Biaya Overhead Pabrik Prakiraan Biaya Produksi

Dari Tabel 4.41 dapat dilihat bahwa dengan asumsi harga produk samping Rp.3.500,- tiga ribu lima ratus rupiah per kg, maka diperoleh besarnya kontribusi produk samping terhadap harga pokok produksi adalah Rp. 1.779,- seribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah per kg produk utama. Rendahnya asumsi harga produk samping ampok dan kulit ari jagung tersebut disebabkan karena penggunaannya hingga saat ini masih terbatas sebagai sumber protein dan lemak pada produksi pakan ternak. Tingginya kandungan dietary fiber pada ampok dan kulit ari berpotensi untuk dapat digunakan sebagai bahan pangan fungsional, namun hingga saat ini belum diperdagangkan secara komersial Rose et al . 2009. Hasil perhitungan HPP dan HPP adj untuk proses konvensional disajikan masing-masing pada Tabel 4.42. Tabel 4.42 Rincian biaya produksi, HPP, HPP adj, dan harga jual produk utama proses produksi tepung jagung secara konvensional Biaya Produksi Rp.th HPP Rp.kg HPP adj Rp.kg Harga Jual Rp.kg Proses Konvensional 536.938.600 5.966 4.187 4.926 Harga jual dengan margin keuntungan 15 Dari Tabel 4.42 dapat dilihat bahwa nilai HPP setelah ditambahkan nilai penjualan produk samping turun menjadi Rp. 4.187,- empat ribu seratus delapan puluh tujuh rupiah per kg. Dengan menetapkan margin keuntungan 15, diperoleh harga jual produk utama masih di bawah Rp. 5.000,- lima ribu rupiah per kg. Harga tersebut lebih rendah daripada harga tepung terigu maupun tepung beras yang ada di pasar yang berkisar Rp. 7.000,- tujuh ribu rupiah per kg, tetapi karena ukuran partikel tepungnya masih kasar dan kandungan lemaknya juga masih tinggi, maka hingga saat ini belum bisa diterima luas di pasar, terutama untuk mensubstitusi penggunaan tepung terigu. Adapun hasil perhitungan HPP, HPP adj dan harga jual produk utama hasil proses produksi secara enzimatis disajikan pada Tabel 4.40 . Tabel 4.43 Rincian biaya produksi, HPP, HPP adj, dan harga jual produk utama proses produksi tepung jagung secara enzimatis Lokal Kodok Hibrida P21 Lokal Kodok Hibrida P21 Biaya Produksi Rpth HPP Rpkg Biaya Produksi Rpth HPP Rpkg HPP adj Rpkg Harga Jual Rpkg HPP adj Rpkg Harga Jual Rpkg Dengan Sisteina 824.551.600 9.162 836.431.600 9.294 7.383 8.686 7.515 8.841 Tanpa Sisteina 600.415.600 6.671 616.255.600 6.847 4.892 5.756 5.068 5.963 Harga jual dengan margin keuntungan 15 Dari Tabel 4.43 dapat dilihat bahwa HPP adj produk utama hasil proses enzimatis dengan penambahan aktivator sisteina mencapai lebih dari Rp. 7.000,- tujuh ribu rupiah per kg. Nilai tersebut lebih tinggi daripada HPP adj proses enzimatis tanpa penambahan aktivator sisteina. Hal tersebut karena mahalnya harga sisteina. HPP dan HPP adj untuk bahan baku jagung lokal lebih rendah daripada HPP dan HPP adj untuk bahan baku jagung hibrida. Terjadinya perbedaan tersebut sebagai akibat adanya perbedaan kekerasan biji jagung keduanya. Dengan demikian, semakin keras biji jagung yang digunakan sebagai bahan baku, maka semakin tinggi HPPnya. Dengan mempertimbangkan harga jual tepung pangan yang akan disubstitusi, maka dipilih proses produksi secara enzimatis yang tidak menambahkan aktivator sisteina. Harga jual produk utama tanpa penambahan sisteina untuk kedua jenis bahan baku dengan marjin keuntungan 15 masih di bawah Rp. 6.000,- enam ribu rupiah per kg, yaitu masing-masing Rp.5.756,-kg dan Rp.5.963,-kg untuk tepung jagung lokal dan hibrida. Dengan harga tersebut, dan dengan ukuran partikel tepung yang sudah memenuhi persyaratan standar mutu, serta kandungan lemak kurang dari 1 satu persen, maka produk tepung jagung hasil proses secara enzimatis tersebut diyakini dapat bersaing di pasar. Hal tersebut karena harga tepung terigu curah masih lebih tinggi dibandingkan harga jual tepung jagung hasil proses tersebut, terlebih sejak ditetapkannya secara resmi Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara BMTPS untuk impor tepung gandum melalui peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 139PMK.0112012 oleh pemerintah, maka impor tepung gandum terkena BMTPS sebesar 20 Kemenkeu 2012. Dampak dikeluarkannya Permenkeu tersebut tentunya dapat berakibat naiknya harga jual tepung terigu curah di pasar lokal, dimana selama ini harga untuk merk Segitiga biru dijual Rp. 166.000,- 25 kg atau Rp.7.000,-kg, merk Cakra kembar Rp.171.000,-25 kg atau Rp.7.500,-kg, dan merk Kunci biru Rp. 166.381,-25 kg atau Rp. 7.000,-kg Bogasari 2013 diperkirakan akan terjadi kenaikan harga. Apalagi bila dibandingkan dengan harga tepung terigu maupun tepung beras kemasan berkisar antara Rp.10.000,- hingga Rp.12.000,- per kg, maka dengan selisih harga jual yang cukup besar tersebut, diharapkan tepung jagung dapat berpenetrasi ke pasar baik dalam bentuk curah maupun dijual dalam bentuk kemasan. Untuk mendapatkan harga yang lebih baik, pemasaran produk tepung jagung tersebut dapat dijual dalam bentuk kemasan 0,5 kg dan 1,0 kg sehingga harganya bisa lebih tinggi dan bisa diserap tidak hanya oleh kalangan industri tetapi juga oleh kalangan rumah tangga. Berdasarkan hasil prakiraan biaya produksi maupun harga pokok produksi dan harga jual produk utama proses produksi secara enzimatis di atas, maka terbuka lebar peluang untuk mensubstitusi penggunaan tepung terigu maupun tepung beras. Apalagi sudah banyak penelitian-penelitian yang mendukung pemanfaatan tepung jagung menjadi aneka produk olahan yang telah dilakukan dan dipublikasikan. Hal tersebut juga membuka peluang kepada para produsen tepung jagung yang ada untuk menerapkan proses produksi tepung jagung secara enzimatis guna memperluas pangsa pasar produknya.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Jenis peralatan degerminasi dan lama waktu perendaman biji jagung berpengaruh terhadap rendemen grits, kadar lemak, losses, dan ukuran partikel grits jagung yang dihasilkan. Penggunaan polisher gabah yang telah dimodifikasi degerminator tipe C dan waktu perendaman 20 menit memberikan hasil terbaik untuk varietas lokal dan hibrida dengan rata-rata rendemen grits 63,60, losses 3,77, dan berhasil menurunkan kandungan lemak dari 5,06 menjadi 0,86. 2. Hasil inkubasi grits jagung dengan papain menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi papain dan lama waktu inkubasi menyebabkan turunnya kekerasan dan kandungan protein grits jagung setelah diinkubasi. Penurunan kekerasan grits tersebut diikuti oleh meningkatnya persentase partikel tepung jagung yang lolos ayakan 60 mesh maupun 80 mesh. Inkubasi dengan papain menyebabkan penguraian matriks protein pada horny endosperm kedua varietas, dan tidak menyebabkan adanya kerusakan pada granula patinya. Pengukuran sifat visco amilografi tepung jagung yang dihasilkan setelah proses inkubasi menghasilkan profil amilografi tepung jagung yang mempunyai kemiripan dengan profil amilografi pati jagung komersial. 3. Kondisi optimum proses inkubasi untuk grits jagung lokal dan hibrida masing-masing pada konsentrasi papain 0,65 selama 21,15 jam dan pada konsentrasi papain 0,94 selama 15,64 jam dengan rendemen tepung jagung masing-masing 89,73 dan 92,31. Pada kondisi tersebut, persentase partikel tepung jagung yang lolos ayakan 80 mesh masing-masing naik dari 41,31 menjadi 95,04 dan dari 40,17 menjadi 94,31 dibandingkan dengan persentase ukuran partikel tepung jagung tanpa inkubasi dengan papain. Secara umum, kedua varietas jagung dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produksi tepung jagung, tetapi karena kekerasan biji jagung hibrida lebih tinggi daripada jagung lokal, maka proses inkubasi pada jagung hibrida membutuhkan konsentrasi papain yang lebih tinggi dan waktu inkubasi yang lebih lama daripada jagung lokal. 4. Biaya investasi untuk produksi tepung jagung secara konvensional maupun enzimatis dengan kapasitas 500 kg bahan baku per hari hampir sama. Namun demikian, biaya produksi tepung jagung secara enzimatis lebih mahal daripada secara konvensional karena adanya biaya tambahan untuk pengadaan papain dan sisteina. Biaya produksi tepung jagung secara enzimatis tanpa menggunakan sisteina, yaitu berkisar Rp.1.064-1.169,-kg, sedangkan biaya produksi dengan penambahan sisteina berkisar Rp.2.588- 2.637,-kg. Perbedaan kekerasan antara biji jagung hibrida dan lokal berdampak langsung terhadap biaya produksinya, sehingga semakin tinggi kekerasan biji jagung, semakin tinggi biaya produksinya. Dengan menetapkan margin keuntungan 15, harga jual tepung jagung hasil proses enzimatis tanpa penggunaan sisteina adalah Rp.5.756,-kg untuk jagung lokal dan Rp.5.963,-kg untuk jagung hibrida. Secara umum, dengan mutu tepung yang lebih baik, tepung jagung hasil proses enzimatis diharapkan mempunyai pangsa pasar yang lebih luas dan harga jual yang lebih baik.

5.2. Saran

1. Perlunya penelitian lebih lanjut untuk menentukan kesesuaian penggunaan tepung jagung hasil proses produksi secara enzimatis sebagai bahan baku aneka produk olahan pangan. 2. Mahalnya harga sisteina sebagai aktivator papain berdampak sangat besar terhadap biaya produksi tepung jagung secara enzimatis. Oleh karena itu, disarankan untuk mengganti dengan aktivator lain yang mudah diperoleh dan harganya terjangkau, sehingga dapat mengurangi penggunaan papain dan pada akhirnya dapat menurunkan biaya produksinya. 3. Banyaknya air yang digunakan selama proses produksi tepung jagung secara enzimatis dibandingkan dengan proses produksi tepung jagung konvensional berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk memanfaatkan ataupun mengolah air buangan proses tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto T dan Widyastuti YE. 2003. Meningkatkan Produksi Jagung. Jakarta ID:Penebar Swadaya. [Agfax.com] Agfax Media, LLC. 2013. Corn CBOT, Future Markets. [Internet] Mississippi US : [diunduh 6 Mei 2013]. Tersedia pada http:dtn.agfax.comindex [Ajinomoto] Ajinomoto North America Inc. 2013. L-Cysteine Hydrochloride Monohydrate L-Cys HCl H2O. [Internet].North America US:[diunduh 6 Mei 2013]. Tersedia pada http:www.ajiaminoacids.comproductl- cysteine20hydrochloride20monohydrate.aspx?MaterialNo=30341. [AMID] Asosiasi Mie Instan Dunia. 2013. Konsumsi Mi Instan Indonesia 14 Miliar Bungkus Setiap Tahun. [Internet]. Jakarta ID: AMID. [diunduh 29 April 2013]. Tersedia pada http:bisnismanajemen.co.id201304 konsumsi-mie-instan-indonesia-14-miliar-bungkus-setiap-tahun AOAC International. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Washington D.C US: Association of Official Analitycal Chemist. AOAC International. 2007. Official Methods of Analysis, 18 th ed, 2005; Current through revision 2, 2007 on-line. Method 960.52 Micro-Kjeldahl method. Gaithersburg, MD US: Association of Official Analitycal Chemist International. [Aptindo] Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2013. Konsunsi dan Penggunaan Terigu. [Internet].Jakarta ID: Aptindo [diunduh pada 8 Mei 2013]. Tersedia pada http:www.aptindo.or.id Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor ID: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. [Arobim] Asosiasi Roti, Biskuit dan Mie Instan. 2013. Utilisasi Mi Instan Meningkat 10. [Internet].Jakarta ID: [diunduh 15 Pebruari 2013]. Tersedia pada http:www.imq21.comnewsread11796920130110 155922Arobim-Utilisasi-Mi-Instan-Meningkat-10-.html Asdjudiredja L dan Permana K. 1990. Manajemen Produksi. Bandung ID: Armiko. Austin JE. 1992. Agroindustrial Project Analysis Critical Design Factor. Second Edition. Maryland US: The John Hopkins University Press. Azman KI. 2000. Kue kering dari tepung komposit terigu-jagung dan ubikayu. Sigma 3 2: 14 – 18. Bangun PN, Haryadi N, Bintoro, Darmadji P. 2005. Pembuatan tepung jagung kuning pramasak dengan proses nixtamalisasi serta karakterisasi produknya. J Agritech. 25 3:148-153.