Pengertian Transfer Pricing Bahan Ajar Pajak Internasional

172 | P a g e diproduksi oleh PT X seluruhnya dijual ke Y Ltd. Apabila transaksi digunakan harga pasar wajar maka penjualan dari PT X ke Y Ltd sebesar Rp 1.000.000.000. Dengan asumsi tarif pajak di Y Ltd 20 dan tarif pajak di Indonesia sebesar 25 maka beban pajak yang total dibayar oleh grup perusahaan ini adalah Rp 44.500.000 sehingga laba setelah pajak secara grup perusahaan sebesar Rp 140.500.000 TANPA TRANSFER PRICING PT X Y Ltd TOTAL Harga Pasar 1.000.000.000 PENJUAL PEMBELI GROUP Indonesia 25 Negara Z 20 Penjualan 1.000.000.000 1.250.000.000 2.250.000.00 Harga pokok penjualan 800.000.000 1.000.000.000 1.800.000.00 Laba kotor 200.000.000 250.000.000 450.000.000 Biaya usaha 50.000.000 215.000.000 265.000.000 Laba rugi bersih sebelum pajak 150.000.000 35.000.000 185.000.000 PPh terutang 37.500.000 7.000.000 44.500.000 Laba rugi setelah pajak 112.500.000 28.000.000 140.500.000 Apabila transaksi digunakan harga transfer sebesar Rp 1.000.000.000 maka beban pajak yang total dibayar oleh grup perusahaan ini adalah Rp 39.500.000 sehingga laba setelah pajak secara grup perusahaan sebesar Rp 145.500.000. Dengan demikian perusahaan dapat melakukan penghematan pajak sebesar Rp 5.000.000. 173 | P a g e DENGAN TRANSFER PRICING PT X Y Ltd TOTAL Harga transfer 900.000.000 PENJUAL PEMBELI GROUP Indonesia 25 Negara Z 20 Penjualan 900.000.000 1.250.000.000 2.150.000.000 Harga pokok penjualan 800.000.000 900.000.000 1.700.000.000 Laba kotor 100.000.000 350.000.000 450.000.000 Biaya usaha 50.000.000 215.000.000 265.000.000 Laba rugi bersih sebelum pajak 50.000.000 135.000.000 185.000.000 PPh terutang 12.500.000 27.000.000 39.500.000 Laba rugi setelah pajak 37.500.000 108.000.000 145.500.000 Dari kasus di atas penerimaan pajak di Indonesia akan dirugikan karena terdapat penurun penerimaan pajak akibat transfer pricing sebesar Rp 25.000.000 atau 37.500.000 – 12.500.000

B. Penanganan Transfer Pricing

Untuk mengatasi masalah transfer pricing OECD mengeluarkan OECD Transfer Pricing Guide Lines OECD Guide Lines sebagai panduan tidak hanya bagi otoritas pajak tapi juga bagi perusahaan multi nasional dalam menyelesaikan perselisihan masalah transfer pricing. Dalam OECD Guide Lines diberikan panduan diantaranya: 1. Penerapan the arms length principle 2. Traditional Transaction Methods, meliputi penggunaan comparable uncontrolled price method , resale price method dan cost plus method 3. Metode lainnya, meliputi Profit split method dan Transactional net margin method 174 | P a g e 4. Pendekatan administrasi dalam rangka penghindaran dan penyelesaian sengketa transfer pricing, meliputi pemeriksaan, beban pembuktian dan sanksi 5. dokumentasi, meliputi panduan dalam dokumentasi dan prosedur dokumentasi 6. ketentuan mengenai harta tidak berwujud 7. ketentuan mengenai pemberian jasa antar grup 8. cost contribution arrangement Berdasarkan OECD Guide Lines, negara perlu punya kewenangan untuk dapat melakukan penghitungan kembali koreksi atas harga yang ditetapkan oleh para pihak yang ada hubungan istimewa jika transaksi yang dilakukan tidak menggambarkan penghasilan kena pajak yang sebenarnya di negara tersebut. Namun demikian diperlukan suatu kehati-hatian ketika otoritas perpajakan melakukan enforcement dalam kasus transfer pricing. Otoritas perpajakan harus punya alasan kuat untuk mengatakan bahwa para pihak telah melakukan transfer pricing untuk tujuan penghindaranpenggelapan pajak. Sebelum membuktikan adanya transfer pricing, pertama harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa para pihak terdapat hubungan istimewa. Menurut UU PPh hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan : a. kepemilikan atau penyertaan modal; atau b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi Dalam hal wajib pajak orang pribadi hubungan istimewa terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan. Sesuai pasal 18 4 UU PPh, hubungan istimewa dianggap ada apabila: 1 Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25 dua puluh lima persen pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25 dua puluh lima persen pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; Misalnya, PT A mempunyai 50 lima puluh persen saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya, apabila PT B