commit to user 4
4 deposito dengan suku bunga bersaing yang dijamin LPS atau pemerintah
sampai dengan dua milyar.” A :
“Kosik, kosik, kosik, kosik. BPR Trihasta Prasojo ini masih di tempat yang lama kan?”
C : “Masih dong, Buk. Kantor pusatnya itu masih di Jalan Solo-
Tawangmangu km 16 Palur telpon 825042.” B
: “Atau di komplek Ruko Beteng Blok A No. 6 Solo telpon 651358.” A
: “Kalau gitu let’s go yo, Pak ke BPR Trihasta Prasojo. Biar kreditnya cepet cair. Aku selak pingin mantu.”
Sumber: Radio JPI Sabtu, 03 Januari 2010 Bahasa iklan yang digunakan dalam iklan di atas memunculkan ragam
bahasa informal dengan mencampur atau menggunakan beberapa bahasa dalam satu tuturan. Pemilihan kata yang digunakan pun lebih terkesan santai, luwes,
komunikatif dan memiliki variasi yang berbeda untuk setiap jenis iklan, sehingga bisa dikatakan penggunaan bahasa dalam iklan yang disiarkan radio tersebut
menarik dan laik untuk peneliti kaji. Dari sinilah, peneliti mencoba mengkaji lebih dalam pemakaian bahasa iklan di radio tersebut yang peneliti tuangkan dalam
sebuah tulisan dengan judul Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Iklan Komersial di Radio.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat rumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial yang
disiarkan Radio JPI? 2.
Bagaimana wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial yang disiarkan Radio JPI?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tulisan ini bertujuan untuk: 1.
mendeskripsikan karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial yang disiarkan Radio JPI.
2. mendeskripsikan wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial
yang disiarkan Radio JPI.
commit to user 5
5
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah khazanah penelitian ilmu bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang karakteristik pemakaian
bahasa iklan. 2.
Manfaat praktis a.
Bagi siswa Dapat menambah pengetahuan dan pemahaman siswa tentang
karakteristik bahasa iklan, khususnya dalam pemilihan kata dan penggunaan gaya bahasa.
b. Bagi pengajar bahasa dan sastra Indonesia
Dapat dijadikan tambahan materi ajar bahasa dan sastra Indonesia, khususnya yang terkait dengan pilihan kata, gaya bahasa, campur kode dan
alih kode ragam bahasa iklan. c.
Bagi praktisi radio Dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan iklan
komersial, khususnya yang terkait dengan pemilihan diksi. d.
Bagi penelitian lain Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lain yang berkaitan dengan
permasalahan yang sama dalam penelitian ini.
commit to user 6
6
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1. Bahasa
a. Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan lambang atau sebuah rangkaian bunyi yang membentuk suatu arti tertentu. Subroto berpendapat bahwa bahasa memiliki
sistem, asas-asas, pola-pola yaitu seperangkat kaidah yang bersifat mengatur dan merupakan paduan dari aspek bentuk formal aspect dan aspek arti semantic
aspect bahkan juga aspek situasi 1997: 18. Sedikit berbeda dengan pendapat tersebut, Wirjosoedarmo dalam Husein dan Banasuru, 1996: 4 mengatakan
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat, yang berupa bunyi suara atau tanda atau isyarat atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia
untuk menyampaikan isi hati kepada manusia. Kridalaksana dalam Chaer, 1994: 32 mengatakan bahasa adalah sistem
lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Manusia
mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun segala sesuatu yang dikenalnya sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada
hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka. Pandangan muncul dari linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield
dalam Sumarsono dan Partana, 2002: 18 bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang arbitrer yang dipakai oleh
anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Bahasa mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur
unsur-unsur yang bisa dianalasis secara terpisah-pisah, karena merupakan suatu sistem. Sedikit lebih rinci, Hockett dalam Chaer, 1994: 284 menyatakan bahwa
bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem- sistem bahasa yang dimaksud terdiri dari lima subsistem, antara lain: subsistem
commit to user 7
7 gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan
subsistem fonetik. Hymes dalam Purwoko, 2008: 4 mengatakan bahwa bahasa adalah sesuatu yang integral dengan budaya sehingga bahasa merupakan petunjuk
simbolik menuju budaya. Bahasa sebagai pedoman simbolik untuk memahami budaya masyarakat yang sedang diteliti, sehingga perilaku budaya akan tercermin
dalam penggunaan bahasa oleh penutur aslinya. Dari berbagai pendapat para ahli di atas, penulis dapat simpulkan bahwa
bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok. Bahasa adalah satu sistem untuk mewakili
benda, tindakan, gagasan dan keadaan. Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia. Bahasa senantiasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang
menggunakannya. Adanya bahasa memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu dalam kepala mereka, meskipun obyek yang sedang dipikirkan tersebut
tidak berada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan berbahasanya memungkinkan untuk memikirkan suatu masalah secara terus menerus. Bukan itu
saja, dengan bahasa manusia pun dapat mengekspresikan sikap dan perasaannya.
b. Fungsi Bahasa
Kata fungsi, dalam arti yang paling sederhana, dapat dipandang sebagai padanan kata guna dan penggunaan. Dengan demikian, fungsi bahasa dapat
diartikan sebagai cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu bahasa. Jika dinyatakan dalam
pengertian yang lebih sempit, yaitu orang melakukan sesuatu dengan bahasa mereka; dengan cara bertutur dan menulis, mendengarkan dan membaca, mereka
berharap dapat mencapai banyak sasaran dan tujuan. Fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dapat dilakukan dengan
cara lisan maupun tertulis. Komunikasi lisan, biasanya, dilakukan dalam percakapan antar-anggota keluarga dan percakapan dengan teman akrab.
Komunikasi lisan dapat dilakukan langsung atau melalui alat perantara, misalnya telepon. Komunikasi secara tertulis dapat dilakukan dengan surat menyurat antar-
anggota keluarga, handai taulan, teman atau sahabat.
commit to user 8
8 Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat
dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat
komunikasi. Ada beberapa pengelompokan fungsi kebahasaan yang sudah dikenal, misalnya pengelompokan yang dikemukakan oleh Malinowski dalam
Halliday dan Hasan, 1992: 20. Dia mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu penggunaan bahasa yang praktis atau pragmatik dan
penggunaan bahasa yang ritual atau magis yang berkaitan dengan kegiatan- kegiatan seremonial atau keagamaan dalam kebudayaan.
Berbeda dengan pendapat di atas, seorang pakar psikologi, B űhler dalam
Halliday dan Hasan, 1992: 20 mengatakan fungsi bahasa bukan dari sudut pandangan kebudayaan, tetapi dari sudut pandangan perseorangan. Lebih jelasnya,
dia membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif terarah pada diri sendirisi pembicara, bahasa konatif terarah pada lawan bicara dan bahasa
representasional terarah pada kenyataan lainnya. Secara lebih rinci, Morris dalam Halliday dan Hasan, 1992: 21 mengelompokkan fungsi bahasa menjadi
empat fungsi, yaitu information talking pertukaran keterangan, mood talking fungsi ekspresif, exploratory talking ujaran untuk kepentingan ujaran, fungsi
estetis, fungsi drama, dan grooming talking tuturan yang sopan dan tidak berarti dalam peristiwa-peristiwa sosial.
Chaer 1994: 15 berpendapat bahwa fungsi bahasa yang menjadi persoalan dalam sosiolingustik adalah dari segi penutur, pendengar, topik, kode,
dan amanat pembicaraan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah fungsi bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Berkaitan dengan
fungsi bahasa, Halliday dalam Sumarlam, 2005: 25 mengemukakan tujuh fungsi bahasa, di antaranya: 1 fungsi instrumental; 2 fungsi regulasi; 3 fungsi
pemerianrepresentasi; 4 fungsi interaksi; 5 fungsi perorangan; 6 fungsi heuristik; dan 7 fungsi imajinatif. Dari berbagai pendapat di atas, penulis lebih
condong pada pendapat yang dikemukakan oleh Chaer bahwa pada intinya fungsi bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda pula,
commit to user 9
9 seperti ditinjau dari sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat
pembicaraan.
2. Diksi
a. Hakikat Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Pilihan kata bukanlah masalah sederhana karena menyangkut persoalan yang bersifat
dinamis, inovatif, dan kreatif sejalan dengan perkembangan masyarakat penunturnya. Diksi merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis
atau pembicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005: 264 diksi berarti pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan
gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan. Diksi atau pilihan kata yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat
dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa dan khalayak pembaca atau pendengar.
Pilihan kata atau diksi bukan saja untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi
persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan Keraf, 2007: 23. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya. Gaya
bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakterisitik.
Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat
atau menggunakan ungkapan-ungkapan. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata
yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh seseorang yang memiliki sejumlah kosa kata atau perbendaharaan kata yang banyak.
commit to user 10
10
b. Hakikat Kata
Kata merupakan tataran terendah dalam tataran gramatikal bahasa. Kata merupakan kunci utama dalam upaya membentuk tulisan. Kata adalah
sekumpulan huruf atau bunyi ujaran yang mengandung arti. Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan
ortografi. Mereka berpendapat bahwa kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan
mempunyai satu arti Chaer, 1994: 162. Sementara itu, batasan kata yang dibuat Bloomfield dalam Chaer, 1994: 163 kata adalah satuan bebas terkecil a minimal
free form. Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung
dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dapat diserap dengan panca indera dan aspek isi makna reaksi yang timbul pada pendengar atau pembaca Keraf,
2007: 25. Chomsky dalam Chaer, 1994: 163 mengatakan kata adalah dasar analisis kalimat, menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V verba, N
nomina, A adjektiva, dan sebagainya. Batasan kata yang umum dijumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang
ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah, dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat.
Batasan tersebut menyiratkan dua hal, yaitu 1 bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta
tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain dan 2 setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau tempatnya dapat diisi atau
digantikan oleh kata lain, atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya. Dari berbagai pendapat di atas, penulis coba simpulkan bahwa kata adalah satuan bebas
terkecil yang memiliki satu pengertian atau arti, baik dalam bentuk verba kata kerja, nomina kata benda, adjektiva kata sifat, maupun bentuk-bentuk yang
lain sesuai pembagian kata tersebut.
commit to user 11
11
c. Klasifikasi Kata
Klasifikasi kata adalah penggolongan kata atau penjenisan kata. Dalam peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech Chaer, 1994: 166. Para
tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi untuk mengklasifikasikan kata. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasi kelas
verba, nomina, dan ajektiva; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasi preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina. Mereka mengatakan
dalam Chaer, 1994: 163 yang disebut verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan
benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian
kalimat yang satu dengan bagian yang lain. Berbeda dengan Keraf, dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya
Bahasa, dia menjelaskan bahwa untuk mencapai ketepatan pengertian lebih baik memilih kata khusus daripada kata umum 2007: 89. Kata umum dan kata khusus
dibedakan berdasarkan luas tidaknya cakupan makna yang dikandungnya. Jika sebuah kata mengacu pada suatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya
maka kata itu disebut kata umum, sedangkan jika ia mengacu pada pengarahan- pengarahan khusus dan kongkret maka disebut kata khusus.
Para tata bahasawan strukturalis dalam Chaer, 1994: 167 membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau
konstruksi. Nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan. Verba adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak. Adjektifa
adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat. Kelompok linguis dalam Chaer, 1994: 168 menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai
patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subyek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau adjektifa; fungsi objek diisi
oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan diisi oleh adverbia.
commit to user 12
12
d. Hakikat Makna
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari suatu ujaran yang kita tuturkan. Istilah makna memiliki pengertian
yang beragam. Pateda 2001: 79 mengemukakan istilah makna merupakan kata- kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada
tuturan kata maupun kalimat. Makna kata merupakan hubungan antara bentuk dengan hal atau barang yang diwakilinya referen-nya Keraf, 2007: 25. Makna
adalah pertalian antara bentuk dengan referennya. Senada dengan pendapat di atas, Ullman dalam Pateda, 2001: 82
mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Sementara itu, Saussure dalam Chaer, 1994: 286 mengungkapkan pengertian
makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Bloomfield dalam Wahab, 1995: 40 mengemukakan bahwa
makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin 1998: 50 mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati
bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari pengertian para ahli bahasa di atas, dapat penulis simpulkan bahwa batasan tentang
pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau
kata.
e. Jenis Makna
Ada berbagai jenis makna di dalam bahasa yang secara dikotomis dibedakan menjadi beberapa macam. Penggolongan makna dilihat dari sudut
pandang yang berbeda-beda. Wijana dan Rohmadi 2008: 22-26 menggolongkan jenis-jenis makna menjadi 8, yang meliputi: 1 makna leksikal; 2 makna
gramatikal; 3 makna denotatif; 4 makna konotatif; 5 makna literal; 6 makna figuratif; 7 makna primer; dan 8 makna sekunder.
Makna leksikal lazim dipandang sebagai sifat kata sebagai unsur leksikal. Makna leksikal adalah makna yang muncul tanpa menggabungkan antara unsur
commit to user 13
13 yang satu dengan unsur yang lain, sedangkan makna gramatikal adalah makna
yang muncul dengan menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain Wijana dan Rohmadi, 2008: 22.
Jenis makna yang selanjutnya yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi dan makna konotasi oleh para ahli semantik lazim dibedakan.
Makna denotasi adalah referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna kata yang bersangkutan, sedangkan makna konotasi adalah “arti” yang dapat
muncul pada penutur akibat penilaian afektif atau emosional Verhaar, 2008: 390. Senada dengan pendapat tersebut, Wijana dan Rohmadi 2008: 23
mengungkapkan bahwa makna denotatif adalah keseluruhan komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata atau makna yang langsung berhubungan dengan
acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran, sedangkan makna konotatif adalah makna suatu kata yang muncul karena pengaruh nilai atau rasa emotifnya.
Makna literal adalah makna yang langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses; makna yang langsung
berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Makna figuratif adalah makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referennya Wijana dan
Rohmadi, 2008: 25. Makna primer adalah makna satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks, sedangkan makna sekunder adalah makna
satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi dengan bantuan konteks Wijana dan Rohmadi, 2008: 26.
Berbeda dengan pendapat di atas, Keraf 2007: 27 membedakan jenis- jenis makna menjadi dua, yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna
konotatif muncul jika makna suatu kata mengandung makna tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar; sedangkan makna
denotatif adalah suatu makna yang muncul jika makna suatu kata tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan, hanya makna dasarnya
saja.
f. Hubungan Makna
Kata-kata biasanya mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini mengakibatkan adanya berbagai hubungan yang memperlihatkan kesamaan,
commit to user 14
14 pertentangan, dan tumpang tindih. Dalam hal ini, para ahli semantik telah
mengklasifikasikan hubungan makna ke dalam beberapa kategori, yang meliputi: sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, dan hiponimi.
1 Sinonimi
Sinonimi digunakan untuk menyatakan sameness of meaning ‘kesamaan arti’ Djajasudarma, 1993: 36. Wijana dan Rohmadi 2008: 28
mengungkapkan bahwa sinonimi, yaitu hubungan atau relasi persamaan makna. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata wafat, gugur, meninggal,
dan mati sering dikatakan bersinonim, tetapi masing-masing kata mempunyai tempat sendiri dalam pemakaiannya sehari-hari.
Sama halnya dengan pendapat di atas, Keraf 2007: 34 berpendapat bahwa sinonimi adalah telaah dua kata atau lebih yang memiliki makna
yang sama. Istilah sinonim digunakan untuk menyatakan kata-kata yang memiliki makna yang sama. Sinonim digunakan untuk menghindari
pengulangan kata untuk gagasan yang sama. Meskipun demikian, sedikit sekali kata yang bersinonim secara sempurna, dalam arti bisa
dipertukarkan dalam segala konteks tanpa ada perubahan sedikit pun dari makna objektifnya, rasa nada atau nilai evokatifnya. Jika ada dua kata atau
lebih untuk mengekspresikan satu gagasan, maka akan dipilih satu kata yang paling cocok untuk konteksnya, yaitu kata yang paling mampu
memuat beban emosi dan tekanan empasis, yang paling serasi untuk struktur fonetik kalimat, dan yang paling mampu mendukung nada umum
ujaran. Collinson dalam Ullman, 2007: 177 mentabulasikan perbedaan-
perbedaan antara sinonimi, yang meliputi: a satu kata lebih umum dari yang lain, misal kata binatang-hewan; b satu kata lebih intens dari yang
lain, misal kata mengamati-memandang; c satu kata lebih emotif dari yang lain, misal kata memohon-meminta; d satu kata lebih profesional dari yang
lain, misal kata riset-penelitian; e satu kata lebih literer dari yang lain, misal kata mafhum-memahami; f satu kata lebih kolokial dari yang lain,
misal kata aku-saya; g satu kata lebih dialek dari yang lain, misal kata
commit to user 15
15 lu-kamu; h satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral
sedang yang lain netral, misal kata sedekah-pemberian; dan i salah satu dari sinonim termasuk bahasa kanak-kanak, misal kata mimik-minum.
Sinonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan atau kemiripan makna. Dalam bahasa iklan sekali pun, sinonim lebih membuka peluang
untuk memilih kosakata yang lebih sesuai dengan konteks tanpa harus mengubah gagasan. Penggunaan kata mulus, yang bersinonim dengan kata
halus, lebih sering digunakan dalam bahasa iklan kecantikan dibanding dengan kata halus. Selain itu, penggunaan sinonim mampu mengadakan
variasi dalam pemakaian kosakata sehingga ujaran atau tuturan yang ditampilkan menjadi lebih segar, dan menarik.
2 Antonimi
Antonimi adalah relasi antarmakna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan Keraf, 2007: 39. Istilah antonimi dipakai
untuk menyatakan lawan makna, sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim. Rustamaji 2003: 47 mengungkapkan bahwa antonim adalah
kata-kata yang memiliki makna yang berlawanan. Senada dengan pendapat di atas, Wijana dan Rohmadi 2008: 30
mengatakan bahwa antonimi, yaitu perlawanan makna. Antonim adalah suatu kata yang artinya berlawanan satu sama lain, misal kata keras-
lembek, naik-turun, kaya-miskin, surga-neraka, laki-laki-perempuan, atas- bawah.
3 Polisemi
Wijana dan Rohmadi 2008: 37 mengatakan bahwa polisemi, yaitu sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Senada
dengan pendapat tersebut, Keraf 2007: 36 berpendapat bahwa polisemi adalah suatu bentuk kata yang mempunyai beberapa makna. Polisemi
adalah suatu kata yang memiliki makna ganda. Namun demikian, di antara makna tersebut masih terdapat hubungan makna.
commit to user 16
16
4 Homonimi
Wijana dan Rohmadi 2008: 53 mengatakan bahwa homonimi, yaitu dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama.
Homonim adalah suatu kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi lafal atau ejaan sama. Jika lafalnya sama disebut homograf, namun jika
yang sama adalah ejaannya maka disebut homofon. Sementara itu, Keraf 2007: 36 berpendapat bahwa homonimi
adalah dua kata atau lebih, tetapi memiliki bentuk yang sama homograf dan homofon. Kata amplop dalam kalimat Untuk mengirim surat kepada
bapak presiden kita harus menggunakan amplop memiliki arti yang berbeda dengan kata amplop dalam kalimat Agar bisa diterima menjadi
PNS ia memberi amplop kepada para pejabat. Kata amplop pada kalimat pertama memiliki arti amplop surat biasa, sedangkan pada kalimat kedua
memiliki arti sogokan atau uang pelicin.
5 Hiponimi
Hiponimi merupakan cakupan-cakupan makna dalam sebuah makna yang lain. Hiponim adalah suatu kata yang maknanya telah tercakup oleh
kata yang lain Rustamaji, 2003: 48. Hubungan makna kata yang satu dengan yang lain akan menghasilkan kata superordinat dan subordinat.
Kata bunga yang merupakan superordinat dapat menghasilkan kata melati, mawar, anggrek yang merupakan subordinat.
Wijana dan Rohmadi 2008: 68 mengatakan bahwa hiponimi, yaitu hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik; atau antara
anggota taksonomi dengan nama taksonomi. Hampir sama dengan pendapat tersebut, Keraf 2007: 36 berpendapat bahwa hiponimi adalah
semacam relasi antarkata yang dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain.
Dari berbagai pendapat dari para ahli bahasa di atas, penulis coba simpulkan bahwa hubungan makna meliputi sinonim, yaitu dua buah kata
yang mempunyai kemiripan makna diantaranya disebut dua kata yang sinonim; antonim, yaitu hubungan makna yang dipakai untuk menyebut
commit to user 17
17 makna yang berlawanan; hiponim, yaitu menyatakan hubungan makna
yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Bila sebuah kata memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya,
maka hubungan itu disebut hiponimi; homonimi, yaitu bila terdapat dua buah makna atau lebih yang dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama;
dan polisemi, yaitu kata yang mempunyai banyak makna.
g. Ungkapan atau idiom
Dalam bahasa Indonesia, idiom disejajarkan dengan pengertian peribahasa. Idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa
yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang
membentuknya Keraf, 2007: 109. Pemahaman makna idiomatis tiada cara lain kecuali dengan cara memahami istilah demi istilah secara benar.
Hampir senada dengan pendapat di atas, Rustamaji mengungkapkan idiom atau ungkapan adalah kata yang memiliki makna khusus dan tidak dapat
diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa dan situasi lain 2003: 45. Bentuk-bentuk idiom hanya bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman, bukan
melalui peraturan-peraturan umum bahasa. Hal ini disebabkan, sebuah idiom bersifat tradisional dan bukan bersifat logis. Kata-kata tertentu yang terusun dalam
suatu idiom mampu mengungkapkan atau menggambarkan siatuasi secara cermat. Dalam Ensiklopedia Bebas dikatakan bahwa idiom merupakan suatu
ungkapan seperti istilah atau frase yang maknanya tak dapat diturunkan dari definisi langsung dan penyusunan bagian-bagiannya, melainkan merupakan suatu
makna tak langsung yang hanya dikenal melalui penggunaan umum. Dalam ilmu bahasa atau linguistik, idiom umumnya dianggap sebagai gaya bahasa yang
bertentangan dengan prinsip penyusunan principle of compositionality. Idiom dapat membingungkan orang yang belum terbiasa dengannya.
Orang-orang yang belajar suatu bahasa harus mempelajari makna idiom bahasa tersebut sebagaimana mereka mempelajari kosa kata lain dalam bahasa itu.
Untuk mengetahui makna sebuah idiom, setiap orang harus mempelajarinya sebagai seorang penutur asli, tidak mungkin hanya dengan melalui makna dari
commit to user 18
18 kata-kata yang membentuknya. Beberapa contoh dari idiom yang diambil dari
bahasa Indonesia antara lain: cuci mata, kambing hitam, jago merah, kupu-kupu malam, dan hidung belang. Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan
bahwa idiom atau disebut juga dengan ungkapan adalah gabungan kata yang membentuk arti baru yang tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya.
h. Kata-kata Gaul
Secara harfiah, istilah gaul memiliki arti hidup berteman KBBI, 2005: 339. Bahasa gaul merupakan bahasa pergaulan. Bahasa gaul sudah muncul
sejak tahun 1970-an. Bahasa gaul juga sering disebut dengan bahasa prokem. Kata prokem merupakan bahasa pergaulan dari preman. Bahasa gaul atau prokem
awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan
dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan atau pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di
Jakarta. Saragih 2010 mengatakan bahwa bahasa gaul dianggap lebih bergengsi karena merupakan campuran antara bahasa masyarakat ibu kota etnis Betawi
dengan bahasa asing, sehingga masyarakat khususnya remaja secara psikologis ingin dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dengan menggunakan bahasa
gaul. Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja merupakan
dialek bahasa Indonesia non-formal. Pada dasarnya, bahasa gaul digunakan untuk memberikan kode kepada lawan bicara. Rumusan bahasa gaul di tiap komunitas
atau daerah berbeda satu sama lain, termasuk bahasa gaul yang digunakan oleh kalangan militer, kalangan kepolisian, atau kalangan homo seksual waria di
suatu daerah atau komunitas. Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai. Bahasa
gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial, bahkan dalam
media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan seringkali digunakan dalam bentuk pengumuman-pengumuman. Bahasa gaul merupakan
bahasa sandi yang dipahami oleh kalangan atau kelompok tertentu, bersifat
commit to user 19
19 sementara, dan hanya berupa variasi bahasa. Penggunaan bahasa gaul meliputi
kosakata, ungkapan, singkatan, intonasi, pelafalan, pola, konteks dan distribusi. Kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan bahasa gaul Ensiklopedia
Bebas seringkali merancang kata-kata baru dengan cara mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem,
distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Kelompok-kelompok tertentu tersebut menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku.
Struktur dan tatabahasa dari bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari bahasa formal, yaitu bahasa Indonesia. Perbedaan utama antara bahasa formal
dengan bahasa gaul, yaitu dalam hal perbedaharaan kata. Kosakata yang dimiliki hanya merupakan singkatan dari bahasa formalnya. Saleh 2006 menyatakan
bahwa kosakata bahasa gaul sering tidak beraturan atau tidak memiliki rumus tertentu, sehingga perlu upaya untuk menghafal setiap kali muncul istilah atau
kata baru. Salah satu kosakata baru dalam bahasa gaul yang tidak memiliki rumus tertentu, misal untuk sebuah lawakan yang tidak lucu biasa disebut dengan istilah
garing, jayus, jasjus; untuk sesuatu yang tidak bagus atau tidak cocok biasa disebut dengan istilah cupu.
Partikel sich, nich, tuh, dan dong merupakan sebagian dari partikel- partikel bahasa gaul yang membuatnya terasa lebih hidup dan membumi,
menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Partikel-partikel
bahasa gaul memiliki arti jauh lebih bermakna melebihi jumlah huruf yang menyusunnya. Partikel-partikel tersebut mampu memberikan informasi tambahan
kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati atau ekspresi
pembicara, dan suasana pada kalimat yang diucapkan. Kosakata bahasa gaul di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang
hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa gaul
berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan
commit to user 20
20 menggunakan bahasa gaul, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota
kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
3. Gaya Bahasa
a. Hakikat Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk
menulis pada lempengan lilin Keraf, 2007: 112. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu: 1 Aliran Platonik yang menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan
dan 2 Aliran Aristoteles yang menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikiran
yang terpendam di dalam jiwanya Rustamaji, 2003: 83. Kata gaya secara umum dapat dikatakan sebagai cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa,
tingkah laku, maupun cara berpakaian. Semakin baik gaya bahasa seseorang, semakin baik pula penilaian orang lain terhadap orang tersebut; sebaliknya
semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan pada orang tersebut. Dari beberapa pendapat dia atas dapat penulis simpulkan
bahwa style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian seseorang
pemakai bahasa.
b. Macam-macam Gaya Bahasa
Gaya bahasa atau majas dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa
sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri Keraf, 2007: 115. Pada
dasarnya majas atau gaya bahasa dapat dibagi menjadi empat, yang meliputi: 1 majas perbandingan; 2 majas sindiran; 3 majas penegasan; dan 4 majas
pertentangan.
commit to user 21
21
1 Majas perbandingan
Majas perbandingan adalah majas yang berupa kata-kata kias untuk menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya
terhadap pendengar atau pembaca. Majas perbandingan dibagi menjadi lima belas, di antaranya: 1 gaya bahasa personifikasi; 2 gaya bahasa
metafora; 3 gaya bahasa eufemisme; 4 gaya bahasa sinekdokhe; 5 gaya bahasa alegori; 6 gaya bahasa hiperbola; 7 gaya bahasa
simbolik; 8 gaya bahasa litotes; 9 gaya bahasa alusio; 10 gaya bahasa asosiasi; 11 gaya bahasa perifrasis; 12 gaya bahasa metonimia;
13 gaya bahasa antonomasia; 14 gaya bahasa tropen; dan 15 gaya bahasa parabel.
Majas personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan memberikan sifat-sifat manusia kepada benda-benda mati,
sedangkan majas metafora adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan perbandingan langsung dengan benda lain atas dasar sifat yang
sama atau hampir sama Rustamaji, 2003: 83. Contoh dari masing-masing gaya bahasa di atas, misalnya Baru 3 km berjalan mobilnya sudah batuk-
batuk personifikasi dan Raja siang matahari telah pergi ke peraduannya metafora. Sementara itu, majas eufemisme adalah majas
yang melukiskan suatu benda dengan kata-kata yang lebih lembut dan sopan untuk menggantikan kata-kata lain, misal Para tunakarya perlu
perhatian yang serius dari pemerintah. Keraf 2007: 142 menyatakan bahwa majas sinekdokhe adalah
suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Majas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
sinekdokhe pars pro toto dan sinekdokhe totem pro parte. Rustamaji 2003: 83 mengatakan sinekdokhe pars pro toto adalah majas yang
menuliskan sebagian tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya, sebaliknya totem pro parte adalah majas yang melukiskan keseluruhan tetapi yang
dimaksud sebagian, misal pada contoh kalimat berikut ini. Dia mempunyai
commit to user 22
22 lima ekor kuda pars pro toto dan Kaum wanita memperingati hari
Kartini totem pro parte. Untuk majas alegori, Rustamaji 2003: 84 menyatakan bahwa
majas alegori adalah majas yang memperlihatkan suatu perbandingan utuh dan membentuk kesatuan yang menyeluruh, misal Hidup ini
diperbandingkan dengan perahu yang tengah berlayar di lautan. Berbeda dengan pendapat di atas, Keraf berpendapat bahwa majas alegori adalah
suatu cerita singkat yang mengandung kiasan 2007: 140. Sementara itu, majas hiperbola adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mengganti
peristiwa atau tindakan sesungguhnya dengan kata-kata yang lebih hebat pengertiannya untuk menyangatkan arti, misal Kakak membanting tulang
demi menghidupi keluarganya. Senada dengan pengertian di atas, Keraf 2007: 135 menyatakan bahwa hiperbol adalah semacam gaya bahasa
yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar- besarkan sesuatu hal.
Majas simbolik adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan memperbandingkan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang,
misal Dari dulu tetap saja ia menjadi lintah darat. Litotes adalah majas yang melukiskan keadaan dengan kata-kata yang berlawanan artinya
dengan kenyataan yang sebenarnya guna merendahkan diri, misal Perjuangan kami hanyalah setitik air dalam samudera luas. Alusio adalah
majas dengan menggunakan ungkapan peribahasa, misal Ah, dia itu tong kosong nyaring bunyinya. Asosiasi adalah majas yang membandingkan
sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat, misal Wajahnya muram bagai bulan kesiangan. Perifrasis adalah majas yang
melukiskan sesuatu dengan menguraikan sebuah kata menjadi serangkaian kata yang mengandung arti yang sama dengan kata yang digantikan itu,
misal Petang barulah dia pulang kalimat tersebut menjadi Ketika matahari hilang di balik gunung barulah dia pulang.
Metonimia adalah majas yang menggunakan merk dagang untuk melukiskan sesuatu yang dipergunakan, sehingga kata itu berasosiasi
commit to user 23
23 dengan benda keseluruhan. Kata metonimia Keraf, 2007: 142 diturunkan
dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yng berarti nama, misal Kemarin dia memakai Fiat mobil merk Fiat.
Antonomasia adalah majas yang menyebutkan nama lain terhadap seseorang berdasarkan ciri atau sifat menonjol yang dimilikinya, misal si
pincang, si jangkung, si keriting. Tropen adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan membandingkan suatu pekerjaan atau perbuatan dengan
kata-kata lain yang mengandung pengertian yang sejalan dan sejajar, misal Setiap malam ia menjual suaranya untuk nafkah anak dan istrinya.
Parabel adalah majas perbandingan dengan menggunakan perumpamaan dalam hidup. Majas ini terkandung dalam seluruh isi karangan, misal
Baghawat Gita, Mahabarata, Bayan Budiman.
2 Majas Sindiran
Majas sindiran adalah majas yang yang bertujan untuk menyindir. Majas sindiran meliputi ironi, sinisme, dan sarkasme. Ironi adalah majas
sindiran yang melukiskan sesuatu yang menyatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Keraf
2007: 143 berpendapat bahwa ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya, misal Harum benar bunga bangkai ini
Sinisme adalah majas sindiran dengan menggunakan kata-kata sebaliknya seperti ironi tetapi kasar, misal Itukah yang dinamakan
bekerja. Dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa, Keraf 2007: 143 mengatakan bahwa sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang
berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati, sedangkan sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih
kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar serta langsung menusuk perasaan, misal Otakmu memang otak udang
commit to user 24
24
3 Majas Penegasan
Majas penegasan adalah majas yang betujuan untuk menegaskan sesuatu. Majas penegasan dibagi menjadi lima belas, yaitu 1 pleonasme;
2 repetisi; 3 pararelisme; 4 tautologi; 5 simetri; 6 enumerasio; 7 klimaks; 8 antiklimaks; 9 retorik; 10 koreksio; 11 asidenton;
12 polisidenton; 13 ekslamasio; 14 praeterito; dan 15 interupsi. Rustamaji 2003: 84 mengatakan bahwa pleonasme adalah majas
penegasan yang menggunakan sepatah kata yang sebenarnya tidak perlu dikatakan lagi karena arti kata tersebut sudah terkandung dalam kata yang
diterangkan, misalnya Salju putih sudah mulai turun ke bawah. Repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata
atau beberapa kata berkali-kali, yang biasanya dipergunakan dalam pidato, sedangkan pararelisme adalah majas penegasan seperti repetisi tetapi
dipakai dalam puisi. Pararelisme dibagi menjadi dua, yaitu: anafora dan epifora. Anafora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak di awal
kalimat, sedangkan epifora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak di akhir kalimat atau lirik.
Tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan suatu dengan mempergunakan kata-kata yang sama artinya bersinonim untuk
mempertegas arti, misal Saya khawatir serta was-was akan keselamatannya. Simetri adalah majas penegasan yang melukiskan suatu
dengan mempergunakan satu kata, kelompok kata atau kalimat yang diikuti oleh kata atau kalimat yang seimbang artinya dengan yang
pertama, misal Kakak berjalan tergesa-gesa, seperti orang dikejar anjing gila. Enumerasio adalah majas penegasan yang melukiskan beberapa
peristiwa membentuk satu kesatuan yang dituliskan satu per satu supaya tiap-tiap peristiwa dalam keseluruhannya tampak jelas, misal Angin
berhembus, lalu tenang, bulan memancar lagi. Masih dalam bukunya yang sama, Keraf 2007: 124 berpendapat
bahwa majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya
commit to user 25
25 dari gagasan-gagasan sebelmnya. Bisa dikatakan, klimaks adalah majas
penegasan dengan menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang makin lama makin memuncak
pengertiannya, misal Anak-anak, remaja, dewasa datang menyaksikan film “Saur Sepuh”. Antiklimaks adalah majas penegasan dengan beberapa
hal berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang makin lama makin melemah pengertiannya, misal Jangankan seribu, atau seratus,
serupiah pun tak ada. Untuk majas antiklimaks, Keraf 2007: 125 berpendapat bahwa antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu
acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut- turut ke gagasan yang kurang penting.
Retorik adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah
diketahuinya, misalnya Mana mungkin orang mati hidup kembali? Koreksio adalah majas penegasan berupa membetulkan mengoreksi
kembali kata-kata yang salah diucapkan, baik disengaja maupun tidak, misal Hari ini sakit ingatan, eh … maaf, sakit kepala maksudku. Dengan
memberikan istilah yang lain dari majas koreksio ini, yaitu majas epanortosis, Keraf 2007: 135 mengatakan bahwa koreksio atau
epartonosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Berikutnya, majas yang masih termasuk dalam kelompok majas penegasan adalah asidenton. Asidenton adalah majas penegasan yang
menyebutkan beberapa benda, hal atau keadaan secara berturut-turut tanpa memakai kata penghubung Rustamaji, 2003: 85. Dengan sedikit
memberikan penjelasan yang lebih lengkap, Keraf 2007: 131 mengatakan bahwa asidenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang
bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, misal Kemeja, sepatu,
kaos kaki, dibelinya di toko itu. Majas penegasan yang merupakan kebalikan dari asidenton adalah polisidenton. Bisa dikatakan, polisidenton
commit to user 26
26 adalah majas penegasan yang menyatakan beberapa benda, hal atau
keadaan secara berturut-turut dengan memakai kata penghubung, misal Dia tidak tahu, tetapi tetap saja ditanyai, akibatnya dia marah-marah.
Ekslamasio adalah majas penegasan yang memakai kata-kata seru sebagai penegas, misal Amboi, indahnya pemandangan ini Praeterio
adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu dan pembaca harus menerka
apa yang disembunyikan itu, misal Tidak usah kau sebut namanya, aku sudah tahu siapa penyebab kegaduhan ini. Interupsi adalah majas
penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat yang disisipkan di antara kalimat pokok guna lebih menjelaskan dan
menekankan bagian kalimat sebelumnya, misal Aku, orang yang sepuluh tahun bekerja di sini, belum pernah dinaikkan pangkatku.
4 Majas Pertentangan
Majas pertentangan adalah majas yang bertujuan untuk mempertentangkan sesuatu. Kata-kata berkias yang menyatakan
pertentangan dengan yang dimaksudkan sebenarnya oleh pembicara atau penulis dengan maksud untuk memperhebat atau meningkatkan kesan dan
pengaruhnya kepada pembaca atau pendengar. Majas pertentangan dibagi menjadi empat, yang meliputi: 1 antitesis; 2 paradoks; 3 okupasi; dan
4 kontradiskio intermimis. Antitesis adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu
dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti, misal Cantik atau tidak, kaya atau miskin, bukanlah suatu ukuran nilai
seseorang wanita. Untuk majas paradoks Keraf 2007: 136 mengungkapkan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Senada dengan hal tersebut, Rustamaji 2003: 84 berpendapat paradoks
merupakan majas pertentangan yang melukiskan sesuatu seolah-olah bertentangan, padahal maksud sesungguhnya tidak, misal Hatinya sunyi
tinggal di kota Jakarta yang ramai.
commit to user 27
27 Majas pertentangan yang berikutnya, yaitu okupasi dan
kontradiskio intermimis. Okupasi adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu dengan bantahan, tetapi kemudian diberi penjelasan
atau diakhiri dengan kesimpulan, sedangkan kontradiskio intermimis adalah majas pertentangan yang memperlihatkan pertentangan dengan
penjelasan semua Rustamaji, 2003: 85. Misalnya, Merokok itu merusak kesehatan, akan tetapi si perokok tak dapat menghentikan kebiasaannya.
Maka, muncullah pabrik-pabrik rokok karena untungnya banyak okupasi; Semua murid kelas ini hadir, kecuali si Hasan yang sedang ikut
jambore kontradiskio intermimis.
4. Campur Kode
a. Hakikat Campur Kode
Nababan mengatakan bahwa 1993: 32 campur kode code-mixing adalah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa
dalam suatu tindak bahasa speech act or discourse tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu menentukan percampuran bahasa itu. Proses ini terjadi
apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan yang mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan.
Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran hybrid clauses, hybrid
phrases dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Seorang penutur
misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan
muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa.
Nababan dalam Purwo, 1989: 94 memberikan batasan, yaitu campur kode sebagai pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa yang hanya
commit to user 28
28 ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan oleh mudahnya pengungkapan
seseorang pengguna bahasa. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Kachru dalam Suwito, 1997: 76 memberikan batasan mengenai campur kode sebagai
pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Kridalaksana dalam Saddhono, 2007: 26 berpendapat bahwa campur kode adalah 1 interferensi dan 2 penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan. Dari beberapa pendapat
para ahli di atas dapat penulis simpulkan hakikat campur kode pada dasarnya hampir sama, yaitu fenomena pencampuran bahasa kedua ke dalam bahasa
pertama, pencampuran bahasa asing atau daerah ke dalam struktur bahasa ibu baik dalam tingkat kata, frase, klausa, idiom, maupun sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode
Campur kode memiliki beberapa ciri penanda. Ciri-ciri campur kode di antaranya: 1 ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik
antara peranan dan fungsi kebahasaan, 2 unsur-unsur bahasa atau variasi- variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi
sendiri, dan 3 dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi kebahasaan linguistic convergence yang unsur-unsurnya berasal
dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsi bahasa yang disisipinya, baik campur kode ke dalam maupun keluar Suwito, 1997: 75.
Ciri-ciri ketergantungan campur kode ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa
yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Unsur-unsur bahasa atau variasi-
variasinya menyisip di dalam bahasa lain dan tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan konvergensi kebahasaan linguistic convergence yang
commit to user 29
29 unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah
menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
c. Latar Belakang Campur Kode
Suwito 1997: 90 mengatakan latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap
Attitudinal Type dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan Linguistic Type. Kedua tipe tersebut saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih over
laping. Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung dan bertumpang tindih, maka dapat diidentifikasikan beberapa alasan atau
penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, di antaranya: a identifikasi peranan; b identifikasi ragam; dan c identifikasi keinginan menjelaskan dan
menafsirkan. Untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Identifikasi
keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap dan hubungan orang lain terhadap orang lain.
Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Penutur yang
mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya dalam masyarakat.
d. Macam-macam Campur Kode
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli atau daerah dengan segala variasinya disebut campur kode ke dalam Innercode Mixing, sedangkan campur
kode yang berasal dari bahasa asing disebut campur kode ke luar Outercode Mixing. Campur kode itu dapat berupa percampuran serpihan kata, frase, dan
klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain.
commit to user 30
30 Di dalam campur kode, ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
memiliki fungsi dan keotonomiannya; sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi
atau keotonomian sebagai sebuah kode. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito 1997: 78-80 mengklasifikasikan campur kode
menjadi 6 macam, antara lain: 1 penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, misal Mangka seringkali sok ada kata-kata seolah-olah bahasa; 2 penyisipan
unsur-unsur yang berwujud frasa, misal Nah, karena saya kadhung apik sama dia, ya tak teken; 3 penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster, misal Banyak klap
malam yang harus ditutup; 4 penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, misal Sudah waktunya kita menghindari backing-backingan dan klik-klikan;
5 penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, misal Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon; dan 6 penyisipan
unsur-unsur yang berwujud klausa, misal Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wur handayani.
5. Alih Kode
a. Hakikat Alih Kode
Nababan 1993: 31 berpendapat bahwa alih kode adalah peralihan dari satu ragam fungsiolek umpamanya ragam santai ke ragam yang lain
umpamanya ragam formal, atau dari satu dialek ke dialek lain. Senada dengan Nababan, Chaer 1994: 141 menyatakan bahwa alih kode merupakan perubahan
dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai. Suwito 1997: 81 menyatakan alih kode sebagai suatu peristiwa peralihan
dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila penutur menggunakan kode A misalnya bahasa Indonesia kemudian beralih kode umpamanya bahasa Jawa,
maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut dengan alih kode. Thelander dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115 mengungkapkan bahwa bila di
dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa yang lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedikit
berbeda dengan pendapat di atas, Fasold dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115
commit to user 31
31 mengatakan bahwa apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih
memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja karena sebab-sebab tertentu. Appel dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107 memberikan
batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa,
maka Hymes dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107 menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-
gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa language
dependency dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih
kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
b. Ciri-ciri Alih Kode
Alih kode mempunyai sejumlah ciri-ciri sebagaimana yang diungkapkan oleh Suwito 1997: 69, antara lain: 1 alih kode merupakan salah satu aspek
tentang saling ketergantungn masyarakat multilingual; 2 masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya; 3 fungsi
masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks; dan 4 dalam peristiwa alih kode mungkin terjadi kontinum yaitu
peralihan antara kode satu ke kode yang lain. Dengan demikian, alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual
dan situasi relevansi di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih. Gejala tersebut dalam praktiknya, sering ditemukan peristiwa tutur tertentu
terjadi alih kode intern dan alih kode ekstern secara beruntun. Hal tersebut terjadi apabila fungsi kontekstual dan situasi relevansialnya dinilai oleh penutur cocok
untuk dilakukan.
commit to user 32
32
c. Latar Belakang Alih Kode
Peristiwa alih kode tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Suwito 1997: 85-87 menyatakan beberapa faktor yang
menyebabkan alih kode, antara lain: 1 penutur; 2 lawan tutur; 3 hadirnya penutur ketiga; 4 pokok pembicaraan; 5 membangkitkan rasa humor; dan
6 untuk sekedar bergengsi. Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur
karena suatu tujuan atau maksud. Misalnya, mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Dengan kata lain, seorang pembicara atau penutur
seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakannya tersebut. Alih kode yang dilakukan seorang penutur untuk
memperoleh keuntungan biasanya terjadi dalam peristiwa tutur yang mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
Faktor kedua penyebab alih kode adalah mitra tutur. Lawan bicara atau mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur
ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si mitra tutur. Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud
alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Perbedaan latar belakang bahasa juga berkitan erat
dengan hadirnya penutur ketiga dalam pembicaraan. Kehadiran orang ketiga atau pihak lain yang tidak memiliki latar belakang
bahasa yang sama dengan latar belakang bahasa yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Untuk menetralisasi situasi
dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Chaer dan
Agustina 2004: 110 menambahkan bahwa status penutur ketiga dalam alih kode juga menentukan bahasa atau varian yang digunakan.
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal
biasanya diungkapkan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius, sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
commit to user 33
33 tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Meskipun demikian, alih
kode tidak akan terjadi jika pergantian topik pembicaraan masih dalam situasi formal Chaer dan Agustina, 2004: 112, misalnya topik tentang kesejahteraan
masyarakat tuna susila berubah menjadi topik tentang pengurangan hak seorang napi, yang dalam masyarakat tutur Indonesia harus menggunakan ragam resmi.
Perubahan yang terjadi hanya mungkin pada registernya. Faktor berikutnya, yang melatar belakangi terjadinya alih kode, adalah
faktor humor dan gengsi. Alih kode juga sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, atau pun pelawak untuk membenagkitkan rasa humor. Biasanya
dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. Untuk sekedar bergengsi oleh penutur walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor
sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode. Hal ini terjadi apabila si penutur mempunyai penilaian bahasa yang satu dianggap lebih tinggi dan bahasa
lainnya dianggap lebih rendah. Faktor-faktor penyebab alih kode tersebut sangat berkaitan dengan verbal repertoire yang terdapat dalam masyarakat tutur.
6. Iklan
a. Hakikat Iklan
Iklan adalah produk tontonan yang dikemas dalam sebuah rangkaian yang berisi berbagai tanda, ilusi, manipulasi, citra, dan makna. Informasi melalui iklan
dinilai berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap persepsi, pemahaman, dan tingkah laku masyarakat Darmawan, 2006. Rahmadi
1994: 36 menyatakan bahwa iklan atau advertising berasal dari bahasa Latin adverte yang berarti mengarahkan. Berbeda dengan pendapat Rahmadi, Sudiana
1986: 1 menyatakan bahwa iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal dari bahasa Prancis re-clame yang berarti meneriakkan berulang-ulang.
Wright dalam Liliweri, 1992: 20 berpendapat bahwa iklan adalah komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat
pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Suatu
iklan yang baik memperhatikan struktur pesan, gaya, dan daya tarik appeal
commit to user 34
34 pesan yang terkandung di dalamnya Liliweri, 1992: 75. Struktur pesan adalah
cara menampilkan pesan dalam bentuk simpulan tersirat atau tersurat. Gaya adalah cara pemilihan pesan. Daya tarik appeal mengacu pada motif-motif
psikologis yang terkandung seperti pesan yang rasional, emosional, dan daya tarik ganjaran tertentu.
Institusi praktisi periklanan Inggris dalam Frank, 1996: 5 menyatakan bahwa iklan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang
diarahkan kepada calon pembeli yang paling potensial atas produk dan jasa tertentu dengan biaya semurah-murahnya. Dalam hal ini, iklan merupakan pesan
komersial yang dibiayai oleh perusahaan untuk menawarkan produknya. Melihat berbagai pendapat mengenai pengertian iklan di atas, dapat ditarik
simpulan bahwa iklan adalah pesan atau pemberitahuan atau informasi yang disampaikan mengenai suatu barang atau jasa dari produsen kepada konsumen
dengan bahasa dan kata-kata persuatif. Bahasa persuatif adalah bahasa yang dapat menimbulkan rasa ketertarikan dan rasa keingintahuan masyarakat terhadap
barang yang ditawarkan.
b. Klasifikasi Iklan
Para praktisi periklanan menggolongkan iklan menjadi beberapa macam. Frank 1996: 39 menggolongkan iklan menjadi tujuh kategori pokok, antara lain:
1 iklan konsumen; 2 iklan bisnis atau iklan antar bisnis; 3 iklan perdagangan; 4 iklan eceran; 5 iklan keuangan; 6 iklan langsung; dan 7 iklan lowongan
kerja. Iklan konsumen consumen advertising merupakan iklan barang-barang yang umum dibeli masyarakat, misalnya bahan makanan, shampoo, sabun.
Iklan antarbisnis business to business advertising berguna untuk mempromosikan barang-barang atau jasa nonkonsumen. Iklan perdagangan secara
khusus ditujukan kepada kalangan distributor, para agen, para pedagang besar dan kecil. Iklan eceran retail advertising merupakan iklan-iklan yang dilancarkan
oleh para swalayan atau toko-toko serba ada berukuran besar. Iklan keuangan financial advertising merupakan iklan-iklan untuk bank, jasa tabungan, asuransi,
dan inventasi. Iklan rekruitmen recruitment advertising merupakan iklan yang bertujuan merekrut calon pegawai.
commit to user 35
35 Kasali 1995: 121 menyatakan bahwa terdapat 3 jenis iklan yaitu 1 iklan
komersial; 2 iklan layanan masyarakat; 3 iklan trailer. Iklan komersial adalah iklan yang menawarkan barang atau jasa. Iklan layanan masyarakat adalah iklan
yang bertujuan menggalang solidaritas masyarakat. Iklan trailer adalah iklan potongan adegan film atau sinetron.
Pembicaraan mengenai klasifikasi iklan sangat beragam, hal ini disebabkan oleh dasarnya penggolongan yang berbeda. Berkenaan dengan hal
tersebut penulis akan berpijak pada pendapat Kasali, yaitu seperti yang telah disebutkan di atas bahwa iklan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu iklan komersial,
iklan layanan masyarakat, dan iklan trailer.
c. Media Iklan
Dalam menyampaikan iklan diperlukan media. Sudiana 1986: 53 menyatakan bahwa media iklan meliputi televisi, radio, surat kabar, majalah,
papan reklame, dan pameran di tempat penjualan. Secara lebih rinci, Sigit 1982: 53 membagi media iklan menjadi lima jenis, antara lain: 1 harian untuk
umum dan golongan tertentu, majalah untuk umum dan golongan tertentu, buletin, katalog; 2 pada kendaraan atau bangunan meliputi kereta api, truk, mobil, kapal,
tembok-tembok, lantai, jembatan; 3 alat hiburan meliputi radio, televisi, bioskop, slides, dan sebagainya; 4 direct advertising meliputi folders, bookets,
kalender, kartu pos, surat edaran, dan sebagainya; dan 5 demonstrasi pameran dan pertunjukkan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa media iklan sebenarnya sangat banyak. Pemasangan iklan dapat dilakukan dimana saja asalkan
bisa dijangkau publik. Iklan dapat dipasang di tembok-tembok, jembatan, pinggir jalan. Iklan dapat juga disampaikan melalui selebaran-selebaran, pamflet,
kalender, dan surat edaran.
7. Ragam Bahasa Iklan di Radio
Dalam setiap bahasa memiliki bermacam-macam variasi-variasi bahasa. Setiap variasi bahasa memiliki kekhasan tersendiri. Variasi bahasa tersebut
disebut ragam bahasa. Berdasarkan tingkat formalitas keresmian ragam bahasa
commit to user 36
36 oleh Nababan 1993: 22-23 dibagi menjadi lima tingkatan, antara lain: 1 ragam
beku frozen adalah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi; 2 ragam resmi formal
adalah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan; 3 ragam usaha consultative adalah ragam
bahasa yang sesuai dengan pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan dan rapat- rapat usaha yang berorientasi kepada hasil dan produksi; 4 ragam santai casual
adalah ragam bahasa santai antarteman dalam bincang-bincang, rekreasi, olah raga, dan sebagainya; dan 5 ragam akrab intimate adalah ragam bahasa antar
anggota-anggotanya yang akrab dalam keluarga, teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan
ucapan-ucapan pendek. Frank 1996: 228 menyatakan bahwa dalam pembuatan naskah iklan
perlu diperhatikan kata-kata kunci, di antaranya klise, kata aksi, dan kata-kata
yang menggugah perasaan dan menyenangkan. Klise atau cliches merupakan
kata-kata sederhana yang biasa digunakan dan tampak unik dalam pembuatan suatu iklan, misal kata gratis, sekarang, baru, di sini, hari ini. Kata-kata tersebut
dapat digunakan dalam berbagai cara, misalnya dicantumkan pada alamat pengiklan jika fasilitas bebas biaya pengiriman.
Kata aksi merupakan kata kerja yang dapat digunakan untuk memberikan suatu derajat keurgensian pada iklan untuk membantu iklan mengalir dan tidak
terkesan kaku. Hampir semua kata-kata aksi merupakan kata-kata singkat, misal kata-kata aksi yang biasa digunakan dalam periklanan adalah cobalah,
saksikanlah, belilah, dapatkan, hubungi. Kata-kata aksi tersebut akan membantu, memperkuat, dan menghidupkan pesan penjualan; menciptakan citra yang positif
terhadap produk atau jasa yang diiklankan; serta menciptakan keinginan dan mempertebal keyakinan.
Kata kunci yang lain dalam pembuatan naskah iklan adalah kata-kata yang menggugah perasaan dan menyenangkan. Kata jenis ini adalah kata sifat, yaitu
kata yang menggambarkan dan memaparkan fakta-fakta. Beberapa kata sifat yang dapat digunakan untuk pembuatan naskah iklan adalah kata sempurna, indahnya,
commit to user 37
37 menyenangkan, ekonomis, hemat, menggiurkan, tidak mahal. Struktur kata dalam
iklan harus mampu menggugah khalayak, yaitu dengan mencermati kebutuhan konsumen, memberikan solusi, dan memberikan perhatian. Struktur kata dalam
iklan di radio haruslah lebih informatif dengan menggunakan kata-kata yang jelas, bersahabat, komunikatif, dan persuasif. Rangkaian kalimat iklan yang digunakan
dapat membuat konsumen nyaman, senang, dan terhibur. Bahasa yang dipakai dalam iklan di radio harus mengarahkan target
khalayak atau pendengar untuk membeli, menggunakan, atau beralih pada produk jasa yang diiklankan. Gaya bahasa yang dipakai harus disesuaikan dengan siapa ia
berbicara, bagaimana kebiasaan perilaku atau sasaran iklan, dan di mana mereka berada. Terkadang, dalam bahasa iklan dipandang menarik jika bersifat main-
main atau Sulistyaningtyas 2008: 498 mengatakan bersifat “lanturan”. Kata lanturan berbeda dengan kata yang melantur atau ngawur, tidak nyambung
dengan topik yang dibahas. Lanturan adalah sengaja melantur atau melantur dengan tujuan. Namun, lanturan yang dibuat harus selalu dijaga relevansinya.
Relevansi dalam konteks ini adalah kata asli yang diplesetkan atau disimpangkan dari arti sebenarnya dari kata tersebut.
Dalam setiap iklan memunculkan unsur pengingat atau catcher baik yang berupa suara, gambar, atau bahasa verbal menjadi amat penting; sehingga suatu
saat hanya dengan mendengar, melihat, atau membaca pengingat itu, konsumen langsung terhubung dengan produk yang diiklankan. Permainan bahasa dan
pemakaian makna konotatif umum dipakai dan diterapkan pada bahasa iklan. Rahmadi 1994: 34 menyatakan bahwa bahasa iklan memiliki ciri-ciri yaitu,
singkat, jelas, dan kata-katanya bersifat persuatif. Persuasi adalah suatu seni verbal yang bertujuan untuk meyakinkan seseorang agar melakukan sesuatu yang
dikehendaki pembicara pada waktu ini atau pada waktu yang akan datang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2003: 215 persuasi berarti bujukan atau bujuk
rayu yang meyakinkan. Beriklan dengan media radio berarti menuntut kemampuan mendengar
dari target khalayak sebagai pendengar. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan iklan radio agar target tertarik untuk mendengar apa yang diiklankan,
commit to user 38
38 antara lain: 1 menarik perhatian; 2 memuat tema atau topik tunggal;
3 mengandung inti pesan; dan 4 mampu memandu penyusunan kalimat berikutnya. Terdapat tiga macam peralatan dalam menyampaikan pesan melalui
iklan radio atau radio spot, meliputi: 1 suara manusia; 2 musik; dan 3 efek suara.
Suara manusia baik suara pemeran percakapan maupun suara penyiar announcer adalah elemen yang paling penting. Suara-suara tersebut dapat
terdengar dalam suatu jingle, dialog, maupun pemberitahuan. Kebanyakan iklan radio memunculkan suara penyiar, baik sebagai suara utama maupun menjadi
penutup iklan dengan identifikasi produk. Dialog dalam iklan radio sebaiknya diperankan oleh orang-orang yang bisa memberi imajinasi atau gambaran seperti
keadaan sesungguhnya terhadap pendengarnya, terutama sasaran iklan tersebut. Musik adalah elemen penting lainnya. Banyak iklan radio yang
menampilkan musik instrumental saja, tetapi tidak sedikit iklan yang hanya berupa jingle. Musik yang sederhana dan mudah, baik nada maupun lirik, akan
dapat dengan mudah diingat atau bahkan dinyanyikan oleh pendengarnya dalam berbagai kesempatan. Apalagi jika dinyanyikan oleh penyanyi yang sedang
menjadi pujaan publik. Musik juga dapat digunakan sebagai ilustrasi latar belakang di dalam dialog. Hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan atau
pemilihan musik dalam iklan radio adalah jangan sampai ada suara yang bertabrakan.
Alat penyampai iklan radio yang terakhir adalah efek suara. Efek suara dapat banyak membantu dalam pembuatan iklan radio. Efek suara ini bisa
merupakan suara aneh yang dapat menarik perhatian pendengar atau suara latar belakang yang memberi kesan hidup pada suatu percakapan. Suara ombak
berdebur misalnya, bisa memberi imajinasi suatu percakapan yang berlangsung di pantai. Begitu juga suara-suara piring pecah, derit ban mobil, hingar bingar lalu
lintas yang mengalami kemacetan, dan suara-suara yang lainnya. Dari beberapa paparan di atas, penulis dapat simpulkan bahwa dalam
pembuatan naskah iklan atau ragam bahasa iklan di radio terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar iklan yang diproduksi bisa lebih efektif dalam
commit to user 39
39 memperkenalkan produknya ke pendengar. Spot iklan yang dibuat harus dapat
membuat pendengar tertarik untuk mendengarkan, membangkitkan rasa keingintahuan pendengar, dan mampu menggugah perasaan pendengar dengan
penggunaan musik, efek suara dan tentunya naskah iklan yang tepat. Penyampaian pesan-pesan promosi atau iklan harus dengan cara-cara yang personal, seperti saat
sedang berbicara dengan rekan, adanya pelibatan pendengar atau mitra tutur sehingga pendengar merasa tertarik dan terhibur.
B. Penelitian yang Relevan
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lestari 2001 yang berjudul Karakteristik Bahasa Iklan di Majalah Remaja menghasilkan temuan sebagai
berikut. Karakteristik bahasa iklan dalam majalah remaja, meliputi ejaan, diksi, dan kalimat. Wujud interferensinya meliputi interferensi morfologi, sintaksis, dan
kosakata, sedangkan wujud campur kode meliputi tingkatan reduplikasi dan kata. Bahasa iklan diteliti juga dari aspek karakteristik kata-kata yang
digunakan, karakteristik wacana iklan, dan maksud ujaran oleh Sustiyanti dalam penelitiannya yang berjudul Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Wacana Iklan
Majalah 2000. Dalam penelitiannya dihasilkan karakteristik kata-kata yang digunakan dari segi fenomena kebahasaan memanfaatkan unsur bahasa lain, yaitu
bahasa Jawa, Arab, Inggris, dan Belanda. Pada karakteristik wacana dapat diketahui jenis wacana yang berupa wacana verbal bila ditinjau dari segi
realitasnya, dari segi pemaparannya digolongkan ke dalam wacana ekspositori, dan dari segi jenis pemakaiannya berwujud monolog.
Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Sulistyaningtyas dalam jurnal Sosioteknologi 2008 yang berjudul Diksi dalam Wacana Iklan Berbahasa
Indonesia: Satu Kajian Sosiopragmatik menghasilkan temuan berupa kata-kata dalam iklan merupakan tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Kata-kata
tersebut merupakan jenis ilokusi langsung dan taklangsung, serta memiliki fungsi asertif. Penelitian tentang bahasa iklan juga dilakukan oleh Susilo 2007 dengan
judul penelitian Pilihan Bahasa dalam Iklan Televisi. Pada penelitiannya dihasilkan temuan berupa wujud pilihan bahasa dalam iklan televisi terdiri atas
commit to user 40
40 tunggal bahasa, alih kode, dan campur kode. Tunggal bahasa berupa bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, serta terdapat adanya ragam yaitu ragam usaha atau konsultatif dan ragam santai atau kasual. Wujud alih kode pada peristiwa tutur
dalam iklan televisi yaitu berupa kalimat. Wujud campur kode pada peristiwa tutur dalam iklan televisi dapat berupa kata dan frasa. Sementara itu, pada
penelitian ini peneliti akan menganalisis tentang karakteristik diksi, gaya bahasa, wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial di radio.
C. Kerangka Berpikir