Strategi Pemecahan Masalah Akademis Pada Siswa Tunanetra Di Sma Trisakti Lubuk Pakam

(1)

STRATEGI PEMECAHAN MASALAH AKADEMIS PADA

SISWA TUNANETRA DI SMA TRISAKTI LUBUK PAKAM

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

MUTHIA SHEILA AYU

071301094

FAKULTAS PSIKOLOGI


(2)

SKRIPSI

STRATEGI PEMECAHAN MASALAH AKADEMIS PADA

SISWA TUNANETRA DI SMA TRISAKTI LUBUK PAKAM

Dipersiapkan dan disusun oleh: MUTHIA SHEILA AYU

071301094

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 15 Februari 2013

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Ika Sari Dewi, S.Psi, Psikolog Penguji I NIP. 197809102005012001 Merangkap Pembimbing 2. Filia Dina Anggaraeni, M.Pd Penguji II

NIP. 196910142000042001

3. Dian Ulfasari, M.Psi, Psikolog Penguji III NIP. 1981082420081220022


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di SMA Trisakti Lubuk Pakam

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 15 Februari 2013

MUTHIA SHEILA AYU NIM 071301094


(4)

Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam

Muthia Sheila Ayu dan Ika Sari Dewi

ABSTRAK

Pada saat ini tidak semua siswa tunanetra dapat bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) atau sekolah inklusi. Oleh karena itu, siswa tunanetra harus menempuh pendidikan di sekolah umum sehingga berbagai masalah akademis muncul dan harus menggunakan strategi pemecahan masalah untuk menyelesaikan masalah akademis tersebut.

Menurut Rathvon (2004), masalah akademis dikarakteristikkan sebagai kurangnya keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar memahami materi. Menurut Matlin (2005), strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Strategi pemecahan masalah terbagi menjadi dua, yaitu algoritma dan heuristik. Strategi pemecahan masalah heuristik terbagi menjadi tiga, yaitu heuristik hill-climbing, heuristik Means-Ends, dan pendekatan analogi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun metode pengambilan data adalah wawancara dan observasi sebagai alat pendukung. Subjek berjumlah tiga orang yang terdiri dari dua orang wanita dan dan satu orang pria. Karakteristik subjek dari penelitian ini adalah siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga responden menggunakan strategi pemecahan masalah akademis yang sama, yaitu heuristik analogi. Pendekatan analogi terjadi ketika responden menggunakan solusi yang sama atau serupa untuk menyelesaikan masalah yang sama atau serupa pada suatu mata pelajaran tertentu.

Kata kunci : Strategi pemecahan masalah, masalah akademis, siswa tunanetra


(5)

Academic Problem Solving Strategies of Blind Students on Trisakti High School Lubuk Pakam

Muthia Sheila Ayu and Ika Sari Dewi

ABSTRACT

Nowadays, not every blind students can study in special need school (SLB) or inclusion school. Therefore, the blind students have to study in the ordinary school in case many academic problems happen and use the problem solving strategies to finish those academic problems.

According to Rathvon (2004), academic problems be characterized as skill deficits, fluency deficits, performance deficits, or some combination of these. According to Matlin (2005), problem solving strategies is when there is a problem, it means you can use many different strategies to handle it. Problem solving strategies divided by two, algorithm and heuristic. Heuristic problem solving strategies divided by three, hill climbing heuristic, means-ends heuristic and analogical approach.

This research studied the description of problem solving strategies to blind students academic problems that studies in public schools. This research used qualitative approach while sampling methods that used are interview and observation as supporting tool. Subjects are three people consist of two women and a man. Subject characteristics of this research are blind student that studies in public school.

This research showed that the three respondents used the same problem solving strategies, i.e. analogy heuristic. This analogy heuristic happens when respondents use the same or similar solutions to solving the same or similar problems in a certain lessons.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan

Peneliti menyadari bahwa proposal penelitian berjudul “Gambaran Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di SMA Trisakti Lubuk Pakam” ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ika Sari Dewi S.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas bimbingan, saran, arahan dan waktu yang diluangkan sehingga peneliti dalam menyelesaikan proposal penelitian ini.

3. Kedua orang tua yang selalu mendo’akan dan memberi dukungan kepada peneliti.

4. Ibu Filia Dina Anggaraeni, M. Pd dan Kak Dian Ulfasari, M. Psi. yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi dosen penguji skripsi peneliti. 5. Ibu Rr. Lita H. Wulandari, S. Psi, psikolog dan Kak Fasti Rola, M. Psi,

psikolog selaku dosen penguji yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan proposal penelitian ini. Terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan, dan saran yang telah diberikan kepada peneliti.


(7)

6. Ibu Desvi Yanti Mukhtar, M. Si., Ibu Sri Supriyantini, M. Psi., dan Bang Tarmidi, M. Psi. Terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan, dan saran yang telah diberikan kepada peneliti.

7. Kakak Juliana Irmayanti Saragih M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas bantuan, bimbingan, arahan, dan saran yang telah diberikan kepada peneliti

8. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, Pak Aswan dan Kak Devi beserta yang lainnya. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti. 9. Teman-teman di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara,

khususnya teman-teman yang memberi masukan kepada peneliti Kak Eky, Ikbal, Rany, Novita, Tetty, Juned, Putrilia, Tyas, Noni, Chrsty, Ali, Ayeth, Imelvi, Aurora, Veronika, Nana, dan Nuzulia. Terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti.

10.Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian proposal penelitian ini terutama kepada ketiga responden penelitian ini , peneliti menyampaikan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

Peneliti berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga proposal penelitian ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua. Dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

KATAPENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI A. Strategi Pemecahan Masalah Akademis ... 12

1. Pengertian Strategi Pemecahan Masalah ... 12

2. Pengertian Masalah Akademis ... 15

3. Strategi Pemecahan Masalah Akademis ... 15

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Pemecahan Masalah ... 16

B. Tunanetra ... 17


(9)

2. Klasifikasi Tunanetra ... 18

3. Faktor-Faktor PenyebabTunanetra ... 20

4. Karakteristik Ketunanetraan ... 22

5. Pendekatan Pendidikan ... 26

C. Sekolah SMA Trisakti Lubuk Pakam ... 27

1. Struktur Kurikulum SMA Trisakti ... 28

D. Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di SMA Trisakti Lubuk Pakam ... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 35

B. Responden Penelitian ... 36

C. Metode Pengambilan Data ... 37

D. Alat Bantu Pengambilan Data ... 39

E. Kredibilitas Penelitian ... 40

F. Prosedur Penelitian ... 41

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Responden I ... 46


(10)

3. Data Wawancara ... 51

4. Pembahasan ... 68

B. Responden II ... 98

1. Deskripsi Umum Rsponden ... 98

2. Data Observasi Selama Wawancara... 101

3. Data Wawancara ... 103

4. Pembahasan ... 121

C. Responden III ... 152

1. Deskripsi Umum Rsponden ... 152

2. Data Observasi Selama Wawancara... 155

3. Data Wawancara ... 158

4. Pembahasan ... 174

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 254

B. Saran ... 260

1. Saran Metodologis ... 260

2. Saran Praktis ... 261

DAFTAR PUSTAKA ... 262 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal Wawancara Responden I ... 46

Tabel 2 Gambaran Umum Responden I. ... 46

Tabel 3 Rangkuman Responden I……….. 78

Tabel 4 Jadwal Wawancara Responden II ... 98

Tabel 5 Gambaran Umum Responden II ... 98

Tabel 6 Rangkuman Responden II……….. 132

Tabel 7 Jadwal Wawancara Responden III ... 152

Tabel 8 Gambaran Umum Responden III ... 152

Tabel 9 Rangkuman Responden III………. 188


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Pedoman Wawancara LAMPIRAN B Lembar Observasi LAMOIRAN C Lembar Persetujuan LAMOIRAN D Verbatim Wawancara


(13)

Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam

Muthia Sheila Ayu dan Ika Sari Dewi

ABSTRAK

Pada saat ini tidak semua siswa tunanetra dapat bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) atau sekolah inklusi. Oleh karena itu, siswa tunanetra harus menempuh pendidikan di sekolah umum sehingga berbagai masalah akademis muncul dan harus menggunakan strategi pemecahan masalah untuk menyelesaikan masalah akademis tersebut.

Menurut Rathvon (2004), masalah akademis dikarakteristikkan sebagai kurangnya keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar memahami materi. Menurut Matlin (2005), strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Strategi pemecahan masalah terbagi menjadi dua, yaitu algoritma dan heuristik. Strategi pemecahan masalah heuristik terbagi menjadi tiga, yaitu heuristik hill-climbing, heuristik Means-Ends, dan pendekatan analogi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun metode pengambilan data adalah wawancara dan observasi sebagai alat pendukung. Subjek berjumlah tiga orang yang terdiri dari dua orang wanita dan dan satu orang pria. Karakteristik subjek dari penelitian ini adalah siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah umum.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga responden menggunakan strategi pemecahan masalah akademis yang sama, yaitu heuristik analogi. Pendekatan analogi terjadi ketika responden menggunakan solusi yang sama atau serupa untuk menyelesaikan masalah yang sama atau serupa pada suatu mata pelajaran tertentu.

Kata kunci : Strategi pemecahan masalah, masalah akademis, siswa tunanetra


(14)

Academic Problem Solving Strategies of Blind Students on Trisakti High School Lubuk Pakam

Muthia Sheila Ayu and Ika Sari Dewi

ABSTRACT

Nowadays, not every blind students can study in special need school (SLB) or inclusion school. Therefore, the blind students have to study in the ordinary school in case many academic problems happen and use the problem solving strategies to finish those academic problems.

According to Rathvon (2004), academic problems be characterized as skill deficits, fluency deficits, performance deficits, or some combination of these. According to Matlin (2005), problem solving strategies is when there is a problem, it means you can use many different strategies to handle it. Problem solving strategies divided by two, algorithm and heuristic. Heuristic problem solving strategies divided by three, hill climbing heuristic, means-ends heuristic and analogical approach.

This research studied the description of problem solving strategies to blind students academic problems that studies in public schools. This research used qualitative approach while sampling methods that used are interview and observation as supporting tool. Subjects are three people consist of two women and a man. Subject characteristics of this research are blind student that studies in public school.

This research showed that the three respondents used the same problem solving strategies, i.e. analogy heuristic. This analogy heuristic happens when respondents use the same or similar solutions to solving the same or similar problems in a certain lessons.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional Bab III ayat 5, yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pendidikan berhak didapatkan oleh semua individu, termasuk individu berkebutuhan khusus. Hal ini berarti bahwa semua individu memiliki hak yang sama untuk sukses seperti individu normal lainnya tanpa memandang keterbatasan individu tersebut.

Salah satu bentuk nyata bahwa pendidikan diberlakukan untuk semua individu ditunjukkan dengan mulainya pemerintah menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi individu berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, pemerintah telah menyediakan tempat untuk menunjang proses akademis dengan cara mendirikan sekolah untuk menangani individu berkebutuhan khusus tersebut. Salah satu jenis sekolah yang bertanggung jawab melaksanakan pendidikan untuk individu yang berkebutuhan khusus adalah sekolah luar biasa (SLB). Dalam Undang-Undang Dasar Nomor 20 Tahun 2003, sekolah luar biasa (SLB) adalah tempat pendidikan yang diberikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,


(16)

Menurut Phillips & Corn (2003) munculnya sekolah luar biasa (SLB) ini menjadi tempat alternatif bagi orang tua untuk menyekolahkan anak mereka yang berkebutuhan khusus untuk berada dalam satu lingkungan dan bergaul dengan teman-teman senasib, namun secara tidak disadari sistem pendidikan sekolah luar biasa (SLB) telah membangun tembok eksklusivisme bagi siswa-siswa yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusivisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara siswa-siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal yang mengakibatkan dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok siswa berkebutuhan khusus menjadi komunitas yang terisolasi dari dinamika sosial di masyarakat, padahal seharusnya siswa berkebutuhan khusus berhak berada di lingkungan pergaulan yang lebih normal. Kondisi seperti ini memunculkan kebijakan pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini untuk menyatukan antara siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal untuk mengikuti proses belajar mengajar bersama-sama di sekolah yang dinamakan dengan sekolah inklusi. Menurut Purnama (2010), sekolah inklusi merupakan layanan pendidikan yang mengikutsertakan siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan siswa normal lainnya.

Sekolah inklusi merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Alimin (dalam Sunaryo, 2009) menjelaskan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam


(17)

belajar, budaya dan masyarakat serta mengurangi eksklusifitas di dalam pendidikan.

Pada saat ini walaupun pemerintah sudah mendirikan sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan bagi individu yang berkebutuhan khusus yaitu sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusi, namun ternyata tidak semua siswa berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan dalam mendirikan sekolah tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan demi menunjang kelancaran akademis siswa berkebutuhan khusus tersebut. Selain masalah biaya, ternyata sumber daya manusia juga terbatas sehingga membuat terbatasnya akses pada siswa-siswa berkebutuhan khusus dalam pendidikan terutama untuk di daerah-daerah tingkat kabupaten maupun daerah lainnya (Kompas, 2010).

Kondisi yang telah disebutkan seperti di atas mengharuskan anak berkebutuhan khusus untuk menuntut ilmu di sekolah umum sama seperti anak normal lainnya. Sekolah umum merupakan tempat individu mendapatkan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Undang-Undang Dasar Nomor 20 Tahun 2003).

Berdasarkan Undang-Undang Dasar pasal 130 (2) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum,


(18)

itu, pihak sekolah umum tidak dibenarkan untuk menolak siswa berkebutuhan khusus tersebut untuk bersekolah di sekolah umum.

Salah satu sekolah umum yang menerima anak berkebutuhan khusus adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti yang berada di Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Adapun siswa berkebutuhan khusus di sekolah ini adalah siswa tunanetra yang berjumlah tujuh siswa. Menurut Hallahan & Kauffman (1998), tunanetra adalah seseorang yang memiliki ketajaman visual kurang lebih 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan, baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan jarak diameter tidak lebih dari 20 derajad. SMA Trisakti menerima siswa tunanetra yang kebanyakan siswa tunanetra di SMA tersebut mengalami kebutaan total pada usia kanak-kanak, sehingga dapat dikatakan siswa tunanetra tersebut hanya sebentar memiliki pengalaman visual.

SMA Trisakti tidak mengadaptasi kurikulum sekolah inklusi dikarenakan terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan fasilitas yang mendukung siswa berkebutuhan khusus, khususnya siswa tunanetra. Kondisi yang demikian mengharuskan siswa tunanetra mengikuti kurikulum sekolah secara umum. Hal ini dibuktikan oleh pernyataan Kepala Sekolah, yaitu sebagai berikut:

“Di sekitar sini kan banyak anak tunanetra yang ingin sekolah, jadi sebagai pendidik kami merasa terpanggil untuk memberikan hak sekolah yang sama untuk mereka. Tapi kendala yang muncul di lapangan itu, kami tidak punya guru yang paham bagaimana mengajar anak-anak tunanetra ini, terus kami juga tidak punya fasilitas yang bisa mendukung mereka. Tapi kami tetap menerima mereka dengan pertimbangan menerima siswa tunanetra yang nilan UN nya di atas rata-rata 7,0. Dengan pertimbangan tersebut kami berharap mereka mampu mengikuti sistem pelajaran yang umum di sekolah ini.”


(19)

Berdasarkan observasi di lapangan yaitu di SMA Trisakti, peneliti menemukan bahwa para siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah umum ternyata memiliki berbagai masalah. Masalah-masalah tersebut muncul dikarenakan tuntutan yang diberikan oleh sekolah umum kepada siswa tunanetra sama dengan siswa normal lainnya. Dalam proses mengajar di SMA Trisakti, guru menerangkan materi pelajaran menggunakan media papan tulis sebagai alat bantu dalam metode pengajaran. Kondisi tersebut membuat para siswa tunanetra terkadang sulit untuk memahami materi pelajaran, terutama pada pelajaran berhitung maupun pelajaran yang menggunakan simbol atau gambar. Selain itu, buku-buku yang digunakan oleh siswa tunanetra tidak semua bertuliskan huruf Braille, sehingga membuat siswa tunanetra sulit untuk memahami materi pelajaran yang disampaikan. Akibat keterbatasan fisiknya, siswa tunanetra jarang mengikuti praktek mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, sehingga mereka hanya dapat mempelajari teorinya saja. Selain itu, hambatan yang paling besar yang bagi siswa tunanetra tersebut adalah masalah yang berhubungan dengan tugas-tugas dari sekolah yang selalu berhubungan dengan media online, seperti yang dikemukakan oleh siswa dalam komunikasi personal berikut:

“…Hambatan terbesar kalau mengerjakan tugas, karena sekarang biasanya guru menyuruh untuk mengambil bahan dari internet, jadi agak sulit, selain itu teman kita tidak selalu mau membantu, karena mereka juga pasti ada merasa malas untuk menolong, tidak sama seperti kita, kita ingin tugasnya di kumpul, kalau mereka selalu mengulur, jadi bertentanagan. Jadi susah, selain itu kami mana bisa ngambil di internet karena kami tidak bisa melihat…”


(20)

media visual. Siswa tunanetra tersebut mengalami kebutaan sejak usia balita dan mengalami kebutaan total. Menurut Pradopo (1977), penderita tunanetra pada usia kecil adalah yang sudah memiliki kesan – kesan mengenai pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. Selain itu, penderita yang mengalami buta total adalah mereka yang sama sekali tidak dapat membedakan antara gelap dan terang. Kesulitan yang dialami siswa yang berkaitan dengan media tersebut terjadi karena perkembangan zaman yang sudah mulai maju, sehingga membuat guru untuk meminta siswa tunanetra mencari tambahan materi pelajaran melalui internet. Heinrich (1999) menyatakan bahwa tidak mustahil bagi siswa tunanetra untuk dapat mengakses internet walaupun dengan cara yang berbeda dan cukup silit.

Hal ini juga di dukung oleh pernyataan seorang guru yang mengajar di kelas siswa tunanetra dalam kutipan wawancara berikut ini:

“…..sebenarnya mereka itu pintar, bahkan melebihi anak-anak normal. Tapi mereka itu bisanya di pelajaran yang sifatnya mengahafal. Kalau yang namanya pelajaran menghapal nilai 7, 8, 9 uda di tangan mereka memuaskan lah kalau dibilang. Tapi kalau pelajaran yang uda ada gambar-gambarnya kayak simbol-simbol, nah itu mereka nggak bisa. Karna mereka kan ngak bisa lihat materi yang kami ajarkan di papan tulis, jadinya orang itu sering kesulitan makanya nilainya kurang memuaskan…”

(Komunikasi personal, 13 Oktober 2011) Kondisi yang telah disebutkan di atas akan terasa sangat berat bagi siswa tunanetra, karena seluruh kegiatan akademis di sekolah umum menggunakan media visual, seperti papan tulis. Siswa tunanetra tentu saja tidak dapat melihat simbol-simbol atau gambar yang terdapat di papan tulis, sehingga mereka akan sulit memahaminya dan berpengaruh pada pengerjaan tugas siswa tunanetra


(21)

tersebut. Dalam melaksanakan proses kegiatan akademis di sekolah yang seluruhnya menggunakan media visual, tentu alat utama yang berperan penting dalam melaksanakan aktivitas tersebut adalah mata. Mata merupakan saluran utama dalam proses informasi maupun alat penginterpretasian dunia selain pendengaran. Hal ini disebabkan karena delapan puluh persen pengalaman manusia diperoleh melalui penglihatan (Geisler & Super dalam Matlin, 2006).

Kesulitan yang dialami oleh siswa yang berkaitan dengan media visual termasuk dalam masalah akademis. Menurut Rathvon (2004) menyatakan bahwa masalah akademis dapat dikarakteristikkan sebagai kurangnya keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar untuk memahami materi. Dengan munculnya masalah akademis tersebut, maka siswa tunanetra membutuhkan suatu strategi pemecahan masalah akademis yang muncul akibat keterbatasan mereka dalam hal yang berkaitan dengan visual. Strategi pemecahan masalah akademis ini digunakan agar proses belajar siswa tunanetra dalam menimba ilmu di sekolah dapat berjalan dengan lancar.Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut.

Dalam strategi pemecahan masalah akademis, tentunya bagi setiap siswa tunanetra tidaklah sama dalam menyelesaikan masalah akademisnya. Hal ini dikarenakan keahlian setiap siswa berbeda satu sama lain. Dalam menyelesaikan masalah akademis yang terjadi terkadang siswa tunanetra gagal untuk


(22)

dan selalu penuh semangat untuk menghadapi hambatan yang dihadapi karena kemampuan siswa tunanetra dalam menyelesaikan masalah berhubungan dengan perilaku belajar siswa tersebut (Salami & Aremu, 2006).

Ada beberapa strategi pemecahan masalah yang umumnya digunakan, antara lain algoritma dan heuristik (Matlin, 2006). Algoritma merupakan strategi yang menjamin solusi atas satu persoalan, karena memiliki susunan baku dalam memecahkan masalah. Strategi pemecahan masalah yang kedua adalah heuristik. Heuristik suatu strategi yang mengabaikan beberapa penjelasan serta hanya menggunakan alternatif yang paling disukai untuk suatu solusi, sehingga tidak ada susunan baku dalam memecahkan masalah. Menurut Matlin (2005) dalam strategi pemecahan masalah heuristik, terdapat tiga heuristik yang sering digunakan yaitu heuristik hill-climbing, heuristik means-ends, dan pendekatan analogi.

Penyelesaian masalah akademis yang berbeda pada setiap siswa tunanetra membuat peneliti merasa perlu memahami siswa tunanetra per individu dengan keunikannya masing-masing dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran strategi pemecahan masalah pada siswa tunanetra di sekolah umum dalam hal akademis, khususnya dalam hal proses belajar.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra di SMA Trisakti Lubuk Pakam.


(23)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran strategi pemecahan masalahakademis pada siswa tunanetra di sekolah umum.

D. Manfaat Penelitian

Apabila identifikasi penelitian dalam penelitian ini sudah terjawab dan tujuan penelitian sudah tercapai, maka penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diharapkan akan dapat memberikan wawasan dan khasanah ilmiah dalam bidang Psikologi Pendidikan, terutama mengenai masalah strategi pemecahan masalah pada siswa tunanetra dalam hal akademis.

2. Manfaat praktis a. Bagi siswa tunanetra

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi siswa tunanetra mengenai strategi pemecahan masalah akademis yang dilakukan oleh siswa tunanetra, sehingga diharapkan dapat mengoptimalkan kemampuan akademis siswa tunanetra dan dapat meningkatkan prestasi belajar


(24)

b. Bagi sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak sekolah dalam hal strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra, sehingga dapat memberikan dukungan kepada siswa tunanetra. c. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada guru mengenai strategi pemecahan akademis pada siswa tunanetra, sehingga diharapkan dapat membantu dan memotivasi siswa tunanetra dalam menyelesaikan masalah akademis yang dihadapai oleh siswa tunanetra.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa BAB dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Pada bab ini akan digambarkan latar belakang masalah, tujuan, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah, masalah akademis, tunanetra, dan sekolah Trisakti.


(25)

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data. Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi data wawancara dan pembahasan yang akan dibahas per partisipan. Serta analisis antar partisipan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dan saran peneliti terhadap penelitian.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Strategi Pemecahan Masalah Akademis 1. Pengertian Strategi Pemecahan masalah

Menurut Debono (dalam Elliot, Thomas, Joan, dan John, 1999) strategi pemecahan masalah adalah cara menempatkan hal-hal pada tempatnya dengan cermat dan dengan penuh pemikiran dengan harapan sesuatu akan terjadi dari kondisi yang sebelumnya. Sedangkan, menurut Henson & Ben (1999) strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik penyelesaian masalah yang digunakan dalam pencarian solusi.

Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Beberapa strategi yang sering digunakan adalah:

1. Algoritma.

Algoritma adalah metode yang selalu menghasilkan suatu solusi yang benar dari setiap penyelesaian masalah (Matlin, 2005). Algoritma merupakan sebuah langkah prosedur yang menjamin kesuksesan jika langkah-langkah prosedur tersebut diikuti dengan benar. Dengan kata lain, algoritma memiliki susunan urutan yang baku dalam menyelesaikan suatu masalah dan berlaku secara umum.


(27)

2. Heuristik

Menurut Matlin (2005) dalam pemecahan masalah, heuristik adalah suatu strategi yang mengabaikan beberapa penjelasan serta hanya menggunakan alternatif yang paling disukai untuk mendapatkan suatu solusi. Bagaimanapun, heuristik tidak menjamin individu akan memecahkan masalah dengan benar.

Menurut Matlin (2005), ada tiga heuristik yang paling sering digunakan yaitu:

1. Heuristik Hill-Climbing

Salah satu strategi pemecahan masalah yang paling mudah biasanya disebut dengan heuristik hill-climbing. Heuristik hill-climbing adalah ketika individu memiliki masalah, maka individu tersebut memilih solusi secara sederhana terhadap alternatif jawaban yang tampak untuk menyelesaikan masalah. (Lovett dalam Matlin, 2005).

Heuristik hill-climbing dapat digunakan ketika individu tidak cukup menemukan informasi mengenai alternatif-alternatif solusi yang dipilih oleh individu tersebut (Dunbar dalam Matlin, 2005). Heuristik hill-climbing digunakan oleh individu ketika:

a. Memilih solusi yang tampak secara cepat dan sederhana dari masalah yang dihadapi

b. Apabila solusi pertama dianggap gagal, maka individu memilih solusi berikutnya dari masalah yang dihadapi


(28)

2. Heuristik Means-Ends

Menurut Matlin (2005), heuristik Means-Ends memiliki dua komponen yaitu:

a. Individu membagi masalah kedalam sub-sub masalah atau kedalam masalah yang lebih kecil

b. Individu mencoba untuk mengurangi perbedaan mengenai keadaan awal dengan kondisi tujuan terhadap masing-masing sub masalah Heuristik means-ends tepat karena mengharuskan individu untuk mengidentifikasi tujuan yang diinginkan dan kemudian mencari tahu cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

3. Pendekatan analogi

Menurut Matlin (2005) ketika individu menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan analogi, individu menggunakan solusi yang sama dengan masalah sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang baru. Adapun indikator individu menggunakan pendekatan analogi, antara lain:

a. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa terhadap masalah serupa yang ia hadapi.

b. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa ketika masalah yang ia hadapi sama atau serupa dengan masalah yang pernah dihadapi oleh orang lain.


(29)

Berdasarkan dari beberapa strategi pemecahan masalah yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan oleh individu untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalahnya, antara lain dengan menggunakan teknik algoritma atau heuristik.

2. Masalah Akademis

Menurut Witz (2000), masalah akademis adalah kurangnya kemampuan siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu secara keseluruhan, sehingga mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut.

Rathvon (2004) menyatakan bahwa masalah akademis dapat dikarakteristikkan sebagai kurangnya keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar untuk memahami materi. Kekurangan keterampilan mengacu pada kurangnya keahlian yang memadai yang berkaitan dengan keterampilan akademis yang telah diajarkan sebelumnya. Kurangnya kelancaran mengacu pada kurangnya keterampilan yang dilakukan secara akurat. Siswa yang memiliki kekurangan dalam hal kinerja memiliki keterampilan yang memadai dan kelancaran tetapi tidak menghasilkan karya dengan kuantitas maupun kualitas yang memuaskan.

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masalah akademis merupakan kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu


(30)

materi pelajaran tertentu secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut.

3. Strategi Pemecahan Masalah Akademis

Strategi pemecahan masalah akademis merupakan penggunaan teknik algoritma atau heuristik untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalah akademis siswa yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Pemecahan Masalah

Menurut Matlin (2005), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi pemecahan masalah adalah:

1. Keahlian

Individu yang memiliki keahlian dapat menjelaskan secara konsisten dalam menampilkan kinerja yang luar biasa dalam mengerjakan tugas dengan sesuatu dengan cara yang khusus (Ericsson & Lehmann). Hal tersebut dapat dilihat melalui individu yang memiliki pengetahuan dasar, memori, representasi, kecepatan dan keakuratan, serta kemampuan metakognitif.


(31)

2. Mental set

Ketika pemecahan masalah menggunakan mental set, individu terus menggunakan solusi yang sama yang telah mereka gunakan pada masalah sebelumnya, meskipun masalah tersebut dapat dipecahkan menggunakan metode berbeda yang lebih mudah. Mental set adalah kebiasaan mental yang mencegah individu untuk berhati-hati dalam memikirkan masalah dan pemecahannya secara efektif. (Langer, 1997; Langer & Moldoveanu, 2000 ; Lovett, 2002 dalam Matlin, 2005)

B. Tunanetra

1. Pengertian Tunanetra

Pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa: “tuna” adalah rugi dan “netra” adalah mata dan secara keseluruhan tunanetra adalah cacat mata. Istilah tunanetra yang mulai popular dalam dunia pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan istilah “buta” pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian (sebelah) maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (Pradopo dkk, 1977).

Menurut Hallahan & Kauffman (1998) menyatakan bahwa tunanetra ialah seseorang yang memiliki ketajaman visual dari 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan meskipun baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan


(32)

dimana seseorang tersebut dapat melihat 20 kaki sedangkan 200 kaki bagi orang yang berpenglihatan normal. Sedangkan menurut Heward (1996), seseorang dapat dianggap tunanetra apabila:

a. Akuitas penglihatan seseorang adalah 20/200 atau kurang pada mata normal setelah koreksi sebaik mungkin dengan lensa atau lensa kontak. b. Bidang penglihatannya sangat terbatas. Disaat memandang lurus ke depan,

mata normal mampu melihat objek-objek dalam interval sekitar 180 derajat. Beberapa individu yang memilki bidang penglihatan terbatas, menjelaskan persepsinya seperti melihat dunia melalui tabung sempit ataupun jalur komunikasi yang kecil.

c. Jika dibatasi sampai daerah 20 derajad atau kurang dari bidang normal 180 derajat bagi individu yang memiliki fungsi visual yang normal, maka akan menurun secara perlahan selama periode waktu tertentu dan penurunan ini tidak terdeteksi pada anak-anak dan orang dewasa.

Menurut Geniofam (2010), individu yang dikatakan tunanetra adalah jika tidak dapat melihat dua jari dimukanya atau hanya melihat sinar yang dapat digunakan untuk orientasi mobilitas dan individu tunanetra tidak dapat meggunakan huruf selaian huruf Braille.

Jadi, individu yang dikatakan tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan.


(33)

2. Klasifikasi Tunanetra

Menurut Pradopo, dkk (1977), klasifikasi tunanetra secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu:

1. Waktu terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra. Apakah sejak lahir, semasa usia sekolah, sesudah dewasa, ataukah usia lanjut dalam rangka program pendidikan penderita tunanetra.

Ditinjau dari terjadinya kecacatan tersebut diatas, para penderita tunanetra dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.

b. Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, adalah yang sudah memiliki kesan-kesan mengenai pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.

c. Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, adalah yang memiliki kesan-kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

d. Penderita tunanetra pada usia dewasa, adalah yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

e. Penderita tunanetra dalam usia lanjut, adalah yang sebagaian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan menyesuaikan diri.

2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat, yakni sebagai berikut: a. Penderita tunanetra ringan (defective vision/low vision), yakni mereka


(34)

penderita rabun, juling, myopia ringan. Mereka ini masih dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum atau masih mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan penglihatan yang baik.

b. Penderita tunanetra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan. Hanya dengan menggunakan kacamata pembesar mereka masih bisa mengikuti program pendidikan biasa atau masih mampu membaca tulisan-tulisan yang berhuruf tebal. c. Penderita tunanetra berat (totally blind), yakni mereka yang sama sekali

tidak dapat melihat, atau yang biasa disebut oleh masyarakat dengan istilah buta.

Disamping kedua pembagian tersebut diatas, Slayton French (dalam Pradopo dkk, 1977), menggolongkan para tunanetra sebagai berikut:

a. Buta total, ialah mereka yang sama sekali tidak dapat membedakan antara gelap dan terang. Indera penglihatannya demikian rusak atau kedua matanya sama sekali telah dicabut.

b. Penderita tunanetra yang masih sanggup membedakan antara terang dan gelap, dalam wujud bayangan objek, melalui sinar langsung atau reflek cahaya.

c. Penderita tunanetra yang masih bisa membedakan terang dan gelap serta warna, sampai ke tingkat pengenalan bentuk dan gerak objek dan masih bisa melihat judul tulisan biasa huruf-huruf besar.


(35)

d. Penderita tunanetra yang kekurangan daya penglihatan (defective vision), dimana mereka dengan pertolongan alat atau kacamata masih mampu memperoleh pengalaman visual yang cukup.

e. Buta warna, yakni mereka yang mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak dapat membedakan warna-warna tertentu

3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan

Menurut Pradopo, dkk (1977), ada dua faktor pokok yang menyebabkan seorang anak menderita tunanetra, yaitu:

1. Faktor endogen, adalah faktor yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunanetraan yang disebabkan faktor keturunan ini, dapat dilihat pada sifat-sifat keturunan yang mempunyai hubungan pada garis lurus, silsilah dan hubungan sedarah.

Anak tunanetra yang lahir sebagai akibat faktor endogen (faktor keturunan) memperlihatkan cirri-ciri: bola mata yang normal, tetapi tidak dapat menerima persepsi sinar. Kadang-kadang seluruh bola matanya seperti tertutup oleh selaput putih dan keruh. Kelainan lain pada indera penglihatan yang bersifat faktor pembawaan ialah juling, teleng, dan myopia.

2. Faktor exogeen adalah faktor luar, misalnya yang disebabkan oleh penyakit seperti:


(36)

a. Xerophthalmia, yakni suatu penyakit karena kekurangan vitamin A. Penyakit ini terdiri atas stadium buta senja, stadium xerosis (selaput putih kiri-kanan dan selaput bening kelihatan kering) dan stadium keratomalacia (selaput bening menjadi lunak, keruh dan hancur).

b. Trachoma, dengan gejala bintil-bintil pada selaput putih, kemudian perubahan pada selaput bening dan pada stadium terakhir selaput putih menjadi keras, sakit dan luka.

c. Cataract, Glaucoma, dan penyakit lain-lain yang dapat menimbulkan ketunanetraan

Faktor exogeen lain ialah kecelakaan yang langsung dan tidak langsung mengenai bola mata. Misalnya kecelakaan karena kemasukan kotoran karena barang keras, benda tajam atau kena barang cairan yang berbahaya.

4. Karakteristik Ketunanetraan

1. Karakteristik Psikologi Tunanetra

Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali indera penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tunanetra, menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan berkembang anak tunanetra dibanding dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang yang dialami oleh anak normal. Keterbatasan berkembang tersebut antara lain karena anak tunanetra menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi


(37)

anak normal tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual. Sehubungan dengan hal tersebut, maka timbul berbagai masalah antara lain ialah tumbuhnya rasa curiga terhadap orang lain, sangat mudah tersinggung perasaannya dan tumbuhnya rasa ketergantungan yang berlebihan (Pradopo dkk, 1977)

a. Curiga terhadap orang lain

Rasa curiga mula-mula timbul oleh karena terbatas kemampuan anak tunanetra berorientasi terhadap lingkungannya. Keterbatasan ini menimbulkan pengalaman yang kurang enak bagi dirinya yang menumbuhkan rasa kecewa. Apabila tumbuh secara berlebihan menjadikan anak tunanetra mudah curiga terhadap orang lain.

b. Perasaan mudah tersinggung

Perasaan mudah tersinggung pada anak tunanetra dapat pula disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterimanya, tetapi tidak diimbangi dengan memberikan peranan lebih oleh indera yang lainnya, sehingga karena pengalaman sehari-hari menumbuhkan perasaan kecewa membuat anak-anak tunanetra menjadi lebih emosionil sekalipun terhadap hal-hal kecil dan tidak perlu.

c. Ketergantungan yang berlebihan

Yang dimaksud dengan ketergantungan adalah suatu sikap yang tidak mau untuk mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung untuk mengharapkan pertolongan orang lain. Pada anak tunanetra rasa ketergantungan yang berlebihan


(38)

berusaha sepenuhnya dalam mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan mengharapkan pertolongan atau disebabkan oleh rasa kasih sayang yang berlebihan dari pihak lain dengan cara selalu memberkan pertolongan-pertolongan kepada anak tunanetra sehingga karenanya ia tidak pernah berbuat sesuatu apapun. Oleh karena itu, untuk mengatasinya anak tunanetra perlu diberi kesempatan untuk menolong dirinya sendiri.

2. Perkembangan Bahasa

Kebanyakan ahli percaya bahwa kurangnya fungsi penglihatan tidak dapat mengubah kemampuan untuk mengerti dan menggunakan bahasa. Dari studi yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa siswa tunanetra tidak berbeda dengan orang yang melihat dalam tes intelegensi verbal. Hanya beberapa aspek komunikasi seperti gestur memiliki perbedaan pada individu yang memiliki kekurangan pada fungsi penglihatan. Anak tunanetra tetap dapat mendengar bahasa dan mungkin lebih termotivasi dibandingkan anak yang dapat melihat karena merupakan hal yang utama bagi anak-anak tunanetra dalam berkomunikasi (Hallahan & Kauffman, 1998). Kelompok profesional lainnya juga mempercayai bahwa anak tunanetra memiliki perkembangan bahasa yang berbeda, karena anak-anak tunanetra tersebut memiliki kelebihan dan memilki kekurangan.

3. Kemampuan Intelektual

Menurut Hallahan & Kauffman (1998), beberapa kemampuan intelektual pada tunanetra adalah:


(39)

a. Performansi Pada Standarisasi Tes Inteligensi

Samuel P.Hayes dalam Contributions to a Psychology of Blindness melaporkan bahwa ketunanetraan tidak secara otomatis menghasilkan intelegensi yang rendah. Pada studinya tahun 1950, Hayes mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menemukan siswa tunanetra dalam keadaan yang merugikan, terutama sekali dalam intelegensi verbal dan tidak ada hubungan antara kebutaan dengan IQ (Intelligence Quotient).

b. Kemampuan Konseptual

Perkembangan konseptual atau kemampuan kognitif pada anak yang mengalami kebutaan cenderung tertinggal daripada anak yang dapat melihat. Pada anak tunanetra, besar kemungkinan lebih rendah dalam tugas yang menuntut berpikir abstrak dan lebih mungkin untuk menyelesaikan tugas secara konkrit.

c. Konsep Spasial

Konsep yang muncul pada anak yang mengalami kebutaan lebih sulit dibandingkan yang lainnya. Tetapi banyak penelitian menunjukkan bahwa konseptualisasi spasial tidaklah mustahil bagi anak tunanetra. Individu yang tunanetra, ternyata belajar konsep spasial dengan penggunaan indera perasa selain indera penglihatan.

d. Tactual dengan Pengalaman Visual

Menurut Lowenfeld (dalam Hallahan, 1998) persepsi tactual dibedakan atas dua yakni synthetic touch dan analytic touch. Synthetictouch berdasar pada eksplorasi tactual seseorang dari objek yang cukup kecil yang dapat dipegang


(40)

pada berbagai bagian dari suatu objek dan kemudian secara mental membentuknya menjadi bagian yang terpisah.

4. Pencapaian Prestasi

Menurut Hallahan & Kauffman (1998) sangat sedikit studi mengenai pencapaian prestasi pada anak yang mengalami gangguan pada penglihatan dengan anak yang penglihatannya normal. Ada sedikit bukti yang menyatakan bahwa baik anak yang sebagian fungsi penglihatannya masih dapat digunakan dan anak yang buta, mental age nya berada di belakang teman sebaya mereka yang dapat melihat. Kesimpulan lainnya adalah bahwa pencapaian prestasi pada anak yang memiliki gangguan pada penglihatannya tidak berpengaruh besar seperti yang ada pada anak yang mengalami gangguan penglihatan. Pada proses belajar mendengar lebih penting daripada melihat. Oleh karena itu stimuli untuk belajar lebih mudah dan efektif diberikan pada individu yang tidak dapat melihat daripada individu yang tidak dapat mendengar.

5. Karakterisrik Perilaku Tunanetra

Menurut Heward (1996), orientasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan satu posisi dan hubungannya dengan lingkungan melalui penggunaan alat indera yang tertinggal. Mobilitas adalah kemampuan berpindah dengan aman dan efisien dari satu poin ke poin lain. Untuk kebanyakan murid lebih banyak membutuhkan usaha untuk teknik orientasi dibanding teknik


(41)

mobilitas. Anak dengan kesulitan pengihatan diajarkan tentang konsep dasar yang familiar dengan mereka melalui tubuh dan lingkungan mereka.

5. Pendekatan Pendidikan

Ketika berbicara tentang guru dari anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan kita sering terpikir tentang alat-alat khusus seperti braille, alat perekam, dan lain-lain. Walaupun media dan material ini mempunyai peran penting dalam pendidikan anak dengan gangguan penglihataan, namun guru yang efektif harus lebih tahu daripada hanya cara menggunakan peralatan tersebut. Banyak pendidik dan psikolog yang telah menggambarkan halangan-halangan belajar oleh siswa yang mengalami gangguan penglihatan (Heward, 1996).

Braille adalah sarana utama keaksaraan untuk orang-orang yang buta (Schroeder dalam Smith, 2006). Braille adalah sistem membaca dan menulis berupa huruf, kata, angka, dan sistem lain yang dibuat dari pengaturan titik yang timbul. Sistem ini dikembangkan sekitar tahun 1830 oleh Louis Braille, seorang berkebangsaan Perancis muda yang buta. Meskipun sistem braille sudah lebih dari 165 tahun, namun ini adalah cara yang paling efisien untuk membaca dengan sentuhan dan merupakan keterampilan penting bagi orang-orang yang memiliki susah untuk membaca cetak. Siswa yang buta bisa membaca huruf braille jauh lebih cepat daripada dari alphabet standar.

Pendekatan pendidikan lain yang dapat membantu siswa tunanetra dalam belajar menurut Smith (2006) adalah calculation aids (alat bantu menghitung).


(42)

bagi siswa tunanetra, dengan memainkan biji sempoa penghitungan matematika dasar dapat dilakukan dan hasilnya terdapat dalam bentuk taktil yang dapat diraba dengan jari tangan.

C. Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam

Yayasan Perguruan Trisakti Lubuk Pakam merupakan suatu sekolah yang berbasis swasta yang beralamat di Jl. P. Siantar No.80A Lubuk Pakam, kabupaten Deli Serdang. Yayasan pendidikan ini terdiri dari beberapa lembaga pendidikan yaitu SD Trisakti, SMP Trisakti, SMA Trisakti, STM, SMK Pariwisata, dan SMK Akutansi. Namun, peneliti hanya menyoroti permasalahan yang terjadi di tingkat SMA-nya saja.

Yayasan Perguruan Trisakti menerima siswa yang berkebutuhan khusus, yaitu siswa yang menyandang tunanetra namun masih dalam kategori/tingkatan rendah (mereka masih bisa mengikuti proses belajar-mengajar). Yayasan Perguruan Trisakti menerima siswa tunanetra dikarenakan siswa tunanetra memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di jenjang pendidikan yang mereka inginkan. Setiap tahunnya sekolah ini menamatkan siswa yang berkebituhan khusus tersebut. Dalam proses belajar mengajar mereka disamakan dengan siswa normal lainnya dan ketika ujian mereka dipisah. Selama belajar mereka diperlengkapi dengan alat bantu seperti huruf Braille dan mesin ketik.

SMA Trisakti sendiri memiliki harapan untuk mengahasilkan siswa-siswi yang berkualitas dalam setiap bidang dan tetap mengutamakan aspek moralitas


(43)

yang dijunjung tinggi. Harapannya ke depan SMA Trisakti ini bisa menjadi salah satu sekolah yang terbaik di Provinsi Sumatera Utara.

1. Struktur Kurikulum SMA Trisakti Lubuk Pakam

Struktur kurikulum SMA Trisaksti Lubuk Pakam meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai kelas X sampai dengan kelas XII dan terdiri atas sejumlah mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Struktur kurikulum disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Kompetensi mata Pelajaran (SKMP).

Pengorganisasian kelas pada SMA Trisakti Lubuk Pakam dibagi dalam dua kelompok yaitu kelas X merupakan program umum yang diikuti oleh seluruh peserta didik dan kelas XI dan XII merupakan program penjurusan yang terdiri atas dua program yaitu IPA dan IPS. Pendidikan kecakapan hidup yang meliputi kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademis dan atau kecakapan vokasional juga dikembangkan di SMS Lubuk Pakam secara terintegrasi dalam setiap kegiatan pembelajaran untuk seluruh mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri.

Tabel struktur kurikulum kelas XI dan XII IPA

Komponen XI IPA

Semester 1

XI IPA Semester

2

XII IPA Semester

1

XII IPA Semester

2


(44)

3. Bahasa indonesia 4 4 4 4

4. Bahasa inggris 4 4 4 4

5. Matematika 4 4 4 4

6. Fisika 5 5 5 5

7. Biologi 5 5 5 5

8. Kimia 4 4 4 4

9. Seni Budaya 2 2 2 2

10. Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan

2 2 2 2

10. Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan

2 2 2 2

11. Teknologi Informasi & Komunikasi

2 2 2 2

12. Bahasa Perancis 2 2 2 2

A. Muatan

Lokal/Elektronika

2 2 2 2

B. Pengembangan Diri 2* 2* 2* 2*

JUMLAH 42 42 42 42

* Ekuivalensi 2 jam pembelajaran

Tabel struktur kurikulum kelas XI dan XII IPS

Komponen XI IPS

Semester 1 XI IPS Semester 2 XII IPS Semester 1 XII IPS Semester 2 A. Mata Pelajaran

1. Pendidikan Agama

2 2 2 2

2. Pendidikan Kewarganegaraan

2 2 2 2

3. Bahasa indonesia 4 4 4 4

4. Bahasa inggris 4 4 4 4

5. Matematika 4 4 4 4

6. Geografi 3 3 3 3

7. Sosiologi 3 3 3 3

8. Sejarah 3 3 3 3

9. Ekonomi 5 5 5 5

10. Seni Budaya 2 2 2 2

11. Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan

2 2 2 2

12. Teknologi Informasi & Komunikasi


(45)

13. Bahasa Perancis 2 2 2 2

B. Muatan

Lokal/Elektronika

2 2 2 2

C. Pengembangan Diri 2* 2* 2* 2*

JUMLAH 42 42 42 42

* Ekuivalensi 2 jam pembelajaran

D. Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam

Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar diri siswa tunanetra. Melalui indera penglihatan, sebagian besar rangsangan atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsangan tersebut (Matlin, 2005). Hal ini tidak dialami oleh siswa tunanetra sehingga kecenderungan siswa tunanetra menggantikan indera penglihatan dengan pendengaran sebagai saluran utama dalam penerimaan informasi dari luar dan mengakibatkan pembentukan pengertian atau konsep hanya berdasar pada suara atau bahasa lisan (Somantri, 2007).

Menurut Hallahan & Kauffman (1998) tunanetra adalah seseorang yang memiliki ketajaman visual kurang lebih 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan meskipun baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan jarak diameter tidak lebih dari 20 derajad.

Pada saat ini walaupun pemerintah sudah mendirikan sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan bagi individu yang


(46)

bersekolah di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan dalam mendirikan sekolah tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan demi menunjang kelancaran akademis siswa tunanetra. Selain masalah biaya, ternyata sumber daya manusia juga terbatas sehingga membuat terbatasnya akses pada siswa-siswa tunanetra dalam pendidikan. Dengan kondisi seperti ini mengharuskan individu tunanetra untuk menuntut ilmu di sekolah umum sama seperti anak normal lainnya. Salah satu sekolah yang menerima siswa tunanetra adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti, Lubuk Pakam. Sekolah ini menerima siswa yang berkebutuhan khusus yaitu siswa yang menyandang tunanetra namun masih dalam kategori/tingkatan rendah (mereka masih bisa mengikuti proses belajar-mengajar). Setiap tahunnya sekolah ini menamatkan siswa yang berkebutuhan khusus tersebut. Dalam proses belajar mengajar mereka disamakan dengan siswa normal lainnya.

Berdasarkan fenomena di lapangan yaitu di SMA Trisakti sendiri ditemui bahwa siswa tunanetra yang bersekolah disekolah umum tersebut, menemukan masalah akademis karena siswa tunanetra sendiri harus menyesuaikan diri untuk belajar bersama dengan siswa normal dengan metode belajar yang sama. Menurut Rathvon (2004) menyatakan bahwa masalah akademis dapat dikarakteristikkan sebagai kekurangan keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar memahami materi. Kekurangan keterampilan mengacu pada kurangnya keahlian yang memadai yang berkaitan dengan keterampilan akademis yang telah diajarkan sebelumnya. Kurangnya kelancaran mengacu pada kurangnya keterampilan yang dilakukan secara akurat. Siswa


(47)

dengan kurangnya kinerja memiliki keterampilan yang memadai dan kelancaran tetapi tidak menghasilkan karya dengan kuantitas maupun kualitas yang memuaskan.

Kondisi yang demikian membuat siswa tunanetra harus tetap semangat untuk mengikuti proses kegiatan akademis untuk dapat mengoptimalkan potensi mereka dan meningkatkan prestasi belajar melalui strategi pemecahan masalah akademis yang dilakukan oleh siswa tunanetra. Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara atau pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut.

Berdasarkan penelitian Taplin (1994) ketika siswa tidak mencapai jawaban yang memuaskan dari solusi terhadap permasalahan mereka, maka siswa tersebut akan memutuskan untuk mengambil beberapa tindakan lagi dan memodifikasi atau mengubah strategi dengan segera. Terlebih lagi, siswa tersebut akan mengeksplorasi pertanyaan tentang penggunaan strategi pemecahan masalah untuk menjadi fleksibel dalam menggunakan strategi tersebut. Hal ini menggambarkan urutan strategi yang digunakan paling konsisten oleh siswa yang sukses.

Dalam strategi pemecahan masalah terdapat tiga strategi pemecahan masalah heuristik yang paling sering digunakan yaitu heuristik hill-climbing, heuristik means-ends, dan pendekatan analogi (Matlin, 2005). Dalam strategi pemecahan masalah terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu keahlian


(48)

Paradigma Berpikir

Pendidikan

Siswa berkebutuhan

khusus

Siswa tunanetra

Sekolah umum

- Sekolah Luar Biasa

(SLB)

- Sekolah Inklusi

Faktor-faktor yang mempengaruhi  Keahlian

Mental set

Pendekatan Analogi Heuristik

Means-ends Heuristik

Hill-Climbing

Diatasi dengan strategi pemecahan masalah Menemukan masalah akademis

kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu pelajaran tersebut (Rathvon, 2004)


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah melihat bagaimana proses strategi pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa tunanetra dalam hal akademis, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton dalam Poerwandari, 2009).

A. Pendekatan Kualitatif

Banyaknya perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, yang penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi, menyebabkan mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan numerik. Berdasarkan pandangan yang dikemukakan sebelumnya, untuk menjawab permasalahan pada penelitian ini peneliti mengambil pendekatan kualitatif karena strategi pemecahan masalah akademis ini bersifat respondentif dan merupakan suatu proses, sehingga hanya dapat dilihat secara kualitatif melalui metode wawancara dan observasi sebagai alat pendukung. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif karena mendeskripsiakan suatu populasi yang homogen, yaitu


(50)

mengambil pendekatan kualitatif karena strategi pemecahan masalah setiap individu bergantung kepada kepribadian individu dan kapasitas intelektual, sehingga proses strategi pemecahan masalah hanya dilihat melalui kacamata individu itu sendiri.

B. Responden Penelitian

Patton (dalam Poerwandari, 2009) mengatakan bahwa perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif sangat jelas terlihat pada cara pengambilan sampel/responden penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional (theory-based / operational construct sampling). Patton (dalam Poerwandari, 2009) menjelaskan, penggunaan prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek benar-benar bersifat representatif artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

Responden dalam penelitian ini adalah: 1. Siswa SMA (Sekolah Menengah Atas)

Siswa yang memiliki jenjang pendidikan menengah setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) yang ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas X sampai kelas XII.

2. Penyandang tunanetra

Tunanetra adalah seseorang yang memiliki indera penglihatan yang tidak berfungsi sama sekali.


(51)

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah tiga orang. Peneliti mengambil responden sebanyak tiga orang karena kesulitan untuk mencari responden. Pada penelitian ini jumlah responden terbatas. Peneliti juga melakukan pembatasan terhadap karakteristik responden, yaitu siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang bersekolah di sekolah umum, karena pada saat ini responden berusia remaja. Pada usia remaja, individu mulai berpikir lebih logis dan menyusun rencana-rencana untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Tipe pemecahan masalah ini diberi nama penalaran deduktif hipotestis. Penalaran deduktif hipotetis adalah konsep operasional formal Piaget, yang menyatakan bahwa remaja memiliki kemampuan kognitif untuk mengembangkan hipotesis, atau dugaan terbaik, serta mengenai cara memecahkan masalah. Kemudian mereka menarik kesimpulan secara sistematis, atau menyimpulkan, pola mana yang diterapkan dalam memecahkan masalah (Papalia, 2007). Selain itu, peneliti juga mengambil responden yang mengalami buta total pada usia kanak-kanak. Hal ini dikarenakan sedikitnya pengalaman penglihatan yang dialami oleh responden, sehingga ketika remaja banyaknya pertimbangan dalam pengambilan keputusan terhadap masalah yang mereka hadapi.

C. Metode Pengambilan Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah wawancara. Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2009) memaparkan bahwa wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang


(52)

diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang yang terus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek (check-list) apakah aspek-aspek yang berkaitan telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara (Poerwandari, 2009).

Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman partisipan, tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan partisipan secara utuh dan mendalam.

Metode penelitian kualitatif ini peneliti gunakan karena ingin mengetahui secara mendalam mengenai proses strategi pemecahan masalah pada siswa tunanetra dalam hal akademis. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi pada saat wawancara berlangsung. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan


(53)

mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium maupun dalam konteks alamiah. (Banister dkk, dalam Poerwandari 2009).

D. Alat Bantu Pengambilan Data 1. Alat perekam

Alat perekam digunakan sebagai alat bantu pengumpulan data agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara. Dengan adanya alat perekam ini, peneliti dapat memperoleh data yang utuh dan dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan alat perekam ini digunakan dengan seizin partisipan.

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan menjadi daftar pengecek apakah semua pertanyaan penelitian telah ditanyakan. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkatagorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data lainnya. Pedoman wawancara ini berisikan daftar pertanyaan yang berkaitan dengan tema penelitian dimana urutan pertanyaan akan bersifat fleksibel karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung.


(54)

E. Kredibilitas Penelitian

1. Kredibilitas (Validitas) Penelitian

Istilah kredibilitas digunakan untuk menjelaskan validitas penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud, mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan seting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2009).

2. Dependability (Reliabilitas) Penelitian

Lincoln dan Guba (dalam Poerwandari, 2009) menyatakan bahwa dependability merupakan suatu istilah reliabilitas dalam penelitian kualitatif. Sarantoks (dalam Poerwandari, 2009) menyatakan bahwa peneliti kualitatif tidak sepakat dengan upaya pengendalian atau manipulasi penelitian eksperimental untuk meningkatkan reliabilitas.

Secara keseluruhan adapun upaya peneliti nantinya dalam menjaga kredibilitas data dalam penelitian ini, antara lain dengan:

a. Memilih responden penelitian yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah siswa tunanetra yang bersekolah di sekolah umum. b. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori-teori yang berkaitan

dengan strategi pemecahan masalah akademis pada setiap mata pelajaran. c. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk


(55)

d. Menyertakan rekan yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang akan dilakukan peneliti.

e. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda. Peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, yang dilakukan dengan berkonsultasi kepada dosen pembimbing mata kuliah. F. Prosedur Penelitian

1. Persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong dalam Poerwandari, 2009) yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan tunanetra strategi pemecahan masalah, dan masalah akademis.

b. Menyusun pedoman wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.

c. Membangun rapport

Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden penelitian. Peneliti menemui calon responden penelitian, untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan. Peneliti kemudian menanyakan


(56)

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Tahap pelaksanaan penelitian terdiri dari:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim

d. Melakukan analisis data

Analisis yang dilakukan adalah dengan cara menganalisa setiap responden penelitian terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan analisa keseluruhan responden penelitian.

e. Menarik kesimpulan, membuat kesimpulan dan saran

3. Tahap pencatatan data

Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

4. Proses pengolahan data

Data akan dianalisis menurut prosedur-prosedur kualitatif, dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif. Menurut Poerwandari (2009) proses analisis data adalah sebagai berikut:


(57)

a. Organisasi data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan menngorganisasikan data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti berkewajiban untuk mengorganisasikan diantaranya adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagian, (transkip wawancara), data yang sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi yang kronologis mengenai pengumpulan-pengumpulan data analisis.

b. Koding

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Dengan demikian, peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang dikumpulkan, membaca transkip begitu transkip selesai dibuat, membaca transkip berulang-ulang sebelum melakukan koding untuk memperoleh ide umum tentang tema sekaligus untuk mnghindari kesulitan dalam mengambil kesimpulan (Poerwandari, 2009).

c. Pengujian terhadap dugaan


(58)

kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang berkembang tersebut harus dipertajam serta diuji ketepatannya. Saat tema-tema dan pola-pola muncul dari data untuk menyakinkan temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut (Poerwandari, 2009).

d. Strategi Analisis

Analisis terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan mengenai apa yang dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2009) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata partisipan sendiri maupun konsep yang dikembangkan atau dipilih oleh peneliti untuk menjelaskan fenoma yang dianalisis.

Pada penelitian ini, peneliti menganalisa masing-masing individu sesuai dengan Poerwandari (2009) yang menyarankan untuk melakukan studi kasus terhadap masing-masing individu terlebih dahulu bila fokus pemilihan adalah variasi individu.

e. Interpretasi

Menurut Kyale (dalam Poerwandari, 2009) interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki persepektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui persepektif tersebut


(59)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dipaparkan analisa data dan intepretasi hasil penelitian mengenai strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra di sekolah umum, yang terdiri dari :

1. Data Deskripsi Responden Penelitian I, II, III 2. Data Observasi selama Wawancara

3. Data Wawancara

Data wawancara berisikan masalah – masalah akademis yang dihadapi oleh siswa tunanetra dan strategi pemecahan masalah akademis yang digunakan oleh siswa tunanetra.

4. Pembahasan

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diintepretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah R1. WI/b.19-20/hal.4, maksud kode ini adalah kutipan pada Responden satu, wawancara pertama, baris 19 sampai 20, verbatim halaman 4.


(60)

A. Responden 1 ( Responden Lia) 1. Deskripsi Umum Responden

Wawancara dengan Responden Lia dilakukan sebanyak 2 kali yaitu :

Tabel 1

Jadwal Wawancara Responden 1

No. Hari Tanggal Waktu Tempat

1. Kamis 25 Oktober 2012 Pukul 16.00 WIB – 17.50 WIB

Yayasan pendidikan tunanetra 2. Kamis 4 April 2013 Pukul 13.00 WIB –

14.25 WIB

Yayasan pendidikan tunanetra

Tabel 2

Gambaran Umum Responden 1

No. Identitas Responden

1. Nama Lia (nama samaran)

2. Usia 19 tahun

3. Jenis kelamin Perempuan 4. Agama Kristen protestan 5. Status pendidikan SMA

6. Domisili Deli Serdang – Batu Bara 7. Urutan dalam keluarga Anak ke 4 dari 5 bersaudara 8. Penyebab kebutaan Penyakit campak dan kerumut

Gadis belia ini bernama Lia, Seorang anak tuna netra dari orang tua yang berprofesi sebagai seorang karyawan pabrik kelapa sawit. Saat ini usianya 19 tahun, dia merupakan anak ke 4 dari 5 bersaudara. Ke empat saudaranya merupakan anak normal yang bisa melihat dunia namun membenci sekolah, sehingga pada saat ini hanya Lia yang bersekolah di keluarganya.

Lia mengalami kebutaan pada usia 4 tahun, penyebab awal kebutaannya adalah sakit campak dan kerumut. Awalnya Lia masih bisa main di luar rumah


(61)

bersama teman-teman, namun tiba-tiba Lia merasa gelap dan tidak bisa melihat apa-apa. Lia terus meminta orang tuanya membuka jendela agar dia bisa melihat, orang tuanya pun langsung membawanya kedekat jendela namun tidak ada reaksi, pandangan masih saja gelap. Melihat kejadian ini, orang tua Lia langsung membawanya ke dokter spesialis mata di kota terdekat, namun dokter menyatakan, Lia sudah tidak bisa ditolong, Lia dan orang tuanya harus menerima keadaan ini.

Infomasi dari anak adik amang boru yang juga tuna netra, membawa Lia ke yayasan YAPENTRA. Lia menjalani pendidikannya dari TK sampai saat ini SMA di bawah naungan yayasan tersebut. Lia menghabiskan pendidikan TK, SD, SMP di sekolah khusus, yaitu sekolah SLB untuk anak penyandang tuna netra.

Memasuki pendidikan menengah atas atau yang familiar dengan sebutan SMA, Lia memilih untuk keluar dari sekolah SLB dan bersekolah di sekolah umum. Lia memilih sekolah umum karena ingin memiliki banyak teman yang tidak menyandang tuna netra, Lia mendengar hal-hal yang menarik dari teman tuna netra yang bersekolah di SMA umum. Alasan ini juga lah yang membuat Lia semangat untuk belajar. Syarat nilai UAN 7,0 dan kemampuan kemandirian harus di perolehnya agar dapat bersekolah di sekolah umum. Akhirnya, Lia memperolehnya

SMA Trisakti merupakan salah satu sekolah yang diizinkan oleh yayasan YAPENTRA untuk Lia belajar, menghabiskan masa putih abu-abunya. Banyak suka dan duka yang dilewatinya disekolah tersebut. Duka karena harus


(62)

karena bisa memperoleh pengalaman luar biasa bersama teman-teman yang normal. “Hai kawan-kawan, namamu siapa?” itulah kalimat yang dikeluarkannya untuk mendapatkan teman di sekolah umum.

Semangat Lia untuk terus bersekolah tidak pernah gelap, walaupun pandangannya gelap. “Aku harus sekolah, aku harus kuliah, aku harus berbeda, walaupun aku seperti ini”, ungkap Lia

2. Data Observasi Selama Wawancara

Wawancara pertama dilakukan pada hari kamis, 25 Oktober 2012. Wawancara dilakukan di Yapentra. Pada saat peneliti datang ke Yapentra, peneliti langsung menuju ruang komputer dan ternyata responden memang berada di ruang komputer bersama dengan teman-temannya. Pada saat itu responden sedang membuka situs google untuk mencari lagu-lagu dan tugas dari sekolah, dan pada saat itu pula peneliti meminta kesediaan responden untuk diwawancarai dan responden bersedia kemudian langsung mengajak peneliti ke teras ruang komputer untuk melakukan wawancara.

Pada saat itu Responden masih menggunakan baju sekolah karena esok harinya Responden izin tidak sekolah dikarenakan mengikuti kegiatan di agendakan oleh Yapentra di luar kota. Ketika wawancara berlangsung agak sedikit ribut karena terdengar suara anak- anak tunanetra yang lain yang berada di ruang komputer, selain itu anak-anak tunanetra yang laki-laki latihan musik di aula Yapentra yang bertepatan berhadapan dengan ruang komputer sehingga suara Responden kurang terdengar dan peneliti kembali berulang kali menegaskan


(63)

jawaban Responden. Kondisi demikian tidak berlangsung lama, hanya sekitar kurang lebih 10 menit karena latihan musik sudah selesai dan akhirnya peneliti dan Responden fokus dalam wawancara serta berjalan dengan baik. Wawancara berlangsung selama 1 jam 50 menit dan ketika peneliti mengakhiri wawancaranya, teman-teman Responden datang menghampiri peneliti dan Responden dan akhirnya peneliti juga terlibat dalam pembicaraan mereka.

Wawancara kedua dilakukan pada hari kamis, 4 April 2013. Mengenai Responden, Lia memiliki postur tubuh dengan tinggi badan sekitar 140 cm dan berat badan sekitar 45 kg. Pada saat itu Responden mengenakan pakaian warna merah, selain itu Responden juga menggunakan celana pendek. Wawancara dilakukan di Yapentra, hanya saja tempat proses wawancara berlangsung di asrama Responden. Asrama Responden dapat dikatakan seperti rumah dengan satu buah kamar dan satu buah dapur dan wancara dilakukan diruang tamu. Diruang tamu tersebut tidak satupun terdapat barang-barang, sehingga ruang tamunya kosong dan peneliti serta Responden duduk dilantai untuk melakukan wawancara.

Pada saat wawancara berlangsung Responden terlihat tidak canggung, sehingga membuat peneliti semangat untuk melakukan proses wawancara. Pada proses wawancara kedua sedikit terganggu, hal ini dikarenakan teman Responden datang menghampiri Responden dan menanyakan kegiatan yang dilakukan Responden. Pada saat itu Responden mengatakan bahwa ia sedang wawancara dan langsung meminta temannya untuk pergi karena Responden, sehingga akhirnya


(1)

a. Responden 1 lebih memilih untuk berada di dalam kelas, terkadang responden 1 bersama-sama berlari dengan temannya sambil memegang tangan temannya

b. Responden 2 juga berada di dalam kelas dan sesekali responden 2 juga terkadang berada di pinggir lapangan sambil memberikan semangat kepada temannya yang bertanding. Agar responden 2 memperoleh nilai, maka responden 2 berjuang untuk selalu aktif dalam menjawab pertanyaan dari guru olahraga di kelas. Hal ini terjadi karena terkadang pada pelajaran olahraga tidak selalu praktek dilapangan, tetapi juga terkadang di dalam kelas dengan memberikan materi pelajaran. Pada saat itulah responden 2 harus aktif dalam sesi tanya jawab.

c. Responden 3, pada pelajaran olah raga lebih sering berada di lapangan. Responden 3 terkadang meminta temannya untuk melakukan gerakan sederhana seperti cara memegang bola volley, servis sederhana, kuda-kuda sebelum berlari. Responden 3 juga tetap membawa pakaian olahraga karena hal tersebut dapat menambah nilai pelajaran olahraga, walaupun responden 3 tidak menggunakannya.

10.Pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), ketiga responden mengalami hambatan yaitu:

a. Responden 1 dan responden 2 sama – sama mengalami hambatan yang berhubungan dengan power point. Untuk mengatasi hambatan tersebut, responden 1 dan responden 2 membuat isi power point kemudian meminta bantuan temannya untuk mendesign nya sehingga


(2)

komputernya harus bersebelahan dengan temannya. untuk responden 2 sebelumnya, responden 2 mencari informasi terlebih dahulu mengenai

power point melalui internet dan gurunya.

b. Responden 3 mengalami hambatan yang berhubungan dengan menyimpan dan mengopi data. Untuk mengatasi hal tersebut, responden 3 meminta gurunya untuk mengajarinya dan latihan di asrama Yapentra dengan komputer yang sudah dilengkapai dengan aplikasi Jaws.

11.Pada mata pelajaran bahasa Perancis, ketiga responden memiliki hambatan yaitu sulitnya mengucapkan kata-kata dalam bahasa Perancis dan cara penulisannya yang berbeda. Untuk mengatasi hal tersebut, ketiga responden menuliskan cara membaca kosa kata tersebut dan cara penulisannya. Ketiga responden memiliki hambatan yang lain seperti membuat iklan dan surat dalam bahasa Perancis, dan di selesaikan dengan cara:

a. Responden 1 meminta bantuan ke pada volunteer yang ada di Yapentra.

b. Responden 2 mengatasi hambatan tersebut dengan menulis surat dalam bahasa Indonesia, kemudian responden 2 membuka google translate

dan mengetikkannya kembali sehingga keluarlah tulisan surat tersebut dalam bahasa Perancis. Setelah itu responden mencatatnya kedalam buku tulis.


(3)

c. Responden 3 mencari iklan di Koran ataupun di internet, kemudian menyalinnya ke dalam buku catatanya.

B. SARAN

Berdasarkan hasil dan proses penelitian yang telah dilakukan, peneliti memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini. Saran-saran berikut ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan studi ilmiah tentang strategi pemecahan masalah akademis pada siswa tunanetra yang bersekolah di SMA Trisakti

1. Saran Metodologis

1. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan menggunakan jumlah responden penelitian yang lebih banyak lagi yang memiliki karakteristik yang lebih beragam, tidak hanya siswa tunanetra dalam kategori blind

tetapi juga low vision. Jumlah responden dalam penelitian ini hanya berjumlah 3 orang yang mengalami buta total (blind), sehingga diharapkan dengan menambah jumlah responden penelitian dan juga kategori ketunanetraan yang lainnya, maka pengambilan terhadap setiap kesimpulan akan lebih baik lagi.

2. Perlu dilakukannya penelitian terhadap siswa tunanetra yang bersekolah di beberapa sekolah umum, karena seluruh responden dalam penelitian ini bersekolah di sekolah umum yang sama. Hal dapat lebih memberikan gambaran yang lebih luas mengenai masalah-masalah akademis responden


(4)

dan strategi pemecahan masalah yang digunakan untuk mengatasi masalah akademis.

2. Saran Praktis

a. Penyebab masalah – masalah akademis pada siswa tunanetra secara umum di sebabkan oleh faktor eksternal seperti pihak sekolah berupakurikulum yang digunakan, serta metode mengajar guru di kelas. Untuk pihak Yayasan Tunanetra (Yapentra) sendiri, kurang menyediakan sarana belajar yang berhubungan dengan mata pelajaran di sekolah seperti diskusi. Melalui hasil penelitian ini, maka diharapkan pengertian dan kesadaran dari pihak – pihak terkait untuk memberikan motivasi kepada siswa tunanetra dalam kehidupan sehari-hari sebagai aplikasi kepedulian terhadap siswa tunanetra.

b. Bagi siswa tunanetra sendiri, disarankan untuk lebih banyak berdiskusi dengan guru maupun teman sekolahnya, baik yang normal maupun sesama siswa tunanetra lainnya.

c. Sebagai aplikasi hasil penelitian ini pada guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah dan bagian konseling maupun pengasuh di Yayasan Pendidikan Tunanetra (Yapentra). Pihak – pihak terkait dapat mengetahui masalah akademis yang dihadapi oleh siswa tunanetra dalam mengikuti materi pelajaran di sekolah, sehingga dapat memberikan masukan terhadap strategi pemecahan masalah akademis yang dihadapi oleh anak didiknya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. [On-Line]. http://www.dikti.go.id/files/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf. Tanggal akses : 05 November 2012

Effendi, M. (2006). Pengantar Psikopaedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Elliot, S.N., Thomas, R.K., Joan, Littlefield., & John, F.T. (1999). Educational psychology. New York: McGraw-Hill

Febrina, R. (2012). Perbedaan Pria dan Wanita dalam Menghadapi Masalah [On-Line]. Available FTP: http://informasitips.com/perbedaan-pria-dan-wanita-ketika-menghadapi-masalah

Geniofam.(2010). Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Garailmu

Hallahan, D.P., & Kauffman, J.M. (1998). Exceptional Children : An Introduction to special education (5 th Ed). New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Heinrich, S.R. (1999). Visually impaired students can use the Internet. National Association of Secondary School Principals. NASSP Bulletin; 83, 607; ProQuest Research Library

Henson, K. T., & Ben, F.E. (1999). Educational psychology fof effective teaching. USA: Wadsworth Publishing Company

Heward, W.L. (1996). Exceptional Children : An Introduction to special education (5 th Ed). New Jersey: Prentice Hall Inc.

Kompas. (2010). Insentif Sekolah Inklusi. Artikel. [On-Line]. Available FTP: http://cetak.kompas.com/read/2010/03/02/04524256/insentif.sekolah.inklu si. Tanggal akses: 10 Maret 2011

Matlin, M.W. (2005). Cognition sixth edition. USA: Wiley

Papalia, D.E. (2007). Human Development. New York: McGraw-Hill Companies Phillips, Jay E., & Corn, Anne L. (2003). An Initial Study of Student’s

Perceptions of Their Education Placement At A Special School For The Blind. ProQuest Research Library.


(6)

Poerwandari, E.K. (2009). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia Edisi ke 3. Jakarta : LPSP3 UI.

Pradopo, S., Suharto & Tobing, L. (1977). Pendidikan Anak-Anak Tunanetra. Bandung: Masa Baru

Purnama, D. (2010). Cermat Memilih Sekolah Menengah yang Tepat. Jakarta: Gagas Media

Rathvon. (2004). Encyclopedia of Applied psychology vol 1. USA: Elsevier

Salami, S.O., & Aremu, A.O. (2006). Relationship Between Problem-Solving Ability and study behavior among school-going adolescents in southwestern Nigeria. Electronic Journal of Research in Educational Psychology ISSN 1696-2096 No. 8 vol 4. Nigeria: University of Ibadan Schultz, D.P,. & Schultz, S.E. (2005). Theories of Personality 8th edition. USA:

Wadsworth

SMA Trisakti Lubuk Pakam .(2010). Yayasan Perguruan Trisakti. Medan: SMA Trisakti

Smith, D.J. (2006). Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua. Bandung: Nuansa Somantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama

Sternberg, R . (2008). Psikologi Kognitif edisi keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sunaryo. (2009). Manajemen Pendidikan Inklusi. Bandung: FIP UPI.

Taplin, M. (1994). Development of a Model to Enhance Managerial Strategies in Problem Solving. Mathematics Education Research Journal 1994, Vol. 6. Launceston: University of Tasmania.

Witz, K.G. (2000). The academic problem. Electronic Journal of Curriculum Studies ISSN 002-0272 No. 1,9-23 vol 32. USA: Taylor & Francis Ltd