Pengaruh Penambahan Papain Terhadap Morfologi Grits Jagung

endosperma yang ditandai oleh turunnya kekerasan grits dan turunnya kandungan proteinnya. Semakin tinggi suhu awal gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam granula pati tersebut. Menurut Hubeis 1985, suhu awal gelatinisasi dibagi menjadi suhu gelatinisasi rendah 55-69,5 o C, suhu gelatinisasi sedang 70-74,5 o C dan suhu gelatinisasi tinggi 74,5 o C. Dari penggolongan tersebut, suhu gelatinisasi tepung jagung setelah diinkubasi selama 24 jam dengan 1,0 papain adalah termasuk ke dalam suhu gelatinisasi sedang. A B Gambar 4.15 Amilografi tepung jagung lokal Kodok A dan tepung jagung hibrida P21 B pada berbagai kondisi dan pati jagung komersial Inkubasi dengan papain juga menyebabkan waktu untuk mencapai viscositas maksimum peak time tepung jagung menjadi lebih cepat seiring dengan meningkatnya konsentrasi papain dan lama waktu inkubasi. Waktu gelatinisasi tepung jagung tanpa penambahan papain untuk varietas lokal dan hibrida adalah 13,00 menit, dan menjadi 8,20 dan 8,00 menit setelah diinkubasi selama 24 jam pada 1,0 papain. Sementara itu, waktu gelatinisasi tepung jagung setelah inkubasi pada 0,5 papain selama 24 jam hampir sama dengan waktu gelatinisasi pati jagung komersial, yaitu 8,40 menit. Semakin cepatnya waktu untuk mencapai viscositas maksimum tersebut sebagai akibat terurainya matrik protein sehingga granula pati dapat tergelatinisasi tanpa hambatan. Viskositas maksimum merupakan titik maksimum viskositas pasta yang dihasilkan selama proses pemanasan. Pada titik ini, granula pati yang mengembang mulai pecah dan diikuti dengan penurunan viskositas. Charles et al. 2005 melaporkan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas maksimum pati akan semakin tinggi. Semakin tinggi viskositas maksimum, berarti kemampuan pati dalam menyerap air semakin besar dan daya thickening- nya kelengketan semakin besar. Hal ini memungkinkan penggunaan tepung dalam jumlah yang lebih sedikit untuk mencapai viskositas tertentu, dan akhirnya dapat mengurangi biaya produksi Rahman 2007. Viskositas maksimum tepung jagung sebelum penambahan papain adalah sebesar 1254 cP dan 1379 cP untuk jagung lokal dan hibrida. Setelah inkubasi selama 24 jam pada 0,5 dan 1,0 papain naik menjadi 3472 cP dan 4297 cP untuk jagung lokal dan 2787 cP dan 4327 cP untuk jagung hibrida. Viskositas maksimum tepung setelah diinkubasi dengan papain cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi papain dan waktu inkubasi. Terjadinya penguraian matriks protein selama inkubasi menyebabkan granula pati lebih mudah menyerap air dan mengembang sehingga berakibat meningkatnya viskositas maksimum selama inkubasi. Viskositas maksimum tepung jagung kadua varietas setelah diinkubasi selama 24 jam pada 1,0 papain sedikit lebih tinggi dibandingkan viskositas pati jagung komersial, yaitu 4041 cP. Hal tersebut menandakan kemudahan granula-granula pati pada tepung jagung mengembang adalah sudah sama dengan granula-granula pati pada pati jagung. Kestabilan pasta dalam kondisi panas dapat dilihat dengan melanjutkan pemanasan pada suhu 95 o C selama 5 menit. Terjadinya pemanasan tersebut menyebabkan granula pati menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong membentuk polimer dan agregat serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Viskositas minimum tepung jagung lokal dan hibrida setelah diinkubasi selama 24 jam pada 1,0 papain adalah 2237 cP dan 1940 cP. Perbedaan nilai viskositas minimum tersebut menunjukkan pasta tepung jagung lokal lebih stabil dibandingkan pasta tepung jagung hibrida. Secara umum, viscositas minimum kedua varietas jagung tersebut hampir sama dengan viskositas minimum pati jagung komersial, yaitu 2350 cP. Nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas minimum ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95 C disebut dengan breakdown viscosity . Menurut Beta dan Corke 2001, breakdown viscosity berhubungan dengan kestabilan pati selama pemanasan. Semakin rendah breakdown viscosity, maka pati semakin stabil pada kondisi panas. Besarnya breakdown viscosity menunjukkan bahwa granula-granula pati yang telah membengkak secara keseluruhan bersifat rapuh dan tidak tahan terhadap proses pemanasan Panikulata 2008. Breakdown viscosity tepung jagung lokal setelah diinkubasi selama 24 jam pada 1,0 papain lebih rendah daripada tepung jagung hibrida. Hal tersebut menunjukkan pasta tepung jagung lokal lebih stabil pada kondisi panas daripada tepung jagung hibrida. Sementara itu, bila dibandingkan dengan breakdown viscosity pati jagung komersial, pasta tepung jagung kedua varietas relatif kurang stabil pada kondisi panas. Pendinginan pada pasta pati mengakibatkan pasta pati mengalami kenaikan viskositas akibat retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan hydrogen intermolekuler Swinkels 1985. Nilai kenaikan viskositas pasta pati pada saat didinginkan ini disebut setback viscosity. Nilai ini ditentukan dengan menghitung selisih antara viskositas pasta pati setelah mencapai 50 o C dengan viskositas setelah holding 95 o C. Semakin besar positif nilai setback viscosity, proses retrogradasi semakin kuat dan bila nilainya semakin negatif, yang terjadi adalah proses sineresis Winarno 1992; Munarso 1998; Maziya-Dixon et al. 2007. Retrogradasi yang terlalu tinggi tidak diharapkan karena menyebabkan produk yang dihasilkan cepat mengalami kekerasan dan kering. Nilai setback viscosity tepung jagung lokal setelah inkubasi selama 24 jam pada 1,0 papain lebih tinggi daripada tepung jagung hibrida. Hal tersebut menandakan kecenderungan terjadinya retrogradasi pada tepung jagung lokal lebih kuat daripada tepung jagung hibrida yang disebabkan kandungan amilosa pada jagung lokal lebih tinggi daripada jagung hibrida Tabel 4.1. Namun demikian, kecenderungan terjadinya retrogradasi tepung jagung kedua varietas tersebut sama dengan kemampuan retrogradasi pati jagung komersial. Gambar 4.15 juga menunjukkan bahwa profil amilografi tepung jagung kedua varietas setelah diinkubasi selama 24 jam pada konsentrasi papain 1 adalah menyerupai profil amilografi pati jagung komersial. Hal tersebut mengindikasikan adanya kemiripan sifat visco amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan pati jagung yang dihasilkan dari proses basah. Dengan demikian, kehalusan partikel tepung dan kemampuan mengembang tepung yang dihasilkan sudah menyamai ukuran partikel dan kemampuan mengembang pati jagung sesuai hasil penelitian sebelumnya oleh Navickis dan Bagley 1986.

4.6 Optimasi Proses Produksi Tepung Jagung Secara Enzimatis

Hasil analisis korelasi antara konsentrasi papain dengan kekerasan grits jagung lokal maupun hibrida adalah signifikan pada waktu inkubasi 12 jam hingga 24 jam dengan korelasi pearson masing-masing 94,5 dan 96,5 dengan p-value 0,05 dan 0,04 untuk jagung lokal Kodok dan nilai korelasi pearson masing-masing 96,8 dan 96,5 dan p-value 0,03 dan 0,04 untuk jagung hibrida P21. Berdasarkan hasil tersebut, maka penentuan kondisi optimum inkubasi akan dilakukan pada rentang waktu 12 hingga 24 jam dan konsentrasi papain pada rentang 0,5 hingga 1,0. Penentuan kondisi optimum proses inkubasi dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap 2 dua faktor, yaitu faktor konsentrasi enzim dan faktor waktu inkubasi. Level faktor konsentrasi sebanyak 5 lima taraf, yaitu konsentrasi enzim 0,6; 0,7; 0,8; 0,9 dan 1,0 atau 425,4; 496,3; 567,2; 638,1; dan 709 Ug, sedangkan level faktor untuk lama waktu inkubasi adalah 4 empat taraf, yaitu : 15, 18, 21 dan 24 jam dengan 2 dua ulangan. Variabel respon dioptimasi adalah kekerasan grits jagung.

4.6.1 Pengaruh Penambahan Papain terhadap Kekerasan Grits Jagung

Penentuan kondisi optimum inkubasi dengan papain diukur berdasarkan respon kekerasan grits jagung setelah diinkubasi pada variabel lama waktu inkubasi dan konsentrasi papain. Penentuan rentang kedua variabel didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan. Dari hasil penelitian pendahuluan, diketahui bahwa pengaruh konsentrasi papain terhadap penurunan kekerasan grits jagung signifikan mulai konsentrasi 0,5 hingga 1,0 untuk kedua contoh jenis jagung. Sementara itu, pengaruh lama waktu inkubasi terhadap penurunan kekerasan grits jagung diketahui signifikan pada waktu inkubasi 24 jam. Dengan demikian, pada penentuan kondisi optimum proses, ditetapkan rentang waktu untuk konsentrasi papain adalah mulai 0,6 hingga 1,0 dengan selisih kenaikan sebesar 0,1. Sementara, rentang lama waktu inkubasi ditetapkan di atas 12 jam, yaitu mulai 15 hingga 24 jam dengan selisih pertambahan waktu sebesar 3 jam. Hasil pengujian kekerasan grits jagung setelah inkubasi disajikan pada Gambar 4.16A untuk jagung lokal, dan Gambar 4.16B untuk jagung hibrida. Dari kedua Gambar tersebut, dapat dilihat tren terjadinya penurunan kekerasan grits jagung, baik lokal maupun hibrida seiring dengan meningkatnya konsentrasi papain dan lama waktu inkubasi. Pada jagung lokal, kekerasan grits turun tajam dengan meningkatnya waktu inkubasi pada konsentrasi papain 0,6 hingga 0,8. Sementara, pada konsentrasi 0,9 hingga1,0 penurunan relatif kecil. Hal tersebut, mengindikasikan bahwa pada konsentrasi di atas 0,7 dengan waktu inkubasi 15 jam, matriks protein sudah sebagian besar terdegradasi, sehingga penambahan waktu inkubasi tidak banyak memberikan pengaruh terhadap penurunan kekerasan grits. Di sisi lain, pengaruh meningkatnya konsentrasi papain terhadap kekerasan grits jagung lokal pada waktu inkubasi 15 hingga 21 jam terlihat turun tajam hingga konsentrasi papain 0,9. Pada konsentrasi di atas 0,9 pengaruh penambahan waktu inkubasi terlihat tidak setajam periode sebelumnya, bahkan terlihat mulai tidak berpola. Hal tersebut mengindikasikan, peningkatan konsentrasi papain terhadap kekerasan grits jagung lokal efektif pada konsentrasi di bawah 0,9. A B Gambar 4.16 Grafik pengaruh waktu inkubasi dan kensentrasi papain terhadap kekerasan grits jagung lokal Kodok A dan grits hibrida P21 B Di sisi lain, pengaruh lama waktu inkubasi terhadap kekerasan grits jagung hibrida terlihat adanya penurunan yang cukup tajam pada waktu 15 hingga 18 jam untuk konsentrasi papain mulai 0,8 hingga 1,0. Sementara, pada konsentrasi di bawah 0,8 penambahan waktu inkubasi terlihat tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap penurunan kekerasan grits jagung hibrida. 20 25 30 35 40 15 18 21 24 K ek er as an Gr it s N Waktu Inkubasi Jam 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 35 40 45 50 55 60 15 18 21 24 K ek er as an Gr it s N Waktu Inkubasi Jam 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 Berbeda dengan pengaruh lama waktu inkubasi, peningkatan konsentrasi papain selama inkubasi memberikan pengaruh terhadap penurunan kekerasan grits jagung hibrida pada waktu inkubasi dari 15 hingga 24 jam. Terjadinya peningkatan kekerasan grits jagung pada waktu inkubasi 15 jam, dari konsentrasi 0,7 menjadi 0,8 dimungkinkan terjadi karena contoh grits jagung diduga mempunyai ukuran yang tidak seragam, dibandingkan pada contoh-contoh lainnya. Hasil rata-rata nilai respon kekerasan grits jagung untuk kedua varietas lokal maupun hibrida ditunjukkan pada Tabel 4.14. Tabel 4.14 Perbandingan nilai respon kekerasan grits jagung pada berbagai kondisi Waktu Inkubasi Jam Kekerasan Grits Jagung Lokal Kodok N Kekerasan Grist Jagung Hibrida P21 N Konsentrasi Papain 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0,6 0,7 0,8 0,9 1 15 37,13 34,9 33,17 23,66 25,04 55,37 44,48 52,32 49,5 43,16 18 33,93 34,74 31,34 24,09 22,43 54,33 45,55 47,31 41,13 38 21 32,24 34,03 30,99 23,02 21,6 53,37 47,78 46,92 43,3 38,1 24 27,31 25,55 25,03 23,62 22,57 50,83 45,47 44,4 39,44 37,68 Pada Tabel 4.14 terlihat bahwa rata-rata nilai respon kekerasan grits jagung hibrida selalu lebih tinggi dibandingkan dengan grits jagung lokal pada semua level faktor. Hal tersebut mengindikasikan adanya hubungan keteraturan antara variabel respon dengan variabel prediktornya. Taksiran parameter model hasil analisis response surface ditunjukkan pada persamaan 4.1 jagung lokal dan persamaan 4.2 jagung hibrida. Y = 57,6079 – 18,3427X 1 – 0.3268X 2 – 35,9524X 1 2 – 0,0579X 2 2 + 2,4448X 1 X 2 ........4.1 Y = 79.2401 – 16,0485X 1 – 1,0253X 2 + 5,6191X 1 2 + 0,0381X 2 2 – 1,2254X 1 X 2 ...........4.2 Keterangan : X 1 : Konsentrasi papain X 2 : Waktu inkubasi Pengujian terhadap signifikansi model dilakukan dengan melihat tabel hasil analysis of varians untuk kekerasan grits. Hasil ANOVA untuk model grits jagung lokal maupun hibrida menunjukkan model yang sesuai adalah model linear dengan p-value paling kecil p-value = 0,000 dibandingkan model kuadratik maupun interaksi antar faktor dengan α 0,05. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa model yang tepat adalah model linear. Adapun koefisien determinan R 2 dan R 2 adjusted untuk persamaan 4.1 masing-masing adalah 86,74 dan 82,01, dan standard deviasi model S adalah 2,207. Nilai koefisien determinan sebesar 86,74 dan setelah diadjust menjadi 82,01 menunjukkan model regresi di atas sudah cukup baik karena 86,74 terjadinya penurunan kekerasan grits jagung dapat dijelaskan oleh variabel konsentrasi papain dan lama waktu inkubasi. Sementara itu, koefisien determinan dan R 2 adjusted untuk persamaan 4.2 masing-masing adalah 78,73 dan 71,13, dan standard deviasi model adalah 2,950. Nilai koefisien determinan pada persamaan 4.2 lebih rendah dari persamaan 4.1 disebabkan adanya unusual observation pada pengamatan kedua yang mempunyai nilai residual yang cukup tinggi yaitu -6,613. Namun demikian, nilai Standard error of estimate S yang kecil untuk kedua persamaan menunjukkan sedikitnya kesalahan model regresi dalam memprediksikan nilai kekerasan grits. Taksiran parameter model dirangkum pada Tabel 4.15. Tabel 4.15 Taksiran parameter model grits jagung lokal Kodok dan hibrida P21 Taksiran Parameter Model Grits Lokal Grits Hibrida Koefisien determinan R-sq 86,74 78,73 Koefisien determinasi R-sqadj 82,01 71,13 Standard Error of Estimate S 2,207 2,950 Nilai F dan p-value untuk regresi linear 41,73 dan 0,000 25,37 dan 0,000 Nilai Fdan p-value untuk regresi square 1,30 dan 0,304 0,14 dan 0,867 Nilai F dan p-value untuk regresi interaksi 5,52 dan 0,034 0,77 dan 0,394 Pengujian kecukupan model dilakukan dengan analisis residual, yaitu memeriksa kenormalan residual, membuat grafik antara residual dengan hasil taksiran respon, dan membuat grafik antara residual dengan order pengamatan. Grafik residual untuk grits jagung lokal dan hibrida disajikan pada Gambar 4.17A dan 4.17B. 5 4 3 2 1 -1 -2 -3 -4 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Residual P e r s e n Mean -9,76996E-16 StDev 1,894 N 20 KS 0,117 P-Value 0.150 A 5,0 2,5 0,0 -2,5 -5,0 -7,5 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Residual P e r s e n Mean 6,700196E-15 StDev 2,539 N 20 KS 0,129 P-Value 0.150 B Gambar 4.17 Grafik probabilitas kenormalan residual untuk grits jagung lokal Kodok A dan grits jagung hibrida P21B