Pemilihan Degerminator KESIMPULAN DAN SARAN

4.4 Penentuan Waktu Perendaman Awal

Proses perendaman biji jagung pada proses kering maupun semi kering berbeda dengan perendaman pada proses basah. Perendaman pada proses basah dilakukan dalam waktu yang lama untuk proses ekstraksi pati, yaitu hingga 36 jam pada suhu 48-52 o C dengan penambahan larutan SO 2 dan menyebabkan terjadinya pengembangan pada biji jagung dan peningkatan kadar air biji dari 15 menjadi berkisar 45. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan penggilingan biji jagung dalam proses basah Watson dan Eckhoff 2004. Sementara itu, perendaman biji jagung pada proses kering dimaksudkan untuk memudahkan proses degerminasi seperti yang dilakukan pada proses penepungan gandum. Biji jagung secara umum memiliki kekerasan 74,51-165,69 N Martinez et al . 2006 yang tidak berbeda dengan kekerasan gandum 80,45-131,81 N Baslar et al . 2012. Pada proses pembuatan tepung terigu dilakukan tahap dempening dan conditioning untuk memudahkan pemisahan bagian kulit ari dan tudung pangkal biji dari endosperma Bogasari 2013. Demikian juga, perendaman awal pada biji jagung sebelum proses degerminasi dimaksudkan untuk memudahkan degerminasi. Menurut Matthews et al. 2005, perendaman awal pada proses kering dimaksudkan untuk menyamakan kadar air dan melonggarkan kulit ari, sehingga perendaman dilakukan dalam waktu yang singkat 5 hingga 15 menit bergantung varietas jagung. Perendaman tersebut dibatasi supaya tidak sampai terjadi penetrasi air hingga masuk ke dalam lembaga maupun endosperma. Pada penelitian ini, setelah direndam dalam air pada suhu ruang selama 10, 20, 30, 40 dan 50 menit, biji jagung kemudian ditiriskan selama 20 menit. Setelah ditiriskan, dilakukan degerminasi menggunakan degerminator tipe C. Ukuran keberhasilan proses degerminasi selain ditentukan oleh jumlah rendemen grits jagung, juga sangat ditentukan oleh banyaknya lembaga yang bisa dipisahkan dari biji jagung. Banyaknya lembaga yang berhasil dipisahkan selama proses degerminasi ini dapat dilihat dari kandungan lemak yang tersisa dalam grits jagung. Hal ini disebabkan sebagian besar lemak 85,6 dalam biji jagung terdapat dalam lembaga Watson 2003. Persentase penambahan bobot biji jagung setelah perendaman, rendemen, kadar lemak, distribusi ukuran grits jagung hasil degerminasi, dan losses selama degerminasi disajikan pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Pengaruh waktu perendaman terhadap penambahan bobot, rendemen, kadar lemak, distribusi ukuran grits jagung, dan losses Varietas Waktu Penambahan bobot Rendemen Kadar Lemak Ukuran Grits Losses +5 mesh 50 mesh menit Lokal Kodok 10 8,96 65,76 0,9970 30,66 69,34 6,28 20 10,24 65,54 0,9653 28,41 71,59 3,82 30 11,16 60,72 1,0206 19,53 80,47 4,38 40 11,84 58,70 1,0154 13,36 86,64 4,62 50 12,16 55,22 1,5602 11,41 88,59 4,16 Hibrida P21 10 7,94 61,86 0,7530 47,95 52,05 4,60 20 9,62 61,66 0,7472 48,85 51,15 3,72 30 10,88 58,24 0,7648 44,99 55,01 4,92 40 11,46 57,50 0,7724 46,26 53,74 5,32 50 11,48 58,10 0,7730 40,31 59,69 4,50 Persentase bobot basah Dapat dilihat pada Tabel 4.9 bahwa laju penambahan bobot biji jagung setelah perendaman terhadap kedua varietas jagung menunjukkan tren kenaikan dengan semakin bertambahnya lama waktu perendaman. Hal tersebut karena perendaman dapat menyebabkan terjadinya absorpsi air oleh biji jagung. Grafik peningkatan kadar air untuk kedua varietas terhadap lama waktu perendaman disajikan pada Gambar 4.2. Gambar 4.2 Grafik peningkatan kadar air biji jagung setelah perendaman Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa laju peningkatan kadar air biji jagung semakin kecil seiring dengan lamanya waktu perendaman. Terjadinya peningkatan kadar air biji jagung tersebut disebabkan oleh proses absorpsi oleh biji jagung. Penyerapan air oleh biji jagung lokal Kodok setelah direndam selama 20 menit lebih tinggi daripada penyerapan air oleh jagung hibrida P21 pada kondisi yang sama. Terjadinya perbedaan tersebut diduga berhubungan dengan kerapatan dan keteraturan penyusunan granula pati pada jagung hibrida yang lebih tinggi dibandingkan jagung lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari lebih tingginya kekerasan biji jagung hibrida dibandingkan dengan kekerasan biji jagung lokal Tabel 4.1. Menurut Sadjad 1975, proses absorpsi air oleh biji diawali oleh terjadinya penyerapan air ke dalam rongga jaringan melalui pori-pori secara pasif, terutama karena daya serap senyawa polisakarida, seperti hemiselulosa, pati, dan selulosa. Terjadinya perlambatan penyerapan air sejalan dengan meningkatnya lama waktu perendaman Gambar 4.2 sesuai dengan hasil penelitian Chung et al. 1972 yang melaporkan bahwa dari semua perlakuan perbedaan suhu, kelembaban, kadar air bahan, dan kondisi biji terhadap penambahan bobot biji jagung, penyerapan air terlihat sudah mulai mencapai titik kesetimbangan pada waktu perendaman 10 hingga 20 menit, dan pada waktu perendaman lebih dari 20 menit laju penyerapan air terjadi sangat lambat. Hasil tersebut juga didukung oleh Leopold 1983 yang melaporkan bahwa terjadi pertambahan volume biji yang sangat cepat pada awal proses imbibisi dan semakin lama pertambahannya semakin lambat. Sementara itu, rendemen grits untuk jagung lokal setelah perendaman hingga 40 menit selalu lebih tinggi daripada rendemen grits jagung hibrida. Hal tersebut karena kandungan pati pada biji jagung lokal 55,04 lebih tinggi daripada jagung hibrida, yaitu 47,13 Tabel 4.1. Rendemen grits yang 11 12 13 14 15 10 20 30 40 50 K a d a r a ir Waktu menit Lokal Kodok Hibrida P21 dihasilkan tersebut sesuai dengan perkiraan sebelumnya, yaitu ~58 untuk jagung hibrida dan ~66 untuk jagung lokal. Terdapatnya selisih ~2 lebih tinggi pada rendemen grits jagung hibrida hasil pengukuran dengan perkiraan awal karena kadar air grits jagung hibrida pada 20 menit perendaman juga lebih tinggi 2 dari kadar air biji utuhnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perendaman biji jagung kedua varietas selama 20 menit telah menghasilkan rendemen grits jagung sesuai dengan kandungan pati yang terdapat pada kedua contoh varietas jagung yang digunakan. Kadar lemak grits setelah degerminasi menunjukkan tren peningkatan yang tipis seiring dengan meningkatnya waktu perendaman. Waktu perendaman yang berlebih bisa menyebabkan lembaga menjadi lunak, sehingga mudah pecah ketika dilakukan pemisahan. Oleh sebab itu, pecahnya lembaga yang mengandung lemak tinggi tersebut berpotensi tercampur dalam bagian grits, sehingga kadar lemak pada grits hasil degerminasi terlihat sedikit terjadi kenaikan untuk waktu perendaman lebih dari 20 menit. Pemilihan waktu perendaman juga didasarkan pada persentase ukuran grits yang tidak lolos ayakan ukuran 5 mesh. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurangi risiko terjadinya losses pada tahap perendaman berikutnya. Dari Tabel 4.9 di atas terlihat bahwa persentase fraksi grits jagung yang tidak lolos ayakan ukuran 5 mesh cenderung turun dengan semakin lamanya waktu perendaman. Terdapat perbedaan yang nyata antara persentase fraksi grits jagung hibrida dan lokal. Persentase grits jagung hibrida yang berukuran lebih besar dari 5 mesh jauh lebih banyak daripada grits jagung lokal dengan ukuran yang sama. Perbedaan ini dimungkinkan terjadi karena biji jagung hibrida lebih keras daripada biji jagung lokal Tabel 4.1. Namun demikian, secara umum persentase ukuran grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh terbesar diperoleh pada perendaman biji jagung selama 20 menit. Efisiensi proses dapat dilihat juga dari nilai kehilangan bobot losses selama proses degerminasi. Oleh karena itu, semakin rendah losses suatu proses, maka proses dikatakan semakin efisien. Pada Tabel 4.9 dapat dilihat bahwa pengaruh lama waktu perendaman terhadap losses selama proses degerminasi relatif tidak banyak berbeda. Meskipun demikian, dapat dilihat bahwa nilai losses paling kecil untuk jagung hibrida adalah 3,72 yang diperoleh dari perendaman selama 20 menit. Sementara itu, losses terkecil untuk jagung lokal adalah 3,82 yang diperoleh dari hasil perendaman selama 20 menit. Penentuan lama waktu perendaman yang paling efisien untuk menghasilkan grits dengan rendemen tertinggi, losses terkecil, dan persentase ukuran grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh terbanyak, serta kandungan lemak pada grits terkecil dilakukan dengan menggunakan metode CPI. Penentuan bobot kriteria didasarkan pada tingkat kepentingan pengaruh efektifitas lama waktu perendaman untuk menghasilkan produk dengan kandungan lemak grits paling rendah dengan rendemen grits jagung paling tinggi, dan losses selama proses degerminasi paling sedikit, serta persentase grits kasar grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh yang paling tinggi. Dengan pertimbangan tersebut, ditetapkan bobot kriteria untuk kandungan lemak grits jagung hasil degerminasi adalah 0,4, bobot kriteria untuk rendemen grits adalah 0,3, dan bobot kriteria untuk persentase losses selama proses degerminasi adalah 0,2, serta bobot kriteria untuk persentase grits kasar adalah 0,1, sehingga jumlah bobot kriteria seluruhnya adalah 1,0. Hasil perhitungan dengan metode CPI terhadap kriteria-kriteria tersebut disajikan pada Tabel 4.10 untuk jagung lokal Kodok dan Tabel 4.11 untuk jagung hibrida P21. Tabel 4.10 Hasil perhitungan nilai kriteria lama waktu perendaman untuk jagung lokal Kodok Alternatif Kriteria Nilai Alternatif Peringkat Rendemen Losses Grits Kasar 1 Kadar Lemak 10 119,07 60,73 271,20 96,82 113,72 2 20 118,69 100,00 251,40 100,00 120,75 1 30 109,96 87,41 172,81 94,58 105,58 3 40 106,30 82,68 118,20 95,07 98,27 4 50 100,00 91,83 100,00 61,87 83,11 5 Bobot Kriteria 0,3 0,2 0,1 0,4 1 Grits kasar adalah persentase grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh Tabel 4.11 Hasil perhitungan nilai kriteria lama waktu perendaman untuk jagung hibrida P21 Alternatif Kriteria Nilai Alternatif Peringkat Rendemen Losses Grits Kasar 1 Kadar Lemak 10 107,58 80,87 118,99 99,23 100,04 2 20 107,23 100,00 121,15 100,00 104,29 1 30 101,29 75,61 111,64 97,69 95,75 3 40 100,00 69,92 114,70 96,74 94,15 5 50 101,04 82,67 100,00 96,66 95,51 4 Bobot Kriteria 0,3 0,2 0,1 0,4 1 Grits kasar adalah persentase grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukkan pada Tabel 4.10 dan 4.11 dapat diketahui bahwa waktu perendaman selama 20 menit menempati peringkat nomor 1. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa perendaman selama 20 menit dipilih sebagai waktu perendaman yang paling efektif untuk menghasilkan grits yang memenuhi beberapa kriteria yang telah dibahas sebelumnya. Hasil tersebut sejalan dengan kinetika proses penyerapan air oleh biji jagung dilaporkan oleh Laria et al. 2005, yang mempelajari proses perendaman biji jagung dalam larutan CaOH 2 untuk memudahkan pemisahan kulit ari pada proses nixtamalisasi. Dilaporkan bahwa proses penyerapan air dibagi dalam 4 empat tahap, yaitu tahap pertama adalah tahap penyerapan yang sangat cepat ketika larutan alkali masuk melalui tudung pangkal biji hingga pada permukaan kulit ari. Tahap kedua adalah masuknya larutan alkali sampai pada aleurone dan tahap ketiga adalah masuknya larutan sampai pada bagian terluar endosperma, dimana laju penyerapan sudah mulai terjadi perlambatan pada tahap kedua tersebut. Dan pada tahap keempat adalah tahap penyerapan yang sangat lambat karena mulai terjadi reaksi antara larutan alkali dengan matriks protein pada bagian luar endosperma hingga larutan masuk pada bagian dalam endosperma. Setelah tahap keempat tersebut mulai terjadi pelepasan granula pati dari matriks protein dan biji mulai mengembang. Kinetika absorpsi air oleh biji jagung tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Noorbakhsh et al. 2006 yang membuat persamaan kinetika laju absorpsi biji jagung sebagai fungsi waktu dan suhu perendaman. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diperkirakan pada waktu perendaman lebih dari 20 menit, air sudah mulai masuk pada bagian endosperma dan menyebabkan endosperma menjadi lunak dan mengembang, sehingga memungkinkan sebagian endosperma ikut tergerus selama degerminasi. Akibatnya, rendemen pada perendaman lebih dari 20 menit menjadi turun. Namun demikian Laria et al. 2005 juga mengingatkan bahwa laju penyerapan air oleh setiap biji jagung berbeda-beda bergantung pada kekerasan dan struktur endosperma, serta struktur dan ketebalan kulit ari.

4.5 Proses Inkubasi Grits Jagung dengan Papain

Penelitian penggunaan enzim untuk mengurangi lama waktu perendaman pada proses produksi pati jagung telah dilakukan oleh Hassanean and Abdel- Wahed 1986, Caransa et al. 1988, Steinke and Johnson 1991, Steinke at al. 1991; dan Moheno-Perez et al. 1999. Penelitian penggunaan enzim untuk tujuan menggantikan penggunaan SO 2 dan meningkatkan rendemen pati jagung telah dilakukan oleh Johnston dan Singh 2001, Serna-Saldivar dan Mezo- Villanueva 2003, Core 2004, Johnston dan Singh 2004; 2005. Penelitian menuju arah komersialisasi terus dilakukan hingga saat ini Ramirez et al. 2009. Namun demikian, penelitian penggunaan papain dalam proses produksi tepung jagung proses kering belum dilakukan hingga penelitian ini mulai dilakukan pada tahun 2011. Penggunaan papain pada penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan matriks protein yang melingkupi granula pati pada bagian endosperma biji jagung. Keberhasilan penggunaan enzim sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, aktivitas enzim konsentrasi, dan lama waktu inkubasi. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh konsentrasi papain dan lama waktu inkubasi terhadap kekerasan grits jagung. Sementara itu, pH selama proses dijaga hingga tidak keluar dari rentang pH optimum bekerjanya papain, yaitu 4 hingga 6 Sigma-Aldrich 2013. Di samping itu, proses inkubasi juga hanya dilakukan pada suhu ruang ±30 o C karena untuk menghindari terjadinya gelatinisasi pati yang pada umumnya terjadi pada suhu 60-72 o C Fennema 1996 dan besarnya biaya energi ketika diterapkan pada skala komersial. Dilakukannya inkubasi dengan papain setelah tahap degerminasi dimaksudkan untuk mempercepat penetrasi masuknya enzim papain ke dalam endosperma. Hal tersebut karena setelah degerminasi, endosperma sudah tidak terlindungi oleh kulit ari maupun tudung pangkal biji, bahkan setelah degerminasi bentuknya sudah berupa jagung pecah grits dan bukan jagung utuh. Johnston dan Singh 2001 melaporkan bahwa perendaman dengan enzim protease pada biji utuh menyebabkan enzim tidak mampu masuk berpenetrasi ke dalam biji dengan sempurna, sehingga enzim tidak mampu mendegradasi protein yang berikatan dengan pati. Menurut Wang et al. 2006, penghilangan kulit ari dapat mengurangi waktu yang diperlukan pada perendaman secara signifikan, karena jagung tanpa kulit ari terhidrasi lebih cepat dan sempurna. Proses inkubasi dilakukan pada rentang konsentrasi papain 0,1; 0,5; dan 1,0 70,9; 354,5; dan 709 Ug dan waktu inkubasi dari 3, 6, 12, dan 24 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini, akan ditentukan rentang konsentrasi papain dan lama waktu inkubasi pada tahap optimasinya. Hasil pengamatan terhadap pH larutan selama proses inkubasi menunjukkan pH terendah adalah 4,17 dan tertinggi 5,74 pada masing-masing konsentrasi. Tidak terdapat tren peningkatan ataupun penurunan pH selama proses inkubasi. Data hasil pengukuran pH selama inkubasi disajikan pada Lampiran 6.

4.5.1 Perubahan Warna Grits Jagung selama Inkubasi

Bekerjanya enzim protease dapat dilihat dengan mengamati terjadinya perubahan warna pada grits jagung setelah inkubasi. Pengukuran intensitas warna hanya dilakukan terhadap grits jagung hibrida P21 yang berwarna kuning, dan tidak dilakukan pada grits jagung lokal Kodok yang berwarna putih. Hal tersebut dilakukan karena terjadinya perubahan warna yang tampak nyata terjadi pada jagung hibrida P21. Perubahan warna selama proses inkubasi dengan penambahan papain ditunjukkan pada Gambar 4.3 untuk jagung hibrida P21 dan 4.4 untuk jagung lokal Kodok. Gambar 4.3 Foto grits jagung hibrida P21 selama proses inkubasi dengan papain Gambar 4.4 Foto grits jagung lokal Kodok selama proses inkubasi dengan papain Dari Gambar 4.3 dan 4.4 dapat dilihat terjadinya perubahan warna yang terjadi selama proses inkubasi. Hasil pengukuran warna dengan Chromameter menggunakan metoda Hunter menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan kecerahan contoh warna kromatis dari hitam mutlak dari nilai 0 sampai putih mutlak dengan nilai seratus, parameter a menunjukkan campuran merah hijau a+ = 0-100 untuk warna merah dan a- = 0--80 untuk warna hijau. Parameter b menunjukkan campuran warna biru kuning b+ =0-70 untuk warna kuning dan b- = 0--70 untuk warna biru. Selanjutnya, dihitung ºHue dari nilai a dan b yang diperoleh dengan persamaan ºHue = arc tan ab Hutching 1999. Hasil pengukuran warna grits jagung menunjukkan bahwa nilai L kecerahan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi papain pada waktu perendaman mulai 6 jam Tabel 4.12. Hal tersebut berarti tingkat kecerahan grits semakin meningkat setelah inkubasi dengan papain selama lebih dari 6 jam. Dari Tabel 4.12 juga terlihat bahwa nilai a bernilai positif yang berarti warna grits cenderung berwarna kemerah-merahan, dan nilai b juga positif yang menunjukkan grits jagung cenderung berwarna kekuning-kuningan. Warna kuning pada grits jagung disebabkan oleh adanya pigmen xantofil yang terdapat pada jagung. Xantofil termasuk pigmen karotenoid yang memiliki gugus hidroksil. Pigmen xantofil yang utama adalah lutein dan zeaxanthin, yaitu mencapai 90 dari total pigmen karotenoid di dalam jagung. Kandungan pigmen xantofil yang terdapat dalam jagung rata-rata sebesar 23 mgkg dengan kisaran 12-36 mgkg, sedangkan total karoten rata-rata sebesar 2,8 mgkg Watson 2003. Nilai a dan b cenderung turun dengan meningkatnya konsentrasi papain pada semua waktu