Hakikat Alih Kode Alih Kode

commit to user 30 30 Di dalam campur kode, ada sebuah kode utama atau kode dasar yang memiliki fungsi dan keotonomiannya; sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito 1997: 78-80 mengklasifikasikan campur kode menjadi 6 macam, antara lain: 1 penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, misal Mangka seringkali sok ada kata-kata seolah-olah bahasa; 2 penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, misal Nah, karena saya kadhung apik sama dia, ya tak teken; 3 penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster, misal Banyak klap malam yang harus ditutup; 4 penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, misal Sudah waktunya kita menghindari backing-backingan dan klik-klikan; 5 penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, misal Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon; dan 6 penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa, misal Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wur handayani.

5. Alih Kode

a. Hakikat Alih Kode

Nababan 1993: 31 berpendapat bahwa alih kode adalah peralihan dari satu ragam fungsiolek umpamanya ragam santai ke ragam yang lain umpamanya ragam formal, atau dari satu dialek ke dialek lain. Senada dengan Nababan, Chaer 1994: 141 menyatakan bahwa alih kode merupakan perubahan dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai. Suwito 1997: 81 menyatakan alih kode sebagai suatu peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila penutur menggunakan kode A misalnya bahasa Indonesia kemudian beralih kode umpamanya bahasa Jawa, maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut dengan alih kode. Thelander dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115 mengungkapkan bahwa bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa yang lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Fasold dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115 commit to user 31 31 mengatakan bahwa apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja karena sebab-sebab tertentu. Appel dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107 memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymes dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107 menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya- gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa language dependency dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.

b. Ciri-ciri Alih Kode