346 kesempatan bagi keterlibatan masyarakat dan
pengembangan kepemimpinan.
B. Pekerjaan Sosial dan Ketunawismaan
Karena ketunawismaan ialah suatu masalah sosial kontemporer yang menonjol, ini bukanlah suatu fenomena
yang baru Hopper Baumohl, 1996, dalam DuBois Miley, 2005: 293. Secara historis, ketunawismaan—diwakili
oleh “kaum gelandangan” pertengahan abad ke-18, “kaum tuna wisma” akhir abad ke-18, dan “kaum korban” depresi—
berkaitan dengan kemerosotan ekonomi. Krisis ketunawismaan yang terjadi baru-baru ini diperburuk oleh
resesi ekonomi pada awal tahun 1980-an dan diperparah oleh kurangnya perumahan sewaan yang dapat dijangkau,
membengkaknya jumlah manusia yang miskin dan mendekati garis penghasilan kemiskinan termasuk yang bekerja purna
waktu, meningkatnya kekerasan dalam rumahtangga, dan pengurangan program-program dibiayai oleh pemerintah
pusat National Coalition for the Homeless, 2002a, dalam DuBois Miley, 2005: 291-293. Pemotongan-pemotongan
ini mencakup level pembiayaan program-program yang lebih rendah—seperti bantuan publik, bantuan perumahan, kupon
makanan, dan bantuan kesehatan—dan persyaratan- persyaraten elijibilitas yang lebih ketat untuk program-
program kategoris ini. Para pakar meramalkan bahwa berkurangnya ketersediaan bantuan publik bagi keluarga-
keluarga dan pengurangan yang tajam terhadap program- program jaring keselamatan safety net seperti bantuan
umum bahkan akan mengarah kepada level ketunawismaan yag lebih buruk NCH, 2002a, dalam DuBois Miley, 2005:
293.
1. Salah pengertian tentang ketunawismaan
Sejumlah salah pengertian terdapat di dalam pemahaman publik umum tentang ketunawismaan. Sebagai contoh,
banyak kalangan yakin bahwa mayoritas orang-orang yang tuna wisma itu menyandang masalah-masalah
pribadi seperti sakit jiwa atau menyalahgunakan obat- obatan. Suatu studi terbaru menemukan bahwa 90,8
persen kaum tuna wisma yang disurvei dari 1500 wawancara telefon acak meyakini bahwa
penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol merupakan
Di unduh dari : Bukupaket.com
347 suatu sebab yang menyumbang bagi ketunawismaan
Link et., 1996, dalam DuBois Miley, 2005: 293. Di dalam kenyataan, ketunawismaan cenderung lebih
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial daripada masalah-masalah pribadi. Keluarga-keluarga
yang memiliki anak yang tertekan secara ekonomi mewakili sekitar 40 persen dari populasi yang akan
menjadi tuna wisma NCH, 2002b, dalam DuBois Miley, 2005: 293. Hanya 5 persen dari orang-orang
yang menyandang sakit jiwa yang serius adalah tuna wisma NCH, 1999a, dalam DuBois Miley, 2005:
293. Karena ada suatu ketidakseimbangan jumlah orang-orang yang mengalami kecanduan yang menjadi
tuna wisma, sebagian besar orang-orang yang mengalami kecanduan tidak pernah menjadi tuna wisma NCH,
1999b, dalam DuBois Miley, 2005: 293. Peningkatan ketunawismaan berkaitan erat dengan faktor-faktor sosial
ekonomi seperti tidak tersedianya perumahan yang cocok dan terjangkau; suatu perluasan kemiskinan di daerah-
daerah perkotaan dan pedesaan; dan menurunnya daya beli—upah rendah dalam menghadapi harga-harga yang
membubung naik.
Salah pengertian kedua tentang ketunawismaan ialah bahwa ruang perumahan diadakan untuk mengatasi
masalah ketunawismaan di seluruh negeri. Di dalam kenyataan, ada suatu kesenjangan antara jumlah orang-
orang yang tuna wisma dan tersedianya tempat tidur di perumahan pada hampir setiap daerah perkotaan utama.
Hasil dari suatu studi baru-baru ini di 27 kota di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 37 persen permohonan
perumahan darurat tidak dapat dikabulkan karena terbatasnya sumberdaya-sumberdaya NCH, 2002c,
dalam DuBois Miley, 2005: 293. Lagi pula, ruang perumahan barangkali kurang dimanfaatkan karena
kekuatiran-kekuatiran para pengguna potensial akan keselamatan pribadi, bukan karena banyaknya tempat
tidur yang kosong yang menandakan melimpahnya jumlah tempat tidur. Seperti di daerah-daerah pedesaan,
sangat sedikit perumahan yang tersedia.
Di unduh dari : Bukupaket.com
348 Salah pengertian ketiga tentang ketunawismaan ialah
bahwa orang-orang yang tuna wisma adalah pengangguran. Data menunjukkan bahwa sekitar 40
persen orang-orang yang tuna wisma adalah bekerja; akan tetapi, tentu saja ada suatu kaitan antara menjadi
tuna wisma dan menjadi miskin. Resesi ekonomi baru- baru ini telah meningkatkan instabilitas pasar kerja,
memperburuk keadaan orang-orang miskin yang sudah buruk.
Salah pengertian keempat tentang ketunawismaan ialah bahwa prakarsa-prakarsa pemerintah dalam mengatasi
krisis dan kebutuhan-kebutuhan jangka panjang yang berkaitan dengan orang-orang yang tuna wisma.
Sebaliknya, para pakar di bidang ketunawismaan menggambarkan respons pemerintah pada semua tingkat
seperti enggan, bertahap, dan hanya memberi respons yang parsial atau setengah-setengah terhadap
berkembangnya krisis ketunawismaan dan kurangnya perumahan. Di dalam kenyataan, anggaran pemerintah
untuk sektor perumahan berkurang secara besar-besaran pada tahun 1980-an setelah Presiden Jimmy Carter
mengakhiri kepresidenannya: Anggaran untuk program- program perumahan bersubsidi dipotong menjadi 81
persen dan program-program perumahan sewaan menjadi 72 persen First, Rife, Toomey, 1995, dalam DuBois
Miley, 2005: 294. Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa hanya sekitar sepertiga dari orang-orang yang
memenuhi persyaratan untuk memperoleh bantuan perumahan benar-benar menerimanya NCH, 2002a,
dalam DuBois Miley, 2005: 294. Walaupun baru- baru ini Kementerian Perumahan dan Pengembangan
Perkotaan Amerika Serikat telah membuat suatu komitmen untuk mengatasi isu-isu perumahan, sangat
sedikit program-program yang benar-benar dibiayai dari anggaran pemerintah. Para pemohon harus menunggu
hampir tiga tahun untuk memperoleh suatu apartemen di perumahan publik dan lebih dari dua tahun untuk
memperoleh kupon bantuan sewa perumahan. Perkiraan Kementerian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan
Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 5 juta rumahtangga berpenghasilan rendah yang memenuhi
Di unduh dari : Bukupaket.com
349 persyaratan belum menerima bantuan perumahan dari
semua jenis.
2. Terjadinya ketunawismaan