Deskripsi Umum Responden Responden 3 Responden Sammy
dan memiliki pergaulan yang cukup luas. Orang tua Sammy yang bekerja sebagai pegawai kantoran dan merupakan lulusan sarjana salah satu universitas yang
berada di kota Medan. Keluarga Sammy sendiri berasal dari Sidikalang. Dari lahir hingga kelas 5
Sekolah Dasar SD, Sammy sama dengan anak-anak normal lainnya yaitu dapat melihat keindahan dunia yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hal
tersebut tidak berlangsung lama dikarenakan ketika Sammy berusia sekitar 10 tahun yaitu kelas 5 SD, ia mengalami sakit demam yang tinggi atau lebih dikenal
dengan istilah step. Ketika Sammy hendak pergi ke sekolah, tiba-tiba ia merasakan panas pada
tubuhnya, kemudian ia memanggil ibunya dan pada saat itu ibunya langsung membawanya kerumah sakit. Pada saat itu dokter masih mengatakan bahwa
Sammy mengalami step ringan. Seminggu kemudian tiba-tiba Sammy demam lagi dan dibawa kembali ke rumah sakit oleh orang tuanya, dan seperti biasa Sammy
pun sembuh kembali. Setelah beberapa hari kemudian, Sammy mengalami demam yang tinggi lagi dan pada saat itulah terlambat karena orang tuanya tidak langsung
membawanya ke rumah sakit. Sammy dibawa orang tuanya ke rumah sakit setelah beberapa jam kemudian. Pada saat itu tubuh Sammy mengalami kejang-kejang,
hingga akhirnya ia tidak dapat tertolong lagi. Ketika sampai ke tempat praktek dokter mata, dokter mengatakan bahwa dirinya terkena penyakit step dan adanya
syaraf yang terkejut sehingga mengakibatkan kebutaan. Semasa kuliah orang tua Sammy yaitu ayahnya sering mengunjungi
Yayasan Pendidikan Tunanetra Yapentra yang berada di Tanjung Morawa,
karena ayahnya memiliki teman yang bekerja di tempat tersebut. Dari situlah ayahnya mengetahui Yapentra dan berencana untuk menyekolahkan Sammy di
tempat tersebut. Sejak saat itu, Sammy langsung ditransfer ke sekolah Sekolah Luar Biasa
SLB melalui naungan yayasan tersebut. Berada di bawah yayasan tersebut mengakibatkan Sammy harus berpisah dengan orang tuanya, padahal dia tidak
ingin berpisah dengan orang tuanya, apalagi usianya masih sangat kecil. Setelah satu tahun mengalami kebutaan tepatnya kelas 6 SD, Sammy
menanamkan pada dirinya sendiri walaupun ia berbeda tetapi ia harus bisa seperti mereka yang dapat melihat.
Akhirnya, masa Sekolah Dasar SD di SLB yang berada di Yapentra, ia lewati dengan sangat baik. Nilai Nasional UN dengan nilai rata-rata 7,9
membuatnya dapat bersekolah di sekolah umum. Pada saat itu syarat untuk masuk ke Sekolah Menengah Pertama umum adalah 7,5 dan akhirnya Sammy pun
masuk ke SMPN 2 Lubuk Pakam. Pada saat itu kebetulan hanya SMPN 2 Lubuk Pakam yang mau menerima siswa tuna netra. Disana ia memiliki teman baik, yang
mengakibatkanya tidak perlu menulis ulang atau yang sering diistilahkan oleh Sammy menulis tugas sebanyak dua kali. Disini pula lah Sammy dipercaya
mewakili sekolahnya untuk mengikuti olimpiade MIPA se- Indonesia, dan saingannya adalah siswa-siswa yang dapat melihat. Sammy berada di peringkat
delapan dari seluruh peserta lomba yang mengikuti olimpiade matematika tersebut.
Hal yang demikian hanya terjadi di SMP, di SMA Sammy harus menulis tugas sebanyak dua kali dengan huruf Braille dan kemudian menunggu teman-
temannya selesai yang akan menuliskannya kedalam tulisan awas. Sammy bersekolah di sekolah SMA Trisakti. Awalnya ia memilih SMA Negeri, namun
karena adanya beberapa syarat administrasi yang harus dipenuhi dan nilai Sammy pun tidak mencukupi syarat untuk masuk SMA Negeri tersebut. Sammy lebih
memilih untuk sekolah di sekolah umum agar ia memiliki banyak teman dan pastinya ia memiliki pengalaman yang lebih nyata mengenai kehidupan ini.