KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL DI RADIO

(1)

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL

DI RADIO

SKRIPSI

Oleh:

ESTI PRIASTUTI NIM K1206020

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET


(2)

commit to user

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL

DI RADIO

Oleh: ESTI PRIASTUTI

NIM K1206020

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(3)

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum.


(4)

commit to user

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ________________

Sekertaris : Drs. Suyitno, M. Pd. ________________

Anggota I : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ________________

Anggota II : Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum. ________________

Disahkan oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP19600727 198702 1 001


(5)

ABSTRAK

Esti Priastuti. K1206020. KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA

DALAM IKLAN KOMERSIAL DI RADIO. Skripsi. Surakarta: Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) karakteristik pemakaian diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial di radio dan (2) wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial di radio.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah bahasa iklan di radio dengan sampel bahasa iklan komersial yang disiarkan oleh Radio JPI. Sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik rekam, simak, catat, dan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing). Validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber data dan metode. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis jalinan atau mengalir (Flow Model of Analysis).

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan: (1) karakteristik diksi dalam

bahasa iklan komersial di radio meliputi: a) pemakaian kata-kata gaul, b) pemakaian kata-kata asing, c) pemakaian kata bersinonim, d) pemakaian kata

khusus, e) pemakaian kata-kata daerah, dan f) pemakaian kata bermakna konotasi; sedangkan pemakaian gaya bahasa dalam iklan komersial di radio meliputi: a) gaya bahasa metonimia, b) gaya bahasa polisidenton, c) gaya bahasa asidenton, d) gaya bahasa eksklamasio, e) gaya bahasa klimaks, f) gaya bahasa interupsi, g) gaya bahasa hiperbola, dan h) gaya bahasa alusio. Pemakaian diksi di atas didasarkan pada jenis produk yang diiklankan, daerah asal pendengar, usia pendengar, dan keinginan pengiklan untuk menyampaikan pesan atau informasi iklannya dengan bahasa yang komunikatif, terkesan modern dan gaul, serta mudah dimengerti pendengar; sedangkan pemakaian gaya bahasanya didasarkan pada jenis produk yang diiklankan, bentuk wacana iklan, pendengar yang menjadi sasaran iklan, dan kebiasaan-kebiasaan pendengar. (2) wujud campur kode dalam bahasa iklan komersial di radio meliputi: a) campur kode berwujud kata, b) campur kode berwujud frasa, c) campur kode berwujud baster, dan d) campur kode berwujud klausa. Wujud alih kode dalam bahasa iklan komersial di radio bersifat ke dalam atau intern yang meliputi bahasa Jawa, dialek Jakarta, dan bahasa Betawi. Alih kode dalam bahasa iklan komersial di radio dilatarbelakangi oleh faktor penutur, mitra tutur, topik pembicaraan, dan membangkitkan rasa humor. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang bahasa periklanan, khususnya iklan komersial di radio.


(6)

commit to user

MOTTO

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di

dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Yaitu yang bersabar dan bertawakal pada Tuhan-nya.


(7)

PERSEMBAHAN

Kusuntingkan hasil karya ini untuk:

1. Kedua orang tuaku, ibu Surati dan

bapak Budi, atas segala linangan do’a tanpa ujung yang menghantarkanku hingga jenjang sarjana.

2. Saudara-saudaraku, Mbak Indah Nian,

Mas Hirto, Mbak Yunita, Dek Afive Ca’em yang mengajariku makna kasih sayang, persaudaraan, dan ketegasan pilihan hidup.

3. Mas Top, tekad dan semangat juangmu


(8)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah melimpahkan belas kasih, rahmat, dan ilmu-Nya yang Mahaluas hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama penyusunan skripsi, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin menyusun skripsi;

2. Drs. Suparno, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan persetujuan skripsi;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

4. Dra. Raheni Suhita, M. Hum. dan Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., selaku

pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

5. Bapak dan ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang

dengan tulus memberikan ilmunya selama penulis menimba ilmu di prodi ini;

6. Teman-teman JPI semuanya, tanpa terkecuali, terima kasih atas bantuan dan

dukungannya.

7. Teman-teman Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006 yang telah

memberikan kesempatan untuk saling mencicip indahnya suatu persahabatan;

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.

Surakarta, Juli 2010 Penulis


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Perincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian ……… 42

2. Data Pengklasifikasian Iklan Komersial yang Disiarkan oleh Radio JPI


(10)

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Kerangka Berpikir ……… 41


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Transkripsi Grafemis Iklan Komersial yang Disiarkan Radio JPI ………. 127

2. Klasifikasi Data ……….. 146

3. Daftar Pertanyaan ………... 165


(12)

commit to user

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PENGAJUAN ………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN……… iii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iv

HALAMAN ABSTRAK ……… v

HALAMAN MOTTO ……… vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ……… vii

KATA PENGANTAR ……… viii

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xi

DAFTAR ISI ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……… 4

C. Tujuan Penelitian ………. 4

D. Manfaat Penelitian ……… 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori ………. 6

1. Bahasa ……….. 6

2. Diksi ………. 9

3. Gaya Bahasa ………. 20

4. Campur Kode ………... 27

5. Alih Kode ………. 30

6. Iklan ………. 33

7. Ragam Bahasa Iklan di Radio ………. 35


(13)

C. Kerangka Berpikir ……… 40

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ………. 42

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ……… 42

C. Populasi dan Sampel ……… 43

D. Teknik Pengumpulan Data ……….. 43

E. Validitas Data ……….. 44

F. Analisis Data ……… 44

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ……….. 46

B. Analisis Data ………... 48

1. Karakteristik Diksi ………... 48

2. Pemakaian Gaya Bahasa ………... 71

3. Wujud Campur Kode ………... 93

4. Wujud Alih Kode ………...……….113

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ………. 120

B. Implikasi ………. 121

C. Saran ……… 122

DAFTAR PUSTAKA ……… 124

LAMPIRAN ……….. 127


(14)

commit to user

PERSETUJUAN

Proposal skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Pembimbing Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:

Hari :

Tanggal :

Persetujuan Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum.


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..……… i

HALAMAN PERSETUJUAN………...……… ii

DAFTAR ISI ……….………... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...……… 1

B. Rumusan Masalah ……… 4

C. Tujuan Penelitian ……….……… 4

D. Manfaat Penelitian ……...……… 5

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori ………….………... 6

1. Bahasa ……...………... 6

2. Diksi ………. 9

3. Gaya Bahasa ...………... 12

4. Campur Kode ………..19

5. Alih Kode ………... 22

6. Iklan ………..………. 24

7. Ragam Bahasa Iklan …..………... 27

B. Penelitian yang Relevan ..………... 28

C. Kerangka Berpikir ……...………... 29

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ….………... 31

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ………... 31

C. Populasi dan Sampel …...………... 32

D. Teknik Pengumpulan Data ……..………... 32

E. Validitas Data ………..………... 33

F. Analisis Data ………...………... 33


(16)

commit to user

PENGESAHAN

Proposal skripsi ini telah diseminarkan dan dipertahankan di hadapan Tim Pembimbing Skripsi pada forum Seminar Proposal Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari :

Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum.

NIP 19630309 198803 2 0001 NIP 19761013 200212 1 0005

Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia,

Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. NIP 19620728 199003 1 002

Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,

Drs. Soeparno, M. Pd. NIP 195111127 198601 1 001


(17)

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL DI RADIO

Oleh: Esti Priastuti NIM K1206020

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET


(18)

commit to user

KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL

DI RADIO

Oleh : ESTI PRIASTUTI

NIM K1206020

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa digunakan manusia sebagai alat komunikasi dalam upaya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, hal tersebut tidaklah mutlak bebas. Ada seperangkat aturan berbahasa yang telah disepakati oleh suatu masyarakat. Suatu kelompok orang atau masyarakat merupakan lingkungan untuk seseorang hidup dan bergaul dengan anggota-anggotanya yang lain sesuai dengan tata nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upaya berinteraksi dengan sesamanya.

Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah cerminan bahasa masyarakat. Masyarakat dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas dan dapat pula menyangkut sekelompok kecil orang. Suatu kelompok orang yang karena faktor daerah, profesi, dan hobi menggunakan bentuk bahasa dan penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakannya, dapat disebut sebagai masyarakat tutur. Variasi atau ragam bahasa yang digunakan dalam komunikasi setiap masyarakat tutur selalu berbeda.

Bahasa sebagai bagian dari masyarakat merupakan gejala sosial yang tidak dapat dilepaskan dari pemakaiannya. Pengkajian bahasa sebagai alat komunikasi masyarakat dan segala aktivitasnya masuk dalam ranah ilmu sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari berbagai macam ragam bahasa berkenaan dengan fungsi pemakaiannya. Dalam sosiolinguistik, bahasa dikaji sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia tidak akan terlepas dari penggunaan bahasa. Sosiolinguistik memberikan pedoman dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa yang harus dipakai. Pemakaian bahasa selalu dipengaruhi faktor linguistik dan faktor nonlinguistik. Faktor linguistik tersebut adalah faktor sosial dan situasional. Faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa yaitu tingkat pendidikan,


(20)

commit to user

pemakaian bahasa yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan mengenai masalah apa. Hal ini dirumuskan oleh Fishman (dalam Suwito, 1997: 3) Who speak what language to whom and when.

Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Setiap anggota masyarakat dan komunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca). Jika bertolak pada fungsi dari bahasa, yaitu bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi (Chaer dan Agustina, 2004: 18), maka penggunaan bahasa meliputi seluruh ranah kehidupan manusia, baik di bidang pendidikan, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, politik, hukum, maupun bidang-bidang kehidupan yang lain. Bisa dikatakan, bahasa merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan dan bekerja sama. Keberagaman penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia menyebabkan munculnya ragam bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini juga tampak pada ragam bahasa iklan.

Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi. Iklan dalam berbagai media penyampaiannya ada yang diucapkan secara lisan, seperti melalui televisi, radio, dan media elektronik lainnya. Iklan juga disampaikan melalui tulisan, seperti dalam surat kabar, majalah, dan papan reklame. Radio, sebagai salah satu media penyampai informasi, memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap dunia periklanan. Radio merupakan sarana terhandal untuk menjangkau orang-orang yang mungkin tidak mempunyai akses ke media yang lain. Radio dapat juga menjangkau orang-orang yang buta huruf yang tidak dapat membaca surat kabar. Penggunaan suara, baik vokal maupun musikal, menjadikan radio sebagai suatu sarana iklan yang hidup dan lebih menarik jika dibandingkan dengan media iklan yang pasif dan statis. Efek suara juga dapat digunakan untuk menajamkan kesan. Pendengar radio secara otomatis akan terekspos iklan yang disiarkan pada waktu mendengarkan radio.

Iklan dapat hadir di tengah-tengah siaran tanpa mengakibatkan orang beralih ke siaran lainnya. Oleh karena itu, radio cocok digunakan untuk mengiklankan produk baru, terutama produk-produk yang tidak menjadi prioritas


(21)

bagi calon konsumen (seperti komputer pribadi atau jasa keuangan). Radio cepat dalam penyampaian pesannya dan mudah dimengerti tanpa menuntut kemampuan membaca dari pendengarnya. Radio, sebagai media komunikasi, menyajikan berbagai macam programa dengan musik sebagai unsur yang essensial dalam keseluruhan acara karena tulang punggung siaran radio adalah musik. Berbagai program diolah dan diberi ilustrasi musik, termasuk dalam penyajian iklan.

Iklan berisi suatu pesan yang disiarkan kepada publik agar publik tertarik pada isi informasi tersebut. Bahasa iklan dalam dunia periklanan digunakan untuk menyampaikan informasi-informasi mengenai suatu produk atau jasa. Penggunaan bahasa dalam iklan dibuat lebih menarik agar pesan yang disampaikan memiliki nilai jual dan menarik perhatian publik, sehingga publik terbujuk untuk membeli produk atau pun jasa yang ditawarkan. Sama halnya dengan penggunaan bahasa dalam iklan di radio, pemakaian bahasa iklan memiliki sifat-sifat persuatif, gaul, memakai ragam santai, memiliki unsur pengingat, dan lebih sering menggunakan kata-kata yang berkonotasi. Pemakaian diksi atau pilihan kata dalam iklan di radio sering didasarkan pada usia pendengar, daerah asal pendengar, tingkat sosial pendengar, dan jenis produk yang diiklankan. Gaya bahasa yang dipakai harus disesuaikan dengan mitra tutur atau pendengar, kebiasaan-kebiasaan perilaku atau sasaran iklan, dan tempat-tempat yang biasa mereka melakukan aktivitasnya. Penggunaan bahasa iklan dalam iklan komersial berikut ini merupakan salah satu iklan komersial yang disiarkan oleh radio.

A : “Wa…h, Pak. Kita butuh dana banyak lho, Pak. Buat mantu.”

B : “Tenang saja, Buk. Kita ambil kredit di BPR Trihasta Prasojo saja.

Piye?”

A : “A…h Bapak iki, apa-apa kok andalane BPR Trihasta Prasojo. Dulu

waktu kredit pendidikan juga di sana. Bank lain kenapa to, Pak?”

C : “Bapak itu bener, Buk. Untuk anggunan kendaraan, kredit di BPR

Trihasta Prasojo prosesnya cepet. Hari ini daftar, besok cair. Ada juga ni kredit bidikan, kredit modal kerja, kredit konsumtif untuk barang-barang kebutuhan harian, dan ada juga kredit hajatan yang bebas bunga.”

A : “Wah, wah, wah, wa…h. Jangan-jangan syarate angel.”

B : “Angel piye to? Syaratnya ya umum saja. Fotokopi KTP suami istri dan KK yang masih berlaku, fotokopi surat nikah, slip gaji, jaminan BPKB dan SHM. Lebih detail lagi ya ke BPR Trihasta Prasojo saja.”


(22)

commit to user

deposito dengan suku bunga bersaing yang dijamin LPS atau pemerintah sampai dengan dua milyar.”

A : “Kosik, kosik, kosik, kosik. BPR Trihasta Prasojo ini masih di tempat yang lama kan?”

C : “Masih dong, Buk. Kantor pusatnya itu masih di Jalan

Solo-Tawangmangu km 16 Palur telpon 825042.”

B : “Atau di komplek Ruko Beteng Blok A No. 6 Solo telpon 651358.”

A : “Kalau gitu let’s go yo, Pak ke BPR Trihasta Prasojo. Biar kreditnya

cepet cair. Aku selak pingin mantu.”

(Sumber: Radio JPI Sabtu, 03 Januari 2010) Bahasa iklan yang digunakan dalam iklan di atas memunculkan ragam bahasa informal dengan mencampur atau menggunakan beberapa bahasa dalam satu tuturan. Pemilihan kata yang digunakan pun lebih terkesan santai, luwes, komunikatif dan memiliki variasi yang berbeda untuk setiap jenis iklan, sehingga bisa dikatakan penggunaan bahasa dalam iklan yang disiarkan radio tersebut menarik dan laik untuk peneliti kaji. Dari sinilah, peneliti mencoba mengkaji lebih dalam pemakaian bahasa iklan di radio tersebut yang peneliti tuangkan dalam sebuah tulisan dengan judul Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Iklan Komersial di Radio.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat rumuskan beberapa masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial yang

disiarkan Radio JPI?

2. Bagaimana wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial yang

disiarkan Radio JPI?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tulisan ini bertujuan untuk:

1. mendeskripsikan karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial yang disiarkan Radio JPI.

2. mendeskripsikan wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial


(23)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah khazanah penelitian ilmu bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang karakteristik pemakaian bahasa iklan.

2. Manfaat praktis a. Bagi siswa

Dapat menambah pengetahuan dan pemahaman siswa tentang karakteristik bahasa iklan, khususnya dalam pemilihan kata dan penggunaan gaya bahasa.

b. Bagi pengajar bahasa dan sastra Indonesia

Dapat dijadikan tambahan materi ajar bahasa dan sastra Indonesia, khususnya yang terkait dengan pilihan kata, gaya bahasa, campur kode dan alih kode ragam bahasa iklan.

c. Bagi praktisi radio

Dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan iklan komersial, khususnya yang terkait dengan pemilihan diksi.

d. Bagi penelitian lain

Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lain yang berkaitan dengan permasalahan yang sama dalam penelitian ini.


(24)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Bahasa a. Hakikat Bahasa

Bahasa merupakan lambang atau sebuah rangkaian bunyi yang membentuk suatu arti tertentu. Subroto berpendapat bahwa bahasa memiliki sistem, asas-asas, pola-pola yaitu seperangkat kaidah yang bersifat mengatur dan merupakan paduan dari aspek bentuk (formal aspect) dan aspek arti (semantic aspect) bahkan juga aspek situasi (1997: 18). Sedikit berbeda dengan pendapat tersebut, Wirjosoedarmo (dalam Husein dan Banasuru, 1996: 4) mengatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat, yang berupa bunyi suara atau tanda atau isyarat atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hati kepada manusia.

Kridalaksana (dalam Chaer, 1994: 32) mengatakan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Manusia mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun segala sesuatu yang dikenalnya sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka.

Pandangan muncul dari linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield (dalam Sumarsono dan Partana, 2002: 18) bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Bahasa mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur unsur-unsur yang bisa dianalasis secara terpisah-pisah, karena merupakan suatu sistem. Sedikit lebih rinci, Hockett (dalam Chaer, 1994: 284) menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem-sistem bahasa yang dimaksud terdiri dari lima subSistem-sistem, antara lain: subSistem-sistem


(25)

gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem fonetik. Hymes (dalam Purwoko, 2008: 4) mengatakan bahwa bahasa adalah sesuatu yang integral dengan budaya sehingga bahasa merupakan petunjuk simbolik menuju budaya. Bahasa sebagai pedoman simbolik untuk memahami budaya masyarakat yang sedang diteliti, sehingga perilaku budaya akan tercermin dalam penggunaan bahasa oleh penutur aslinya.

Dari berbagai pendapat para ahli di atas, penulis dapat simpulkan bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok. Bahasa adalah satu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan. Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada manusia. Bahasa senantiasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang menggunakannya. Adanya bahasa memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu dalam kepala mereka, meskipun obyek yang sedang dipikirkan tersebut tidak berada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan berbahasanya memungkinkan untuk memikirkan suatu masalah secara terus menerus. Bukan itu saja, dengan bahasa manusia pun dapat mengekspresikan sikap dan perasaannya. b. Fungsi Bahasa

Kata fungsi, dalam arti yang paling sederhana, dapat dipandang sebagai

padanan kata guna dan penggunaan. Dengan demikian, fungsi bahasa dapat

diartikan sebagai cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu bahasa. Jika dinyatakan dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu orang melakukan sesuatu dengan bahasa mereka; dengan cara bertutur dan menulis, mendengarkan dan membaca, mereka berharap dapat mencapai banyak sasaran dan tujuan.

Fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis. Komunikasi lisan, biasanya, dilakukan dalam percakapan antar-anggota keluarga dan percakapan dengan teman akrab. Komunikasi lisan dapat dilakukan langsung atau melalui alat perantara, misalnya telepon. Komunikasi secara tertulis dapat dilakukan dengan surat menyurat antar-anggota keluarga, handai taulan, teman atau sahabat.


(26)

commit to user

Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat komunikasi. Ada beberapa pengelompokan fungsi kebahasaan yang sudah dikenal, misalnya pengelompokan yang dikemukakan oleh Malinowski (dalam Halliday dan Hasan, 1992: 20). Dia mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu penggunaan bahasa yang praktis atau pragmatik dan penggunaan bahasa yang ritual atau magis yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan seremonial atau keagamaan dalam kebudayaan.

Berbeda dengan pendapat di atas, seorang pakar psikologi, Bűhler (dalam Halliday dan Hasan, 1992: 20) mengatakan fungsi bahasa bukan dari sudut pandangan kebudayaan, tetapi dari sudut pandangan perseorangan. Lebih jelasnya, dia membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif (terarah pada diri sendiri/si pembicara), bahasa konatif (terarah pada lawan bicara) dan bahasa representasional (terarah pada kenyataan lainnya). Secara lebih rinci, Morris (dalam Halliday dan Hasan, 1992: 21) mengelompokkan fungsi bahasa menjadi empat fungsi, yaitu information talking (pertukaran keterangan), mood talking

(fungsi ekspresif), exploratory talking (ujaran untuk kepentingan ujaran, fungsi estetis, fungsi drama), dan grooming talking (tuturan yang sopan dan tidak berarti dalam peristiwa-peristiwa sosial).

Chaer (1994: 15) berpendapat bahwa fungsi bahasa yang menjadi persoalan dalam sosiolingustik adalah dari segi penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah fungsi bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Berkaitan dengan fungsi bahasa, Halliday (dalam Sumarlam, 2005: 25) mengemukakan tujuh fungsi bahasa, di antaranya: (1) fungsi instrumental; (2) fungsi regulasi; (3) fungsi pemerian/representasi; (4) fungsi interaksi; (5) fungsi perorangan; (6) fungsi heuristik; dan (7) fungsi imajinatif. Dari berbagai pendapat di atas, penulis lebih condong pada pendapat yang dikemukakan oleh Chaer bahwa pada intinya fungsi bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda pula,


(27)

seperti ditinjau dari sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan.

2. Diksi a. Hakikat Diksi

Diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Pilihan kata bukanlah masalah sederhana karena menyangkut persoalan yang bersifat dinamis, inovatif, dan kreatif sejalan dengan perkembangan masyarakat penunturnya. Diksi merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 264) diksi berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi atau pilihan kata yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa dan khalayak pembaca atau pendengar.

Pilihan kata atau diksi bukan saja untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf, 2007: 23). Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakterisitik.

Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh seseorang yang memiliki sejumlah kosa kata atau perbendaharaan kata yang banyak.


(28)

commit to user

b. Hakikat Kata

Kata merupakan tataran terendah dalam tataran gramatikal bahasa. Kata merupakan kunci utama dalam upaya membentuk tulisan. Kata adalah sekumpulan huruf atau bunyi ujaran yang mengandung arti. Para tata bahasawan tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan ortografi. Mereka berpendapat bahwa kata adalah satuan bahasa yang memiliki satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan mempunyai satu arti (Chaer, 1994: 162). Sementara itu, batasan kata yang dibuat Bloomfield (dalam Chaer, 1994: 163) kata adalah satuan bebas terkecil (a minimal free form).

Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi (dapat diserap dengan panca indera) dan aspek isi makna (reaksi yang timbul pada pendengar atau pembaca) (Keraf, 2007: 25). Chomsky (dalam Chaer, 1994: 163) mengatakan kata adalah dasar analisis kalimat, menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V (verba), N (nomina), A (adjektiva), dan sebagainya. Batasan kata yang umum dijumpai dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah, dan keluar mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat.

Batasan tersebut menyiratkan dua hal, yaitu (1) bahwa setiap kata mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain dan (2) setiap kata mempunyai kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau tempatnya dapat diisi atau digantikan oleh kata lain, atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya. Dari berbagai pendapat di atas, penulis coba simpulkan bahwa kata adalah satuan bebas terkecil yang memiliki satu pengertian atau arti, baik dalam bentuk verba (kata kerja), nomina (kata benda), adjektiva (kata sifat), maupun bentuk-bentuk yang lain sesuai pembagian kata tersebut.


(29)

c. Klasifikasi Kata

Klasifikasi kata adalah penggolongan kata atau penjenisan kata. Dalam peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech (Chaer, 1994: 166). Para tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi untuk mengklasifikasikan kata. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasi kelas verba, nomina, dan ajektiva; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasi preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina. Mereka mengatakan (dalam Chaer, 1994: 163) yang disebut verba adalah kata yang menyatakan tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain.

Berbeda dengan Keraf, dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa, dia menjelaskan bahwa untuk mencapai ketepatan pengertian lebih baik memilih kata khusus daripada kata umum (2007: 89). Kata umum dan kata khusus dibedakan berdasarkan luas tidaknya cakupan makna yang dikandungnya. Jika sebuah kata mengacu pada suatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya maka kata itu disebut kata umum, sedangkan jika ia mengacu pada pengarahan-pengarahan khusus dan kongkret maka disebut kata khusus.

Para tata bahasawan strukturalis (dalam Chaer, 1994: 167) membuat klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau konstruksi. Nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan. Verba adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak. Adjektifa adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat. Kelompok linguis (dalam Chaer, 1994: 168) menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subyek diisi oleh kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau adjektifa; fungsi objek diisi oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan diisi oleh adverbia.


(30)

commit to user

d. Hakikat Makna

Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari suatu ujaran yang kita tuturkan. Istilah makna memiliki pengertian yang beragam. Pateda (2001: 79) mengemukakan istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Makna kata merupakan hubungan antara bentuk dengan hal atau barang yang diwakilinya (referen-nya) (Keraf, 2007: 25). Makna adalah pertalian antara bentuk dengan referennya.

Senada dengan pendapat di atas, Ullman (dalam Pateda, 2001: 82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Sementara itu, Saussure (dalam Chaer, 1994: 286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Bloomfield (dalam Wahab, 1995: 40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.

Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998: 50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari pengertian para ahli bahasa di atas, dapat penulis simpulkan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.

e. Jenis Makna

Ada berbagai jenis makna di dalam bahasa yang secara dikotomis dibedakan menjadi beberapa macam. Penggolongan makna dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Wijana dan Rohmadi (2008: 22-26) menggolongkan jenis-jenis makna menjadi 8, yang meliputi: (1) makna leksikal; (2) makna gramatikal; (3) makna denotatif; (4) makna konotatif; (5) makna literal; (6) makna figuratif; (7) makna primer; dan (8) makna sekunder.

Makna leksikal lazim dipandang sebagai sifat kata sebagai unsur leksikal. Makna leksikal adalah makna yang muncul tanpa menggabungkan antara unsur


(31)

yang satu dengan unsur yang lain, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang muncul dengan menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain (Wijana dan Rohmadi, 2008: 22).

Jenis makna yang selanjutnya yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi dan makna konotasi oleh para ahli semantik lazim dibedakan. Makna denotasi adalah referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna kata yang bersangkutan, sedangkan makna konotasi adalah “arti” yang dapat muncul pada penutur akibat penilaian afektif atau emosional (Verhaar, 2008: 390). Senada dengan pendapat tersebut, Wijana dan Rohmadi (2008: 23) mengungkapkan bahwa makna denotatif adalah keseluruhan komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata atau makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran, sedangkan makna konotatif adalah makna suatu kata yang muncul karena pengaruh nilai atau rasa emotifnya.

Makna literal adalah makna yang langsung menunjuk pada sesuatu, baik benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses; makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Makna figuratif adalah makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referennya (Wijana dan Rohmadi, 2008: 25). Makna primer adalah makna satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks, sedangkan makna sekunder adalah makna satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi dengan bantuan konteks (Wijana dan Rohmadi, 2008: 26).

Berbeda dengan pendapat di atas, Keraf (2007: 27) membedakan jenis-jenis makna menjadi dua, yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif muncul jika makna suatu kata mengandung makna tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar; sedangkan makna denotatif adalah suatu makna yang muncul jika makna suatu kata tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan, hanya makna dasarnya saja.

f. Hubungan Makna


(32)

commit to user

pertentangan, dan tumpang tindih. Dalam hal ini, para ahli semantik telah mengklasifikasikan hubungan makna ke dalam beberapa kategori, yang meliputi: sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, dan hiponimi.

1) Sinonimi

Sinonimi digunakan untuk menyatakan sameness of meaning

‘kesamaan arti’ (Djajasudarma, 1993: 36). Wijana dan Rohmadi (2008: 28) mengungkapkan bahwa sinonimi, yaitu hubungan atau relasi persamaan makna. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata wafat, gugur, meninggal,

dan mati sering dikatakan bersinonim, tetapi masing-masing kata

mempunyai tempat sendiri dalam pemakaiannya sehari-hari.

Sama halnya dengan pendapat di atas, Keraf (2007: 34) berpendapat bahwa sinonimi adalah telaah dua kata atau lebih yang memiliki makna yang sama. Istilah sinonim digunakan untuk menyatakan kata-kata yang memiliki makna yang sama. Sinonim digunakan untuk menghindari pengulangan kata untuk gagasan yang sama. Meskipun demikian, sedikit sekali kata yang bersinonim secara sempurna, dalam arti bisa dipertukarkan dalam segala konteks tanpa ada perubahan sedikit pun dari makna objektifnya, rasa nada atau nilai evokatifnya. Jika ada dua kata atau lebih untuk mengekspresikan satu gagasan, maka akan dipilih satu kata yang paling cocok untuk konteksnya, yaitu kata yang paling mampu memuat beban emosi dan tekanan (empasis), yang paling serasi untuk struktur fonetik kalimat, dan yang paling mampu mendukung nada umum ujaran.

Collinson (dalam Ullman, 2007: 177) mentabulasikan perbedaan-perbedaan antara sinonimi, yang meliputi: a) satu kata lebih umum dari yang lain, misal kata binatang-hewan; b) satu kata lebih intens dari yang lain, misal kata mengamati-memandang; c) satu kata lebih emotif dari yang lain, misal kata memohon-meminta; d) satu kata lebih profesional dari yang lain, misal kata riset-penelitian; e) satu kata lebih literer dari yang lain, misal kata mafhum-memahami; f) satu kata lebih kolokial dari yang lain, misal kata aku-saya; g) satu kata lebih dialek dari yang lain, misal kata


(33)

lu-kamu; h) satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral sedang yang lain netral, misal kata sedekah-pemberian; dan i) salah satu dari sinonim termasuk bahasa kanak-kanak, misal kata mimik-minum.

Sinonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan atau kemiripan makna. Dalam bahasa iklan sekali pun, sinonim lebih membuka peluang untuk memilih kosakata yang lebih sesuai dengan konteks tanpa harus mengubah gagasan. Penggunaan kata mulus, yang bersinonim dengan kata

halus, lebih sering digunakan dalam bahasa iklan kecantikan dibanding

dengan kata halus. Selain itu, penggunaan sinonim mampu mengadakan

variasi dalam pemakaian kosakata sehingga ujaran atau tuturan yang ditampilkan menjadi lebih segar, dan menarik.

2) Antonimi

Antonimi adalah relasi antarmakna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan (Keraf, 2007: 39). Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan lawan makna, sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim. Rustamaji (2003: 47) mengungkapkan bahwa antonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang berlawanan.

Senada dengan pendapat di atas, Wijana dan Rohmadi (2008: 30) mengatakan bahwa antonimi, yaitu perlawanan makna. Antonim adalah

suatu kata yang artinya berlawanan satu sama lain, misal kata keras

-lembek, naik-turun, kaya-miskin, surga-neraka, laki-laki-perempuan, atas

-bawah. 3) Polisemi

Wijana dan Rohmadi (2008: 37) mengatakan bahwa polisemi, yaitu sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Senada dengan pendapat tersebut, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa polisemi adalah suatu bentuk kata yang mempunyai beberapa makna. Polisemi adalah suatu kata yang memiliki makna ganda. Namun demikian, di antara makna tersebut masih terdapat hubungan makna.


(34)

commit to user

4) Homonimi

Wijana dan Rohmadi (2008: 53) mengatakan bahwa homonimi, yaitu dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama. Homonim adalah suatu kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi lafal atau ejaan sama. Jika lafalnya sama disebut homograf, namun jika yang sama adalah ejaannya maka disebut homofon.

Sementara itu, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa homonimi adalah dua kata atau lebih, tetapi memiliki bentuk yang sama (homograf

dan homofon). Kata amplop dalam kalimat Untuk mengirim surat kepada

bapak presiden kita harus menggunakan amplop memiliki arti yang

berbeda dengan kata amplop dalam kalimat Agar bisa diterima menjadi

PNS ia memberi amplop kepada para pejabat. Kata amplop pada kalimat pertama memiliki arti amplop surat biasa, sedangkan pada kalimat kedua memiliki arti sogokan atau uang pelicin.

5) Hiponimi

Hiponimi merupakan cakupan-cakupan makna dalam sebuah makna yang lain. Hiponim adalah suatu kata yang maknanya telah tercakup oleh kata yang lain (Rustamaji, 2003: 48). Hubungan makna kata yang satu dengan yang lain akan menghasilkan kata (superordinat dan subordinat). Kata bunga yang merupakan superordinat dapat menghasilkan kata melati,

mawar, anggrek yang merupakan subordinat.

Wijana dan Rohmadi (2008: 68) mengatakan bahwa hiponimi, yaitu hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik; atau antara anggota taksonomi dengan nama taksonomi. Hampir sama dengan pendapat tersebut, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain.

Dari berbagai pendapat dari para ahli bahasa di atas, penulis coba simpulkan bahwa hubungan makna meliputi sinonim, yaitu dua buah kata yang mempunyai kemiripan makna diantaranya disebut dua kata yang sinonim; antonim, yaitu hubungan makna yang dipakai untuk menyebut


(35)

makna yang berlawanan; hiponim, yaitu menyatakan hubungan makna yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Bila sebuah kata memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya, maka hubungan itu disebut hiponimi; homonimi, yaitu bila terdapat dua buah makna atau lebih yang dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama; dan polisemi, yaitu kata yang mempunyai banyak makna.

g. Ungkapan atau idiom

Dalam bahasa Indonesia, idiom disejajarkan dengan pengertian peribahasa. Idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya (Keraf, 2007: 109). Pemahaman makna idiomatis tiada cara lain kecuali dengan cara memahami istilah demi istilah secara benar.

Hampir senada dengan pendapat di atas, Rustamaji mengungkapkan idiom atau ungkapan adalah kata yang memiliki makna khusus dan tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa dan situasi lain (2003: 45). Bentuk-bentuk idiom hanya bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman, bukan melalui peraturan-peraturan umum bahasa. Hal ini disebabkan, sebuah idiom bersifat tradisional dan bukan bersifat logis. Kata-kata tertentu yang terusun dalam suatu idiom mampu mengungkapkan atau menggambarkan siatuasi secara cermat.

Dalam Ensiklopedia Bebas dikatakan bahwa idiom merupakan suatu ungkapan (seperti istilah atau frase) yang maknanya tak dapat diturunkan dari definisi langsung dan penyusunan bagian-bagiannya, melainkan merupakan suatu makna tak langsung yang hanya dikenal melalui penggunaan umum. Dalam ilmu bahasa atau linguistik, idiom umumnya dianggap sebagai gaya bahasa yang bertentangan dengan prinsip penyusunan (principle of compositionality). Idiom dapat membingungkan orang yang belum terbiasa dengannya.

Orang-orang yang belajar suatu bahasa harus mempelajari makna idiom bahasa tersebut sebagaimana mereka mempelajari kosa kata lain dalam bahasa itu. Untuk mengetahui makna sebuah idiom, setiap orang harus mempelajarinya


(36)

commit to user

kata-kata yang membentuknya. Beberapa contoh dari idiom yang diambil dari bahasa Indonesia antara lain: cuci mata, kambing hitam, jago merah, kupu-kupu malam, dan hidung belang. Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa idiom atau disebut juga dengan ungkapan adalah gabungan kata yang membentuk arti baru yang tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya. h. Kata-kata Gaul

Secara harfiah, istilah gaul memiliki arti hidup berteman (KBBI, 2005: 339). Bahasa gaul merupakan bahasa pergaulan. Bahasa gaul sudah muncul sejak tahun 1970-an. Bahasa gaul juga sering disebut dengan bahasa prokem. Kata

prokem merupakan bahasa pergaulan dari preman. Bahasa gaul atau prokem awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain secara rahasia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan atau pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di Jakarta. Saragih (2010) mengatakan bahwa bahasa gaul dianggap lebih bergengsi karena merupakan campuran antara bahasa masyarakat ibu kota (etnis Betawi) dengan bahasa asing, sehingga masyarakat khususnya remaja secara psikologis ingin dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dengan menggunakan bahasa gaul.

Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja merupakan dialek bahasa Indonesia non-formal. Pada dasarnya, bahasa gaul digunakan untuk memberikan kode kepada lawan bicara. Rumusan bahasa gaul di tiap komunitas atau daerah berbeda satu sama lain, termasuk bahasa gaul yang digunakan oleh kalangan militer, kalangan kepolisian, atau kalangan homo seksual (waria) di suatu daerah atau komunitas.

Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai. Bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial, bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan seringkali digunakan dalam bentuk pengumuman-pengumuman. Bahasa gaul merupakan bahasa sandi yang dipahami oleh kalangan atau kelompok tertentu, bersifat


(37)

sementara, dan hanya berupa variasi bahasa. Penggunaan bahasa gaul meliputi kosakata, ungkapan, singkatan, intonasi, pelafalan, pola, konteks dan distribusi. Kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan bahasa gaul (Ensiklopedia Bebas) seringkali merancang kata-kata baru dengan cara mengganti kata ke lawan kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem, distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Kelompok-kelompok tertentu tersebut menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku.

Struktur dan tatabahasa dari bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari bahasa formal, yaitu bahasa Indonesia. Perbedaan utama antara bahasa formal dengan bahasa gaul, yaitu dalam hal perbedaharaan kata. Kosakata yang dimiliki hanya merupakan singkatan dari bahasa formalnya. Saleh (2006) menyatakan bahwa kosakata bahasa gaul sering tidak beraturan atau tidak memiliki rumus tertentu, sehingga perlu upaya untuk menghafal setiap kali muncul istilah atau kata baru. Salah satu kosakata baru dalam bahasa gaul yang tidak memiliki rumus tertentu, misal untuk sebuah lawakan yang tidak lucu biasa disebut dengan istilah

garing, jayus, jasjus; untuk sesuatu yang tidak bagus atau tidak cocok biasa disebut dengan istilah cupu.

Partikel sich, nich, tuh, dan dong merupakan sebagian dari partikel-partikel bahasa gaul yang membuatnya terasa lebih hidup dan membumi, menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Partikel-partikel bahasa gaul memiliki arti jauh lebih bermakna melebihi jumlah huruf yang menyusunnya. Partikel-partikel tersebut mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati atau ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat yang diucapkan.

Kosakata bahasa gaul di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa gaul berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan


(38)

commit to user

menggunakan bahasa gaul, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.

3. Gaya Bahasa a. Hakikat Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah

style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin (Keraf, 2007: 112). Ada dua aliran yang terkenal, yaitu: (1) Aliran Platonik yang menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan dan (2) Aliran Aristoteles yang menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.

Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikiran yang terpendam di dalam jiwanya (Rustamaji, 2003: 83). Kata gaya secara umum dapat dikatakan sebagai cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa, tingkah laku, maupun cara berpakaian. Semakin baik gaya bahasa seseorang, semakin baik pula penilaian orang lain terhadap orang tersebut; sebaliknya semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan pada orang tersebut. Dari beberapa pendapat dia atas dapat penulis simpulkan bahwa style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian seseorang (pemakai bahasa).

b. Macam-macam Gaya Bahasa

Gaya bahasa atau majas dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri (Keraf, 2007: 115). Pada dasarnya majas atau gaya bahasa dapat dibagi menjadi empat, yang meliputi: (1) majas perbandingan; (2) majas sindiran; (3) majas penegasan; dan (4) majas pertentangan.


(39)

1) Majas perbandingan

Majas perbandingan adalah majas yang berupa kata-kata kias untuk menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya terhadap pendengar atau pembaca. Majas perbandingan dibagi menjadi lima belas, di antaranya: (1) gaya bahasa personifikasi; (2) gaya bahasa metafora; (3) gaya bahasa eufemisme; (4) gaya bahasa sinekdokhe; (5) gaya bahasa alegori; (6) gaya bahasa hiperbola; (7) gaya bahasa simbolik; (8) gaya bahasa litotes; (9) gaya bahasa alusio; (10) gaya bahasa asosiasi; (11) gaya bahasa perifrasis; (12) gaya bahasa metonimia; (13) gaya bahasa antonomasia; (14) gaya bahasa tropen; dan (15) gaya bahasa parabel.

Majas personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan memberikan sifat-sifat manusia kepada benda-benda mati, sedangkan majas metafora adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan perbandingan langsung dengan benda lain atas dasar sifat yang sama atau hampir sama (Rustamaji, 2003: 83). Contoh dari masing-masing gaya bahasa di atas, misalnya Baru 3 km berjalan mobilnya sudah batuk-batuk (personifikasi) dan Raja siang (matahari) telah pergi ke peraduannya (metafora). Sementara itu, majas eufemisme adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan kata-kata yang lebih lembut dan

sopan untuk menggantikan kata-kata lain, misal Para tunakarya perlu

perhatian yang serius dari pemerintah.

Keraf (2007: 142) menyatakan bahwa majas sinekdokhe adalah

suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang

berarti menerima bersama-sama. Majas ini dibedakan menjadi dua, yaitu: sinekdokhe pars pro toto dan sinekdokhe totem pro parte. Rustamaji (2003: 83) mengatakan sinekdokhe pars pro toto adalah majas yang menuliskan sebagian tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya, sebaliknya totem pro parte adalah majas yang melukiskan keseluruhan tetapi yang dimaksud sebagian, misal pada contoh kalimat berikut ini. Dia mempunyai


(40)

commit to user

lima ekor kuda (pars pro toto) dan Kaum wanita memperingati hari Kartini (totem pro parte).

Untuk majas alegori, Rustamaji (2003: 84) menyatakan bahwa majas alegori adalah majas yang memperlihatkan suatu perbandingan utuh

dan membentuk kesatuan yang menyeluruh, misal Hidup ini

diperbandingkan dengan perahu yang tengah berlayar di lautan. Berbeda dengan pendapat di atas, Keraf berpendapat bahwa majas alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan (2007: 140). Sementara itu, majas hiperbola adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mengganti peristiwa atau tindakan sesungguhnya dengan kata-kata yang lebih hebat

pengertiannya untuk menyangatkan arti, misal Kakak membanting tulang

demi menghidupi keluarganya. Senada dengan pengertian di atas, Keraf (2007: 135) menyatakan bahwa hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.

Majas simbolik adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan memperbandingkan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang, misal Dari dulu tetap saja ia menjadi lintah darat. Litotes adalah majas yang melukiskan keadaan dengan kata-kata yang berlawanan artinya dengan kenyataan yang sebenarnya guna merendahkan diri, misal

Perjuangan kami hanyalah setitik air dalam samudera luas. Alusio adalah

majas dengan menggunakan ungkapan peribahasa, misal Ah, dia itu tong

kosong nyaring bunyinya. Asosiasi adalah majas yang membandingkan sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat, misal

Wajahnya muram bagai bulan kesiangan. Perifrasis adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan menguraikan sebuah kata menjadi serangkaian kata yang mengandung arti yang sama dengan kata yang digantikan itu,

misal Petang barulah dia pulang kalimat tersebut menjadi Ketika

matahari hilang di balik gunung barulah dia pulang.

Metonimia adalah majas yang menggunakan merk dagang untuk melukiskan sesuatu yang dipergunakan, sehingga kata itu berasosiasi


(41)

dengan benda keseluruhan. Kata metonimia (Keraf, 2007: 142) diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma

yng berarti nama, misal Kemarin dia memakai Fiat (mobil merk Fiat). Antonomasia adalah majas yang menyebutkan nama lain terhadap seseorang berdasarkan ciri atau sifat menonjol yang dimilikinya, misal si pincang, si jangkung, si keriting. Tropen adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan membandingkan suatu pekerjaan atau perbuatan dengan kata-kata lain yang mengandung pengertian yang sejalan dan sejajar, misal

Setiap malam ia menjual suaranya untuk nafkah anak dan istrinya. Parabel adalah majas perbandingan dengan menggunakan perumpamaan dalam hidup. Majas ini terkandung dalam seluruh isi karangan, misal Baghawat Gita, Mahabarata, Bayan Budiman.

2) Majas Sindiran

Majas sindiran adalah majas yang yang bertujan untuk menyindir. Majas sindiran meliputi ironi, sinisme, dan sarkasme. Ironi adalah majas sindiran yang melukiskan sesuatu yang menyatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Keraf (2007: 143) berpendapat bahwa ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang

terkandung dalam rangkaian kata-katanya, misal Harum benar bunga

bangkai ini!

Sinisme adalah majas sindiran dengan menggunakan kata-kata

sebaliknya seperti ironi tetapi kasar, misal Itukah yang dinamakan

bekerja. Dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa, Keraf (2007: 143) mengatakan bahwa sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati, sedangkan sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar


(42)

commit to user

3) Majas Penegasan

Majas penegasan adalah majas yang betujuan untuk menegaskan sesuatu. Majas penegasan dibagi menjadi lima belas, yaitu (1) pleonasme; (2) repetisi; (3) pararelisme; (4) tautologi; (5) simetri; (6) enumerasio; (7) klimaks; (8) antiklimaks; (9) retorik; (10) koreksio; (11) asidenton; (12) polisidenton; (13) ekslamasio; (14) praeterito; dan (15) interupsi. Rustamaji (2003: 84) mengatakan bahwa pleonasme adalah majas penegasan yang menggunakan sepatah kata yang sebenarnya tidak perlu dikatakan lagi karena arti kata tersebut sudah terkandung dalam kata yang diterangkan, misalnya Salju putih sudah mulai turun ke bawah. Repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau beberapa kata berkali-kali, yang biasanya dipergunakan dalam pidato, sedangkan pararelisme adalah majas penegasan seperti repetisi tetapi dipakai dalam puisi. Pararelisme dibagi menjadi dua, yaitu: anafora dan epifora. Anafora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak di awal kalimat, sedangkan epifora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak di akhir kalimat atau lirik.

Tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan suatu dengan mempergunakan kata-kata yang sama artinya (bersinonim) untuk

mempertegas arti, misal Saya khawatir serta was-was akan

keselamatannya. Simetri adalah majas penegasan yang melukiskan suatu dengan mempergunakan satu kata, kelompok kata atau kalimat yang diikuti oleh kata atau kalimat yang seimbang artinya dengan yang pertama, misal Kakak berjalan tergesa-gesa, seperti orang dikejar anjing

gila. Enumerasio adalah majas penegasan yang melukiskan beberapa

peristiwa membentuk satu kesatuan yang dituliskan satu per satu supaya

tiap-tiap peristiwa dalam keseluruhannya tampak jelas, misal Angin

berhembus, lalu tenang, bulan memancar lagi.

Masih dalam bukunya yang sama, Keraf (2007: 124) berpendapat bahwa majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya


(43)

dari gagasan-gagasan sebelmnya. Bisa dikatakan, klimaks adalah majas penegasan dengan menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang makin lama makin memuncak

pengertiannya, misal Anak-anak, remaja, dewasa datang menyaksikan

film “Saur Sepuh”. Antiklimaks adalah majas penegasan dengan beberapa hal berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang makin lama

makin melemah pengertiannya, misal Jangankan seribu, atau seratus,

serupiah pun tak ada. Untuk majas antiklimaks, Keraf (2007: 125) berpendapat bahwa antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting.

Retorik adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah

diketahuinya, misalnya Mana mungkin orang mati hidup kembali?

Koreksio adalah majas penegasan berupa membetulkan (mengoreksi) kembali kata-kata yang salah diucapkan, baik disengaja maupun tidak, misal Hari ini sakit ingatan, eh … maaf, sakit kepala maksudku. Dengan memberikan istilah yang lain dari majas koreksio ini, yaitu majas epanortosis, Keraf (2007: 135) mengatakan bahwa koreksio atau epartonosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.

Berikutnya, majas yang masih termasuk dalam kelompok majas penegasan adalah asidenton. Asidenton adalah majas penegasan yang menyebutkan beberapa benda, hal atau keadaan secara berturut-turut tanpa memakai kata penghubung (Rustamaji, 2003: 85). Dengan sedikit memberikan penjelasan yang lebih lengkap, Keraf (2007: 131) mengatakan bahwa asidenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, misal Kemeja, sepatu,


(44)

commit to user

adalah majas penegasan yang menyatakan beberapa benda, hal atau keadaan secara berturut-turut dengan memakai kata penghubung, misal

Dia tidak tahu, tetapi tetap saja ditanyai, akibatnya dia marah-marah. Ekslamasio adalah majas penegasan yang memakai kata-kata seru

sebagai penegas, misal Amboi, indahnya pemandangan ini! Praeterio

adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu dan pembaca harus menerka

apa yang disembunyikan itu, misal Tidak usah kau sebut namanya, aku

sudah tahu siapa penyebab kegaduhan ini. Interupsi adalah majas penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat yang disisipkan di antara kalimat pokok guna lebih menjelaskan dan menekankan bagian kalimat sebelumnya, misal Aku, orang yang sepuluh tahun bekerja di sini, belum pernah dinaikkan pangkatku.

4) Majas Pertentangan

Majas pertentangan adalah majas yang bertujuan untuk mempertentangkan sesuatu. Kata-kata berkias yang menyatakan pertentangan dengan yang dimaksudkan sebenarnya oleh pembicara atau penulis dengan maksud untuk memperhebat atau meningkatkan kesan dan pengaruhnya kepada pembaca atau pendengar. Majas pertentangan dibagi menjadi empat, yang meliputi: (1) antitesis; (2) paradoks; (3) okupasi; dan (4) kontradiskio intermimis.

Antitesis adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti, misal

Cantik atau tidak, kaya atau miskin, bukanlah suatu ukuran nilai seseorang wanita. Untuk majas paradoks Keraf (2007: 136) mengungkapkan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Senada dengan hal tersebut, Rustamaji (2003: 84) berpendapat paradoks merupakan majas pertentangan yang melukiskan sesuatu seolah-olah

bertentangan, padahal maksud sesungguhnya tidak, misal Hatinya sunyi


(45)

Majas pertentangan yang berikutnya, yaitu okupasi dan kontradiskio intermimis. Okupasi adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu dengan bantahan, tetapi kemudian diberi penjelasan atau diakhiri dengan kesimpulan, sedangkan kontradiskio intermimis adalah majas pertentangan yang memperlihatkan pertentangan dengan penjelasan semua (Rustamaji, 2003: 85). Misalnya, Merokok itu merusak kesehatan, akan tetapi si perokok tak dapat menghentikan kebiasaannya. Maka, muncullah pabrik-pabrik rokok karena untungnya banyak

(okupasi); Semua murid kelas ini hadir, kecuali si Hasan yang sedang ikut jambore (kontradiskio intermimis).

4. Campur Kode a. Hakikat Campur Kode

Nababan mengatakan bahwa (1993: 32) campur kode (code-mixing)

adalah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act or discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu menentukan percampuran bahasa itu. Proses ini terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan yang mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan.

Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa).


(46)

commit to user

ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan oleh mudahnya pengungkapan seseorang pengguna bahasa. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Kachru (dalam Suwito, 1997: 76) memberikan batasan mengenai campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.

Kridalaksana (dalam Saddhono, 2007: 26) berpendapat bahwa campur kode adalah (1) interferensi dan (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan. Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat penulis simpulkan hakikat campur kode pada dasarnya hampir sama, yaitu fenomena pencampuran bahasa kedua ke dalam bahasa pertama, pencampuran bahasa asing atau daerah ke dalam struktur bahasa ibu baik dalam tingkat kata, frase, klausa, idiom, maupun sapaan.

b. Ciri-ciri Campur Kode

Campur kode memiliki beberapa ciri penanda. Ciri-ciri campur kode di antaranya: (1) ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan, (2) unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi sendiri, dan (3) dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan

konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal

dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsi bahasa yang disisipinya, baik campur kode ke dalam maupun keluar (Suwito, 1997: 75).

Ciri-ciri ketergantungan campur kode ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya menyisip di dalam bahasa lain dan tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal,


(47)

unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.

c. Latar Belakang Campur Kode

Suwito (1997: 90) mengatakan latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap (Attitudinal Type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (Linguistic Type). Kedua tipe tersebut saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih (over laping). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung dan bertumpang tindih, maka dapat diidentifikasikan beberapa alasan atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, di antaranya: (a) identifikasi peranan; (b) identifikasi ragam; dan (c) identifikasi keinginan menjelaskan dan menafsirkan.

Untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Identifikasi keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap dan hubungan orang lain terhadap orang lain.

Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya dalam masyarakat.

d. Macam-macam Campur Kode

Campur kode yang bersumber dari bahasa asli atau daerah dengan segala variasinya disebut campur kode ke dalam (Innercode Mixing), sedangkan campur

kode yang berasal dari bahasa asing disebut campur kode ke luar (Outercode

Mixing). Campur kode itu dapat berupa percampuran serpihan kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain.


(48)

commit to user

Di dalam campur kode, ada sebuah kode utama atau kode dasar yang memiliki fungsi dan keotonomiannya; sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1997: 78-80) mengklasifikasikan campur kode menjadi 6 macam, antara lain: 1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, misal Mangka seringkali sok ada kata-kata seolah-olah bahasa; 2) penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, misal Nah, karena saya kadhung apik sama dia, ya tak teken; 3) penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster, misal Banyak klap malam yang harus ditutup; 4) penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, misal Sudah waktunya kita menghindari backing-backingan dan klik-klikan; 5) penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, misal Pada waktu ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon; dan 6) penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa, misal Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wur handayani.

5. Alih Kode a. Hakikat Alih Kode

Nababan (1993: 31) berpendapat bahwa alih kode adalah peralihan dari satu ragam fungsiolek (umpamanya ragam santai) ke ragam yang lain (umpamanya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek lain. Senada dengan Nababan, Chaer (1994: 141) menyatakan bahwa alih kode merupakan perubahan dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai.

Suwito (1997: 81) menyatakan alih kode sebagai suatu peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila penutur menggunakan kode A (misalnya bahasa Indonesia) kemudian beralih kode (umpamanya bahasa Jawa), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut dengan alih kode. Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) mengungkapkan bahwa bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa yang lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115)


(49)

mengatakan bahwa apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.

Alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja karena sebab-sebab tertentu. Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) menyatakan alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa.

Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language

dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.

b. Ciri-ciri Alih Kode

Alih kode mempunyai sejumlah ciri-ciri sebagaimana yang diungkapkan oleh Suwito (1997: 69), antara lain: (1) alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungn masyarakat multilingual; (2) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya; (3) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks; dan (4) dalam peristiwa alih kode mungkin terjadi kontinum yaitu peralihan antara kode satu ke kode yang lain. Dengan demikian, alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevansi di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

Gejala tersebut dalam praktiknya, sering ditemukan peristiwa tutur tertentu terjadi alih kode intern dan alih kode ekstern secara beruntun. Hal tersebut terjadi apabila fungsi kontekstual dan situasi relevansialnya dinilai oleh penutur cocok untuk dilakukan.


(50)

commit to user

c. Latar Belakang Alih Kode

Peristiwa alih kode tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Suwito (1997: 85-87) menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan alih kode, antara lain: (1) penutur; (2) lawan tutur; (3) hadirnya penutur ketiga; (4) pokok pembicaraan; (5) membangkitkan rasa humor; dan (6) untuk sekedar bergengsi.

Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan atau maksud. Misalnya, mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Dengan kata lain, seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakannya tersebut. Alih kode yang dilakukan seorang penutur untuk memperoleh keuntungan biasanya terjadi dalam peristiwa tutur yang mengharapkan bantuan lawan tuturnya.

Faktor kedua penyebab alih kode adalah mitra tutur. Lawan bicara atau mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si mitra tutur. Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa. Perbedaan latar belakang bahasa juga berkitan erat dengan hadirnya penutur ketiga dalam pembicaraan.

Kehadiran orang ketiga atau pihak lain yang tidak memiliki latar belakang bahasa yang sama dengan latar belakang bahasa yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Chaer dan Agustina (2004: 110) menambahkan bahwa status penutur ketiga dalam alih kode juga menentukan bahasa atau varian yang digunakan.

Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius, sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa


(51)

tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Meskipun demikian, alih kode tidak akan terjadi jika pergantian topik pembicaraan masih dalam situasi formal (Chaer dan Agustina, 2004: 112), misalnya topik tentang kesejahteraan masyarakat tuna susila berubah menjadi topik tentang pengurangan hak seorang napi, yang dalam masyarakat tutur Indonesia harus menggunakan ragam resmi. Perubahan yang terjadi hanya mungkin pada registernya.

Faktor berikutnya, yang melatar belakangi terjadinya alih kode, adalah faktor humor dan gengsi. Alih kode juga sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, atau pun pelawak untuk membenagkitkan rasa humor. Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. Untuk sekedar bergengsi oleh penutur walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode. Hal ini terjadi apabila si penutur mempunyai penilaian bahasa yang satu dianggap lebih tinggi dan bahasa lainnya dianggap lebih rendah. Faktor-faktor penyebab alih kode tersebut sangat berkaitan dengan verbal repertoire yang terdapat dalam masyarakat tutur.

6. Iklan a. Hakikat Iklan

Iklan adalah produk tontonan yang dikemas dalam sebuah rangkaian yang berisi berbagai tanda, ilusi, manipulasi, citra, dan makna. Informasi melalui iklan dinilai berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap persepsi, pemahaman, dan tingkah laku masyarakat (Darmawan, 2006). Rahmadi (1994: 36) menyatakan bahwa iklan atau advertising berasal dari bahasa Latin

adverte yang berarti mengarahkan. Berbeda dengan pendapat Rahmadi, Sudiana (1986: 1) menyatakan bahwa iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal dari bahasa Prancis re-clame yang berarti meneriakkan berulang-ulang.

Wright (dalam Liliweri, 1992: 20) berpendapat bahwa iklan adalah komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Suatu


(52)

commit to user

pesan yang terkandung di dalamnya (Liliweri, 1992: 75). Struktur pesan adalah cara menampilkan pesan dalam bentuk simpulan (tersirat atau tersurat). Gaya

adalah cara pemilihan pesan. Daya tarik (appeal) mengacu pada motif-motif

psikologis yang terkandung seperti pesan yang rasional, emosional, dan daya tarik ganjaran tertentu.

Institusi praktisi periklanan Inggris (dalam Frank, 1996: 5) menyatakan bahwa iklan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada calon pembeli yang paling potensial atas produk dan jasa tertentu dengan biaya semurah-murahnya. Dalam hal ini, iklan merupakan pesan komersial yang dibiayai oleh perusahaan untuk menawarkan produknya.

Melihat berbagai pendapat mengenai pengertian iklan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa iklan adalah pesan atau pemberitahuan atau informasi yang disampaikan mengenai suatu barang atau jasa dari produsen kepada konsumen dengan bahasa dan kata-kata persuatif. Bahasa persuatif adalah bahasa yang dapat menimbulkan rasa ketertarikan dan rasa keingintahuan masyarakat terhadap barang yang ditawarkan.

b. Klasifikasi Iklan

Para praktisi periklanan menggolongkan iklan menjadi beberapa macam. Frank (1996: 39) menggolongkan iklan menjadi tujuh kategori pokok, antara lain: (1) iklan konsumen; (2) iklan bisnis atau iklan antar bisnis; (3) iklan perdagangan; (4) iklan eceran; (5) iklan keuangan; (6) iklan langsung; dan (7) iklan lowongan

kerja. Iklan konsumen (consumen advertising) merupakan iklan barang-barang

yang umum dibeli masyarakat, misalnya bahan makanan, shampoo, sabun.

Iklan antarbisnis (business to business advertising) berguna untuk

mempromosikan barang-barang atau jasa nonkonsumen. Iklan perdagangan secara khusus ditujukan kepada kalangan distributor, para agen, para pedagang besar dan kecil. Iklan eceran (retail advertising) merupakan iklan-iklan yang dilancarkan oleh para swalayan atau toko-toko serba ada berukuran besar. Iklan keuangan (financial advertising) merupakan iklan-iklan untuk bank, jasa tabungan, asuransi, dan inventasi. Iklan rekruitmen (recruitment advertising) merupakan iklan yang bertujuan merekrut calon pegawai.


(1)

dalam iklan komersial di radio bersifat ke dalam atau intern yang meliputi bahasa Jawa, dialek Jakarta, dan bahasa Betawi. Alih kode dalam iklan komersial di radio dilatarbelakangi oleh faktor penutur, mitra tutur, topik pembicaraan, dan membangkitkan rasa humor.

B. Implikasi

Implikasi adalah konsekuensi logis dari simpulan. Hasil penelitian ini, tentunya, berimplikasi pada pemakaian bahasa iklan di radio. Selain itu, hasil penelitian ini juga berimplikasi terhadap pengajaran bahasa Indonesia. Implikasi terhadap pemakaian bahasa iklan ditunjukkan dengan adanya pemakaian diksi, gaya bahasa, campur kode, dan alih kode yang memiliki karakteristik tertentu. Bertolak pada fungsi bahasa itu sendiri, penelitian ini memberikan gambaran bahwa fungsi bahasa sebagai gejala budaya bersifat dinamis. Bahasa akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan meningkatnya keanekaragaman pemakaian bahasa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah pemakaian bahasa Indonesia dalam dunia periklanan. Penggunaan bahasa yang dioptimalkan dengan baik dan tepat dalam setiap ranah akan menghasilkan suatu karya bahasa yang menarik, komunikatif, senantiasa berkembang, dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam arti, manfaat penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada keperluan yang fungsional dan mendasar, akan tetapi mampu dikembangkan dalam penerapan pengetahuan bahasa di berbagai bidang.

Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia khususnya mengenai diksi, gaya bahasa, campur kode, dan alih kode. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan materi ajar tentang perbendaharaan kata, macam-macam gaya bahasa, dan pemanfaatan bahasa Indonesia kepada siswa, sehingga minat dan apresiasi untuk belajar bahasa akan meningkat. Hal ini sesuai dengan salah satu kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia SMP, yakni siswa mampu menulis naskah iklan dengan bahasa yang efektif, baik, dan benar.


(2)

itu, penelitian ini akan memberikan wawasan kepada siswa tentang pemilihan diksi dan pemakaian gaya bahasa pada bidang periklanan, sehingga mampu menumbuhkan kreativitas berbahasa. Semakin banyak siswa mengetahui fungsi dan peranan pemakaian bahasa Indonesia, maka semakin tinggi apresiasi siswa terhadap bahasa.

Karakteristik pemakaian diksi, gaya bahasa, campur kode, dan alih kode tidak hanya ditemukan dalam iklan komersial di radio, tetapi juga dapat ditemukan pada iklan yang ada di media cetak dan elektronik lainnya dengan berbagai variasi dan jenis iklannya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan penunjang bagi penelitian-penelitian yang lain.

C. Saran

Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, peneliti dapat kemukakan beberapa saran di antaranya:

1. kepada praktisi periklanan

Bahasa yang dipakai dalam iklan harus mengarahkan target audience untuk membeli, menggunakan, atau beralih pada produk maupun jasa yang diiklankan. Gaya bahasa yang dipakai harus disesuaikan dengan siapa ia berbicara, bagaimana kebiasaan perilaku, dan di mana mereka berada. Penggunaan bahasa yang tidak efektif menyebabkan pesan yang ingin disampaikan kepada konsumen menjadi tidak tepat sasaran. Namun, pilihan kata yang dipilih harus dapat memberi ketepatan makna karena pada masyarakat tertentu sebuah kata sering mempunyai makna yang baik dan pada masyarakat yang lain memberikan makna yang kurang baik. Penggunaan bahasa harus disesuaikan dengan norma kebahasaan suatu kalangan.


(3)

masyarakat tidak mudah tertipu dan mendapatkan pemahaman yang positif tentang bahasa iklan.

3. kepada pihak radio

Bahasa iklan komersial yang disiarkan melalui salah satu media elektronik, yakni radio, memiliki ragam maupun bentuk penyampaian iklan yang berbeda dengan media elektronik lainnya. Iklan di radio lebih menitikberatkan pada pemakaian bahasa dan unsur suara atau efek suara pendukung iklan. Oleh karena itu, penyampaian iklan khususnya iklan komersial harus mampu menampilkan nilai tambah kepada pendengarnya dibanding iklan yang disampaikan lewat media yang lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1998. Semantik. Bandung: Sinar Baru.

Aminuddin, dkk. 1990. Penelitian Kualitatif dalam Bahasa dan Sastra. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.

Bahasa Prokem Indonesia Ensiklopedia Bebas. http://id.wikipedia.org (diakses pada hari Senin, 21 Juni 2010).

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Darmawan, Ferry. 2006. “Posmodernisme Kode Visual dalam Iklan Komersial”. Jurnal Komunikasi Mediator.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

_________, Pusat Bahasa. 2005. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik 1: Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi. Surakarta: UNS.

Frank, Jefkins. 1996. Periklanan. Jakarta: Balai Pustaka.

Halliday, M. A. K. dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan Asruddin Barori Tou. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.


(5)

Lestari, Sri. 2001. Karakteristik Bahasa Iklan di Majalah Remaja. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni UNS, Surakarta.

Liliweri, Alo. 1992. Dasar-dasar Komunikasi Periklanan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Moeleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Nababan, P. W. J. 1993. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia.

Nasution, S. 2002. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.

Purwo, Bambang Kaswanti (Ed). 1989. “Sosiolinguistik Suatu Pengantar” Pellba 2. Jakarta: Gramedia.

Purwoko, Herudjati. 2008. Jawa Ngoko: Ekspresi Komunikasi Arus Bawah. Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang.

Rahmadi, F. 1994. Public Relation dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Rustamaji, dkk. 2003. Panduan Belajar Bahasa Indonesia. Surakarta: Primagama. Saleh, Chaerul. 2006. September 15. Bahasa Gaul Gitu Looh… . Kompas. 50. Saddhono, Kundharu. 2007. Oreng Madure dan Wong Solo (Fenomena Integrasi

Linguistik Kultural). Surakarta: UNS Press.

Saragih, Ferdinaen. 2010. Menyoal Bahasa “Gaul”. http://oase.kompas.com (diakses pada hari Senin, 21 Juni 2010).

Subroto, D. Edi. 1997. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudiana, Dendi. 1986. Komunikasi Periklanan Cetak. Bandung: Remadja Karya. Sulistyaningtyas, Tri. 2008. “Diksi dalam Wacana Iklan Berbahasa Indonesia”

Jurnal Sosioteknologi. Tahun ke-7, No. 15: 495-502.


(6)

Susilo, Wahyu Hastho. 2007. Pilihan Bahasa dalam Iklan Televisi. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES, Semarang. Sustiyanti. 2000. Pemakaian Bahasa Indonesia pada Wacana Iklan Majalah.

Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni UNS, Surakarta.

Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Suwito. 1997. Sosiolinguistik. Surakarta: UNS Press.

Ullman, Stephen. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Verhaar, J. W. M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Wahab, Abdul. 1995. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga University Press. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik (Teori dan