Analisis pengaruh kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi regional sebelum dan sesudah otonomi daerah : ( Studi kasus antar propinsi dipulau jawa )

(1)

ANALISIS PENGARUH KAPASITAS FISKAL, INVESTASI

SWASTA DAN TINGKAT PARTISIPASI ANGKATAN KERJA

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL SEBELUM

DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH

(Studi Kasus: Antar Propinsi di Pulau Jawa)

Oleh :

Anna Amelia

NIM: 106084002786

Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

1432 H/ 2010


(2)

(3)

(4)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

LEMBAR UJIAN KOMPREHENSIF

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

...

i

ABSTRACT

...

iii

ABSTRAK

...

iv

KATA PENGANTAR

...

v

DAFTAR ISI

...

vii

DAFTAR TABEL

...

xii

DAFTAR GAMBAR

………...

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

...

xv

BAB I

PENDAHULUAN

………..………

1

A.

Latar Belakang

………...

1

B.

Perumusan Masalah ……….

14

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

……….

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

……… 17

A.

Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ……..……….. 17

1.

Definisi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

….... 17


(5)

viii

3.

Faktor faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan

Ekonomi

………..

22

B.

Produk Domestik Regional Bruto

……… 27

C.

Kapasitas Fiskal

……… 31

1.

Definisi Denstralisasi Fiskal dan Kapasital Fiskal

……. 31

2.

Komponen Kapasitas Fiskal

……… 34

D.

Investasi Swasta

……… 40

1.

Definisi Investasi

……… 40

2.

Teori Investasi

……… 41

3.

Jenis Investasi swasta

……… 43

4.

Faktor – faktor yang mempengaruhi Investasi

…………...

43

E.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

……… 47

F.

Otonomi daerah

...

...

49

G.

Penelitian Terdahulu ………..

51

H.

Kerangka Berfikir

………..

59

I.

Hipotesis

……….

62

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

……… 64

A.

Ruang Lingkup Penelitian

……… 64

B.

Metode Pengumpulan Data

……… 64

C.

Metode Penentuan Sampel

………..

64

D.

Metode Analisis

………..

65

1.

Analisis Data Panel

……… 65


(6)

ix

1)

Pendekatan Pooled Least Square

………. 67

2)

Pendekatan Fixed Effect Model ………. 68

3)

Pendekatan Random Effect Model

………. 69

b.

Pemilihan Model

... ……. 70

1)

Uji F atau Uji Chow

……… 70

2)

Uji Hausmann

………..

71

3)

Uji Lagrange Multiplier Test

……… 73

c.

Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian)

...

74

1)

Koefisien Determinasi (R-Square)

……… 74

2)

Uji t-statistik

………..

74

3)

Uji F-statistik

………..

76

d.

Uji Asumsi Klasik

………..

77

1)

Normalitas

………..

77

2)

Multikolinearitas ………..

78

3)

Autokorelasi

………..

79

4)

Heterokedastisitas ………..

80

2.

Estimasi efek waktu (

time effect)

………..

81

3.

Model Umum Penelitian ………..

81

E.

Definisi Operasional Variabel

……..………

82

1.

Variabel Bebas (

Independent Variables

) ………..

82

a.

Kapasitas Fiskal

………..

82

b.

Investasi Swasta

………...

83


(7)

x

d.

Dummy otonomi daerah

... ...

83

2.

Variabel Terikat (

Dependent Variables

) : PDRB …………

83

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

83

A.

Gambaran Umum

...

...

83

1.

DKI Jakarta

...

...

83

2.

Jawa Barat

...

...

85

3.

Jawa Tengah

...

....

88

4.

DI Yogyakarta

...

....

91

5.

Jawa Timur

...

....

94

B.

Penemuan dan Pembahasan ... ....

96

1.

Analisa Deskriptif

... ...

96

a.

Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) ...

....

96

b.

Perkembangan Kapasitas Fiskal

...

100

c.

Perkembangan Investasi swasta

...

103

d.

Perkembangan Tingkat Partispasi Angkatan Kerja

(TPAK) ...

....

109

2.

Hasil Estimasi Model Data Panel

... ....

111

a.

Uji Chow

...

....

113

b.

Uji Hausman

...

....

114

3.

Analisis Estimasi

a.

Uji Kesesuaian Model (Test of Goodnest Fit)

...

115


(8)

xi

4.

Interpretasi Model

...

....

127

a.

Variabel Kapasitas Fiskal

... ....

127

b.

Variabel Investasi Swasta

... ....

128

c.

Variabel Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK) ...

....

129

d.

Variabel Dummy Otonomi Daerah

... ....

130

5.

Pengujian Hipotesis Sebelum dan Sesudah Otonomi

Daerah ...

132

a.

Sebelum Otonomi Daerah (1994-2000)

...

132

b.

Sesudah Otonomi Daerah (2001-2008)

...

133

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

... ...

137

A.

Kesimpulan

...

...

137

B.

Saran ... ...

139

DAFTAR PUSTAKA

……….

135


(9)

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Harga Konstan 2000 di Lima Propinsi di pulau Jawa Tahun

2006-2008 ... 4

1.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di pulau Jawa Tahun 2005-2008 ... 7

1.3 Perkembangan Realisasi Investasi swasta antar-Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008 ... 9

1.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2003-2008 ... 11

3.1 Nilai Durbin-Watson dalam Eviews ... 79

4.1 Hasil Analisis Terhadap Model Estimasi ... 111

4.2 Hasil Uji Chow ... 112

4.3 Hasil Uji Hausman ... 113

4.4 Hasil Jarque Bera Test ... 117

4.5 Hasil Estimasi Perbaikan ... 119

4.6 Koefisien Fixed Effect Model (Cross-Section) ... 120

4.7 Koefisien variabel independen terhadap PDRB pada tiap Cross-section ... 123

4.8 Hasil Estimasi Model Sebelum Otonomi Daerah ... 131


(10)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Fluktuasi Lima Variabel Penelitian Tahun Periode

1994-2008 ... 12 4.1 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Atas

Dasar Harga Konstan 2000 Lima Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 1994-2008 ... 96 4.2 Kapasitas Fiskal Lima Propinsi di Pulau Jawa

Tahun 1994-2008 ... 100 4.3 Perkembangan Investasi Swasta (PMDN dan PMA)

Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun 1994-2008 ... 103 4.4 Perkembangan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

di Lima Propinsi di Pulau Jawa Tahun ... 109 4.5 Uji t-statistik ... 115


(11)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Data PDRB, Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan Variabel

Dummy Otonomi daerah ... 142

2 Data PDRB, Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan variabel Dummy Otonomi daerah yang telah ditransformasikan ke model LOG ... 145

3 Hasil Regresi Dengan Pooled Least Squared (PLS) ... 148

4 Hasil Regresi Dengan Fixed Effect Model (FEM) ... 149

5 Hasil Uji Chow / F-Restricted ... 150

6 Hasil Regresi Dengan Random Effect Model (REM) ... 151

7 Hasil Uji Hausman ... 152

8 Uji Heterokedastis dengan Estimasi GLS Cross-Section Weight ... 153

9 Hasil Regresi Perbaikan FEM dengan Cross-Section SUR ... 154

10 Hasil Estimasi Model Sebelum Otonomi Daerah ... 155


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan pembangunan satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan di dalam mewujudkan tujuan nasional perlu selalu dilaksanakan dengan selaras, sehingga pembangunan sektoral yang berlangsung di daerah-daerah benar-benar sesuai dengan potensi dan prioritas daerahnya demi terciptanya tujuan dari diberlakukannya otonomi daerah oleh pemerintah. Hasil dari pembangunan diharuskan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai wujud dari pembangunan yang adil dan merata.

Pembangunan daerah dilaksanakan agar ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah tidak semakin meluas. Kegiatan pembangunan daerah tidak terlepas dari peran seluruh pemerintah daerah dan masyarakatnya yang secara bersama-sama mengambil inisiatif membangun daerah sehingga berhasil memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing. Tidak hanya itu, tetapi pemerintahan daerah harus dapat melihat sektor yang memiliki keunggulan serta kelemahan, mengoptimalkan pemberdayaan semua potensi yang dimiliki, dan menetapkan sektor komoditi yang diprioritaskan pengembangannya.

Menurut Schumpeter (Jhingan, 2004: 125), pembangunan ekonomi adalah perubahan spontan dan terputus- putus dalam keadaan stasioner yang


(13)

2 senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya, sedang pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap dan terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk.

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sangat membutuhkan ketepatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal pembangunan. Pembangunan ekonomi dapat memberi manusia kemampuan yang lebih besar untuk menguasai alam sekitarnya dan mempertinggi tingkat kebebasannya dalam mengadakan suatu tindakan tertentu. Jadi tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk meningkatkan pendapatan riil juga untuk meningkatkan produktifitas masyarakatnya.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan proses berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, karena Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan.

Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat adanya gejala pertumbuhan ekonomi daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB), karena didalamnya mencerminkan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan dicapai oleh penduduk selama periode tertentu. produk domestik regional bruto (PDRB) juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu daerah atau masyarakat.


(14)

3 Pulau Jawa adalah pulau yang telah memenuhi beberapa aspek penting yang mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, pertama dari segi tenaga kerja, pulau jawa adalah pulau dengan penduduk terbanyak di Indonesia dimana penduduknya mencapai sekitar 124 juta jiwa dengan luas pulau hanya 6% dari wilayah Indonesia secara keseluruhan. Dengan jumlah penduduk yang tinggi maka hal ini dapat memberikan pulau Jawa tingkat penwaran tenaga kerja yang tinggi, dimana tenaga kerja adalah salah satu faktor dalam terciptanya kegiatan perekonomian. (http://id.wikipedia.org/wiki/ jawa)

Kedua, karena di Pulau Jawa terdapat Ibu kota negara sehingga perhatian pemerintah pusat akan lebih besar kepada propinsi DKI Jakarta selaku Ibu kota negara dan propinsi-propinsi yang berdampingan dengan DKI Jakarta baik dari segi pembangunan maupun pertumbuhan ekonominya. Sehingga perkembangan pembangunan baik dari segi infrastruktur maupun kegiatan perekonomiannya lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lain yang ada di Indonesia. Hal ini menjadikan pulau Jawa sebagai pulau yang paling diminati dan paling tinggi dalam menerima penanaman modal oleh para investor swasta baik asing maupun domestik jika dibandingkan dengan pulau lain karena pembangunan ekonomi di pulau Jawa dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia. Sehingga memacu pertumbuhan ekonomi kearah yang positif (KER, 2008: 45)

Pada tahun 1994 terdapat banyak perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu salah satunya adalah diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994


(15)

4 tentang kepemilikian saham yang intinya mempermudah penanaman modal asing di Indonesia, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Kemudian seperti yang dikemukakan pada Laporan Perekonomian Indonesia tahun 1994, bahwa PDB perkapita Indonesia tahun 1994 mulai membaik sejak krisis tahun 1993, sehingga peneliti akan melakukan penelitian sejak tahun 1994-2008 dimana pada tahun penelitian ini terdapat pula diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, yang mulai diberlakukan sejak tahun 2001.

Laju pertumbuhan ekonomi lima propinsi di Pulau Jawa selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini selalu mengalami kenaikan, walaupun kenaikan itu tidak terlalu signifikan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto atas dasar Harga Konstan 2000 di Lima Propinsi di pulau Jawa Tahun 2006-2008

(Dalam Juta Rupiah) Propinsi 2006 2007 2008 DKI Jakarta 312,826,712.00 332,971,253.00 353,539,057.00

Jawa barat 257,449,445.00 274,180,307.00 290,171,128.00 Jawa tengah 150,682,654.00 159,110,253.00 167,790,369.00 DIY 17,535,749.00 18,291,511.00 19,208,937.00 Jawa Timur 217,249,316.00 287,814,183.00 304,798,996.00

Sumber : PDRB Menurut Lapangan Usaha, BPS, 2006-2008

Pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa PDRB tertinggi dimiliki oleh Propinsi DKI Jakarta dengan peningkatannya yang cukup signifikan pada tiap tahunnya selama periode 2006-2008. Pada tahun 2006 PDRB DKI Jakarta atas dasar harga konstan 2000 sebesar 312,826,712.00 (dalam juta rupiah) naik menjadi 332,971,253.00 di tahun 2007 (dalam juta rupiah) atau laju pertumbuhan PDRB nya naik sebesar 0,49%. Dan disusul oleh propinsi Jawa Barat, Jawa


(16)

5 timur, Jawa tengah dan PDRB terendah dimiliki oleh Propinsi DI Yogyakarta dengan nilai sebesar 19,208,937.00 (dalam juta rupiah) ditahun 2008.

Tetapi secara keseluruhan dari ke-lima propinsi di Pulau Jawa, terlihat bahwa PDRB atas dasar harga konstan 2000 selama periode tahun tersebut selalu naik, ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Pulau Jawa selalu mengalami peningkatan, meskipun peningkatannya tidak merata.

Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan pemerintahan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat juga mengalami perubahan. Pada masa orde baru, sistem pemerintahan kita bersifat sentralistik dan ternyata hanya menimbulkan ketidak-adilan di seluruh daerah, hal tersebut dapat dilihat dari hasil pembangunan di seluruh wilayah Indonesia terdapat ketimpangan yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketimpangan yang cukup besar antar daerah, baik antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, Pulau Jawa dengan wilayah lainnya dan juga antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan.

Sejak tanggal 1 Januari 2001 telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya “secara efektif” otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 32


(17)

6 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi dengan UU Nomor 33 Tahun 2004.

Menurut Halim dalam A.A.N.B Dwirandra (2007: 5)

“ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD sebagai salah satu dasar dari komponen penentu kapasitas fiskal harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”

Pada era otonomi ini, diharapkan dapat memotivasi daerah untuk meningkatkan kreatifitas dan inisiatif untuk lebih menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah, dan dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan terarah agar pembangunan disetiap daerah dapat benar-benar sesuai dengan prioritas dan potensi daerah, sehingga daerah dapat menjadi mandiri di dalam pengelolaan kewenangannya yang ditandai dengan semakin tinggi atau kuatnya kapasitas fiskal suatu daerah. Sementara itu untuk beberapa hal yang mungkin masih kekurangan dana, daerah masih diberi bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Perimbangan.

Dalam rangka melihat hasil otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, penelitian dari sisi kapasitas fiskal suatu daerah cukup


(18)

7 berperan. Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Karena besaran pengalokasian suatu anggaran yang dimaksudkan untuk membangun daerah dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi didasarkan terlebih dahulu dari penerimaan daerah yang terangkum dalam ‘formula’ kapasitas fiskal.

Semakin besar kapasitas fiskal suatu daerah, semakin besar pula anggaran yang mampu dialokasikan oleh suatu daerah untuk membangun daerah tersebut. Dengan catatan bahwa pengalokasian anggaran tiap tahunnya oleh pemerintah daerah yang terangkum dalam APBD benar-benar dialokasikan dengan bijak dan sesuai porsinya.

Dengan demikian dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah tinggi rendahnya kapasitas fiskal sangat penting. Perlu ditekankan bahwa setelah otonomi daerah efektif diberlakukan, pemerintah daerah tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat. Kapasitas fiskal propinsi di pulau Jawa dapat dilihat pada table 1.2

Tabel 1.2 Kapasitas Fiskal lima propinsi di pulau Jawa Tahun 2005-2008

(Dalam Juta Rupiah) Propinsi 2005 2006 2007 2008 DKI Jakarta 12,594,852.04 13,564,506.88 15,864,177.92 18,761,542.82

Jawa barat 4,254,228.27 4,481,446.21 5,044,326.98 4,781,698.00 Jawa tengah 2,747,820.40 2,926,061.99 3,301,415.73 3,791,733.22 DIY 440,458.31 476,880.62 532,434.45 607,220.46 Jawa Timur 3,919,811.67 4,259,258.74 4,828,991.69 4,280,659.00 Sumber : Statistik Keuangan daerah, BPS,diolah, 2005-2008


(19)

8 Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara menyeluruh dan berkesinambungan, pemerintah daerah perlu adanya dukungan dari pihak swasta. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah daerah perlu membuat kebijakan yang mendukung penanaman modal yang saling menguntungkan baik bagi pemerintah daerah, pihak swasta maupun terhadap masyarakat daerah.

Dalam hal ini, Investasi swasta memegang peranan penting dalam meningkatkan pembangunan dan sebagai salah satu komponen yang berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi.

Sukses tidaknya suatu daerah dalam menarik arus dana investasi swasta tidak terlepas dari berbagai faktor ekonomi dan non ekonomi yang ada pada daerah tersebut. Tumbuhnya iklim investasi yang sehat dan kompetitif diharapkan akan memacu perkembangan investasi yang saling menguntungkan dalam pembangunan daerah.

Pada dasarnya pemberian fasilitas yang sifatnya mendorong investor untuk berinvestasi, seperti pembebasan pajak dan kemudahan untuk mengakses bahan baku akan sangat efektif bila didukung oleh daerah tujuan. Iklim usaha yang menunjang dan mendorong penanaman modal dan Infrastruktur yang menunjang dan memadai.

Investasi swasta berdasarkan sumbernya, terbagi menjadi dua, yaitu Penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan Penanaman modal asing (PMA). PMDN adalah investasi domestik, yaitu realisasi jumlah nilai investasi swasta


(20)

9 yang berasal dari dalam negeri yang ditanamkan untuk kegiatan produksi dalam penelitian ini yaitu lima propinsi dipulau Jawa setiap tahunnya.

Sebaliknya, PMA adalah investasi swasta asing, yaitu realisasi jumlah investasi yang ditanamkan di lima propinsi di pulau Jawa yang berasal dari swasta luar negeri setiap tahunnya. Perkembangan Investasi swasta lima propinsi dipulau Jawa dapat dilihat pada tabel 1.3.

Tabel 1.3 Perkembangan Realisasi Investasi Swasta antar-Propinsi di Pulau Jawa Tahun 2004-2008

(Dalam Juta Rupiah)

Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur

P I P I P I P I P I

2004 253 15.928.846,03 179 13.708.761,10 12 992.070,55 5 26.125,14 41 2.107.013,88 2005 388 34.313.994,88 262 28.279.368,74 26 1.218.341,70 9 196.447,88 71 10.875.622,37 2006 359 16.580.967,06 229 20.190.168,44 47 3.759.949,85 12 467.303,92 70 3.895.137,16 2007 399 49.485.399,15 279 24.191.312,28 44 1.250.966,69 3 41.205,86 79 18.077.816,76 2008 467 104.966.253,06 357 30.826.009,51 56 2.742.883,02 6 18.233.066,50 113 7.533.179,68

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Pusat, diolah.

Ket : I : Nilai Realisasi Investasi dalam juta rupiah P : Jumlah Izin Usaha Tetap yang dikeluarkan

Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat, investasi Swasta hanya terfokus di dua provinsi yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, dengan nilai realisasi lebih tinggi dibandingkan lima provinsi penelitian di Pulau Jawa. Kedua provinsi tersebut merupakan penyumbang investasi terbesar dari lima propinsi di Pulau Jawa.

Nilai Investasi di lima propinsi di Pulau Jawa sangat fluktuatif, terutama pada propinsi DIY yang tercatat di BKPM pada tahun 2008 tidak ada investor swasta dalam negeri yang melakukan investasi. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1.3. Apabila dilihat secara umum, pertumbuhan investasi swasta selama kurun waktu 2004-2008 memiliki kencenderungan meningkat.


(21)

10 Modal pembangunan yang penting lainnya adalah sumber daya manusia. Partisipasi aktif dari seluruh masyarakat akan mempercepat pembangunan daerah karena rasa kepemilikan yang lebih besar terhadap daerah. Hasil yang dicapai dalam pembangunan juga akan lebih cepat dirasakan untuk daerah sendiri sehingga nantinya dapat merangsang kesadaran masyarakat membangun wilayah lokal masing-masing.

Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas disamping terpenuhinya kuantitas permintaan tenaga kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Tingkat partisipasi angkatan kerja merupakan angkatan kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi tercipta karena adanya pertumbuhan dari siklus kegiatan ekonomi masyarakatnya. TPAK merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja standar nasional Indonesia. Angkatan kerja yang dimaksud disini adalah jumlah penduduk usia kerja yang mencari pekerjaan dan sedang bekerja, termasuk usia produktif yang mencari kerja.

Fluktuasi Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK) Lima propinsi di Pulau Jawa pada tahun periode 2003-2008 dapat dilihat pada tabel 1.4.


(22)

11 Tabel 1.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Lima Propinsi di Pulau

Jawa Tahun 2003-2008

(Dalam Persen) Tahun DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur

2003 60,45 61,44 70,30 71,99 68,91 2004 61,93 62,45 71,04 71,73 68,59 2005 63,08 62,88 71,18 71,95 69,50 2006 64,92 61,41 68,60 69,20 67,36 2007 64,95 62,50 70,16 68,56 68,99 2008 68,68 63,09 68,37 70,51 69,31 Sumber : Statistik Indonesia, BPS, 2003-2008, diolah

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di lima propinsi di Pulau Jawa sangat fluktuatif, rata-rata menunjukkan peningkatan pada tingkat partisipasi angkatan kerja setiap tahunnya walaupun tidak terlalu signifikan, sering pula terjadi penurunan pekerja, seperti TPAK pada propinsi Jawa barat ditahun 2005 sebesar 62,88 turun ditahun 2006 menjadi 61,41% meskipun mengalami peningkatan ditahun 2007 dan 2008. Hal serupa dialami juga oleh propinsi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur mengalami penurunan TPAK ditahun 2006 yang masing-masing menjadi 68,60% ; 69,20% dan 67,36% dari tahun 2005 yang masing-masing dapat mencapai 71,18% ; 71,95% dan 67,36%. Sementara nilai TPAK untuk propinsi DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan dari tahun 2003 hingga 2008.

Kapasitas fiskal, peningkatan peran serta swasta dan peningkatan partisipasi tenaga kerja lokal sebagai modal pembangunan daerah diharapkan menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan daerah. Fluktuasi empat variabel penelitian tahun periode 1994-2008, dapat dilihat pada gambar 1.1.


(23)

12

Dalam Persen (%)

Gambar 1.1 Fluktuasi lima variabel penelitian tahun periode 1994-2008

Gambar 1.1 merupakan laju pergerakan empat variabel penelitian, baik pergerakan positif maupun negatif, dalam penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana pengaruh variabel kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja terhadap PDRB. Jika kita lihat pergerakan PDRB terus meningkat walaupun tidak terlalu signifikan, yang meningkat secara signifikan terlihat pada variabel kapasitas fiskal, apabila kita melihat pergerakan kapasitas fiskal yang merupakan cerminan dari peningkatan penerimaan daerah, seharusnya pergerakannya diikuti dengan meningkatnya PDRB, karena asumsinya, dengan meningkatnya kapasitas fiskal suatu daerah berarti porsi anggaran pemerintah daerah untuk pembangunan daerah juga membesar yang secara langsung akan berpengaruh terhadap meningkatnya PDRB, tetapi hal tersebut tidak ditunjukkan pada gambar 1.1, dimana gambar menunjukkan bahwa meningkatnya kapasitas fiskal secara signifikan belum cukup mempengaruhi peningkatan PDRB secara signifikan pula.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

PDRB

Kapasit as Fiskal Invest asi Sw ast a TPAK


(24)

13 Kemudian hal lain yang ditunjukkan pada gambar adalah pergerakan investasi swasta, dimana sekitar tahunh 1999-2001 terjadi fluktuasi yang signifikan, yang seharusnya juga mempengaruhi flukrtuasi pada PDRB. Dengan asumsi jika investasi swasta meningkat, akan meningkatkan kegiatan ekonomi, pertambahan output, dan juga penyerapan tenaga kerja lokal sehingga mampu mengurangi pengangguran sehingga meningkatkan pendapatan perkapita yang berpengaruh terhadap PDRB. Tetapi jika kita lihat pada garis PDRB, peningkatan yang signifikan pada kapasitas fiskal serta pergerakan yangf berfluktuatif pada investasi swasta tidak cukup mampu mempengaruhi pertumbuhan PDRB secara signifikan.

Berdasarkan gambar 1.1 diatas, masih terdapat beberapa hal yang belum dapat terjawab oleh peneliti, oleh karena itu, berangkat dari uraian tersebut di atas, terlihat hubungan yang cukup unik pada kapasitas fiskal, investasi swasta yang terdiri dari PMDN dan PMA, serta tingkat partisipasi angkatan kerja yang sesuai dugaan sementara mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di lima propinsi di pulau Jawa. Dari fenomena tersebut di atas maka perlu adanya suatu penelitian yang diharapkan dapat memberikan rekomendasi demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi di lima propinsi di Pulau Jawa.

Hal ini yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal, Investasi swasta dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan ekonomi Regional Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Kasus : Antar Lima Propinsi di Pulau Jawa)


(25)

14 B.Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti kemukakan pada latar belakang, bahwa kapasitas fiskal, investasi swasta serta TPAK mempengaruhi PDRB, dimana kapasitas fiskal merupakan cerminan dari tingkat kemampuan daerah dalam menghimpun dana untuk kembali digunakan untuk membangun daerahnya sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya, investasi swasta akan meningkatkan kegiatan ekonomi, menambah pemdapatan pajak, menghasilkan output serta penyerapan tenaga kerja lokal yang mampu mendorong PDRB kearah yang positif ditambah dengan TPAK yang merupakan faktor utama adanya kegiatan ekonomi.

Ketiga hal tersebut dirasa oleh peneliti merupakan hal penting yang mampu meningkatkan PDRB secara signifikan, tetapi berdasarkan gambar 1.1 dan uraian yang telah peneliti sampaikan, bahwa kapasitas fiskal yang meningkat signifikan serta investasi swasta yang berfluktuatif walaupun meningkatkan PDRB, tetapi belum mampu menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada tahun penelitian terdapat suatu kebijakan di Indonesia, yaitu diberlakukannya otonomi daerah, dimana dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengoptimalkan potensi wilayahnya agar dapat memaksimalkan penerimaan daerah guna meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan daerahnya, dengan demikian tujuan dari otonomi daerah adalah untuk meminimalisir adanya ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Dari hal-hal inilah,


(26)

15 timbul beberapa masalah yang akan dibahas oleh peneliti yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan peneliti sebagai berikut:

 Pertanyaan penelitian

1. Apakah Kapasitas fiskal, Investasi swasta, tingkat partisipasi angkatan kerja dan Dummy otonomi daerah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa?

2. Manakah diantara Kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang paling berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

 Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk menganalisa pengaruh kapasitas fiskal, investasi swasta, tingkat partisipasi angkatan kerja dan dummy otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.

2. Untuk menganalisa variabel kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.

 Hasil Penelitian ini dapat bermanfaat :

1. Hasil penelitian ini diharapan dapat memberikan gambaran bagaimana kontribusi kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja terhadap Pertumbuhan ekonomi antar lima propinsi di Pulau Jawa.


(27)

16 2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi bagi

lembaga-lembaga terkait dalam menentukan kebijaksanaannya yang berkaitan dengan dengan pertumbuhan ekonomi daerah.

3. Sebagai sumber informasi bagi peneliti yang lain yang berminat pada masalah yang sama dan analisis yang dapat diperoleh dapat menjadi informasi bagi pihak yang memerlukan.


(28)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

1. Definisi Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi

(economic growth), pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan

ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.

Banyak pakar dalam bidang ekonomi yang menyatakan bahwa istilah pertumbuhan ekonomi berbeda dengan istilah pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara.

Pembangunan ekonomi mengandung arti yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Menurut Sadono (2007:3), pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat.


(29)

18 Arsyad (2010: 11) menerangkan bahwa Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil perkapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

Menurut Sadono (2007: 9-11), pertumbuhan ekonomi adalah sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dengan istilah pembangunan ekonomi itu sendiri adalah pada pertumbuhan ekonomi, keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, hanya dilihat dari perkembangan kegiatan perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan didalam masyarakat bertambah, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, dan teknik.


(30)

19 2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi adalah teori-teori yang menerangkan faktor-faktor yang menimbulkan dan menentukan lajunya pertumbuhan ekonomi, teori tentang pertumbuhan ekonomi telah dikemukakan sejak zaman historimus, seiring dengan perkembangan zaman dimana terjadinya perubahan ideologi, revolusi dan inovasi teknologi, membuat perkembangan twori dan konsep pemikiran tentang pertumbuhan ekonomi berkembang sangat pesat (Adelman, dalam Arsyad (2010: 55-56))

Oleh karena itu peneliti menggunakan beberapa teori pertumbuhan yang mendukung penelitian ini sebagai berikut :

Teori Ricardian Asumsi Teori Ricardo :

Asumsi-asumsi tentang pertumbuhan ekonomi yang digunakan oleh Ricardo (Arsyad, 2010: 80) yaitu, keadaan perekonomian saat itu adalah dimana jumlah tanah terbatas; kemudian meningkat atau menurunnya tenaga kerja (penduduk), tergantung pada tingkat upah nominal. Apabila tingkat upah nominal lebih besar dibandingkan tingkat upah minimum, maka jumlah tenaga kerja akan meningkat, begitupun sebaliknya; Akumulasi modal terjadi jika tingkat keuntungan yang diperoleh para pemilik modal berada diatas tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik mereka untuk melakukan investasi.

Diasumsikan pula, bahwa kemajuan teknologi terjadi sepanjang waktu, serta sektor pertanian sangat dominan.


(31)

20 David Ricardo mengungkapkan pandangannya bahwa, dengan terbatasnya jumlah tanah, maka pertumbuhan penduduk (tenaga kerja) akan menurunkan produk marginal yang kemudian dikenal dengan istilah Law of deminishing return atau hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang. Selama tenaga kerja yang dipekerjakan pada tanah tersebut dapat menerima upah diatas tingkat upah alamiah, jumlah tenaga kerja akan terus bertambah. Hal tersebut akan menurunkan lagi produk marginal tenaga kerjanya dan pada gilirannya akan menurunkan tingkat upah.

Menurut Ricardo (Arsyad, 2010: 81), peranan akumulasi modal dan kemajuan teknologi akan cenderung meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Dengan kata lain akan memperlambat terjadinya the law of deminishing return yang pada gilirannya akan memperlambat pula penurunan tingkat hidup kearah tingkat hidup minimal.

Teori Keynes

Menurut Keynes terjadinya pengangguran merupakan akibat dari kurangnya pengeluaran agregat, dan untuk mengatasinya Keynes menyarankan agar memperbesar pengeluaran konsumsi dan non konsumsi. Dalam hal ini maka Keynes menganjurkan adanya campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan segi penawaran yang dapat mempengaruhi permintaan efektif (Sadono, 2004: 85).


(32)

21

Teori Harrod-Dommar

Teori Harrod-Domar merupakan teori pertumbuhan jangka panjang, karena teori ini menerangkan syarat-syarat apa saja harus dipenuhi agar suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth.. Analisis Harrod-Dommar menggunakan pemisalan-pemisalan berikut (Sadono, 2004: 435) :

“(i) barang modal telah mencapai kapasitas penuh, (ii) tabungan adalah proporsional dengan pendapatan nasional, (iii) rasio modal-produksi nilainya tetap, (iv) perekonomian terdiri dari dua sektor.”

Menurut Arsyad (2010: 84-85), Teori ini menunjukan bahwa perekonomian dapat menyisihkan sejumlah proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk mengganti barang-barang modal seperti gedung, peralatan dan lain-lain yang telah rusak. Namun demikian untuk dapat meningkatkan laju perekonomian, diperlukan pula investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal. Teori Harrod-domar memandang bahwa ada hubungan ekonomis antara besarnya stok modal dan output total, misalnya, jika 3 rupiah modal diperlukan untuk menghasilkan output sebesar 1 rupiah, maka setiap tambahan bersih terhadap stok modal akan mengakibatkan kenaikan output total sesuai dengan rasio modal output tersebut.

Teori Schumpeter

Menurut Schumpeter, kemajuan perekonomian kapitalis disebabkan karena diberinya keleluasaan untuk para entrepreneurship. Sayangnya


(33)

22 keleluasaan tersebut cenderung memunculkan monopoli kekuatan pasar. Monopoli inilah yang memunculkan masalah-masalah non ekonomi, terutama sosial politik yang akhirnya dapat menghancurkan kapitalis itu sendiri (Sadono, 2007:434).

Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship). Sebab, para pengusahalah yang mempunyai kemampuan dan keberanian untuk mengumpulkan dan mengorganisasikan seluruh faktor-faktor produksi lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan kebutuhan bagi masyarakat (Sadono, 2007:251).

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi

Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam, yaitu (Jhingan , 2004: 67-77) :

a. Faktor Ekonomi

Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang mempengaruhi pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi jatuh atau bangunnya merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi didalam faktor produksi tersebut. Beberapa faktor ekonomi tersebut akan dibahas dibawah ini :

1) Sumber Alam

Sumber alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya, kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan dan


(34)

23 sebagainya merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian. Tersedianya Sumber alam secara melimpah merupakan hal yang penting. Suatu negara yang kekurangan Sumber alam tidak akan dapat membangun dengan cepat. Tetapi melimpahnya sumber alam tidak menjamin perekonomian suatu negara akan tumbuh jika tidak diorganisir dengan baik dan tepat. Banyak negara kurang berkembang yang memiliki sumber alam yang melimpah tetapi sering terbengkalai, kurang atau salah pemanfaatan. Terbengkalai, kurang inovatif, ataupun salah pemanfaatan sumber alam oleh negara yang bersangkutanlah salah satu penyebab keterbelakangan itu. Tersedianya Sumber alam secara melimpah saja belumlah cukup bagi pertumbuhan ekonomi. Apa yang diperlukan ialah pemanfaatannya secara tepat. Jika Sumber alam yang ada tidak dipergunakan secara tepat, negara itu tidak mungkin mengalami kemajuan.

J.L Fisher dalam Williamson dan Buttrick, dalam Jhingan (2004: 67) dengan tepat mengatakan, “Tidak cukup beralasan untuk mengharapkan pengembangan Sumber daya alam jika orang acuh tak acuh pada produk dan jasa yang dapat disumbangkan oleh sumber-sumber tersebut.” Hal ini disebabkan karena keterbelakangan ekonomi dan langkanya faktor teknologi. Oleh karena itu, Sumber daya alam dapat dikembangkan melalui perbaikan teknologi dan peningkatan ilmu pengetahuan.


(35)

24 2) Akumulasi Modal

Faktor ekonomi penting kedua dalam pertumbuhan ialah akumulasi modal. Modal berarti persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat direproduksi. Apabila stok modal naik dalam batas waktu tertentu, hal ini disebut akumulasi modal atau pembentukan modal.

Pembentukan modal merupakan kunci utama pertumbuhan ekonomi. Di satu pihak ia mencerminkan permintaan efektif, dan di pihak lain ia menciptakan efisiensi produktif bagi produksi di masa depan. Proses pembentukan modal menghasilkan kenaikan output nasional dalam berbagai cara. Pembentukan modal diperlukan untuk memenuhi permintaan penduduk yang meningkat di negara yang bersangkutan.

Investasi di bidang barang modal tidak hanya meningkatkan produksi tetapi juga kesempatan kerja. Pembentukan modal ini pula yang membawa kearah kemajuan teknologi. Pembentukan modal membantu usaha penyediaan mesin, alat dan perlengkapan bagi tenaga buruh yag semakin meningkat. Pembentukan modal ini pula yang membawa kearah penggalian Sumber Daya Alam, industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan ekonomi.

3) Organisasi

Organisasi merupakan bagian penting dari proses pertumbuhan. Organisasi berkaitan dengan penggunaan faktor produksi dialam


(36)

25 kegiatan ekonomi. Organisasi bersifat melengkapi (komplemen) modal, buruh dan membantu meningkatkan produktivitasnya. Dalam pertumbuhan ekonomi modern, para wiraswastawan tampil sebagai organisator dan pengambil resiko di antara ketidakpastian. Wiraswasta bukanlah manusia dengan kemampuan biasa. Ia memiliki kemampuan khusus untuk bekerja dibandingkan orang lain. menurut Schumpeter, seorang wiraswastawan tidak perlu seorang kapitalis. Fungsi utamanya ialah melakukan pembaharuan (inovasi).

4) Kemajuan Teknologi

Perubahan teknologi dianggap sebagai faktor paling penting didalam proses pertumbuhan ekonomi. Perubahan itu berkaitan dengan perubahan didalam metode produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil dari teknik penelitian baru. Perubahan pada teknologi telah menaikkan produktifitas buruh, modal dan faktor produksi yang lain.

Simon Kuznet dalam Jhingan (2004: 72) ada lima pola penting pertumbuhan teknologi di dalam pertumbuhan ekonomi modern. Yaitu: penemuan ilmiah atau penyempurnaan pengetahuan teknik; investasi; inovasi; penyempurnaan dan penyebarluasan penemuan yang biasanya diikuti dengan penyempurnaan. Menurutnya, inovasi terdiri dari dua macam : pertama, penurunan biaya yang tidak menghasilkan perubahan apapun pada kualitas produk.


(37)

26

Kedua, pembaharuan yang menciptakan produk baru dan

menciptakan perintaan baru akan produk tersebut. Yang kedua ini merupakan perubahan yang menciptakan permintaan.

5) Pembagian Kerja

Spesialisasi dan pembagian kerja menimbulkan peningkatan produktifitas. Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala besar yang selanjutnya membantu perkembangan industri. Jika skala produksi luas, spesialisasi dan pembagian kerja akan meluas pula. Alhasil, jika produksi naik, laju pertumbuhan ekonomi akan melesat.

b.Faktor Non-ekonomi

Faktor non-ekonomi bersama-sama faktor ekonomi saling mempengaruhi kemajuan perekonomian. Dalam kenyataannya, faktor non-ekonomi pada umumnya, seperti organisasi sosial, budaya, dan politik, mempengaruhi faktor-faktor ekonomi. Oleh karena itu, faktor non-ekonomi juga memiliki arti penting di dalam pertumbuhan ekonomi.

Berikut faktor-faktor non-ekonomi : 1) Faktor Sosial

Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pendidikan dan kebudayaan barat membawa ke arah penalaran (reasoning) dan skeptisme. Ia menanamkan semangat yang menghasilkan berbagai penemuan baru dan akhirnya memunculkan kelas pedagang baru. Kekuatan faktor ini menghasilkan perubahan pandangan, harapan, struktur dan nilai-nilai sosial. Orang dibiasakan


(38)

27 menabung dan berinvestasi, dan menikmati resiko untuk memperoleh laba.

2) Faktor Manusia

Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata tergantung pada jumlah sumber daya manusia saja, tetapi lebih menekankan pada efisieni mereka.

Peningkatan GNP per kapita yang besar berkaitan erat dengan pengembangan faktor manusia sebagaimana terlihat dalam efisiensi atau produktifitas yang melonjak di kalangan buruh. Penggunaan secara tepat sumber daya manusia untuk pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan cara berikut. Pertama, harus ada pengendalian atas perkembangan penduduk. Sumber daya manusia dapat dimanfaatkan dengan baik apabila jumlah penduduk dapat dikendalikan dan diturunkan. Ini memerlukan keluarga berencana dan penelitian atas penduduk untuk menurunkan angka kelahiran. Kedua, harus ada perubahan dalam pandangan tenaga buruh. Perilaku sosial dari tenaga buruh merupakan hal yang penting didalam proses pembangunan ekonomi.

3) Faktor Politik dan Administratif

Faktor ini juga membantu pertumbuhan ekonomi modern. Struktur politik dan administrasi yang lemah merupakan penghambat besar bagi pembangunan ekonomi Negara terbelakang. Administrasi


(39)

28 yang kuat, efisien dan tidak korupsi, dengan demikian amat penting bagi pembangunan ekonomi. Dalam administrasi yang bersih dan kuat seperti itu keadilan sepenuhnya dapat merangsang pertumbuhan ekonomi.

B.Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pengertian PDRB menurut Badan Pusat Statistik (2004:8) yaitu jumlah nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh wilayah usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.

Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu :

1. Metode Langsung

Penghitungan metode langsung ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Walaupun mempunyai tiga pendekatan yang berbeda namun akan memberikan hasil penghitungan yang sama.

Seperti dikatakan di atas, penghitungan PDRB secara langsung dapat dilakukan melalui tiga pendekatan sebagai berikut :

a. PDRB Menurut Pendekatan Produk Neto

Produk neto memiliki arti nilai tambah yang diciptakan dalam suatu proses produksi. Dengan demikian, cara penghitungan dengan pendekatan produk neto adalah dengan menjumlahkan seluruh nilai


(40)

29 tambah yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan diberbagai lapangan usaha dalam perekonomian disuatu wilayah pada suatu waktu tertentu. (Sadono, 2004: 42)

b.PDRB Menurut Pendekatan Pendapatan

Pada pendekatan ini, PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut dalam proses produksi di suatu wilayah pada jangka waktu tertentu (setahun). Penghitungan PDRB melalui pendekatan ini diperoleh dengan menjumlahkan semua balas jasa yang diterima faktor produksi yang komponennya terdiri dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan ditambah dengan penyusutan dan pajak tidak langsung neto (BPS, 2004: 27).

c. PDRB Menurut Pendekatan Pengeluaran

Pada pendekatan ini, PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto di suatu wilayah. Perhitungan PDRB melalui pendekatan ini dilakukan dengan bertitik tolak dari penggunaan akhir barang dan jasa yang dihasilkan di wilayah domestik (BPS, 2004: 27).

2. Metode Tidak Langsung atau Metode Alokasi

Dalam metode ini PDRB suatu wilayah diperoleh dengan menghitung PDRB wilayah tersebut melalui alokasi PDRB wilayah yang lebih luas. Untuk melakukan alokasi PDRB wilayah ini digunakan beberapa alokator


(41)

30 antara lain: Nilai produksi bruto atau netto setiap sektor/ subsektor pada wilayah yang dialokasikan, jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk dan alokator tidak langsung lainnya. Dengan menggunakan salah satu atau beberapa alokator dapat diperhitungkan persentase bagian masing-masing propinsi terhadap nilai tambah setiap sektor dan subsektor.

Cara penyajian PDRB adalah sebagai berikut :

a. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga yang berlaku pada masing-masing tahunnya, baik pada saat menilai produksi dan biaya antara maupun pada penilaian komponen PDRB. PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Nilai PDRB yang besar menunjukkan kemampuan sumberdaya ekonomi yang besar, begitu juga sebaliknya.

b. PDRB Atas Dasar Harga Konstan, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga tetap, maka perkembangan agregat pendapatan dari tahun ke tahun semata-mata karena perkembangan produksi riil bukan karena kenaikan harga atau inflasi. PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun.


(42)

31 C.Kapasitas Fiskal

1. Definisi Desentralisasi Fiskal dan Kapasitas Fiskal a. Desentralisasi Fiskal

Berdasarkan UU RI No. 32 tahun 2004, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti kekuasaan yang sebelumnya secara penuh berada di pemerintah pusat, kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah khususnya kabupaten/ kota. Penyerahan kewenangan ini kemudian disertai penyerahan sumber-sumber pembiayaannya (money follows function), dengan tujuan untuk memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia.

Meskipun demikian, sebagai negara yang masih tergolong baru dalam menggunakan sistem otonomi daerah, pemerintah pusat masih memberikan bantuan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang besarnya sekurang-kurangnya 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (vertical imbalances) seperti masa pemerintahan Orde Baru juga hendak dihilangkan melalui mekanisme alokasi Dana Bagi Hasil Non Sumber Daya Alam dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang besarnya telah ditetapkan oleh UU.

Untuk kebutuhan khusus yang tidak dapat dicukupi dengan DAU misalnya bencana alam dan dana darurat lainnya, maka pemerintah pusat masih memberikan bantuanberupa Dana Alokasi Khusus (DAK).


(43)

32 Menurut Oates, dalam Siti Parhah (2010: 1) “desentralisasi fiskal menyebabkan efisiensi dalam perekonomian, yaitu terjadinya efisiensi dalam alokasi sumber daya publik”. Menurutnya, alasan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan pendapatan yaitu karena pemerintah lokal mempunyai posisi yang lebih baik daripada pemerintah pusat untuk menyalurkan pelayanan publik yang dibutuhkan baik oleh pemerintah lokal maupun masyarakatnya, yang selanjutnya efisiensi akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi ditingkat lokal dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional.

Jika pemerintah lokal memahami dengan baik dan memberikan apa yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat ditambah peran masyarakat yang semakin besar akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

b.Kapasitas Fiskal

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2009 Tentang Dana Alokasi Umum daerah Propinsi, kabupaten dan kota tahun 2010, Kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dengan dana bagi hasil baik bagi hasil pajak, maupun bukan pajak.

Menurut Keynes (Sadono, 2004: 85) masalah yang timbul pada negara berkembang seperti Indonesia, disebabkan kurangnya pengeluaran agregat. Pengeluaran agregat yaitu perbelanjaan dalam perekonomian


(44)

33 pada suatu waktu dengan tingkat harga yang berbeda dan dilakukan salah satunya adalah perbelanjaan dalam hal ini pembangunan, dan investasi pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa, besarnya kapasitas fiskal suatu daerah akan mempengaruhi jumlah biaya pembangunan pada APBD, dengan semakin tinggi kapasitas fiskal suatu daerah, maka kegiatan dan rencana pembangunan daerah dapat terealisasi dengan lebih cepat, sehingga dapat mempercepat pembangunan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif.

Tujuan dari penghitungan kapasitas fiskal, selain untuk mengetahui seberapa besar tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai pembangunannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat, juga dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar porsi DAU oleh pemerintah pusat yang akan diberikan kepada daerah-daerah propinsi untuk membantu membiayai pembangunan daerah karena dianggap dalam sistem otonomi daerah ini, daerah propinsi belum sepenuhnya mampu untuk mandiri.

Tujuan diadakannya DAU adalah sebagai instrumen untuk mengatasi masalah horizontal imbalances yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan Keuangan antar daerah dimana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants). Konsep dasar DAU sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 1999 itu secara implisit merupakan penjabaran dari teori governmental transfer yang berbasis pada konsepsi fiscal gap. Dengan konsepsi fiscal gap, nantinya


(45)

34 kesenjangan fiskal yang merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer Pemerintah Pusat.

Konsep DAU adalah, untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan tidak terlalu besar. Sebaliknyan daerah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu Daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya.

2. Komponen Kapasitas Fiskal

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2009 Tentang Dana Alokasi Umum daerah Propinsi, kabupaten dan kota tahun 2010, Penghitungan Kapasitas Fiskal provinsi dan kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), didasarkan pada formula :

KF = PAD + DBH

Dimana :

KF = Kapasitas Fiskal

PAD = Pendapatan Asli Daerah DBH = Dana Bagi Hasil


(46)

35 a. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah salah satu sumber yang harus selalu dan terus menerus di pacu pertumbuhannya, karena PAD merupakan indikator penting untuk memenuhi tingkat kemandirian pemerintah di bidang keuangan. Semakin tinggi peranan PAD terhadap APBD maka semakin berhasil usaha pemerintah daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut UU No.33 Tahun 2004 adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa sumber PAD terdiri dari : 1) Pajak Daerah

Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah restribusi daerah. Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 1 ayat (6):

“Adalah pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang di lakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat di paksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang di gunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah.”


(47)

36 Sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis-jenis pajak terdiri dari :

Jenis pajak Propinsi, yang terdiri dari : 1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Permukaan.

Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari : 1) Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan hotel; 2) Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan restoran; 3) Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan; 4) Pajak Reklame adalah pajak atas peyelenggaraan reklame; 5) Pajak Penerangan Jalan; 6) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; 7) Pajak Perparkiran.”

Relatif rendahnya kemampuan daerah dalam menggali kapasitas pajak daerah disebabkan karena rendahnya pendapatan perkapita, rendahnya distribusi pendapatan, tingkat kepatuhan wajib pajak, dan relatif lemahnya kebijakan perpajakan daerah.

2) Retribusi Daerah

Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi daerah. Menurut Suparmoko (2002:85) retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin


(48)

37 tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

Jenis-jenis retribusi daerah menurut UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana telah di ubah terakhir dengan UU No. 34 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, juga berpedoman pada KEPMENDAGRI Nomor 110 tahun 1998 tentang Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah, dapat di kelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis Retribusi Daerah yaitu :

“ 1. Retribusi Jasa Umum, adalah retribusi atas jasa yang di sediakan atau di berikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis-jenis retribusi Jasa Umum terdiri dari: Retribusi Pelayanan Kesehatan; Retribusi Pelayanan Persampahan /Kebersihan; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil; Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; Retribusi Pelayanan Pasar; Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

2. Retribusi Jasa Usaha, adalah retribusi atas jasa yang di sediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula di sediakan oleh sektor swasta. Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha adalah sebagai berikut : Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; Retribusi Tempat Pelanggan; Retribusi Terminal; Retribusi Tempat Khusus Parkir; Retribusi Tempat Penginapan


(49)

38 /Pesanggrahan /Villa; Retribusi Penyedotan Kakus; Retribusi Rumah Potong Hewan; Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal; Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; Retribusi Pengolahan Limbah Cair; Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

3. Retribusi Perizinan Tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang di maksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu terdiri dari : Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan dan Retribusi Izin Trayek.”

3) Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah

Bagian laba badan usaha milik daerah adalah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atau badan lain yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sedangkan perusahaan daerah ialah perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang di pisahkan.

4) Lain-lain PAD yang sah

Penerimaan selain yang disebutkan diatas tetapi sah. Penerimaan ini mencakup penerimaan sewa rumah dinas daerah, sewa gedung dan tanah milik daerah, jasa giro, hasil penjualan barang-barang bekas


(50)

39 milik daerah dan penerimaan lain-lain yang sah menurut Undang-undang.

b.Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki sumber‐sumber penerimaan pusat di daerahnya, meliputi penerimaan pajak pusat yaitu pajak penghasilan perseorangan (PPh perseorangan), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam (Minyak Bumi, Gas Alam, Pertambangan Umum, Kehutanan dan Perikanan).

D.Investasi Swasta 1. Definisi Investasi

Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pengeluaran atau pembelian barang-barang modal dan alat produksi yang digunakan untuk menambah kemampuan memproduksi suatu barang/ jasa yang tersedia didalam perekonomian. Contohnya membangun suatu pabrik, pembukaan lahan, atau seseorang sekolah di universitas. (Sadono, 2004: 121)

Para pelaku investasi adalah pemerintah, swasta dan kerjasama antara pemerintah dengan swasta. Investasi pemerintah umumnya dilakukan tidak


(51)

40 dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, tetapi tujuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti jalan raya, jembatan, rumah sakit dan sebagainya. Bagi swasta lebih tertarik pada jenis investasi yang ditujukan untuk memperoleh laba yang biasanya didorong karena adanya pertambahan pendapatan.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan investasi swasta disini adalah investasi yang ditanamkan hanya oleh pihak-pihak swasta yang tertarik berinvestasi, baik investor dalam negeri maupun investor asing. Sedangkan investasi pemerintah termasuk dalam pengeluaran pemerintah daerah, khususnya pengeluaran pembangunan.

Investasi swasta di Indonesia dijamin keberadaannya sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri, yang kemudian dilengkapi dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 11 tahun 1970 tentang penanaman modal asing dan Undang-undang No. 12 tahun 1970 tentang penanaman modal dalam negeri. Berdasarkan dari sumber kepemilikan modal, maka investasi swasta dapat di bagi menjadi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.

2. Teori Investasi

Dalam jangka panjang pertumbuhan investasi berpengaruh pada bertambahnya stok kapital dan selanjutnya menaikkan produktivitas. Di Negara yang tingkat penganggurannya tinggi, seperti Indonesia sekarang,


(52)

41 angkatan kerja yang menganggur dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan modal.

 Teori Neo Klasik dalam Jhingan (2004: 274-276), yang diwakili oleh teori pertumbuhan Robert Sollow dan Trevor Swan. Pandangan Neo Klasik menekankan pentingnya tabungan sebagai sumber investasi. Investasi dipandang sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Makin cepat laju perkembangan investasi ketimbang laju pertumbuhan penduduk, Makin cepat perkembangan volume stok kapital rata-rata per tenaga kerja. Makin tinggi rasio kapital per tenaga kerja cenderung makin tinggi kapasitas produksi per tenaga kerja.

Tokoh Neo Klasik, Sollow dan Swan memusatkan perhatiannya pada bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi daiam proses pertumbuhan ekonomi (Arsyad, 2010: 88-89).

 Teori Harrod-Domar

Harrod dan Domar tetap mempertahankan pendapat dari para ahli ekonomi sebelumnya yang merupakan gabungan dari pendapat kaum klasik dan Keynes, dimana beliau menekankan peranan pembentukan modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Teori Harrod Domar memandang bahwa pembentukan modal dianggap sebagai pengeluaran yang akan menambah kemampuan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang dan atau jasa, maupun sebagai


(53)

42 pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif seluruh masyarakat. Dimana apabila pada suatu masa tertentu dilakukan sejumlah pembentukan modal, maka pada masa berikutnya perekonomian tersebut mempunyai kemampuan untuk menghasilkan barang-barang dan atau jasa yang lebih besar. (Sadono, 2007: 256-257)

3. Jenis Investasi Swasta

Investasi Swasta terbagi dua, yaitu :

a. Domestic Investment/ Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Modal dalam negeri adalah bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-hak dan benda-benda, baik yang dimiliki oleh Negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomosili di Indonesia. Pihak swasta yang memiliki Modal Dalam Negeri tersebut, dapat secara perseorangan dan atau merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.

Sedangkan Penanaman Modal Dalam Negeri atau PMDN adalah penggunaan kekayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menjalankan usaha menurut ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal.

Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk : - Penanaman Modal Dalam Negeri Langsung (Domestic Direct

Investment / DDI), yaitu penanaman modal oleh pemiliknya sendiri. - Penanaman Modal Dalam Negeri Tidak Langsung (Domestic Indirect


(54)

surat-43 surat perbendaharaan Negara, emisi-emisi lainnya (saham-saham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka sekurang-kurangnya satu tahun.

b. Foreign Investment/ Penanaman Modal Asing (PMA).

Pengertian modal asing adalah alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.

PMA hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung bedasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1967 dan yang digunakan menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut.

Kesimpulannya, pemasukan modal asing membantu dalam industrialisasi, dalam membangun dan menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas. Modal asing tidak hanya membawa uang dan mesin, tetapi juga keterampilan tekhnik.

Penanaman Modal Asing dapat dilakukan dalam bentuk :

- Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment / FDI), Dalam arti, seluruh modal yang dimiliki oleh warga Negara dan atau badan hukum asing, dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 15 tahun sejak produksi komersial, sebagian saham asing harus dijual kepada warga Negara dan atau badan hokum Indonesia melalui pemilikan langsung atau pasar modal.


(55)

44 - Penanaman Modal Asing Tidak Langsung (Foreign Indirect Investment), adalah usaha patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki oleh warga Negara atau badan hokum Indonesia, dengan ketentuan peserta Indonesia harus memiliki paling sedikit 5% dari modal disetor sejak pendirian perusahaan penanaman modal asing. Ketentuan usaha patungan ini bersifat wajib bagi kegiatan investasi yang dilakukan dalam Sembilan sektor publik, yaitu pelabuhan, produksi dan transisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pembangkit tenaga atom, dan media masa.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Investasi

Banyak atau tidaknya para investor swasta baik asing maupun dalam negeri yang berminat untuk menginvestasikan modalnya pada suatu usaha dalam suatu daerah, dipengaruhi oleh beberapa faktor, Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi investasi pada suatu negara adalah sebagai berikut (Sadono, 2004: 122-131):

a. Tingkat keuntungan investasi yang diramalkan

Ramalan mengenai keuntungan masa depan akan memberikan gambaran kepada pengusaha mengenai jenis-jenis uaha yang prospektif dan dapat dilaksanakan dimasa depan, dan besarnya investasi yang harus dilakukan untuk memenuhi tambahan barang-barang modal yang diperlukan.


(56)

45 b. Tingkat Bunga

Tingkat bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberikan keuntungan kepada para pengusaha, dan para investor hanya akan menanamkan modalnya apabila tingkat pengembalian modal dari modal yang ditanam yaitu berupa persentase keuntungan netto (belum dikurangi dengan tingkat bunga yang dibayar) modal yang diperoleh dari tingkat bunga.

Seorang investor mempunyai dua pilihan didalam menggunakan modal yang dimilikinya yaitu: Pertama, dengan meminjamkan atau membungakan uang tersebut (deposito), Kedua, dengan menggunakannya untuk investasi apabila tingkat keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari tingkat bunga yang akan di bayar. c. Ramalan mengenai keadaan ekonomi dimasa depan

Dengan adanya ramalan tentang kondisi ekonomi dimasa depan akan dapat menentukan tingkat investasi yang akan tercipta dalam perekonomian. Apabila ramalan dimasa depan adalah baik, maka investasi akan naik, begitupun sebaliknya.

d. Kemajuan teknologi

Dengan adanya temuan-temuan teknologi (inovasi), maka akan semakin banyak kegiatan pembaharuan yang akan dilakukan oleh pengusaha, sehingga makin tinggi tingkat investasi yang dicapai.


(57)

46 e. Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya

Dengan bertambahnya pendapatan nasional maka tingkat pendapatan masyarakat akan meningkat, daya beli masyarakat juga meningkat, total penerimaan agregat meningkat yang pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya investasi lain (included investment).

f. Keuntungan yang diperoleh perusahaan

Semakin besar keuntungan yang diperoleh perusahaan, maka akan mendorong para pengusaha untuk menyediakan sebahagian dari keuntungan yang diperolehnya untuk investasi-investasi baru.

E.Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

Menurut Sadono (2004 :18), angkatan kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terdapat dalam suatu perekonomian pada suatu waktu tertentu. Angkatan kerja terdiri atas golongan yang bekerja, dan golongan yang menganggur yang sedang mencari pekerjaan, Sedangkan yang dimaksud dengan bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih sekolah, golongan yang mengurus rumah tangga, dan golongan lain-lain atau penerima pendapatan.

Sedangkan, Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk dalam usia kerja. Yang dimaksud dengan penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia 15-64 tahun yang berpotensi memproduksi barang dan jasa.

Sebelum tahun 2000, Indonesia menggunakan patokan seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas untuk kategori usia kerja (lihat hasil Sensus Penduduk


(58)

47 1971, 1980 dan 1990). Namun sejak Sensus Penduduk 2000 dan sesuai dengan ketentuan internasional, penduduk usia kerja adalah yang telah berusia 15 tahun atau lebih.

TPAK merupakan persentase yang didapat dari jumlah angkatan kerja dibagi dengan jumlah tenaga kerja. Rumusnya :

TPAK = Angkatan kerja Tenaga Kerja

Semakin besar tingkat partisipasi angkatan kerja merupakan dampak dari semakin besar jumlah angkatan kerja. Begitupun sebaliknya, semakin besar jumlah penduduk yang bukan angkatan kerja (masih bersekolah dan mengurus rumah tangga) semakin kecil jumlah angkatan kerja, yang membuat persentase TPAK juga mengecil.

Menurut Teori Sollow-Swan pertumbuhan ekonomi bergantung kepada kesediaan faktor-faktor produksinya yaitu penduduk, tenaga kerja dan akumulasi modal, serta tingkat kemajuan teknologi. Lebih dalam, teori ini mengemukakan tentang rasio modal-output yang dapat berubah-ubah. Dimana untuk menghasilkan sejumlah output tertentu, dapat menggunakan kombinasi modal dan tenaga kerja yang berbeda-beda (Arsyad, 2010: 89).

Kombinasi antara jumlah modal dan tenaga kerja yang digunakan akan menghasilkan tingkat output yang berbeda dan tingkat efisiensi yang berbeda pula. Dengan kata lain, pada suatu kombinasi tertentu antara jumlah modal dan tenaga kerja yang digunakan akan menghasilkan output yang optimal dan lebih efisien dibandingkan kombinasi lainnya sehingga dengan input yang kecil


(59)

48 mampu menghasilkan output yang optimal, dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kearah yang positif.

Dari penjelasan kombinasi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut Sollow-Swan, modal dan tingkat partisipasi angkatan kerja memiliki peranan yang cukup penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa TPAK adalah salah satu faktor yang mempengaruhi besaran output suatu kegiatan perekonomian, sehingga semakin banyak masyarakat yang produktif, maka akan menghasilkan output yang tinggi pula yang mempengaruhi PDRB. Begitu pun pada pendapatan per kapita. meningkatnya TPAK suatu daerah, berarti meningkat pula pendapatan perkapita dan tingkat konsumsi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional.

F. Otonomi Daerah

Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Walaupun tuntutan akan otonomi daerah cukup kuat, namun suatu daerah memiliki kriteria sendiri untuk dapat dikatakan sebagai daerah otonom. Daerah otomnomi harus memiliki kemampuan ekonomi, memiliki potensi daerah, sosial budaya, mampu mengendalikan sosial politik, kependudukan, memiliki luas daerah tertentu, pertahanan yang memadai dan faktor-faktor lainnya yang


(1)

i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Anna Amelia

2. Tempat & tgl. Lahir : Jakarta, 25 Februari 1989

3. Tinggal di : Jakarta

4. Alamat : Gardenia Estate blok A1 No.10

Jl. R.E. Martadinata, Ciputat 15411

5. Telepon : 0856-8239996

II. PENDIDIKAN

1. SD : SDN Pondok Labu 05 Pagi

2. SMP : SMP N 85 Jakarta

3. SMA : SMA N 46 Jakarta

4. S1 : Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

III. PENGALAMAN BERORGANISASI

1. BEM : - BEM JURUSAN IESP 2006-2007, Divisi

Orseni (anggota)

- BEM JURUSAN IESP 2007-2008, Divisi

Orseni (anggota)

- BEM JURUSAN IESP 2008-2009,

Koordinator Bidang Kemahasiswaan

2. DLL : - 2006 s/d 2010 SEIS DANCE (Saman


(2)

ii IV. LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah : Ir. Muhammad Arsyad

2. Tempat & Tgl. Lahir : Lhoksemauwe, 23 Oktober 1949

3. Alamat : Komplek Timah No.G-42

Pangkalan Jati baru, Jakarta selatan.

4. Telepon : 021-769 4865

5. Ibu : Andrie Mediana

6. Tempat & Tgl. Lahir : Prabumulih, 29 April 1962

7. Alamat : Komplek Timah No.G-42

Pangkalan Jati baru, Jakarta selatan.


(3)

iii ABSTRACT

Steady increase of economics growth is government target, both local government and central government. High economic growth describes the state of social conditions and also high levels of society welfare.

There are some major factors that influence the economic growth. This research analyzes the regional economic growth in the provinces in Java using some factors, such as fiscal capacity (KF), private investment (IS) and labor force participation rate (TPAK), before and after regional autonomy is implemented, during the period 1994-2008.

Research of this panel data regression using the Chow and the Hausman Test in choosing the best model for the method of the General Least Square (GLS). The result of the test show that the Fixed Effects Model (FEM) is the best model in this research.

Based on this estimation indicates that the variable of fiscal capacity (KF) and private investment (IS) give significant and positive influence statistically on the regional economic growth (PDRB), while the variable labor force participation rate (TPAK) has a significant but negative influence on the regional economic growth. Dummy variable for regional autonomy (OTDA) indicates no significant effect on the regional economic growth.


(4)

iv ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah tujuan dari seluruh pemerintahan, baik suatu daerah maupun suatu negara. Karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi mampu menggambarkan kondisi sosial serta tingkat kesejahteraan masyarakatnya yang tinggi pula.

Terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menganalisis pertumbuhan ekonomi regional di propinsi dipulau Jawa menggunakan beberapa faktor, diantaranya kapasitas fiskal, investasi swasta dan tingkat partisipasi angkatan kerja, sebelum dan sesudah otonomi daerah, selama kurun waktu 1994-2008.

Penelitian regresi data panel ini menggunakan uji Chow dan Hausman

dalam memilih model terbaik untuk metode General Least Square (GLS). Hasil

uji menunjukkan bahwa Fixed Effects Model (FEM) merupakan model terbaik

dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa variabel kapasitas fiskal (KF) dan Investasi swasta (IS) berpengaruh signifikan dan positif secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi regional (PDRB), sedangkan variabel tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) berpengaruh negatif signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi regional. Untuk variabel dummy otonomi daerah (OTDA),

ditunjukkan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.


(5)

v

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan

skripsi saya dengan judul “ Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal, Investasi Swasta

dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah (Studi Kasus: Antar Propinsi di Pulau Jawa)”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyusun Skripsi ini, penulis memperoleh bantuan, bimbingan dan pengarahan serta dorongan semangat dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati, penulis ucapkanrasa terimakasih yang sebesasr-besarnya kepada semua pihak, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Lukman, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Pheni Chalid, SF., MA., Ph.D, Dosen Pembimbing I yang penuh

perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan yang hingga saat ini menjadi motivasi saya untuk menjadi sukses.

5. Ibu Utami Baroroh, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II yang cantik dan

sangat baik hati yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam penulisan skripsi kapanpun beliau ada waktu.


(6)

vi

6. Prof. Dr. Ahmad Rodoni dan Drs. Lukman, M.Si, selaku dosen penguji ahli

yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penulisan skripsi.

7. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberi bekal ilmu yang tidak ternilai

harganya selama belajar di Jurusan Ekonomi Pembangunan.

8. Mama dan papa yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada saya,

mbahti mbahkung serta kakak dan adik-adikku yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materiil untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Moh. Prabu Brangbeh, yang selalu setia membantu dan mendengarkan keluh

kesah saya dalam pembuatan skripsi ini.

10. Ayu Zakya Lestari selaku training motivator pribadi, Resnawati, Amalia

Octaryna, Ahmad Lapananrang, M. Fauzi Herliansyah, Adam Raditya Marendra yang merupakan semangat hidup saya sejak pertama kuliah di UIN syahid Jakarta.

11. Teman-teman KKN 78 yang sudah seperti keluarga; Andrie Dwi Utomo,

Aditya Prasetya dan sepuluh lainnya.

12. Chairanti Maulika dan Villy Yelita sahabat saya sejak SMA.

13. Teman-teman semua di kelas Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan angkatan

2006 yang telah memberikan motivasi dalam pembuatan skripsi ini.

14. Semua pihak yang terkait yang telah membantu penulis menyelesaikan

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT. Kritik dan saran dari semua pihak senantiasa dapat diterima dengan senang hati. Akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak.

Tangerang,


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi Swasta dan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara

5 64 97

Analisis Pengaruh PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), Tingkat Investasi dan Angkatan Kerja Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Sumatera Utara

2 68 72

Analisis Pengaruh Investasi,Angkatan Kerja, Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara

1 71 106

Analisis Pengaruh Kapasitas Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Dairi

2 44 94

Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi Dan Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Dairi

1 35 88

ANALISIS PENGARUH INVESTASI, ANGKATAN KERJA, DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI SUMATERA UTARA.

0 4 33

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI SEBELUM DAN SESUDAH DIBERLAKUKANNYA OTONOMI DAERAH Analisis Kinerja Keuangan Dan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum Dan Sesudah Diberlakukannya Otonomi Daerah Di Kabupaten Boyolali APBD 2001-2010.

0 1 15

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI SEBELUM DAN SESUDAH DIBERLAKUKANNYA OTONOMI Analisis Kinerja Keuangan Dan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum Dan Sesudah Diberlakukannya Otonomi Daerah Di Kabupaten Boyolali APBD 2001-2010.

0 1 21

Pengaruh Konsentrasi Industri Pengolahan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Barat Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah.

0 0 6

Analisa Pengaruh Investasi Pemerintah, Investasi Swasta dan Kebijakan Investasi Pemerintah pada Era Otonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kota Padang.

0 1 6