjaan sosial menurut Robert & Nee, 1970: xiii (dalam Adi, 2005: 17) yakni “social work is a new profession, born of the twentieth century. Unlike the older profession, which developed specializations in their maturity, social work grew out of multiple specializations in diverse fields of practice… .” Makna dari pernyataan tersebut yakni pekerjaan sosial adalah profesi yang muncul pada abad ke-20, tergolong sebagai profesi baru yang mengembangkan bidang praktis pelaksanaan pekerjaan sosial. pekerjaan sosial merupakan profesi yang berfokus pada proses interaksi manusia dengan lingkungannya yang menggabungkan antara ilmu psikologi dan sosiologi untuk memberikan intervensi yang tepat dalam pemberdyayaan masyarakat. Oleh sebab itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa


(42)

pekerja sosial adalah seseorang yang bekerja di dalam bidang pekerjaan sosial yaitu pekerjaan terkait interaksi antara manusi dengan lingkungannya.

Lebih lanjut, sebagai suatu keprofesian, maka pekerja sosial dituntut untuk memiliki profesionalitas di bidang pekerjaan sosial. karena kompetensi dan regulasinya telah tertata dengan baik, maka pekerja sosial mendapatkan remunasi yang sesuai dengan hasil kerjanya, ajeg, dan lebih tertata.

4) Agen Pembaharu

Agen pembaharu menurut Sulistyani (2004: 114) yaitu stakeholder yang bertugas sebagai pemberdaya masyarakat seperti LSM, Ormas, Organisasi profesi, organisasi kepemudaan, organisasi wanita, dan organisasi lokal perpanjangan tangan pemerintah seperti posyandu, PKK, LMD, dan lain sebagainya.

Berbagai istilah tersebut dapat dikuatkan dengan beberapa sebutan bagi Pemberdaya masyarakat yang diungkapkan oleh Ife, (2009: 636) yang mengklasifikasikan pekerja sosial atas lima jenis yakni :

1) Pekerja masyarakat yang dipekerjakan, yaitu pekerja yang dipekerjakan dari organisasi pemerintahan seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, dan lain sebagainya.

2) Pekerja Sektoral yang dipekerjakan, yaitu seseorang yang dipekerjakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat namun dengan fokus yang spesifik misalnya pekerja masyarakat sebuah pusat sumber daya migran.

3) Profesional berfokus masyarakat, yakni profesi yang memberdayakan masyarakat dengan cara sesuai dengan profesinya seperti dokter, psikolog, dan lain-lain.


(43)

4) Aktivis yang dipekerjakan, yakni pekerja yang dipekerjakan secara spesifik untuk tujuan tertentu seperti partai politik, organizer persatuan dagang, dan lain sebagainya.

5) Aktivis masyarakat yang tidak dibayar, yakni orang yang peduli terhadap masyarakatnya. Merupakan pekerja yang paling efektif meskiput tidak dibayar dan tidak dilatih secara terstruktur.

Kader Desa merupakan perkumpulan individu dari bagian masyarakat yang dibentuk untuk memberdayakan masyarakat. Meskipun lembaga ini sebagai perpanjangan tangan pemerintah, namun belum mendapatkan remunasi yang ajeg dan tertata. Selain itu, kompetensi Kader Desa belum dapat diukur secara lebih terperinci karena pemilihan Kader Desa bukan berdasarkan jenjang pendidikan dan profesionalitasnya, melainkan hasil musyawarah Pemerintah Desa. Alasan tersebut dapat mengungkapkan bahwa Kader Desa bukanlah pekerja sosial, melainkan dapat masuk dalam kualifikasi sebagai pendidik nonformal, relawan, maupun agen pembaharu. Dalam hal ini, Kader Desa memiliki karakteristik hampir sama dengan Agen Pembaharu maupun Relawan. Beberapa alasan pengkarakteristikan ini adalah: (1) karena Kader Desa tidak mendapatkan remunisi yang ajeg dari pekerjaannya, (2) karena pemilihan Kader Desa tidak didasarkan pada keprofesionalitasan anggota, dan (3) karena Kader Desa berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah secara langsung untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Tugas Pokok Kader Desa


(44)

Pengkajian mengenai tugas pokok Kader Desa dapat berkaca pada pelaku-pelaku pemberdayaan lainnya. Sulistyani mengkaji mengenai kapasitas agen pembaharu melalui beberapa aspek yang harus dipenuhi meliputi: (1) pemahaman terhadap kemiskinan, (2) pemahaman terhadap kinerja dalam merencanakan, mengimplementasikan, memonitor, dan mengevaluasi program pemberdayaan baik yang dilakukan secara mandiri ataupun oleh pemerintah, dan (3) perancangan model pendampingan untuk pengembangan konsep tridaya, ekonomi produktif dan modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Pada point satu dijelaskan bahwa agen perubahan harus memiliki pemahaman tentang kemiskinan, hal ini disebabkan bahwa dewasa ini permasalahan yang paling dasar dimiliki oleh Indonesia mengenai pengentasan kemiskinan. Kemiskinan sebagai sumber dari permasalahan lainnya tentu harus dikaji lebih jauh oleh agen pembaharu untuk menentukan langkah-langkah pemberdayaan.

Menurut National Association of National Workers (NASW) misi utama pekerja sosial adalah meningkatkan kesejahteraan manusia dan membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia, dengan memperhatikan kepada orang tertindas, rawan, dan miskin (Fahrudin, 2012: 66). Sedangkan tujuan pekerjaan sosial menurut Zastrow, 2008 (dalam Fahrudin, 2012:66) adalah sebagai berikut :

a) Meningkatkan kemampuan orang untuk memecahkan masalah, mengatasi masalah, dan mengembangkan kapasitas.

b) Menghubungkan masyarakat kepada sistem yang memberikan sumber, pelayanan, dan kesempatan

c) Memperbaiki keefektifan kinerja sumber-sumber dan pelayanan kesejahteraan sosial


(45)

Keempat tujuan tersebut lalu dilengkapi oleh Council of Social Work and Education (CSWE) yakni :

a) Meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi, penindasan, dan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial lainnya,

b) Mengusahakan kebijakan pelayanan dan sumber melalui advokasi dan tindakan sosial politik yang meningkatkan keadilan sosial ekonomi, c) Mengembangkan dan menggunakan penelitian, pengetahuan, dan

keterampilan yang memajukan praktik pekerjaan sosial,

d) Mengembangkan dan menerapkan praktik dalam konteks budaya. (Zastrow, 2008 dalam Fahrudin, 2012: 67).

Sedangkan menurut Ghazali tugas pokok Kader Desa telah dituliskan secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 3.


(46)

Tabel 3. Tabel Tugas Kader Desa

Sumber: Ghazali, (2015: 22-23)

Bidang Substansi

Tugas

Daftar Kegiatan Infrastruktur Pembangunan,

pemanfaatan, dan

pemeliharaan

tambatan perahu jalan permukiman

jalan desa antarpermukiman ke wilayah pertanian

Pembangkit listrik tenaga mikrohidro Lingkungan permukiman masyarakat desa Sarana dan prasarana kesehatan Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan

Air bersih berskala desa Sanitasi lingkungan

Pelayanan kesehatan desa dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu atau bentuk lainnya Sarana dan prasarana pendidikan dan kebudayaan Pembangunan, pemanfaatan, dan pemeliharaan

Taman Bacaan Masyarakat Pendidikan Anak Usia Dini Balai Pelatihan/Kegiatan Belajar Masyarakat

Pengembangan dan pembinaan sanggar seni Sarana dan prasarana ekonomi Pengembangan usaha ekonomi produktif serta pembangunan, pemanfaatan, dan pemeliharaan Pasar desa

Pembentukan dan pengembangan BUM Desa

Pembibitan tanaman pangan Penggilingan padi

Lumbung desa

Pembukaan lahan pertanian Pengelolaan usaha hutan desa Kolam ikan dan pembenihan ikan Kapal penangkap ikan

Gudang pendingin Tempat pelelangan ikan Tambak garam

Kandang ternak Instalasi biogas Mesin pakan ternak

Sarana dan prasarana ekonomi lainnya sesuai kondisi desa

Lingkungan hidup

Pelestarian Penghijauan

Pembuatan terasering Pemeliharaan hutan bakau Perlindungan mata air

Pembersihan daerah aliran sungai Perlindungan terumbu karang


(47)

Tugas pokok Kader Desa tersebut tidaklah mutlak, program pemberdayaan yang dilakukan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Kader Desa memiliki wewenang untuk menentukan program yang sesuai dengan masyarakatnya, karena Kader Desa merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. c. Fungsi Kader Desa

Ife, (2009: 635) memberikan paparan mengenai peran pekerja masyarakat melalui Gambar 3. Peran tersebut yakni: (1) peran fasilitatif, (2) peran pendidikan, (3) peran teknis, dan (4) peran representasi. Berbagai peran tersebut dilaksanakan atas dasar prinsip praktis, yaitu lebih menekankan pada praktis pelaksanan pemberdayaan dibandingkan dengan teoritis. Tujuan dari pemberdayaan itu sendiri adalah meningkatkan kapabilitas di berbagai sektor kehidupan yakni politik, sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, personal/spiritual, ekologi, dan keadilan sosial.

Gambar 3. Peran Pekerja Masyarakat Sumber : Ife, (2009:635)


(48)

Sulistyani (2004: 127) mengungkapkan bahwa untuk melakukan stimulasi kinerja agen pembaharu, aspek-aspek yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Bertindak sebagai evaluator program yang berjalan di masyarakat

2) Sebagai pendamping masyarakat dalam pelaksanaan program-program

3) Pemonitor dan advokator masyarakat dalam memperjuangkan haknya sebagai warga negara

4) Pendamping masyarakat untuk merencanakan dan menyusun umpan balik terhadap program pemberdayaan masyarakat

Ghozali (2005: 29-30) menyebutkan bahwa fungsi Kader Desa adalah sebagai berikut :

1) Fasilitasi penetapan dan pengelolaan kewenangan lokal berskala desa dan kewenangan desa berdasarkan hak asal-usul.

2) Fasilitasi penyusunan dan penetapan peraturan desa yang disusun secara partisipatif dan demokratis.

3) Fasilitasi pengembangan kapasitas para pemimpin desa untuk mewujudkan kepemimpinan desa yang visioner, demokratis dan berpihak kepada kepentingan masyarakat desa.

4) Fasilitasi demokratisasi desa. 5) Fasilitasi kaderisasi desa.

6) Fasilitasi pembentukan dan pengembangan lembaga kemasyarakatan desa. 7) Fasilitasi pembentukan dan pengembangan pusat kemasyarakatan (community


(49)

8) Fasilitasi ketahanan masyarakat desa melalui penguatan kewarganegaraan, serta pelatihan dan advokasi hukum.

9) Fasilitasi desa mandiri yang berdaya sebagai subyek pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan desa Yang dilaksanakan secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.

10)Fasilitasi kegiatan membangun desa yang dilaksanakan oleh supradesa secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.

11)Fasilitasi pembentukan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMN). 3. Pemberdayaan Masyarakat

a. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang mengembangkan dan memperkuat kemampuan masyarakat yang berlangsung secara dinamis sehingga masyarakat dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat mengambil keputusan secara independen dan mandiri. Pemberdayaan masyarakat yang bersifat dinamis menekankan bahwa adanya proses yang berkesinambungan dan tidak tertentu. Menurut Prijono & Pranaka (1996: 77) dalam konsep pemberdayaan, manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan


(50)

Menurut Sumodiningrat (dalam Sulistyani, 2004: 78-79), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Selanjutnya, Tri (1998: 75) mengungkapkan bahwa pemberdayaan masyarakat meliputi pengembangan (enabling), penguatan potensi atau daya (empowering), dan kemandirian. Sehingga, pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses menjadikan suatu masyarakat yang belum berdaya menjadi lebih berdaya dari sebelumnya melalui pemberian bekal kemampuan dan penggalian potensi. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses dapat dipahami sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh sebab itu pemberdayaan masyarakat haruslah berkesinambungan dan dilaksanakan melalui berbagai tahapan.

Dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah proses pemberian kekuatan atau power dari agen atau pemberdaya kepada seseorang yang belum berdaya agar mampu memiliki kekuatan untuk beraktifitas sebagaimana semestinya. Proses pembangunan tidak dapat berlangsung secara singkat dan harus dirawat secara terus menerus sampai seseorang mampu mandiri tanpa adanya rangsangan dari agen pemberdaya. Pemberdayaan masyarakat di pedesaan haruslah dilakukan untuk mendukung potensi unik dari suatu desa. Desa terbentuk


(51)

berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang melekat pada masyarakat. Theresia (2014: 95) mengungkapkan bahwa pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, melainkan juga melakukan pemberdayaan berhadap pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lainnya yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.

b. Elemen Pemberdayaan Masyarakat

Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam sebuah kelompok, perlu ada elemen-elemen dasar yang harus diperhatikan. Menurut Narayan (2002:15-18) elemen-elemen tersebut yakni:

1) Akses Terhadap Informasi

Dalam melakukan pemberdayaan, informasi berperan sebagai salah satu sumber yang paling penting. Hal ini dikarenakan komunikasi yang baik terjalin karena masing-masing individu memiliki informasi yang dapat merekatkan hubungan mereka. Dengan adanya informasi yang memadai, orang akan mudah memberikan pelayanan dan menerima pelayanan sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat.

2) Inklusi dan Partisipasi

Inklusi merupakan keseluruhan individu yang terlibat dalam pemberdayaan, baik subyek maupun pelaku pemberdayaan. Sedangkan partisipasi merupakan sebuah peran yang dilakukan individu untuk keberhasilan kelompoknya. Kedua faktor tersebut secara menyeluruh memiliki fungsi yang hampir sama dalam


(52)

pemberdayaan masyarakat yaitu meningkatkan kemauan subyek pemberdayaan agar mau dan mampu diberdayakan.

3) Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan kemampuan seseorang untuk bertindak secara tepat. Dalam pemberdayaan masyarakat, akuntabilitas dimaksudkan dalam ketepatan mengambil keputusan, ketepatan dalam menghitung dana, waktu, dan tenaga yang dibutuhkan dan kemampuan untuk memprediksi penyelesaian masalah yang terbaik.

4) Kapasitas

Kapasitas merujuk pada kemampuan masyarakat untuk bekerjasama, mengikuti organisasi, memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, memecahkan masalah, dan menjangkau kemungkinan-kemungkinan penyelesauan dari berbagai konflik.

Sedangkan Sumadyo, 2001 (dalam Theresia, 2014: 154) menyebutkan bahwa upaya pokok dalam pemberdayaan masyarakat meliputi Tri Bina yaitu : (1) Bina Manusia, (2) Bina Usaha, dan (3) Bina Lingkungan. Dilanjutkan dengan Mardikunto, 2003 (dalam Theresia, 2014: 154) yang menggunakan istilah “pengembangan kapasitas” karena pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya adalah pengembangan kapasitas. Selain itu, elemen kelembagaan juga perlu dibubuhkan kelembagaan sebagai bagian dari pemberdayaan. Elemen pemberdayaan menurut Mardikunto yakni: (1) pengembangan kapasitas manusia,


(53)

(2) pengembangan kapasitas usaha, (3) penggembangan kapasitas lingkungan, dan (4) pengembangan kapasitas kelembagaan.

c. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Sulistyani (2004: 82) tujuan yang ingin dicapai dalam pemberdayaan adalah untuk membentuk masyarakat yang mandiri. Kemandirian dapat terwujud melalui cara berpikir, cara berperilaku, dan cara mengendalikan diri sendiri. Secara lebih jauh, Sulistyani menjelaskan bahwa untuk menjadi masyarakat mandiri, individu harus memiliki beberapa kematangan yakni :

1) Kognitif, yaitu kemampuan berfikir yang dilandasi dengan pengetahuan dan wawasa dalam rangka memperoleh solusi atas masalah yang dihadapi

2) Konatif, yaitu perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Perilaku ini perlu dibangun dan diberdayakan melalui kegiatan amal dan kepedulian terhadap sesama.

3) Psikomotorik, yaitu berupa keterampilan dan hardskill melakukan sesuatu yang dapat mendukung kinerja seseorang.

4) Afektif, yaitu sikap dan perilaku seseorang yang dilandasi dengan norma-norma d. Tahap Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan dilakukan sejak masyarakat belum mandiri menjadi mandiri. Oleh sebab itu, terselesaikannya tahap pemberdayaan adalah ketika subyek telah berdaya atau mandiri, meskipun dalam prosesnya pelaku pemberdayaan harus tetap melakukan pendampingan ketika program telah selesai. Tahap-tahap pemberdayaan menurut Sulistyani (2004: 83) adalah sebagai berikut:


(54)

1) Tahap penyadaran, yakni pembentukan perilaku masyarakat agar sadar dan peduli sehingga timbul kapasitas diri

2) Tahap transformasi, yaitu kemampuan untuk menggunakan sumberdaya yang dimiliki untuk mau dan mampu berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. 3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual, yaitu kecakapan untuk menarik

minat masyarakat agar mau belajar secara terus menerus untuk meningkatkan kapasitasnya.

Selain tahapan di atas, Wilson (dalam Theresia, 2014: 217) juga mengemukakan bahwa terdapat siklus pembangunan berbasis masyarakat yang dapat dilaksanakan dalam tahapan pemberdayaan masyarakat dilakukan. Tahap-tahap tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tahap-tahap Pembangunan Berbasis Masyarakat Sumber : Theresia (2004:217)

keingian untuk berubah kemauan dan keberanian untuk berubah kemauan untuk berpartisipasi peningkatan partisipasi tumbuhnya motivasi untuk berubah peningkatan efektivitas dan efisiensi pemberdayaan tumbuhnya kompetensi untuk berubah


(55)

Tahap awal proses menumbuhkan keinginan, kemauan, dan keberanian seseorang untuk berubah menjadi lebih baik. Perubahan menjadi lebih baik merupakan proses awal yang membangkitkan seseorang agar mau berdaya. Tahap selanjutnya yaitu menumbuhkan kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan, selain untuk dirinya sendiri, juga untuk orang lain di lingkungannya. Jika keinginan berpartisipasi itu tumbuh dan meningkat, maka langkah berikutnya adalah seseorang termotivasi untuk berubah. Tahap ini telah membuktikan bahwa pemberdayaan masyarakat hampir berhasil. Tumbuhnya motivasi akan mendorong berhasilnya pemberdayaan masyarakat yang efektif dan efisien. Jika tahap ini di pelihara dengan baik, maka tumbuhlah tahap terakhir yakni kompetensi untuk berubah. Pada tahap ini masyarakat telah mandiri dan menjadi agen untuk masyarakat sekitarnya agar mau dan mampu diberdayakan seperti dirinya.

Sedangkan Sulistyani juga menambahkan bahwa dalam tahap-tahap pemberdayaan dapat dilakukan dalam bentuk kerangka kerja konseptual yang menggunakan pendekatan CIPOO (context, Input, Process, Output dan Outcome). 1) Context, yaitu menentukan program atau kegiatan yang dapat dilaksanakan dan

tepat sasaran.

2) Input, yaitu sumber daya dan fasilitas yang diperlukan dalam melakukan kegiatan pemberdayaan.

3) Process, yaitu serangkaian langkah atau tindakan yang ditempuh untuk melakukan kegiatan pemberdayaan.


(56)

4) Output, yaitu hasil akhir setelah proses pemberdayaan dilakukan untuk mencapai kompetensi.

5) Outcome, yaitu nilai manfaat yang ditimbulkan setelah melakukan pemberdayaan, baik yang sesuai dengan kompetensi maupun tidak.

Pendekatan CIPOO tersebut selanjutnya dapat diringkas menjadi tiga tahap utama yakni Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi sesuai dengan penelitian Akbarian (2015: 33) sebagai berikut:

1) Perencanaan, yakni proses mengurutkan rangkaian suatu kegiatan dengan mempertimbangkan langkah-langkah yang akan dilakukan agar kegiatan dapat berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

2) Pelaksanaan, merupakan aktivitas atau usaha-usaha yang dilakukan untuk melaksanakan rencana dan kebijakan yang telah dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya melalui perencanaan.

3) Evaluasi, merupakan proses sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasi dan menyajikan informasi tentang suatu program untuk digunakan sebagai dasar membuat keputusan menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya agar dapat berjalan dengan baik.

e. Strategi Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan melalui tata cara yang telah dirumuskan sebelumnya. Strategi diperlukan sebagai penentu efektivitas dan efisienitas suatu program. Kindervetter (1979: 49) mengemukakan bahwa terdapat


(57)

lima strategi dalam proses pemberdayaan masyarakat yakni:

1) Need Oriented, merupakan pendekatan yang berorientasi pada kebutuhan. 2) Endogeneus, merupakan pendekatan yang berorientasi pada kondisi atau

kenyataan yang ada di lapangan.

3) Self Reliance, yakni pendekatan yang berorientasi pada kemampuan seseorang. 4) Ecologically Sound, yakni pendekatan yang memperhatikan aspek lingkungan. 5) Based on Structural Transformation, yakni pendekatan yang berorientasi pada

struktur dan sistem.

Berbagai strategi tersebut dapat digunakan sesuai dengan konteks pemberdayaan yang digunakan. Dapat pula melakukukan kombinasi dari berbagai strategi agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan keinginan. Ketepatan strategi yang digunakan sangat berpengaruh terhadap hasil yang akan dicapai, oleh sebab itu pengkajian mengenai strategi perlu dilakukan setelah pemberdaya melakukan perencanaan.

f. Indikator Pemberdayaan

Menurut Sumardjo (dalam Nabiel, 2016: 36) pemberdayaan masyarakat mengandung dua kecenderungan yaitu kecenderungan primer dan sekunder. Kecenderungan primer adalah proses pemberdayaan yang menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuatan kepada individu atau masyarakat agar lehih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder adalah penekanan pada proses menstimulasi, mendorong, dan memotivasi individu agar mempunyai kemampuan untuk menjadi apa yang diinginkannya.


(58)

Adapun ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya yaitu :

1) Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan).

2) Mampu mengarahkan dirinya sendiri. 3) Memiliki kekuatan untuk berunding.

4) Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan bertanggungjawab atas tindakannya.

Sumardjo menjelaskan bahwa masyarakat berdaya ialah masyarakat yang tahu, mengerti, paham termotivasi, berkesempatan memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Sehingga, untuk melaksanakan berbagai ciri tersebut seseorang yang belum berdaya perlu diberikan pemberdayaan secara terus menrus dengan mengoptimalkan kinerja aktor pemberdaya secara bertanggungjawab.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Setelah peneliti mengamati beberapa penelitian terdahulu, maka dapat dirinci penelitian yang relevan yakni:

1. Penelitian Malik & Dwiningrum (2014), tentang pemberdayaan masyarakat di Desa Vokasi menyatakan: (a) pelaksanaan pemberdayaan meliputi seleksi wilayah, sosialisasi dan pembentukan pengurus, identifikasi dan pembentukan kelompok. (b) Hasil program berupa peningkatan kecakapan vokasi dan


(59)

pengembangan kelompok usaha. (c) dampak program berupa peningkatan ekonomi, status sosial, dan perubahan budaya. (d) faktor pendukung internal adalah tingginya target meningkatkan kualitas hidup. Pemberdayaan Masyarakat yang dilakukan berfokus pada proses kegiatan, akan tetapi dalam penelitian ini tidak menerapkan modal sosial.

2. Penelitian Rukmi (2014), tentang peran modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat melalui Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UUPKS) menyatakan : (a) modal sosial yang berasal dari budaya sehari-hari masyarakat Sendangtirto memiliki peran dalam kemajuan kelompok UPPKS, (b) kelompok yang berhasil mendapatkan beberapa kali pinjaman adalah kelompok yang modal sosialnya lebih kuat, (c) kelompok yang masih berjalan namun belum mengalami kemajuan yang signifikan adalah kelompok yang belum memiliki solidaritas, (d) kelompok yang gagal adalah kelompok yang tidak berhasil mengembalikan secara penuh penguatan modal yang telah diberikan. Ide dari penelitian Maharani terfokus pada bagaimana proses penggunaan modal sosial dalam program UPPKS, modal sosial yang diteliti merupakan modal sosial secara keseluruhan, tidak diklasifikasikan atas unsir-unsur modal sosial.

3. Penelitian Bahrudin (2013) tentang modal sosial pengrajin bambu di Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul menunjukkan usaha kerajinan bambu di Desa Gilangharjo mampu berkembang dikarenakan adanya modal sosial yang terjalin. Ide dari penelitian Sambas didasarkan pada penggunaan modal sosial


(60)

4. Penelitian Yuanjaya (2014) tentang modal sosial dalam gerakan lingkungan menunjukkan: (a) kepercayaan di kampong Gambiran sangat baik secara internal maupun eksternal, sedangkan di Kampung Gondolayu Lor sangat rendah, (b) jaringan sosial di Kampung Gambiran kuat secara internal dan dan eksternal, sedangkan di Kampung Gondolayu Lor sangat Lemah, (c) resiprositas di Kampung Gambiran berupa perubahan kondisi, perilaku, dan sosial ekonomi, sedangkan di Kampung Gondolayu Lor masyarakat mengejar keuntungan ekonomi dari proyek, (d) konsistensi mematuhi norma dan nilai lingkungan di Kampung Gambiran menjadi pedoman dalam berperilaku sedangkan di Kampung Gondolayu Lor tidak memiliki norma dan nilai lingkungan, (e) Tindakan yang proaktif di Kampung Gambiran, antisipasi sangat tinggi diiringi inisiatif dan inovasi, baik berupa tenaga, dana, waktu, loyalitas, dan lain-lain, sedangkan di Kampung Gondolayu Lor partisipasi telah jauh menurun tanpa inovasi. Ide dari penelitian Pandhu adalah melakukan komparasi antara dua wilayah dilihat dari penggunaan unsur-unsur modal sosial.

5. Penelitian Rosida (2014) tentang mekanisme bekerjanya modal sosial dalam mengembangkan Desa Wisata Candran sebagai sarana peningkatan pendapatan masyarakat menunjukkan: (a) kepercayaan yang tinggi terhadap sesame masyarakat khususnya yang tergabung dalam Desa Wisata Candran, (b) Adanya partisipasi aktif dari masyarakat, (c) adanya sikap timbal balik kebaikan (reciprocity) antar masyarakat bahkan hingga pihak luar, (d) memiliki jaringan kemitraan yang luas dan kuat baik internal maupun eksternal, (e) memiliki


(61)

konsistensi terhadap nilai dan norma yang relatif stabil. Gagasan penelitian Idah adalah mengidentifikasi berbagai unsur-unsur modal sosial yang diterapkan di lokasi penelitian dan melihat bagaimana mekanisme yang dilakukan masyarakat dalam penggunaan modal sosial.

6. Penelitian dari Tohani (2014) tentang pemanfaatan modal sosial (social capital) dalam program pendidikan Desa Vokasi di Gemawang Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa permasalahan modal sosial yang dilakukan kelompok lebih cenderung bersifat mengikat dengan para aktor wirausaha yang masih minim. Oleh karenanya, pengembangan program pendidikan ini perlu dilakukan dengan mendasarkan pada pemanfaatan modal sosial yang mampu memberikan dampak yang lebih besar.

Mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki keunikan pada variabel Kader Desa. Saat ini penelitian mengenai Kader Desa sebagai aktor pemberdaya masyarakat masih minim dilakukan. Kombinasi kedua variabel, yaitu modal sosial dan Kader Desa menjadi kombinasi yang menarik untuk di teliti dan dapat menjadi rujukan untuk mengatasi berbagai masalah mengenai Kader Desa di masa yang akan datang.

C. Kerangka Berpikir

Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Kabupaten Bantul saat ini terkait pada aspek dua aspek utama yaitu: pengurangan jumlah pengangguran dan penanggulangan kemiskinan. Dalam praktik pemberdayaan, Kab. Bantul telah melakukan program-program pemberdayaan diantaranya program PNPM Mandiri


(62)

untuk mengurangi jumlah pengangguran dan penyelenggaraan bantuan keuangan untuk mengurangi beban kemiskinan.

Dalam melaksanakan tugas pemberdayaan masyarakat, pemerintah memerlukan aktor yang perperan sebagai pelaku pemberdayaan. Aktor tersebut sekaligus juga menjadi jembatan antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan masyarakat sebagai sasaran atau subyek pemberdayaan. Salah satu pelaku tersebut adalah Kader Desa. Pelaksanaan tugas Kader Desa berpedoman pada Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Kader Desa yang telah dirancang oleh pemerintah. Dalam melaksanakan Tupoksinya tersebut, Kader Desa harus memiliki beberapa kompetensi yang digolongkan dalam Human Capital atau Modal Manusia dan Social Capital atau Modal Sosial. Modal manusia merupakan modal yang terkait dengan pengembangan keterampilan dan pengetahuan, sedangkan modal sosial meliputi nilai, norma, jaringan yang dipercaya dan dijalankan ketika melakukan tugas sebagai pemberdaya masyarakat baik disadari ataupun tidak sebagai sebuah proses yang berkesinambungan.

Desa Bangunjiwo merupakan salah satu desa di Kabupaten Bantul yang telah berhasil melakukan pemberdayaan masyarakat, dibuktikan dengan prestasi yang dimiliki salah satunya sebagai Juara I Lomba desa tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2016. Keberhasilan tersebut salah satu pendukungnya adalah kepemilikan modal sosial Kader Desa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kepemilikan modal sosial Kader Desa dalam melakukan tugas pemberdayaan masyarakat. Gambar 5. menunjukkan bagan kerangka berpikir program.


(63)

Permasalahan di Kab. Bantul Pemberdayaan Masyarakat melalui Program melalui Kader Desa Pelaku

Tugas Pokok dan Fungsi Kompetensi pedoman kepemilikan melalui Social Capital 1.Jaringan 2. Kepercayaan 3.Resiprositas 4. norma dan nilai Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi Human Capital 1. Kreativitas 2. Keterampilan 3. Pengetahuan Manfaat untuk KPMD LPMD Pengangguran, Kemiskinan Kesehatan TKPK

Posyandu, PPKBD, PSN

proses

Efektivitas pemberdayaan

Fasilitas/material Manfaat untuk

Manfaat untuk

Gambar 5. Kerangka Berfikir D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berfikir diatas, dapat dinyatakan beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

1. Bagaimana proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat oleh Kader Desa di Desa Bangunjiwo?

a. Bagaimana perencanaan program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo?


(64)

b. Bagaimana pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo?

c. Bagaimana proses evaluasi program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo?

2. Bagaimana pendayagunaan modal sosial oleh Kader Desa dalam program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo?

a. Bagaimana jaringan yang terbentuk selama proses pemberdayaan masyarakat?

b. Bagaimana kepercayaan yang terjalin dalam kelompok Kader Desa? c. Bagaimana resiprositas yang terbentuk di dalam kelompok Kader Desa? d. Bagaimana nilai dan norma yang terbentuk di dalam kelompok Kader

Desa ?

3. Apa manfaat pendayagunaan modal sosial oleh Kader Desa dalam program pemberdayaan masyarakat di Desa Bangunjiwo?

a. Apa manfaat pendayagunaan modal sosial terhadap human capital Kader Desa ?

b. Apa manfaat pendayagunaan modal sosial terhadap efektivitas dan efisiensi pemberdayaan masyarakat ?

c. Apa manfaat pendayagunaan modal sosial terhadap perkembangan fasilitas dan material pemberdayaan masyarakat ?


(65)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan merupakan sudut pandang yang dipakai oleh peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian (Afrizal, 2014: 12). Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Hal ini didasarkan karena penelitian ini dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting). Obyek penelitian ini merupakan obyek manusia dengan kegiatan yang dilakukannya sehari-hari secara alamiah tanpa adanya perlakuan dari peneliti. Penelitian difokuskan pada makna di balik kejadian yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep teori. Jangan sampai sesuatu yang berharga tersebut berlalu begitu saja tanpa meninggalkan manfaat. Sumbangan yang dapat diambil dari penelitian ini berupa teori, praktis, kebijakan, masalah-masalah sosial, dan tindakan.

Dalam penelitin ini, peneliti harus memahami interaksi sosial yang kompleks yang terjadi dalam lingkup kemasyarakatan. Memahami perasaan obyek yang diteliti, mengolah data menjadi suatu kebenaran dengan pola-pola tertentu. Karena data tersebut bersifat sosial dan mengetahui makna dari data yang tampak, maka metode yang dapat dilakukan adalah dengan metode penelitian deskriptif. Untuk dapat memperoleh data yang diinginkan, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga mampu menyimpulkan gejala-gejala dan peristiwa di sekitar obyek yang diteliti. Sugiyono (2014: 15) menyatakan bahwa :


(66)

Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivism, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan data triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

Berdasarkan atas teori tersebut, hasil akhir dari penelitian kualitatif adalah makna yang dapat digali dalam proses pencarian data penelitian. Data penelitian yang didapatkan kemudian dianalisis dan selanjutnya dikontruksikan ulang menjadi sebuah data yang dikaji secara mendalam. Apabila dalam data-data tersebut terdapat keganjalan, maka peneliti akan meneliti lebih mendalam data yang berbeda tersebut agar dapat ditarik kesimpulan.

Terdapat beberapa jenis penelitian kualitatif, penelitian ini mengacu pada jenis penelitian studi kasus. Menurut Stake (1991) dalam Noor (2014: 15) penelitian studi kasus merupakan salah satu strategi penelitian yang banyak digunakan dalam penelitian kualitatif, meskipun tidak semua penggunaan studi kasus merupakan penelitian kualitatif. Fokus penelitian studi kasus melekat pada paradigma yang bersifat naturalistik, holistik, kebudayaan, dan fenomenologi. Stake menyatakan bahwa penelitian studi kasus merupakan usaha penelitian untuk mengetahui lebih mendalam mengenai suatu hal, penerapan studi kasus tidak dimaksudkan untuk membangun teori, akan tetapi membangun instrumen yang bertujuan membangun temuan baru yang dapat mempertajam teori yang sudah ada.

Kelebihan jenis penelitian studi kasus yang mendukung penelitian ini adalah kemampuan dalam mengungkap hal yang spesifik, unik, dan mendetail yang tidak


(67)

dapat diungkap oleh studi yang lain serta mampu mengungkap makna di balik fenomena dalam kondisi natural. Selain itu, studi kasus juga mampu membangun nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi (Noor, 2014:17).

B. Setting Penelitian

Setting penelitian yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam penelitian ini, aktivitas Kader Desa, masyarakat, dan tokoh masyarakat menjadi setting penelitian. Adapun waktu penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti selama tiga bulan terhitung sejak 9 Desember 2016 – 9 Maret 2017. Penentuan waktu penelitian selama tiga bulan diharapkan cukup untuk memahami makna, menguraikan masalah, dan menemukan data hingga jenuh. Perpanjangan waktu penelitian dilaksanakan jika dalam batas waktu yang sudah ditentukan, peneliti belum masuk pada tahap kejenuhan data.

C. Sumber Data

Sumber data adalah berbagai media yang digunakan untuk memperoleh data sebagai berikut,

a) Subjek Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti diharapkan mampu mengetahui kegiatan yang dilakukan subyek dengan berbagai metode, seperti observasi, wawancara, dokumentasi, dan kombinasi dari berbagai metode tersebut. Pengambilan data atau subyek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive dengan cara melakukan


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Penilaian Masyarakat Desa Terhadap Pemerintahan Desa Dalam Era Otonomi Daerah (Studi kasus : Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta )

2 50 64

Program Pemberdayaan Perempuan Kursus Wanita Karo Gereja Batak Karo Protestan (Kwk-Gbkp) Pada Perempuan Pengungsi Sinabung Kecamatan Payung Kabupaten Karo

2 51 132

Studi tentang pembinaan kader pembangunan Desa dalam menunjang keberhasilan pembangunan Desa di Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang

0 10 55

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL

6 91 245

PENGEMBANGAN DESA WISATA SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA BRAYUT, KECAMATAN SLEMAN, KABUPATEN SLEMAN, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

4 22 156

PERAN PEMUDA DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA DI DESA KEBONAGUNG, KECAMATAN IMOGIRI, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

17 72 197

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI SENTRA PERTANIAN DI RUMAH PINTAR “PIJOENGAN” DESA SRIMARTANI, KECAMATAN PIYUNGAN, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA.

0 1 184

MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN DI DESA WISATA TEMBI KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

1 6 177

Potensi Produksi Arang dari Hutan Rakyat Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta | Purwanto | Jurnal Ilmu Kehutanan 1856 5888 1 PB

0 0 9

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MENAYU LOR, MRISI DAN BETON, TIRTONIRMOLO, KASIHAN, BANTUL DALAM PROGRAM PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN DESA

0 1 6